Sore itu, aku terpana berkali-kali saat mendengar potongan cerita tentang Puan Derana. Informasinya berasal dari berbagai sumber, Marco dan ketiga sahabatnya. Bagiku, semua yang berkaitan dengan tempat itu, sungguh mengejutkan. Karena itu, aku tak bisa banyak bicara selama kami berada di sana. Terlalu terkesima hingga kehilangan kata-kata. Aku juga berkali-kali mengingatkan diri sendiri agar tak lagi ceroboh membuat praduga ini-itu. Aku harus lebih mampu menahan komentar di masa depan.
“Jadi, apa pendapatmu, Masih yakin kalau Marco itu suami yang tukang selingkuh?” tanya Levi pada suatu kesempatan sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku merengut ke arahnya. “Itu semua salahmu. Ngomongnya ngaco.”
Bukannya merasa bersalah, Levi malah membela diri. “Makanya, lain kali jangan cepat ngambil kesimpulan ya, Nef. Masa iya kamu percaya gitu aja kalau Marco punya harem dan udah punya anak segala, sih?”
“Soal harem itu, nggak ter
“Kenapa mamamu bisa bikin Puan Derana, Co?” Joyce bertanya. Dia duduk di tengah, diapit olehku dan Cliff. “Hebat, lho. Bisa bikin tempat kayak begini.”Marco tak segera menjawab. Bahkan, aku bisa melihat keengganannya untuk bercerita. Namun, setelah berlalu beberapa detik, cowok itu akhirnya membuka mulut.“Mama pernah ketemu korban pemerkosaan pacarnya sendiri, sampai hamil dan depresi. Si korban ini tetap mempertahankan kehamilannya tapi sayangnya dia meninggal waktu melahirkan. Bayinya juga nggak selamat.” Wajah Marco tampak memucat. “Setelah itu, Mama kepikiran bikin Puan Derana.”Ada banyak pertanyaan yang terasa menusuki kepalaku. Untuk kesekian kalinya, Cliff mengulurkan martabak telur ke arahku. Penganan itu masih berada di dalam kotak karton dan menguarkan aroma yang menggoda indera penciuman. Sayang, kali ini aku kebal. Aku tak merasa tertarik sedikitpun untuk mencobanya. Aku cuma menggeleng sebagai bentu
Kunjungan ke Puan Derana itu betul-betul memengaruhiku. Kembali ke Rumah Borju, aku baru tertidur setelah lewat tengah malam. Membayangkan orang-orang yang terpaksa tinggal di tempat itu, setelah melewati banyak tragedi, membuatku merinding dan kehilangan kata-kata. Rasa ngeri membayangiku.Efek lainnya, meski aku belum mengenal ibu kandung Marco, tapi aku menaruh hormat pada perempuan itu. Karena memiliki hati yang dipenuhi kasih sayang sehebat itu. Aku juga bersyukur karena tidak harus melewati hidup mengerikan seperti orang-orang di Puan Derana itu. Karena mengimajinasikan seperti apa rasanya pun, aku tak mampu.“Ya Tuhan, Nef,” kata Joyce saat kami berjalan menuju mobil untuk pulang. Tangan kanan gadis itu memeluk lengan kiriku. “Aku ngeri dengar cerita Marco tadi. Hatiku rasanya ikut sakit ngeliat cewek-cewek yang jadi korban itu,” aku Joyce.“Sama! Aku nggak berani bayangin rasanya kayak apa. Apalagi cewek yang hamil tadi. Mas
“Iya, sih. Cuma, lama-lama aku merasa dia nggak suka sama aku, Nef. Padahal aku udah usaha nunjukin perhatian,” gumam Joyce dengan nada lirih.“Nggak juga. Kalau dia nggak suka, aku yakin Marco nggak bakalan mau capek-capek berbasa-basi,” balasku. Saat itu, aku terkenang lagi pertemuan pertamaku dengan Marco.“Mudah-mudahan aja kamu benar.” Joyce mendesah. “Karena aku hampir merasa ini semua sia-sia. Percuma nunjukin perhatian, Marco kayaknya nggak peduli. Dia baik, sih. Sopan. Tapi ya cuma sebatas itu doang.”Aku tidak benar-benar paham perasaan Joyce karena Marco tidak merespons seperti keinginannya. Maklum, aku belum pernah terlibat dalam untuk urusan asmara. Aku pernah lumayan dekat dengan lawan jenis sebanyak dua kali. Yang pertama saat masih SMA. Kali kedua ketika aku duduk di semester dua. Namun, semua tidak sampai tahap pacaran. Perasaan sukaku telanjur lenyap dalam waktu singkat.“Joyce, aku d
Jika berkaitan dengan Marco, hubunganku dengannya mungkin pantas diberi label “siapa sangka”. Itu karena ada terlalu banyak kejutan yang tak terduga. Diawali perseteruan yang membuatku masih mual jika mengingatnnya. Detik ini, kami malah bisa disebut berteman. Walau tidak benar-benar akrab.“Cliff bilang, kamu sengaja pindah jurusan supaya bisa total bantu Puan Derana?” Pertanyaan itu sudah lama bergema di kepalaku tapi baru kali ini ada kesempatan untuk bertanya langsung kepada Marco. Cowok itu tampak kaget. Tidak mencolok, sih. Hanya ditandai dengan pupil mata yang melebar.“Nggg ... begitulah kira-kira. Aku nggak nyangka kalau Cliff ngomong soal itu sama kamu.” Marco tersenyum tipis. “Nggak banyak yang tau detail soal ini. Cuma teman-teman dekat doang sama keluarga.”“Itu hal yang menurutku hebat, lho,” pujiku. Ya, pindah jurusan kuliah supaya bisa maksimal membantu orang lain, bukan alasan sepele, k
Sarannya kurespons dengan tawa kecil. “Nggak perlu. Tenang aja, kamu udah kumaafin. Dan aku sekarang tau alasanmu suka sama Thea. Oke, bisa diterima. Berhubung aku juga pernah kena tipu sama orang yang sama. Saat dia pengin, Thea bisa berubah jadi cewek manis yang menyenangkan.”Marco mengibaskan tangan kanannya. “Udah ya, ini terakhir kali kita bahas masalah itu. Aku beneran malu, tau. Setelah ini, nggak usah ngomongin soal Thea lagi.”Obrolan kami diinterupsi oleh Levi. “Nef, kamu beneran mau nginep di sini?” tanyanya. Cowok itu baru saja menuntaskan perbincangan di telepon dengan orangtuanya. Levi meletakkan gawainya di meja tinggi yang berada di sebelah kanan ranjang. “Nggak apa-apa? Padahal, udah ada Marco. Aku bakalan aman. Nggak ada bahaya sama sekali,” selorohnya.Aku menggeleng. Tawa kecilku pecah karena kata-kata Levi. “Aku tadi udah nelepon ke Rumah Borju. Minta izin sama ibu kos. Kan nggak ada sal
Aku benar-benar tertidur sambil duduk. Tadinya, Marco mempersilakanku terlelap di sofa bed. Namun, tentu saja kutolak usulnya mentah-mentah. Mustahil aku bisa leluasa membaringkan tubuh di ruang rawat inap itu dengan Marco ada di tempat yang sama dan takkan bisa tidur dengan nyaman. Karena aku perempuan, bukan berarti harus diutamakan.Esok paginya, aku pamit lebih dulu sekitar pukul tujuh pagi. Tepatnya setelah Yuma dan Cliff datang. Hari ini, aku tidak ada kelas. Namun, tadi malam Nike menelepon. Kakakku akan datang hari ini tanpa menyebut jam pastinya. Ini salah satu kebiasaan Nike yang kubenci. Dia terobsesi memberi kejutan pada semua orang. Padahal, aku tak menyukai hal semacam itu.“Yuma, aku udah tau rahasia gelapmu,” godaku setelah berpamitan dengan semua orang. Ekspresi bingung Yuma membuatku tertawa.“Rahasia apa, Nef? Jangan ditelan mentah-mentah semua omongan Levi.”“Kok langsung nuduh Levi, sih? Bisa aja
Setelah membuang waktu lumayan lama untuk mengenang masa lampau, kuputuskan untuk melanjutkan rencana untuk mematangkan rencana skripsi. Akhirnya, setelah memperimbangkan dengan serius, aku membuat keputusan dan mulai membuat coret-coretan daftar isi. Aku baru mencapai bab dua saat pintu kamarku diketuk.Bermalas-malasan, aku akhirnya bangkit dari ranjang. Mengira akan berhadapan dengan salah satu teman indekos atau pengurus Rumah Borju, aku ternganga karena justru berhadapan dengan kakak dan ... mamaku!“Mama kangen sama kamu, Nef.” Kalimat pembuka itu diikuti dengan pelukan kencang. Aku tidak memiliki waktu untuk bereaksi. Di belakang Mama, Nike tampak geli melihat responsku.“Ma, meluknya jangan terlalu kencang. Aku sesak napas,” kataku nyaris berbisik.“Maaf. Mama cuma kangen sama kamu, nggak bermaksud bikin sesak napas.” Mama melepaskan dekapannya. Perempuan itu sempat menangkup kedua pipiku, lalu mundur dua langka
Kekhawatiranku ternyata tidak berlebihan. Ada masalah yang membuat Mama sampai pulang ke Indonesia. Meski aku keliru tentang satu hal. Bahwa rumah tangga Mama dan Uncle Eddie baik-baik saja, tidak ada persoalan yang perlu dicemaskan. Yang membuat ibuku datang ke kampung halamannya adalah hal lain. Mama ingin membujukku agar pindah ke Perth setelah selesai kuliah!Mama tidak langsung membahas masalah itu setelah kami meninggalkan Rumah Borju. Melainkan saat kami bertiga makan malam. Jadi, Mama sengaja membiarkan acara makan siang dan belanja berlalu dengan tenang hingga aku mengira tidak ada sesuatu yang akan dibahas dengan serius.Ya, Mama dan Nike memang suka berbelanja. Karena di sini tidak banyak pilihan menarik, aku pun mengajak mereka ke butik tempat Lita bekerja. Koleksi butik itu memang eksklusif dan sudah pasti bagus. Temanku itu pun sibuk meladeni kakak dan ibuku memilih barang-barang yang mereka sukai sementara aku membaca novel di sebuah aplikasi daring.