Share

Harlingga Dio Wardana

Harlingga Dio Wardana.

Laki-laki berkacamata itu biasa di kenal dengan sapaan Lingga. Laki-laki yang selalu diduga lahir di Antartika paling ujung, dan mungkin juga Ibunya selalu mengidam banyak silet tajam. Begitulah, sekiranya orang-orang sering mengenalnya dan menjulukinya. Berwajah dan juga sikap yang dingin dan ketus, mulutnyapun setajam silet di acara televisi pada zamannya. Meski laki-laki itu jarang sekali bicara, tetapi sekalinya berucap, kalimat pedas, tajam dan menusuk sangat terasa di telinga dan dada.

Lingga yang menjabat sebagai ketua MPK membuat orang-orangpun semakin tidak menyukainya, karena tahun sebelumnya, laki-laki itu sudah pernah menjabat menjadi ketua OSIS, kemudian di tahun berikutnya justru menjabat sebagai ketua MPK. Hal itu jelas membuat seluruh murid seperti berada didalam lapas penjara. Selalu ada banyak peraturan dan kedisplinan yang melelahkan bagi mereka, terutama bagi para murid pendosa (badung).

Lingga pun merupakan anak yang teladan disekolah. Laki-laki itu disiplin, pekerja keras dan sangat pintar. Itu sebabnya kenapa para murid tidak menyukainya karena alasan itu. Tapi Lingga tidak ingin ambil pusing. Ia akan tetap menjalankan apa yang menurutnya manusia lakukan dengan benar, bukan justru sebaliknya. Lagi pula ia menyukainya dan menginginkan semua itu. Menjadi badung dan bodoh hanya menyia-nyiakan hidup, menurutnya.

Selain Lingga pintar dibidang akademik, Lingga juga pandai bernyanyi. Tidak heran, dibeberapa kesempatan saat sekolah mengadakan acara, sekolah jarang mengundang bintang tamu. Karena selain mencari dana dan pihak promotor tidak semudah itu, jadi Lingga bersama anak eskul padus sudah bisa menghibur yang lain dengan suara merdu mereka.

Jika bagi perempuan, mendengar suara Lingga saat menyanyi rasanya seperti mendengar sholawat nabi. Sangat merdu, lembut, dan indah didengar. Namun berbeda lagi saat laki-laki itu berbicara dengan nada datar dan dinginnya, tidak ada lagi kata merdu. Tidak ada lembut, apalagi indah. Suaranya justru terdengar mematikan. 

Seorang Lingga tidak memiliki teman yang benar-benar dekat dengannya selain Hafidz si anak Rohis dan Pramuka yang satu pemikiran dengannya. Mereka sama-sama murid teladan dan pintar disekolah. Namun meskipun cukup dekat, mereka tidak sering terlihat bersama karena kesibukan mereka masing-masing. Dan mereka merupakan sama-sama orang yang di tidak disukai disekolah setelah pak Yusuf dan Bu Helga yang ketus, dingin dan menyebalkan. 

Lingga juga sangat anti dengan murid yang melanggar aturan. Itu sangat berbanding jauh dengan apa yang sudah melekat didirinya, tentunya. Wajar saja jika ia membencinya. Dan musuh terbesar Lingga adalah, si ketiga laki-laki yang selalu membuat onar dengan tidak kira. Lingga sampai sempat berpikir ingin sekali rasanya ia mengajukan pada pak Ikhsan untuk memberikan hukuman berat para murid tidak jelas seperti mereka bertiga, dan juga ia sempat berpikiran ingin memusnahkan keberadaan mereka dari muka bumi ini. Mereka hanya pengganggu. Perusak masa depan. 

"Mau kemana?"

Lingga menatap dengan datar ketiga laki-laki yang baru saja buru-buru menuruni tembok belakang sekolah. Tepat sekali Lingga sedang melakukan patroli keliling saat upacara berlangsung, dan ia mendapatkan tiga curut tidak jelas sedang mencoba masuk ke sekolah tanpa ingin mengikuti upacara bendera. 

Mereka bertigapun tersentak. Kepala mereka menoleh dan langsung menyengir lebar menampilkan deretan gigi mereka dihadapan Lingga.

"Eh, elo, yo." Cengirnya bodoh. "Ngapain dah disini? Bukannya minggu ini patroli didepan? 

Calvin bertanya sambil terus menyengir bodoh. Laki-laki jangkung itu sudah mengerti bagaimana tatapan Lingga saat ini pada mereka, karena selama dua tahun ini mereka berada didalam kelas yang sama, jadi Calvin sudah hapal betul maksud tatapan itu. 

"Ngga sadar, poin lo semua udah berapa?"

Mereka bertiga terdiam sesaat, kemudian berpura-pura berpikir, dan terkekeh konyol. 

"Hm, berapa, ya?" Kean berakting bodoh dihadapan Lingga. "Berapa weh, Sat?"

Lagi-lagi mereka bertiga hanya menyengir tidak jelas dihadapam Lingga. Iapun hanya menatap dengan datar mereka bertiga. Sudah bukan menjadi hal aneh lagi melihat mereka selalu menyengir bodoh saat ditanyakan seperti ini. Bukan menjadi hal baru lagi pula, melihat mereka selalu datang siang ataupun membolos melewati tembok belakang, dan selalu mencoba menghindarinya.

"Itu, itu, itu, itu," Jarinya menunjuk pada seragam sebelah kanan dan kiri mereka, ke arah kerah, lalu menunjuk pada sepatu mereka. "Pada kemana? Miskin semua?"

Mereka bertiga melirik ke arah yang ditunjuk oleh Lingga. Letak bet sekolah, dasi, topi yang tidak ada dan sepatu mereka yang berwarna jelas melanggar peraturan sekolah. Namun mereka hanya menyengir kuda, —lagi, dengan bodohnya. 

"Hilang pas dicuci nih." Satria mencoba mengeles.

"Iya nih, gue nggak ada duit buat beli." Kata Kean.

"Seragam baru yo, jadi nggak ada, hehe." Terakhir, Calvin.

Lingga hanya menatap datar mereka bertiga. Namun tatapannya kali ini terasa begitu mematikan dari biasanya. Berbeda. Dan ini menandakan hal buruk akan terjadi pada ketiga laki-laki itu, tidak akan lama lagi.

Karena Lingga adalah Lingga. 

Lingga pun mulai mengeluarkan sesuatu dari kantung almameternya. Sebuah buku, yang merupakan buku catatan poin murid di sekolahnya yang diberikan khusus untuk anak OSIS dan MPK. Ia memegangnya dan berhak mengisinya jika murid melanggar aturan karena ia juga ketua MPK. 

"Nggak pake pakaian lengkap, lima—"

"Woi, Sialan!" Teriakan seseorang menghentikan pergerakan Lingga. "Kemana lo—"

BRAK!

"Gue main di tinggal!"

Ketiga laki-laki itu lantas menoleh saat mereka mendengar teriakan serta suara orang terjatuh ditembok sebelah kanan, tidak jauh dari keberadaan mereka. Tepatnya berada dibelakang mushola. Itu adalah suara seorang gadis. Gadis biasa yang juga menjadi sahabat ketiga laki-laki itu dan merupakan biang onar yang sebenarnya. Mereka pun kini terdiam memperhatikan gadis itu yang datang sambil sibuk merapihkan pakaiannya. Matanya pun menatap terkejut karena adanya keberadaan Lingga yang langsung membuatnya terdiam. 

Sia-sia ia memanjat tadi. 

"A-apa?!"

Ketiga laki-laki itu hanya menyengir bodoh lagi, sementara Lingga menatap datar gadis itu.

"Terlambat datang, lima po—"

"Nggak usah ngomong! Gue juga tau!"

Lingga menatapnya jengah. "Kalo tau kenapa masih ngelanggar?"

Gadis itu hanya bisa dengan sabar menatap seorang Lingga. Rasanya ia kesal dan ingin sekali marah, tapi tidak bisa. Sudah menjadi peraturan sekolah diberlakukan seperti itu, dan juga karena laki-laki itu adalah..

"Heh, woi! Gila!" Mata gadis itu membulat tajam saat ketiga temannya pergi meninggalkannya. "Jangan tinggalin gue, set—"

"Ngomong kasar lima poin."

Mata gadis itu melirik cepat dan langsung menatap dengan tajam juga tidak suka pada Lingga. Gadis itu kesal dengan laki-laki itu. Oh tidak, semuanya pasti sangat kesal dan benci dengan laki-laki itu. Kecuali mungkin hanya guru yang tidak melakukannya.

"Mau ikut mereka kabur poin lo nambah, atau ikut gue ke lapangan?"

Gadis itu mengepalkan tangannya kesal. Kalau saja Lingga bukan siapa-siapa, pasti ia akan menamparnya, mencakarnya, atau bahkan menonjoknya. Pasti. Tapi dengan terpaksa gadis itu hanya menurut dan mengikuti seorang Harlingga Dio Wardana di belakangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status