"Kenapa gak bilang dari awal kalau kamu bawa teman, hah?!" seru Henri tepat diwajah Ian.
Tubuh Ian bergetar hebat karna bentakan Henri. Melihat temannya ketakutan, Dion langsung membela Ian, walaupun sebenarnya dirinya juga takut tetapi demi teman, Dion akan melakukan apapun.
"Mas, mohon maaf jika memang teman saya berbohong. Mas kan bisa beritahu baik baik, tidak perlu sampai membentak," ujar Dion sopan sembari mengelus punggung Ian.
Tangan Henri terkepal kuat, pertanda kalau dirinya sedang menahan amarah, kepala Henri juga sedikit bergetar.
"Lurus aja kesana, nanti ketemu jalan, bisa pulang sendiri kan?" ujar Henri menghela nafas kasar sembari menunjuk kearah kanan.
Setelah menunjukkan arah, Henri pergi dari sana, meninggalkan Dion, Ian serta Delna sendirian. Semuanya langsung menghela nafas lega, entah kenapa saat ada Henri mereka merasa tertekan.
"Ayo kembali sebelum hari makin gelap." Ajak Ian membopong Dion, Delna mengikuti dibelakang.
***
Pagi menyambut, membangunkan setiap makhluk hidup yang tinggal di bumi.
Ian bangun lebih awal dari biasanya, padahal mereka bertiga baru saja mengalami hari berat kemarin.
"Ian? Aku ijin gak berangkat PKL, boleh?" tanya Delna masuk ke kamar Dion dan Ian dengan wajah malas.
Ian menggeleng, "kamu gak usah ijin, Delna."
Delna menggembungkan pipinya sebal, padahal hari ini ia merasa lelah. Sejak kemarin Delna terus berlarian di hutan, luka lecet ia dapatkan akibat akar pohon.
"Berangkat dulu bentar, kalau sudah mendingan baru pulang," ujar Ian seakan mengerti isi pikiran Delna.
Remaja dengan rambut hitam serta wajah datar itu berjalan melewati Delna begitu saja, meninggalkan Delna serta Dion yang saat ini tengah tertidur lelap.
"Bagaimana dengan Dion?" ujar Delna sedikit berteriak karna Ian tak membangunkan Dion.
"Biarkan saja! Dia terluka lebih parah dari kamu," seru balik Ian, "cepetan, Delna!"
Delna berdecih kesal, merasa Ian berlaku tak adil. Namun Delna masih ingin mendapatkan nilai tinggi, jadi ia memutuskan untuk tetap berangkat walaupun seluruh tubuhnya pegal.
***
"Ini obat racikannya, ibu, diminum tiga kali sehari, terimakasih," jelas Riski sembari menyerahkan tiga bungkus obat racikan kepada pembeli.
Ian hanya memperhatikan sembari tersenyum, ketika ibu ibu pergi, wajah datar kembali hinggap pada Ian. Kak Riski tersenyum sesaat lalu berjalan kearah meja khusus asisten apoteker.
Ian mengikuti, mengambil kursi plastik yang terletak disudut meja lalu duduk disamping Delna. Perempuan itu sibuk melihat aktivitas yang dilakukan Kak Riski.
"Mau bertanya sesuatu?" tanya Riski akhirnya karna sedikit risih dengan tatapan Delna dan Ian.
"Banyak, kak, tapi bingung gimana tanyanya." Delna tertawa canggung sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Ian mengangguk tanda setuju atas pendapat Delna, jujur saja sedari tadi dirinya bingung harus melakukan apa selain menatap obat dan melayani pembeli.
"Haha .. tanyakan saja, gak usah formal banget," ujar Riski tersenyum tipis, pandangannya masih menatap buku pembelian.
"Mefinal itu obat buat apa ya, kak? Delna baru liat," tanya Ian ketika matanya menangkap obat berbalut plastik berwarna pink dengan tulisan 'Mefinal' didepan.
"Serius baru liat?" Riski menghentikan aktivitas menulisnya dan menatap Ian sedikit heran.
Ian mengangguk, "iya kak, baru kali ini liat."
Riski mengangguk pelan dan kembali melanjutkan aktivitas menulisnya.
"Mefinal itu obat nyeri, kaya Asam Mefenamat gitu, Ian," terang Riski menutup buku setebal dua ratus halaman itu lalu meletakkannya diatas rak.
Ian hanya ber-oh ria, kembali memandang obat obat yang ada dibelakang kasir.
"Jadi asisten apoteker berat gak kak?" tanya Delna semakin mendekatkan kursinya pada meja untuk mendengar jawaban dari Riski.
Delna penasaran, kenapa orang tua nya begitu menginginkan Delna untuk menjadi asisten apoteker.
"Hmm .. dibilang berat juga gak sih," ujar Riski membuat pose berfikir, raut wajahnya terlihat menerawang masa lalu.
"Tapi pekerjaan asisten apoteker juga gak bisa dibilang gampang." Riski ingat ketika dulu harus menghafal semua obat yang ada dibuku, dirinya sampai stress karna kesulitan menghafal obat.
"Intinya susah susah gampang .. Dek?" ujar Riski menggantung kalimatnya karna tak tau nama dari anak didepannya.
"Panggil aja Delna, kak?" balas Delna menirukan nada yang sama dengan Riski.
Mendengar balasan Delna, Riski tertawa pelan, pemuda itu anggap Delna sedang mengejeknya.
"Riski, Del." Keduanya tertawa pelan melihat tingkah masing masing, sepertinya mereka akan cepat akrab batin Ian yang sedari tadi hanya diam.
"Oh .. dan namamu Ian kan? Maaf ingatan Kak Riski emang buruk haha," ujar Riski menyisir rambutnya sebentar dengan jari.
Ian mengangguk singkat lalu ijin untuk pergi kebelakang.
Aku seperti melihat sesuatu, batin Ian berjalan cepat menuju gudang penyimpanan cadangan obat.
"Oh iya, kak Riski sudah berapa lama jadi asisten disini?" tanya Delna tak menghiraukan Ian.
Riski terlihat menimang, ia sudah agak lupa.
"Sekitar lima tahun? Entahlah, kakak lupa," jawab Riski tersenyum getir, tetapi jawaban itu membuatnya mendapat tatapan kaget dari Delna.
"L-Lima? Beneran, kak?" ujar Delna tak percaya dan dibalas anggukan dari Riski.
"Lebih ding dek Delna."
Pintu apotek terbuka, menampilkan sesosok wanita dengan kain menutupi seluruh tubuh kecuali muka, telapak tangan dan telapak kaki. Senyum jahil terukir diwajahnya yang manis.
"Hai, kak Nis!" seru Delna riang mendapati Nissa sudah berangkat.
Riski memutar mata malas, Nissa selalu saja membeberkan rahasianya.
"Akkhh!"
Saat Nissa akan meletakkan tas ditempat penyimpanan, suara teriakkan Ian terdengar, semoga saja Bu Salma tak mendengar batin Riski dan Nissa harap harap cemas.
Delna langsung berlari kearah belakang, tepatnya kearah toilet.
"Ian?!" panggil Delna namun tak ada jawaban.
"Del!" seru Nissa memanggil Delna, dia salah tempat rupanya.
Suasana riuh terjadi di gudang obat, disana Ian terkapar tak sadarkan diri, dipergelangan tangan serta leher terdapat bekas cakaran merah.
"Kamu kenapa Ian?" ujar Delna langsung menghampiri tubuh Ian.
Perempuan itu menggoyangkan tubuh temannya khawatir, baru beberapa hari mereka PKL, masalah sudah menimpa mereka.
Tak buang waktu, Riski segera membawa Ian ke sofa diruang tamu, diikuti Delna serta Nissa yang khawatir pada keadaan Ian.
Riski langsung meletakkan Ian di sofa. Nissa segera mengambil air putih serta obat agar bisa langsung diminum ketika Ian sadar nanti. Delna ikut membantu dengan cara mengipasi wajah Ian dengan tangan, berharap remaja itu segera bangun.
"Sshh .. "
Beberapa menit setelahnya, Ian membuka mata, tangan kanan Ian gunakan untuk memegangi kepalanya yang terasa sakit.
"Jangan bangun dulu, ini minum dikit," ujar Riski ketika melihat Ian akan bangun dari posisi tidurnya.
"Kamu kenapa Ian? Minum dulu obatnya, pasti pusing kan?" tanya Nissa bertubi-tubi sembari menyerahkan pil berbentuk oval dan berwarna orange.
Ian menggeleng lalu mengangguk sebagai jawaban, dirinya belum siap menceritakan apa yang ia lihat di gudang.
Suasana pagi hari ini sangat ramai, penduduk desa berbondong-bondong membeli bahan pokok di pasar.Hari ini adalah hari minggu, apotek tempat mereka PKL tetap buka, hanya saja anak PKL akan diliburkan.Dion menguap kala matahari menyinari kamarnya, rambut hitam berkilau terkena cahaya matahari. Selimut Dion angkat sebagai tanda bahwa semua nyawa telah berkumpul ditubuh sang remaja.Suara depakan selimut bisa Ian dengar, namun remaja itu lebih memilih untuk mengabaikan dan kembali melanjutkan tidur di bawah selimut.Lenguhan keluar dari mulut Dion, seluruh ototnya benar benar terasa kaku, seperti ada sesuatu yang menindih Dion semalam."Hari ini libur kan, Ian?" ujar Dion membuka secara paksa selimut yang menutupi seluruh tubuh temannya itu.Ian membuka mata, netra hitam masih terlihat lesu, tak ada semangat disana."Hah?" tanya Ian balik karna tak mendengar pertanyaan Dion."Hari ini libur kan?" ujar Dion lagi dengan menekan kalimat ya
Tanah becek tak Dion hiraukan, fokus utamanya adalah lari dari kuburan ini.Benar, Dion sedang berada di sebuah pemakaman. Dion baru sadar setelah tadi tersandung sebuah batu nisan putih."Khi .. khi .. "Suara tawa perempuan semakin terdengar keras, dengan tubuh bergetar Dion berusaha bangkit dan kembali berlari."Ya Allah .. selamatkan Dion," gumam Dion sambil membaca doa doa pendek.Keringat dingin membasahi seluruh pelipis serta tubuh Dion, luka lecet di kaki menjadi penghalang kecepatan berlari Dion, pohon dengan daun lebat menghalangi pandangan remaja itu."Sial! Sial!" umpat Dion ketika kembali dititik awal, sekarang ia tak tau arah jalan pulang."Hahaha!"Suara tawa kembali terdengar, kali ini tercampur suara laki laki.Dion menutup telinganya erat, tak ingin mendengar suara tawa yang saling menyaut satu sama lain."Berhenti! Kumohon berhenti!" seru Dion frustasi ketika merasakan sesuatu mendekati dirinya.Tap
Sinar mentari menyinari bumi pagi ini, kehangatan membuat Delna terbangun lebih awal.Namun bukannya kesegaran yang ia dapat, rasa sakit justru datang menghampiri. Otot-otot Delna renggangkan untuk menghilangkan rasa sakit, bunyi tulang membuat gadis itu merasa sedikit lega.Delna terdiam di atas kasur, kejadian kemarin masih terpatri jelas dalam ingatan, berputar bagai film horror.*Saat itu, suasana rumah benar benar terlihat sepi, bahkan Delna bisa mendengar deru nafas dirinya sendiri. Kaki Delna pijakan pada lantai kayu yang sudah usang, ia sampai lupa melepas sepatu.Lampu tiba tiba saja padam, membuat Delna terlonjak kaget. Gebrakan pintu menjadi penambah rasa takut pada diri Delna.Kegelapan menyelimuti, hanya ada remang cahaya orange dari balik jendela dengan pembatas berukiran kuno."Tenang Delna, ini bukan apa apa," gumam Delna pelan sembari melihat sekitar. Jujur saja, ia takut dengan suasana seperti ini.Hawa dingin tiba t
"Delna kenapa sih? Akhir akhir ini sering banget marah gak jelas," ujar Dion sembari memakan es krim yang diberikan Ian.Ian mengangkat bahu acuh, "mungkin lagi dapet? Bisa juga yang lain," ungkap Ian lirih pada akhir kalimat.Dion mengangguk pelan dan lanjut memakan es krim. Suasana hening menghampiri dalam beberapa menit, baik Dion maupun Ian tidak ada yang mau berbicara, keduanya sama sama sibuk dengan dunia sendiri.Ian sibuk dengan gawai sedangkan Dion sibuk menghabiskan es krim, remaja itu belum sarapan dari tadi pagi."Habis ini makan makanan berisi ya? Kamu belum makan apa-apa kan Dion?" ujar Ian tahu jika Dion belum sarapan.Dion tertawa canggung lalu mengangguk, potongan terakhir Dion makan sebelum stik kayu ia buang kesembarang arah."Aduh!" seru seorang pria dibelakang mereka, stik es krim Dion mengenai seseorang ternyata.Dion lantas berbalik untuk melihat seseorang yang terkena lemparan stik es krimnya. Ian hanya melirik sekila
Mendengar peringatan yang diberikan Diego tak membuat Dion takut, remaja itu justru tertawa."Hantu? Pfft, omong kosong," ujar Dion seakan melupakan kejadian yang kemarin ia alami."Kamu .. gak percaya?" ujar Diego dengan ekspresi takut diwajahnya.Dion menggeleng sebagai jawaban, senyum remeh hadir diwajahnya yang chabi itu."Kalau .. kamu?" tanya Diego menunjuk Ian.Ian mengangguk, ketakutan tiba tiba saja menghampiri ketika Ian melihat bayangan hitam dibelakang Dion."Kalian kenapa sih? Percaya banget sama yang namanya hantu," ujar Dion menambah rasa takut pada Diego dan Ian, sepertinya Diego juga melihat bayangan itu batin Ian."Dion, kayanya kamu perlu ketemu langsung deh sama mereka." Setelah mengatakan hal itu, Diego merangkul Ian, membawa anak itu pergi meninggalkan Dion sendirian."Bagus, sekarang gak ada yang mau temenan sama aku," gumam Dion berjalan keliling apotik, ia tidak tau harus melakukan apa sekarang.***
"IAN!"Sesosok bayangan hitam adalah hal pertama yang Ian lihat. Sosok itu kemudian berjalan masuk. Ingin rasanya Ian berlari meninggalkan rumah, namun apa daya tubuhnya tak mau menuruti perintah otak.Ian menengguk ludah kasar ketika sosok hitam itu berjalan semakin dekat.DAR!Kilatan petir membuat Ian dapat melihat jelas siapa sosok didepannya, walau samar karna kilatan petir hanya memberi sedikit penerangan."M-Manusia ternyata .. " gumam Ian menghela nafas lega, tangan Ian gunakan untuk mengelus dada agar degup jantung tak kian mengencang."S-Siapa?" tanya Ian mendongak keatas untuk melihat dengan jelas sosok didepannya.Orang itu hanya diam, tak merespon pertanyaan yang dilontarkan Ian.Kilatan petir kembali menyambar bumi, kali ini Ian dapat melihat ekspresi yang dipancarkan diwajah orang itu.Marah dan kesal adalah dua kata yang tepat untuk mendeskripsikan wajah orang didepan Ian. Oh, bagus, sekarang rasa takut muncul lag
Delna bergegas pergi keluar, caranya untuk keluar pun mainstream, yaitu melompat keluar dari jendela.Melihat hal itu tentu saja membuat Dion terkejut, ia tak menyangka jika Delna akan melakukan tindakan bodoh seperti itu."Delna?!" seru Dion yang dimana panggilan itu Delna hiraukan, sang gadis masih saja terus berlari ke tempat dimana para warga berada."Ckk, merepotkan," gumam Dion kesal dan pergi menyusul Delna, tentu saja dengan cara yang normal.***Suara aneh warga mulai terdengar jelas, mereka seperti membacakan suatu mantra yang Delna dan Dion tak mengerti.Ketika dilihat dari dekat, beberapa warga ada yang membawa suatu sesajen berupa kepala kerbau."Mereka ngapain sih?" tanya Delna heran, baru pertama kali ia melihat hal yang seperti ini.Dion mengangkat bahu tanda ia tak mengerti. Dion memang sering melihat hal seperti ini, namun difilm. Remaja itu tidak menyangka akan melihat secara langsung.Semua warga terlihat sang
"Hantu .. ? Hmm gak tau juga, antara percaya gak percaya sih," ucap Riski tak menoleh sama sekali, bahkan nada bicaranya jadi berbeda.Delna hanya ber-oh ria, lalu mulai menceritakan kejadian yang ia dan temannya alami akhir akhir ini.Riski terlihat serius saat mendengarkan cerita Delna, Riski bahkan melambatkan laju motornya agar Delna bisa leluasa bercerita."Pokoknya kejadian aneh selalu menimpa kami kak, dan sosok sosok yang kami jumpa selalu menyebut kata 'mati' dan 'Dion'," jelas Delna melihat kearah gedung putih, apalagi jika bukan apotik satu, tempatnya PKL."Lanjut cerita didalam ya? Mumpung ada Diego hari ini," ujar Riski turun dari motor setelah Delna turun terlebih dahulu."Diego?" tanya Delna bingung karna merasa asing dengan nama tersebut.Riski mengangguk, "iya, karyawan baru, aku dengar dia tau soal dunia perhantuan gitu."Lagi lagi Delna hanya ber-oh ria, semangatnya hilang entah kemana."Memang sejak awal aku semanga