Share

PERANG

Dara sengaja mengambi arah yang berbeda dengan Gio, menacari sendiri apa yang ingin mereka beli. Sebab jika tidak begitu, rasanya akan seperti suami istri yang mencari satu kado. Sedang mereka berniat membeli masing-masiing.

            Anak Anton laki-laki. Ini adalah ulang tahunnya yang ke-2. Sekitar lima belas menit berputar-putar di bagian pakaian, Dara masih juga bingung pakaian mana yang harus ia ambil. Walau sudah melihat fotonya, tetap saja ada keraguan. Takut ukurannya tidak pas. Akhirnya Dara putuskan mengambil yang ukurannya sedikit lebih besar. Kalau tidak muat sekarang, maka bisa dipakai nanti. Iapun membawa barang pilihannya menuju kasir. Terlihat Gio baru saja selesai dengan urusan kadonya, bahkan telah menjadi bingkisan cantik siap untuk diserahkan. Laki-laki memang praktis. Gio lalu mengisyaratkan kepada Dara bahwa ia akan menunggu di luar.

            Darapun selesai. Mereka memutusakan langsung pulang saja. Hari sudah malam. Perjalanan menuju halte bis yang Dara taksir memakan waktu sekitar sepuluh menit ini, pastilah bakal terasa sepuluh tahun jika mereka saling diam saja.

            “Bapak sudah pernah ke rumah Kak Anton yang disini?” Dara membuka percakapan. Gio yang ditanya bukannya menjawab malah tertawa. “Kenapa orang ini?” Pikir Dara bingung. “Kenapa, Pak?” Kali ini ia menyuarakan pikirannya.

            “Sudah. Kalau di luar kantor panggil Kakak saja. Janggal sekali aku dengan kalimatmu tadi. Seolah-olah aku lebih tua dari Anton. Memang kau tidak aneh memanggilku Bapak?” Jelas Gio yang sesekali melihat ke samping—ke wajah Dara.

            “Tentu saja aneh. Tapi mana mungkin aku begitu tanpa kau persilakan.”  Ucap Dara dalam hati, sedang mulutnya hanya mengeluarkan suara ‘He..he..’.

            “Aku pernah satu kali kesana. Lima bulan yang lalu. Ya, saat dia baru saja pindah. Bagaimana bisa kau tidak tahu?” Tanya Gio.

            Dara yang perasa tentu menganggap pertanyaan Gio sebagai ejekan dibanding kalimat kebingungan biasa. Ditambah juga banyaknya hal yang belum Gio jelaskan pada Dara. Dara jadi berinisiatif mengeluarkan pertanyaan serupa. Ia baru sadar, kesempatan ini entah bisa datang lagi atau tidak. Perasaan apapun yang akan ia dapatkan nanti setelah Gio menjawab, baik malu atau sedih, ia sudah siap.

            “Bagaimana bisa Kakak pergi tanpa menemuiku dulu?” Kali ini wajah Dara tak berpaling dari wajah Gio. Namun kakinya tetap melangkah.

            Gio yang mendengar itu terdiam sejenak. Tak seperti yang Dara pikirkan, ia malah tersenyum. “Tidak sempat, Dara. Lagipula aku menitip salam untukmu di hari aku berkunjung ke sekolah. Aku sudah mencarimu kemana-mana, tapi sepertinya kau ada kegiatan di luar sekolah.”

            “Kenapa tidak mengangkat teleponku? Atau membalas pesanku? Aku menghubungi Kakak setiap hari.” Dara terus memojokannya.

            “Saat aku pindah itu, aku memang sangat sibuk. Tapi aku tidak tahu kalau kau menghubungiku setiap hari. Aku juga langsung berganti nomor tak berapa lama setelah itu. Aku benar-benar tidak ada niat mengabaikanmu, Dara.” Ucapan Gio terdengar meyakinkan.

            Dara tersenyum menatap lurus ke depan, terlihat sulit menerima semua penjelasan Gio. Gio tidak bisa dihubungi sehari sebelum dia pindah, Gio tidak menemuinya di hari ia akan pindah, Gio tidak membalas satupun pesan dan panggilannya. Apa iya itu semua kebetulan? Apa bukan disengaja?

            “Aku tahu kau sulit memahaminya. Tapi apa yang kualami saat itu, membuatku harus seperti itu.” Tambah Gio lagi.

            “Benar? Bukan karena tugas English Club itu?” Dara masuk ke interogasi penutup.

            Gio menggeleng.“Kekanakan sekali.”

            “Bukan karena Kakak terganggu olehku?” Kepalang basah. Ia keluarkan saja apa yang perlu ia tanyakan.

            “Apa lagi ini? Kau mendengar pembicaraanku dengan Firman waktu itu ya? Tenang, ini tidak seperti yang kau pikirkan.” Suara Gio terkekeh.

            “Setidaknya jelaskan, Kak.” Suaranya sedikit meninggi. Ia lupa, kalau orang ini adalah atasannya yang besok hari harus ia panggil dengan sebuatan ‘Bapak’.

            “Kau anak baik-baik, Dar. Tidak ada image pengganggu. Jagan khawatir.” Lelah sudah Gio menjelaskan.

            Dara mendengus kesal. “Apa ini semua jawabannya? Sesederhana ini? Dia yang pandai mengelak atau aku yang bodoh?”  Kata Dara lagi, tentu  saja dalam hati. “Setelah semua urusan Kakak itu selesai, kenapa tidak berusaha mencariku?” Dara belum menyerah ruapanya.

            Gio tersenyum, lalu berkarta, “Kalau kucari, lalu ketemu. Pasti berat, karena harus selalu kubawa.”

            “Tolong disederhanakan, saya tidak mengerti.” Wajah Dara datar.

            “Sudahlah. Apa kau tidak lelah memikirkan ini terus?” Rupanya Gio sadar apa yang Dara pikirkan selama ini. “Yang bisa kukatakan sekarang, sudah kukatakan. Maaf tidak bisa menyampaikan lebih cepat.”

            Dara sadar betul makna perkataan Gio. Gio tidak berbohong tentang ucapannya, hanya saja memang belum semuanya ia katakan. Kalau ditanya lelah, Dara lelah sekali. Bertahun-tahun pertanyaan ini menguras pikiran Dara. Bukan berarti Dara tak pernah mencoba melupakan, sering. Namun Dara selalu kembali ke titik semula. Apa yang ia kejar? Tak banyak. Sekadar kepastian apa ia telah bersalah kepada Gio sehingga membuatnya seperti itu. Namun syukurlah, jawaban Gio tadi sepertinya dapat membantah kecurigaan Dara. Perihal Gio yang entah sengaja atau tidak mengabaikan pesan dan panggilan Dara hingga tak pernah juga mencarinya, biarlah. Tak menjadi soal bagi Dara. Satu itu saja yang Dara khawatirkan.

            “Jadi bersikaplah seperti biasa. Walau sekarang, kadang harus kau panggil Bapak, tapi aku masih Gio yang dulu. Tidak ada alasan kita harus berubah.” Jelas Gio lagi.

            Dara yang menatap wajah Gio dari dekat, menangkap  matanya yang sedang berkaca-kaca. “Apa yang kau pikirkan? Matamu itu hampir saja membuatku menangis.” Kata Dara, melalui matanya. Giopun paham.

***

            Ini malam yang menyegarkan. Angin malam yang kian dingin, masuk pelan-pelan menyapu kulitnya. Tubuhnya terasa beku, pun pikirannya. Serasa lupa berada dimana. Ingin ia ambil ia tangkap apa saja yang ada di hadapannya. Harusnya tidak masalah. Lagipula ini sudah terlalu lama. Bolehkah?

Tidak! Belum! Bendera perang saja belum dikibarkan.

            Gio menertawai pikirannya yang berada di pertengahan alam sadar dan bawah sadar. Bisa-bisanya ia ingin memperebutkan sesuatu yang sudah jelas menjadi miliknya. Ia bahkan tak punya lawan. Jika ada musuh tak terlihat. Tak terliahtlah kau selamanya. Jangan keluar. Kelauarpun kau akan mati, pikirnya lagi.

            Rupanya Gio makin jauh dari alam sadar. Pikirannya makin sombong saja. Tak henti-henti suara itu meracau dikepalanya. Keberanian demi keberanian lahir. Namun berakhir di hadangnya, agar tak berubah jadi benci. Tak sampai ia pada niatnya. Sebab perang ini, membenci lawan adalah terlarang. Sedang menyedekahinya berarti bodoh, tentu saja. Lebih parah lagi, melukai hati. Waktu sembuh: entah kapan.

            “Baiklah aku tidur saja. Barangkali esok perang dapat kumulai atau langsung saja kupaksa lawan menyerah.” Katanya, sambil merebahkan tubuh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status