Share

PERANG

Penulis: syeli ariessela
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-15 23:13:47

Dara sengaja mengambi arah yang berbeda dengan Gio, menacari sendiri apa yang ingin mereka beli. Sebab jika tidak begitu, rasanya akan seperti suami istri yang mencari satu kado. Sedang mereka berniat membeli masing-masiing.

            Anak Anton laki-laki. Ini adalah ulang tahunnya yang ke-2. Sekitar lima belas menit berputar-putar di bagian pakaian, Dara masih juga bingung pakaian mana yang harus ia ambil. Walau sudah melihat fotonya, tetap saja ada keraguan. Takut ukurannya tidak pas. Akhirnya Dara putuskan mengambil yang ukurannya sedikit lebih besar. Kalau tidak muat sekarang, maka bisa dipakai nanti. Iapun membawa barang pilihannya menuju kasir. Terlihat Gio baru saja selesai dengan urusan kadonya, bahkan telah menjadi bingkisan cantik siap untuk diserahkan. Laki-laki memang praktis. Gio lalu mengisyaratkan kepada Dara bahwa ia akan menunggu di luar.

            Darapun selesai. Mereka memutusakan langsung pulang saja. Hari sudah malam. Perjalanan menuju halte bis yang Dara taksir memakan waktu sekitar sepuluh menit ini, pastilah bakal terasa sepuluh tahun jika mereka saling diam saja.

            “Bapak sudah pernah ke rumah Kak Anton yang disini?” Dara membuka percakapan. Gio yang ditanya bukannya menjawab malah tertawa. “Kenapa orang ini?” Pikir Dara bingung. “Kenapa, Pak?” Kali ini ia menyuarakan pikirannya.

            “Sudah. Kalau di luar kantor panggil Kakak saja. Janggal sekali aku dengan kalimatmu tadi. Seolah-olah aku lebih tua dari Anton. Memang kau tidak aneh memanggilku Bapak?” Jelas Gio yang sesekali melihat ke samping—ke wajah Dara.

            “Tentu saja aneh. Tapi mana mungkin aku begitu tanpa kau persilakan.”  Ucap Dara dalam hati, sedang mulutnya hanya mengeluarkan suara ‘He..he..’.

            “Aku pernah satu kali kesana. Lima bulan yang lalu. Ya, saat dia baru saja pindah. Bagaimana bisa kau tidak tahu?” Tanya Gio.

            Dara yang perasa tentu menganggap pertanyaan Gio sebagai ejekan dibanding kalimat kebingungan biasa. Ditambah juga banyaknya hal yang belum Gio jelaskan pada Dara. Dara jadi berinisiatif mengeluarkan pertanyaan serupa. Ia baru sadar, kesempatan ini entah bisa datang lagi atau tidak. Perasaan apapun yang akan ia dapatkan nanti setelah Gio menjawab, baik malu atau sedih, ia sudah siap.

            “Bagaimana bisa Kakak pergi tanpa menemuiku dulu?” Kali ini wajah Dara tak berpaling dari wajah Gio. Namun kakinya tetap melangkah.

            Gio yang mendengar itu terdiam sejenak. Tak seperti yang Dara pikirkan, ia malah tersenyum. “Tidak sempat, Dara. Lagipula aku menitip salam untukmu di hari aku berkunjung ke sekolah. Aku sudah mencarimu kemana-mana, tapi sepertinya kau ada kegiatan di luar sekolah.”

            “Kenapa tidak mengangkat teleponku? Atau membalas pesanku? Aku menghubungi Kakak setiap hari.” Dara terus memojokannya.

            “Saat aku pindah itu, aku memang sangat sibuk. Tapi aku tidak tahu kalau kau menghubungiku setiap hari. Aku juga langsung berganti nomor tak berapa lama setelah itu. Aku benar-benar tidak ada niat mengabaikanmu, Dara.” Ucapan Gio terdengar meyakinkan.

            Dara tersenyum menatap lurus ke depan, terlihat sulit menerima semua penjelasan Gio. Gio tidak bisa dihubungi sehari sebelum dia pindah, Gio tidak menemuinya di hari ia akan pindah, Gio tidak membalas satupun pesan dan panggilannya. Apa iya itu semua kebetulan? Apa bukan disengaja?

            “Aku tahu kau sulit memahaminya. Tapi apa yang kualami saat itu, membuatku harus seperti itu.” Tambah Gio lagi.

            “Benar? Bukan karena tugas English Club itu?” Dara masuk ke interogasi penutup.

            Gio menggeleng.“Kekanakan sekali.”

            “Bukan karena Kakak terganggu olehku?” Kepalang basah. Ia keluarkan saja apa yang perlu ia tanyakan.

            “Apa lagi ini? Kau mendengar pembicaraanku dengan Firman waktu itu ya? Tenang, ini tidak seperti yang kau pikirkan.” Suara Gio terkekeh.

            “Setidaknya jelaskan, Kak.” Suaranya sedikit meninggi. Ia lupa, kalau orang ini adalah atasannya yang besok hari harus ia panggil dengan sebuatan ‘Bapak’.

            “Kau anak baik-baik, Dar. Tidak ada image pengganggu. Jagan khawatir.” Lelah sudah Gio menjelaskan.

            Dara mendengus kesal. “Apa ini semua jawabannya? Sesederhana ini? Dia yang pandai mengelak atau aku yang bodoh?”  Kata Dara lagi, tentu  saja dalam hati. “Setelah semua urusan Kakak itu selesai, kenapa tidak berusaha mencariku?” Dara belum menyerah ruapanya.

            Gio tersenyum, lalu berkarta, “Kalau kucari, lalu ketemu. Pasti berat, karena harus selalu kubawa.”

            “Tolong disederhanakan, saya tidak mengerti.” Wajah Dara datar.

            “Sudahlah. Apa kau tidak lelah memikirkan ini terus?” Rupanya Gio sadar apa yang Dara pikirkan selama ini. “Yang bisa kukatakan sekarang, sudah kukatakan. Maaf tidak bisa menyampaikan lebih cepat.”

            Dara sadar betul makna perkataan Gio. Gio tidak berbohong tentang ucapannya, hanya saja memang belum semuanya ia katakan. Kalau ditanya lelah, Dara lelah sekali. Bertahun-tahun pertanyaan ini menguras pikiran Dara. Bukan berarti Dara tak pernah mencoba melupakan, sering. Namun Dara selalu kembali ke titik semula. Apa yang ia kejar? Tak banyak. Sekadar kepastian apa ia telah bersalah kepada Gio sehingga membuatnya seperti itu. Namun syukurlah, jawaban Gio tadi sepertinya dapat membantah kecurigaan Dara. Perihal Gio yang entah sengaja atau tidak mengabaikan pesan dan panggilan Dara hingga tak pernah juga mencarinya, biarlah. Tak menjadi soal bagi Dara. Satu itu saja yang Dara khawatirkan.

            “Jadi bersikaplah seperti biasa. Walau sekarang, kadang harus kau panggil Bapak, tapi aku masih Gio yang dulu. Tidak ada alasan kita harus berubah.” Jelas Gio lagi.

            Dara yang menatap wajah Gio dari dekat, menangkap  matanya yang sedang berkaca-kaca. “Apa yang kau pikirkan? Matamu itu hampir saja membuatku menangis.” Kata Dara, melalui matanya. Giopun paham.

***

            Ini malam yang menyegarkan. Angin malam yang kian dingin, masuk pelan-pelan menyapu kulitnya. Tubuhnya terasa beku, pun pikirannya. Serasa lupa berada dimana. Ingin ia ambil ia tangkap apa saja yang ada di hadapannya. Harusnya tidak masalah. Lagipula ini sudah terlalu lama. Bolehkah?

Tidak! Belum! Bendera perang saja belum dikibarkan.

            Gio menertawai pikirannya yang berada di pertengahan alam sadar dan bawah sadar. Bisa-bisanya ia ingin memperebutkan sesuatu yang sudah jelas menjadi miliknya. Ia bahkan tak punya lawan. Jika ada musuh tak terlihat. Tak terliahtlah kau selamanya. Jangan keluar. Kelauarpun kau akan mati, pikirnya lagi.

            Rupanya Gio makin jauh dari alam sadar. Pikirannya makin sombong saja. Tak henti-henti suara itu meracau dikepalanya. Keberanian demi keberanian lahir. Namun berakhir di hadangnya, agar tak berubah jadi benci. Tak sampai ia pada niatnya. Sebab perang ini, membenci lawan adalah terlarang. Sedang menyedekahinya berarti bodoh, tentu saja. Lebih parah lagi, melukai hati. Waktu sembuh: entah kapan.

            “Baiklah aku tidur saja. Barangkali esok perang dapat kumulai atau langsung saja kupaksa lawan menyerah.” Katanya, sambil merebahkan tubuh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • YANG TAK KASAT MATA   MAAF, AKU LUPA

    Leo mencoba membuka matanya dengan susah payah. Ia melihat sekeliling. “Kau tidak menutup jendela tadi malam? Tapi rasanya sudah kututup,” ucapnya bingung. “Aku yang membukanya,” ucap Dara sambil terus memandangi Leo yang sebagian tubuhnya dikenai hangatnya sinar matahari. “Panas, Dara,” Leo tidak mengerti pikiran Dara. “Itu sehat. Matahari pagi. Hangat, kan? ” balas Dara sambil meraih handphonenya. Dan... Ckrekk... Leo geleng-g

  • YANG TAK KASAT MATA   BOROS

    Lelaki tinggi berhoodie putih itu berjalan mendekati Dara. Menarik kursi dan segera duduk. Ia tersenyum lebar menampakkan sumringahnya. “Kenapa disini?” Ia membuka percakapan dengan melihat sekeliling, bagai baru pertama duduk disana. “Kau bawa barangnya?” Alih-alih menjawab, Dara malah balik bertanya. “Bawa.” Leo mengangguk. “Memang mau kau tukar dengan apa? Awas saja kalau tidak sepadan,” ancam Leo. Dara telah menggenggam barang yang di bawanya, begitu pula dengan Leo. Namun keduanya sama-sama enggan meletakkannya di atas meja. “Untuk apa disembunyikan?” Dara

  • YANG TAK KASAT MATA   KALAU TAK DENGANMU

    Untung saja belum jauh. Leo sadar handphonenya tertinggal di dalam cafe, yang mana Dara masih ada disitu. “Berarti Dara juga tidak sadar,” pikir Leo. Tinggal beberapa langkah jarak Leo ke meja Dara. Leo penasaran, apa yang membuat Dara termenung seperti itu. Benda apa yang sedang ditatap Dara? Langkah Leo semakin dekat. Ia tak lagi peduli dengan handphonenya di atas meja. Dara tersenyum lalu berkata, “Teruntuk kau yang duduk tengadah. Bergembiralah, walau itu membuatku patah.” DEG! Leo mematung. Ia berpikir, memastikan bahwa kalimat itu adalah miliknya. “Lalu, kenapa bisa Dara memiliki benda itu?” Rutuk Leo dengan gigi tertutup. Leo duduk di depan Dar

  • YANG TAK KASAT MATA   DI RUANG SEBELAH

    “Waowh..!” Pekik Leo melihat orang yang berdiri di pintu kamarnya. “Kakak bilang tidak akan pulang malam ini?” Wajah Leo terlihat bingung. “Mandilah. Aku sudah buatkan sarapan.” Balas Gio tanpa menjawab pertanyaan Leo. Leo yang merasa suasana itu agak aneh segera menuruti perintah kakaknya. Leo tahu ada yang ingin disampaikan kakaknya itu. Ia takut kalau-kalau dirinya ada berbuat salah. Maka tak lebih dari sepuluh menit, Leo sudah siap di meja makan. “Makanlah dulu.” Gio menyodorkan sepiring nasi goreng pada Leo. “Langsung saja. Kakak ingin bicara apa?” &

  • YANG TAK KASAT MATA   BAGAIMANA ADIKKU?

    “Melamar? Omong kosong dari mana itu?” Kening Dara berkerut mengingat ucapan Anton tempo hari. Namun tiba-tiba ia menyadari sesautu, ucapan Anton sangat perlu dipertanyakan. Sedang Gio tak pernah menunjukkan tanda apapun. Atau jangan-jangan selama ini Gio memang telah banyak membahas Dara bersama Anton? “Mungkin aku terlalu percaya diri.” Dara mengakhiri pikirannya yang mulai melanglang buana. *** Langkah Dara seketika terhenti begitu membuka pintu ruang divisi mereka. Di ujung sana Gio jug

  • YANG TAK KASAT MATA   DIAPUN TAK MEMILIKINYA LAGI

    Masa kini... Leo memperhatikan sebuah foto yang disodorkan Dara. Hanya melihatnya sebentar, kepalanya telah mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Dara tentang keindahan tempat itu. “Oke. Jadi akhir pekan ini kita akan camping disitu,” sorak Dara. “Kau harus ikut, ya!” Tambah Dara lagi sambil berlalu. Leo hanya diam. Sebenarnya ia ingin, namun ia merasa akhir-akhir ini terlalu banyak bergabung pada lingkaran kakaknya. Memang tidak ada yang melarang ataupun keberatan. Namun, tetap saja membuatnya bimbang.*** Bukan tempat yang terlalu terkenal di kota ini, tapi keindahannya tak kalah memanjakan mata. Sebab tak banyak dikenal orang, maka menjadi keuntungan tersendiri. Mereka jadi bisa menikmati pemandangan dengan lebih

  • YANG TAK KASAT MATA   KAU LAGI

    Dara telah menetapkan pilihannya untuk bekerja pada penerbit ini. Apa pula yang harus di tunggu. Ia suka serta modalnya cukup. Ya, kemampuan akan bahasa asingnya memang sangat mumpuni. Sudah lebih dari cukup untuk melengkapi syarat sebagai penerjemah di penerbit itu. Dan hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah seminggu yang lalu ia melakukan wawancara. “Dara.” Suara seorang lelaki mendekati meja Dara. Dara yang mengira itu adalah suara atasan atau seniornya segera bangkit dari kursi. “Kita bertemu kembali.” Kata suara itu lagi. Dara terdiam sejenak sebelum memastikan wajah dari pemilik suara itu. Karena seingatnya, ia tak memiliki kenalan di tempat ini. Dara sedikit melotot menatap orang itu. Tak butuh waktu lama bagi Dara untuk mengingat wajahnya. “Kamu?” Uca

  • YANG TAK KASAT MATA   PERTEMUAN PERTAMA

    Cuaca yang amat terik memaksa Dara duduk sejenak untuk melemaskan otot kakinya yang mati rasa. Diteguknya minuman dingin yang baru ia beli hingga tersisa setengah. Tahun kedua di kuliahnya ini sangat sibuk. Setiap hari tak pernah luput dari tugas yang silih berganti. Belum lagi tugas ini bukan tugas yang bisa dikerjakan dengan tenang di kamar sendiri. Seperti tugas kali ini, menyebar kuesioner yang tentu saja diikuti dengan pengolahan datanya. Tersisa satu lembar kuesioner lagi. Namun kaki Dara terasa semakin berat. Dengan susah payah ia menegakkan tubuhnya demi dilihatnya hari yang semakin mendung. Ia tak ingin kehujanan seelum sampai di rumah. Seseorang yang duduk sendiri di toserba tempat ia membeli minum telah menjadi targetnya. Darapun berjalan mendekatinya.&

  • YANG TAK KASAT MATA   DUA LELAKI YANG CEMBURU

    Gio memulai tahun pertamanya di bangku kuliah, yang mana berarti Leo telah duduk di bangku kelas tiga SMA. Dengan beasiswa yang ia dapatkan, maka ia bisa tetap membantu ayahnya menjaga toko buku. Ia tidak harus mencari pekerjaan lain seperti yang ia rencanakan jika tidak mendapat beasiswa. Nilai-nilainya yang tinggi di sekolah juga sangat membantu. Menjadi anak kuliahan tentu membawa banyak perubahan untuk Gio, terlebih waktu yang dimilikinya bersama keluarga. Jika saat SMA saja Gio sudah cukup sibuk, maka saat ini Gio sangat sibuk. Ayahnya mungkin tak terlalu merasakan perbedaannya, karena sejak masih SMA pun dalam kesehariannya ia tak banyak menghabiskan waktu dengan Gio. Pagi-pagi Gio sudah berangkat ke sekolah bersama Leo dan saat pergantian shift menjaga toko, barulah ayahnya bisa bertemu Gio. Kemudian saat malam har

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status