Share

1. Little Things

"CAL! TEMENIN GUE KE KAN—"

Suara teriakan yang terdengar menggema dari lorong koridor itu menggantung. Dinar, si gadis yang baru saja berteriak dan kini berdiri diambang pintu kelas seorang Calvin Perwira yang ia panggil dengan Jangkung itu pun terkejut. Ia yang berniat ingin menghampiri Calvin untuk mengajaknya pergi ke kantin itu terdiam, karena matanya menangkap keberadaan laki-laki yang sudah menjabat sebagai pacarnya kurang lebih selama dua tahun ini.

Laki-laki berkacamata yang duduk manis di barisan bangku paling depan, terlihat sedang sibuk menuliskan sesuatu disebuah kertas dengan banyak buku dan kertas-kertas lainnya dimejanya. Laki-laki itu tidak sendiri. Disebelah kanan dan kirinya, dia ditemani dengan kedua teman satu organisasinya, yang jika bagi seorang Dinar sendiri, mereka adalah musuh terberatnya disekolah.

Dinar pun tersenyum melihatnya. Ia tidak menduga karena bisa bertemu dan melihat laki-laki itu didalam kelasnya saat ini. Biasanya, laki-laki itu selalu sibuk diluar kelas, setiap kali Dinar ingin menghampiri Calvin hanya untuk mengajaknya pergi ke kantin atau dengan sengaja hanya ingin melihat pacarnya itu.

Jika bagi kaum pendosa seperti Dinae, mungkin mereka akan menghindar dari keberadaan pacarnya itu sejauh mungkin dan juga menjauh dari dua teman satu pemikirannya. Tetapi itu tidak berlaku untuk Dinar. Biarpun Dinar se-rusuh dan seberantakan apapun di sekolah, kalau matanya tidak sengaja melihat keberadaan pacarnya dimanapun, sudah pasti ia akan datang menghampirinya. Walau hanya sekedar menyapa dan berbicara sebentar melepas rindu karena kesibukan laki-laki itu di organisasi OSISnya.

"Dio..."

Dinar tersenyum semakin lebar saat ia berada tepat dihadapan meja pacarnya itu. Si Ketua MPK yang jutek, judes, dan nyebelinnya membuat satu penghuni sekolah terkecuali anak rajin dan teladan ingin sekali memusnahkannya.

Harlingga Dio Wardana.

Laki-laki berkacamata dengan wajah dingin dan biasa ia panggil Dio itu merupakan pacar seorang Dinar.

Seluruh penghuni sekolahan sebenarnya selalu bertanya-tanya dan tidak habis pikir dengan seorang Dinar. Gadis troublemaker dan bad seperti Dinar, anehnya bisa berpacaran dengan Lingga yang merupakan anak teladan sekolah. Benar-benar membuat semuanya menggelengkan kepalanya tidak percaya. Semuanya diluar dugaan mereka. Kedua kubu yang berbanding balik, memiliki status yang seharusnya juga berbanding jauh. Seharusnya mereka seperti kisah yang ada di cerita novel; musuh bebuyutan. Meski faktanya juga begitu, sih, tapi jika sampai memiliki hubungan mereka saat ini, sebenarnya sangat jauh diluar ekspetasi mereka.

Bayangkan,

Seorang laki-laki yang di ibaratkan suci seperti Lingga, bisa berpacaran dengan sang pendosa Dinar. Itu adalah julukan biasa yang mereka dapatkan dari pengisi sekolah.

Bahkan, ketiga laki-laki atau The Dude saat itu sempat heran dengan hubungan keduanya. Mereka berdua berpacaran, dalam hitungan waktu yang bahkan anehnya tidak sebentar, tetapi mereka seringkali bertengkar. Bertengkar hebat. Rasanya seperti seorang musuh bebuyutan, bahkan jika sudah jengah diantara masing-masing, mereka seperti orang tidak kenal.

Seperti saat Dinar yang selalu melanggar aturan sekolah. Dinar dan Lingga akan selalu berdebat hebat. Bahkan rasanya jika melihat mereka berdebat seperti melihat perdebatan memperebutkan suatu negara. Dinar yang tidak tanggung-tanggung jika sudah berdebat, semua bahasa kebun binatang ia keluarkan tanpa melihat tempat, tanpa takut dan tanpa pandang bulunya pada Lingga, begitu pun sebaliknya. Lingga pula bahkan tidak segan-segan mengadukan Dinar pada guru BP jika dia melihat Dinar melanggar aturan. Lingga juga membiarkan Dinar dihukum sesuai dengan aturan yang harus diterimanya tanpa melihat bagaimana status mereka berdua.

Setidaknya, biasanya orang yang berpacaran saling peduli dan khawatir. Membela dan perhatian. Tapi tidak dengan Lingga, dan Dinar sendiri selalu menerimanya ujungnya.

Memang aneh.

The Dude juga sempat mengusuli pada Dinar agar Dinar mau mengakhiri hubungan konyolnya dengan Lingga. Tetapi Dinar menolaknya, karena gadis itu mengatakan, kalau ia sudah sangat jatuh cinta dengan Lingga dari awal pertemuan mereka saat MOS sekolah. Bagi Dinar, saat itu Lingga masih terlihat sangat polos, lucu dan manis yang membuatnya selalu gemas dan tidak pernah lupa. Jadi Dinar memilih untuk mempertahankan hubungannya, meskipun mereka berdua pun sering bertengkar karena perbedaan pemikiran, dan mereka terkadang diam-diam seperti orang tidak saling mengenal, tapi Dinar tetap mencintai Lingga.

Dinar masa bodoh dengan hubungannya yang terkadang seperti musuh, dan seperti orang tidak dikenal. Meski begitu, dibalik itu, Lingga masih peduli dan juga perhatian padanya. Walaupun hanya diwaktu-waktu tertentu dan rasanya hanya hal kecil biasa bagi Lingga, tapi Dinar tetap tidak ingin putus dengan Lingga, kecuali jika ia benar-benar sudah tidak mempunyai rasa apa-apa lagi padanya. Tidak mungkinkan, bertahan jika tanpa ada rasa?

"Tumben, nggak diruang Osis?"

Dinar mencodongkan tubuhnya dihadapan Lingga, mensejajarkan dengan mejanya Lingga. Kedua lengannya bertopang disana. Matanya memperhatikan pacarnya itu sambil tersenyum, tapi yang diperhatikan hanya sibuk menulis tanpa peduli keberadaannya. Dinar sudah hapal dengan kebiasaan itu. Dinar juga tidak peduli dengan adanya kedua teman sepemikiran Lingga yang melirikinya sejak tadi.

"Ling, ada si Dinar."

Sibuk. Pastinya.

Sudah menjadi hal biasa bagi Dinar selalu melihat dan akan selalu mendengar jika Lingga akan berucap seperti itu. Dan juga, sikap tidak peduli Lingga seperti sekarang ini, sudah menjadi makanannya sehari-hari.

"Lo kangen gue, ya, makanya lo dikel—"

"Turun."

Dinar terdiam sesaat menatapnya, namun kemudian ia menuruti perintah Lingga. Posisinya yang sempat duduk diatas meja, kembali pada posisi awal. Kalau saja ia tidak duduk diatas meja yang digunakan Lingga seperti tadi, mungkin Lingga tidak akan meresponnya. Karena memang itulah caranya agar Lingga mau merespon keberadaanya. Dan Dinar selalu suka melakukannya.

"Ke kantin, yuk..." Suaranya mengalun, menggunakan nada manis, agar Lingga mau diajaknya pergi makan. Tapi laki-laki itu justru menggeleng.

"Nggak bisa."

Dinar terdiam sesaat. Menatap Lingga yang masih sibuk tanpa menoleh kearahnya sedikitpun. "Kenapa?"

"Lo nggak liat?" Nada biacaranya terdengar datar, membuat Dinar melirik lembaran kertas itu.

"Sibuk?"

"Iya, terus kenapa masih ganggu?"

Padahal nada bicara ya mengusir, tapi Dinar justru tersenyum ketika Lingga mulai menatapnya. Tangannya lantas menyeret salah satu kursi dari meja sebelah, dan mendudukinya tepat dihadapan Lingga. Ia jelas senang, karena akhirnya Lingga ingin menatapnya saat berbicara seperti ini. Sepertinya Lingga memang sedang rindu dengannya.

"Biar kangen lo hilang..." Suaranya bernada lagi. Dinar pun bertopang dagu menatap laki-laki dihadapannya, tapi Lingga justru hanya kembali menulis tanpa menghiraukan ucapan Dinar baru saja. Senyumannya lantas semakin melebar dibibirnya.

"Ayo... Udah lama nggak makan bareng dikantin." Ucap Dinar tersenyum lebar.

"Gue bawa bekel."

"Oh? Yaudah kalo gitu makan disini berdua, gapapa. Gue laper."

Dinar masih tersenyum, menatap Lingga menunggu responan yang membuat Lingga pun menghentikan kegiatan menulisnya, dan kembali menatap Dinar dengan datar. Dinar sendiri justru masih tersenyum dengan lebar. Ia tahu betul kalau memang Lingga sedang rindu padanya. Beberapa hari ia di skor, tanpa bisa melihat Lingga atau mengabarinya, laki-laki itu pasti rindu padanya. Dinar tahu itu. Terlihat jelas dari cara Lingga yang sejak tadi seolah ingin menatapnya, padahal biasanya dia selalu acuh.

"Ling, gue duluan deh, mau makan. Laper."

"Iya, gue juga, yaa..."

Rindy dan Reka yang sejak tadi seolah menjadi nyamuk diantara mereka berdua itu memilih pergi meninggalkan mereka berdua didalam kelas yang sepi karena jam istirahat sedang berlangsung. Lingga pun hanya bisa menghela napasnya melihat Dinar yang saat ini masih menatapnya.

"Balik sana. Gue mau ke ruangan guru."

Lingga bangkit dari duduknya, dan diikuti oleh Dinar. Tanpa peduli, tangannya sibuk merapihkan mejanya yang sedikit penuh dengan beberapa buku dan kertas tadi.

"Diem."

Lingga menyingkirkan tangan Dinar yang ingin ikut membantunya membereskan bukunya. Ia jengah dengan perlakuan gadis itu. Saat ini ia sedang sibuk, tetapi gadis itu justru menganggunya.

Dinar pun mendengus malas.

"Ck, yaudah, kalo lo nggak mau! Gue duluan!"

Dinar pun melangkah begitu saja keluar kelas, meninggalkan Lingga yang saat ini berhenti membereskan bukunya, dan memperhatikan Dinar yang perlahan menjauh. Lingga menatapnya diam. Ia tidak mengerti, bagaimana bisa ia dan Dinar bersatu dibalik perbedaan yang sangat berbanding jauh itu.

•••

Orang bilang, jodoh merupakan cerminan dari diri sendiri. Jika diri kita sendiri itu baik, pintar, disiplin dan pekerja keras, tentu apa yang akan dijodohkan dengan kita tidak akan jauh berbeda dari diri kita sendiri. Tapi, apa itu juga berlaku untuk hubungannya dengan Dinar? Lingga tahu, meski dirinya dan Dinar memang baru sebatas dua remaja yang menjalin cinta monyet belaka, tapi, yang namanya takdir tidak pernah ada yang tahu. Sama halnya dengan Lingga saat ini. Lingga pun masih tidak mengerti, bagaimana bisa awalnya ia dipersatukan dengan Dinar yang sangat jauh berbeda dengan dirinya itu.

Apa kehidupan Lingga dan Dinar mengambil paham Bhinneka Tunggal Ika?

Entahlah, Lingga juga tidak mengerti. Rasanya terasa bodoh dan konyol jika lagi dan lagi, kepalanya terselip pemikiran aneh seperti ini. Meski saat itu ia rasanya bahagia ketika Dinar mau menerimanya dan bisa menjadi seperti sekarang, tapi saat ini, ia mempertanyakan semuanya.

"RAZIA COY, RAZIA! DARURAT! DARURAT!"

Lingga menghentikan langkahnya saat telinganya mendengar kebisingan tidak jauh dari keberadaannya. Tangannya yang selama berjalan melewati lorong itu sibuk menuliskan sesuatu diselembaran kertas pun dihentikannya. Matanya mulai melirik, dan memperhatikan keberadaan gadis berambut hitam panjang yang terlihat berlarian ditengah ramainya lalu lalang siswa dan siswi yang ada.

Bersama ketiga laki-laki yang sudah Lingga tahu dengan sangat, gadis itu berteriak-teriak dengan mereka seperti orang bodoh. Lingga pun menghela napasnya, pelan. Ini semua memang kesalahannya. Kalau saja saat istirahat itu ia tidak membawa buku kepengurusan OSIS ke kelas tadi, semuanya tidak akan seperti ini. Gadis itu menjadi mengetahuinya kalau hari ini akan ada razia dadakan.

"Eh, si b*go! Gue kasih tau batu banget sih lo? Razia, g*blok! Ada razia!"

"Waspada! Sembunyikan barang-barang berharga kalian! Gelang, kaos kaki, parfum, anting, makeup, permen, sebat! Semuanya!"

Seluruh murid yang berada di sanapun dengan segera berhamburan pergi ke kelasnya masing-masing, dan mencari tempat untuk menyembunyikan barang bawaan yang tidak diperbolehkan dibawa di sekolah.

"GECE! GECE! BEL MASUK NANTI RAZI—"

KRING!!!!!

"HAHA, MAMPUS!"

Mereka bertiga yang sejak tadi berteriak-teriak memberitahu kepada yang lainnya itu langsung membulatkan matanya terkejut ketika mendengar bel masuk berbunyi. Mata mereka saling melirik satu sama lain, karena bel sudah berbunyi, tapi mereka belum juga pergi untuk membolos karena razia ini.

"CABUT! CABUT!!! CABUT ANJ*NG!"

"HEH, B*GO! LO MAU KEMANA?!"

Salah satu laki-laki berbadan setinggi tiang diantara mereka bertiga itu berteriak memanggil gadis yang berlari berlawanan arah dengan laki-laki itu. Gadis itu lantas menoleh, dan mengusir ketiga lelaki itu untuk pergi lebih dulu.

"DULUAN!" Sahutnya. "ADA YANG MAU GUE AMBIL DI KELAS!"

"APAAN LAGI? GUE TUNGGUIN!"

"NGGAK USAH! UDAH, DULUAN SANA!" Bentaknya sebal. Ditunggui justru menjadi ribet.

"YAUDAH, TERSERAH LO!"

Gadis itu mengacungkan sebelah jempolnya dan segera berlari dengan cepat menuju kelasnya tanpa menghiraukan siapapun yang berada disekitarnya, karena ia memang seperti itu. Tidak mengenal mereka semua. Tapi karena hari ini ada razia, dengan berbaik hati ia memberitahu pada siapapun yang ada di sekolah ini, bersama dengan tiga teman sebobroknya. Karena tugas geng Pendosa adalah saling setia kawan untuk memberitahukan informasi apapun yang menyangkut hal tentang OSIS dan MPK.

"Eh lo, umpetin barang lo sana, cepet. Ada razia sebentar lagi ke setiap kelas!" Ujarnya sambil berlalu. Tapi langkah gadis itu langsung terhenti, saat hidungnya mencium aroma parfum yang dikenakan oleh murid disebelahnya sangat tidak asing. Ia mengendus, dan menoleh cepat ketika menyadarinya.

"Razia, ya?"

Gadis itu menyengir lebar, karena ternyata dugaannya benar. "Eh, si sayang.... Dari kapan lo disini?"

Gadis itu langsung menghadap Lingga sambil menyengir bodoh karena tidak menyadari keberadaan sang pacarnya. Iya, gadis itu adalah Dinar. Sementara ketiga laki-laki tadi adalah The Dude, yang saat ini sudah pergi duluan membolos melewati tembok belakang sekolah. Saat ini Dinar hanya bisa menyengir bodoh sementara Lingga sendiri hanya menatap datar gadisnya itu. Ia tak habis pikir dengan perilaku Dinar yang tidak pernah berubah dari dulu. Masih sama. Tidak ada yang berubah. Masih saja badung, meski mereka sudah menginjak kelas dua belas.

"Ikut gue."

Lingga mencubit bagian lengan seragam milik Dinar, berniat menariknya untuk membawanya ke ruangan O/M karena masalah ini. Tapi Dinar yang melihat itu justru kesal setengah mati.

"Kebiasaan!" Sentaknya. "Lo kira gue kotoran, lo pegang kayak gitu?! Lepas! Gue nggak mau ikut ke ruangan kerja lo!"

Dinar menghentakkan tubuhnya menjauhi Lingga. Gadis itu kesal, karena Lingga selalu menariknya dengan cara seperti itu, seolah laki-laki itu enggan menyentuhnya. Dinar juga tidak ingin dibawa ke dalam ruangan sumpek yang penuh dengan rak, meja-meja dan kursi milik para anggota MPK dan OSIS itu yang selalu digunakan untuk rapat, dan pasti didalam sana ia akan disuruh menuliskan tanda tangan lebih dari sepuluh kali itu. Dinar tidak mau.

Melihat penolakan dari Dinar membuat Lingga jengah dengan sikapnya. Hanya karena masalah sepele seperti ini, Dinar mempermasalahkannya. "Terus mau lo apa? Di skors lagi?" Katanya. "Udah nggak usah berisik. Ini peraturan."

"Bodo amat!" Sentaknya lagi kesal. "Hidup lo aja sono penuhin peraturan! Nggak usah ngatur-ngatur hidup gu— ih!! Jauh-jauh lo! Bukan mukhrim!"

Tangan Lingga menarik kembali lengan seragam Dinar yang masih terus mengoceh, namun gadis itu kembali menghentakkan tubuhnya dan perlahan menjauh, menghindar. Gadis itu tidak terima jika diperlakukan seperti ini, terlebih lagi oleh Lingga, pacarnya sendiri.

Lingga lantas menatap Dinar dengan sangat jengah. Ia geram dengan sikap Dinar yang selalu susah diatur seperti ini. Tidak mengerti lagi, bagaimana pemikiran Dinar saat ini. Karena tidak memiliki waktu untuk meladeni sikap berlebihannya, Lingga melakukan apa yang gadis itu inginkan. Membiarkannya, selama gadis itu menurut dan tidak melebihi batas.

"Enggak—"

Teriakannya terhenti, ketika Dinar menyadari sesuatu yang membuat hatinya langsung berbunga-bunga. Jutaan kupu-kupu bahkan seolah baru saja terbang didalam dirinya karena bahagia. Matanya pun melirik Lingga, yang saat ini hanya menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan tatapan kebahagiaannya saat ini. Senyuman lantas menghiasi wajah Dinar. Kini ia hanya memilih diam, membiarkan Lingga membawanya ke ruangan sempit itu. Ia menyukai saat seperti ini. Ia benar-benar menyukainya, jika Lingga melakukan ini padanya.

Dengan wajah datar dan dinginnya, Lingga membawanya keruang O/M sambil menggenggam tangannya.

Senyuman terus bertengger dibibirnya.

Inilah alasan kenapa ia masih sangat ingin bertahan, dan masih tetap mencintai seorang Harlingga Dio Wardana yang seperti ini. Karena dibalik perdebatan, dan dinginnya sifat serta sikap Lingga, selalu terselip hal kecil seperti ini yang membuat Dinar bahagia. Memang benar kata salah satu penulis ternama, Boy Chandra. Jika sedang jatuh cinta, hal-hal kecil saja terasa sangat spesial untuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status