Share

Hari Ketiga

"Kenapa gak bilang dari awal kalau kamu bawa teman, hah?!" seru Henri tepat diwajah Ian.

Tubuh Ian bergetar hebat karna bentakan Henri. Melihat temannya ketakutan, Dion langsung membela Ian, walaupun sebenarnya dirinya juga takut tetapi demi teman, Dion akan melakukan apapun.

"Mas, mohon maaf jika memang teman saya berbohong. Mas kan bisa beritahu baik baik, tidak perlu sampai membentak," ujar Dion sopan sembari mengelus punggung Ian.

Tangan Henri terkepal kuat, pertanda kalau dirinya sedang menahan amarah, kepala Henri juga sedikit bergetar.

"Lurus aja kesana, nanti ketemu jalan, bisa pulang sendiri kan?" ujar Henri menghela nafas kasar sembari menunjuk kearah kanan.

Setelah menunjukkan arah, Henri pergi dari sana, meninggalkan Dion, Ian serta Delna sendirian. Semuanya langsung menghela nafas lega, entah kenapa saat ada Henri mereka merasa tertekan.

"Ayo kembali sebelum hari makin gelap." Ajak Ian membopong Dion, Delna mengikuti dibelakang.

***

Pagi menyambut, membangunkan setiap makhluk hidup yang tinggal di bumi.

Ian bangun lebih awal dari biasanya, padahal mereka bertiga baru saja mengalami hari berat kemarin.

"Ian? Aku ijin gak berangkat PKL, boleh?" tanya Delna masuk ke kamar Dion dan Ian dengan wajah malas.

Ian menggeleng, "kamu gak usah ijin, Delna."

Delna menggembungkan pipinya sebal, padahal hari ini ia merasa lelah. Sejak kemarin Delna terus berlarian di hutan, luka lecet ia dapatkan akibat akar pohon.

"Berangkat dulu bentar, kalau sudah mendingan baru pulang," ujar Ian seakan mengerti isi pikiran Delna.

Remaja dengan rambut hitam serta wajah datar itu berjalan melewati Delna begitu saja, meninggalkan Delna serta Dion yang saat ini tengah tertidur lelap.

"Bagaimana dengan Dion?" ujar Delna sedikit berteriak karna Ian tak membangunkan Dion.

"Biarkan saja! Dia terluka lebih parah dari kamu," seru balik Ian, "cepetan, Delna!"

Delna berdecih kesal, merasa Ian berlaku tak adil. Namun Delna masih ingin mendapatkan nilai tinggi, jadi ia memutuskan untuk tetap berangkat walaupun seluruh tubuhnya pegal.

***

"Ini obat racikannya, ibu, diminum tiga kali sehari, terimakasih," jelas Riski sembari menyerahkan tiga bungkus obat racikan kepada pembeli.

Ian hanya memperhatikan sembari tersenyum, ketika ibu ibu pergi, wajah datar kembali hinggap pada Ian. Kak Riski tersenyum sesaat lalu berjalan kearah meja khusus asisten apoteker.

Ian mengikuti, mengambil kursi plastik yang terletak disudut meja lalu duduk disamping Delna. Perempuan itu sibuk melihat aktivitas yang dilakukan Kak Riski.

"Mau bertanya sesuatu?" tanya Riski akhirnya karna sedikit risih dengan tatapan Delna dan Ian.

"Banyak, kak, tapi bingung gimana tanyanya." Delna tertawa canggung sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Ian mengangguk tanda setuju atas pendapat Delna, jujur saja sedari tadi dirinya bingung harus melakukan apa selain menatap obat dan melayani pembeli.

"Haha .. tanyakan saja, gak usah formal banget," ujar Riski tersenyum tipis, pandangannya masih menatap buku pembelian.

"Mefinal itu obat buat apa ya, kak? Delna baru liat," tanya Ian ketika matanya menangkap obat berbalut plastik berwarna pink dengan tulisan 'Mefinal' didepan.

"Serius baru liat?" Riski menghentikan aktivitas menulisnya dan menatap Ian sedikit heran.

Ian mengangguk, "iya kak, baru kali ini liat."

Riski mengangguk pelan dan kembali melanjutkan aktivitas menulisnya.

"Mefinal itu obat nyeri, kaya Asam Mefenamat gitu, Ian," terang Riski menutup buku setebal dua ratus halaman itu lalu meletakkannya diatas rak.

Ian hanya ber-oh ria, kembali memandang obat obat yang ada dibelakang kasir.

"Jadi asisten apoteker berat gak kak?" tanya Delna semakin mendekatkan kursinya pada meja untuk mendengar jawaban dari Riski. 

Delna penasaran, kenapa orang tua nya begitu menginginkan Delna untuk menjadi asisten apoteker.

"Hmm .. dibilang berat juga gak sih," ujar Riski membuat pose berfikir, raut wajahnya terlihat menerawang masa lalu.

"Tapi pekerjaan asisten apoteker juga gak bisa dibilang gampang." Riski ingat ketika dulu harus menghafal semua obat yang ada dibuku, dirinya sampai stress karna kesulitan menghafal obat.

"Intinya susah susah gampang .. Dek?" ujar Riski menggantung kalimatnya karna tak tau nama dari anak didepannya.

"Panggil aja Delna, kak?" balas Delna menirukan nada yang sama dengan Riski.

Mendengar balasan Delna, Riski tertawa pelan, pemuda itu anggap Delna sedang mengejeknya.

"Riski, Del." Keduanya tertawa pelan melihat tingkah masing masing, sepertinya mereka akan cepat akrab batin Ian yang sedari tadi hanya diam.

"Oh .. dan namamu Ian kan? Maaf ingatan Kak Riski emang buruk haha," ujar Riski menyisir rambutnya sebentar dengan jari.

Ian mengangguk singkat lalu ijin untuk pergi kebelakang.

Aku seperti melihat sesuatu, batin Ian berjalan cepat menuju gudang penyimpanan cadangan obat.

"Oh iya, kak Riski sudah berapa lama jadi asisten disini?" tanya Delna tak menghiraukan Ian.

Riski terlihat menimang, ia sudah agak lupa.

"Sekitar lima tahun? Entahlah, kakak lupa," jawab Riski tersenyum getir, tetapi jawaban itu membuatnya mendapat tatapan kaget dari Delna.

"L-Lima? Beneran, kak?" ujar Delna tak percaya dan dibalas anggukan dari Riski.

"Lebih ding dek Delna."

Pintu apotek terbuka, menampilkan sesosok wanita dengan kain menutupi seluruh tubuh kecuali muka, telapak tangan dan telapak kaki. Senyum jahil terukir diwajahnya yang manis.

"Hai, kak Nis!" seru Delna riang mendapati Nissa sudah berangkat.

Riski memutar mata malas, Nissa selalu saja membeberkan rahasianya.

"Akkhh!"

Saat Nissa akan meletakkan tas ditempat penyimpanan, suara teriakkan Ian terdengar, semoga saja Bu Salma tak mendengar batin Riski dan Nissa harap harap cemas.

Delna langsung berlari kearah belakang, tepatnya kearah toilet.

"Ian?!" panggil Delna namun tak ada jawaban.

"Del!" seru Nissa memanggil Delna, dia salah tempat rupanya.

Suasana riuh terjadi di gudang obat, disana Ian terkapar tak sadarkan diri, dipergelangan tangan serta leher terdapat bekas cakaran merah.

"Kamu kenapa Ian?" ujar Delna langsung menghampiri tubuh Ian.

Perempuan itu menggoyangkan tubuh temannya khawatir, baru beberapa hari mereka PKL, masalah sudah menimpa mereka.

Tak buang waktu, Riski segera membawa Ian ke sofa diruang tamu, diikuti Delna serta Nissa yang khawatir pada keadaan Ian.

Riski langsung meletakkan Ian di sofa. Nissa segera mengambil air putih serta obat agar bisa langsung diminum ketika Ian sadar nanti. Delna ikut membantu dengan cara mengipasi wajah Ian dengan tangan, berharap remaja itu segera bangun.

"Sshh .. "

Beberapa menit setelahnya, Ian membuka mata, tangan kanan Ian gunakan untuk memegangi kepalanya yang terasa sakit.

"Jangan bangun dulu, ini minum dikit," ujar Riski ketika melihat Ian akan bangun dari posisi tidurnya.

"Kamu kenapa Ian? Minum dulu obatnya, pasti pusing kan?" tanya Nissa bertubi-tubi sembari menyerahkan pil berbentuk oval dan berwarna orange.

Ian menggeleng lalu mengangguk sebagai jawaban, dirinya belum siap menceritakan apa yang ia lihat di gudang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status