Share

Kapan Punya Mama?

Dua hari setelah kejadian 'penculikan' di kebun binatang, Nanda masih saja ngambek pada Arjuna. Ini semua karena Nanda masih ingin bermain di kebun bersama Nismara, apalagi sambil makan permen kapas yang manis dan lembut.

"Kamu jangan ngambek terus dong, Nanda. Papa jadi pusing, nih." Arjuna menghela napas. Ia masih belum bisa menghadapi anaknya yang sedang dalam mode merajuk. Akan percuma diiming-imingi apa pun karena Nanda orangnya sangat keras kepala.

"Aku pengen ke kebun binatang lagi, Pa!"

"Jangan. Kemarin kan udah. Ke tempat yang lain aja, ya?"

"Nggak mau! Aku pengennya ke kebun binatang terus ketemu sama Bu Nismara sama anak-anaknya. Papa juga harus minta maaf ke Bu Nismara karena udah marahin Bu Nismara. Untung aja Bu Nismara nggak nangis sambil marah. Papa jahat marahin orang!"

"Dia itu penculik, Nanda! Ingat itu!"

"Bukan! Bu Nismara bukan penculik! Papanya aja yang orang jahat!"

"Abimanyu!" Arjuna kalau sedang marah selalu memanggil anaknya dengan nama depan. Walaupun Nanda masih kecil tapi Nanda tahu kalau ayahnya tengah marah.

"Ya udah kalau aku nggak dibolehin pergi ke kebun binatang. Aku minta yang lain, boleh?"

"Boleh."

"Tapi Papa janji buat ngabulin permintaanku ini." Nanda mengangkat jari kelingkingnya.

"Janji. Apa pun yang kamu mau, Papa oabulin semua." Arjuna mengaitkan jari kelingkingnya.

"Kalau gitu Papa harus kasih aku mama. Aku pengen punya kayak orang lain. Semua teman-temanku punya mama, aku nggak. Mereka juga sering diantar-jemput sama mamanya, aku nggak. Kalau lagi hari ibu teman-teman aku selalu ngasih kado ke mamanya, aku nggak. Aku sedih, Pa."

Arjuna mengembuskan napas. Ia mengusap kepala Nanda dengan penuh kasih sayang. "Papa janji deh bakal ngasih kamu mama. Tapi nggak sekarang."

"Dari dulu Papa selalu gitu."

"Soalnya nyari mama itu susah, Sayang."

"Terus kapan, Pa?"

"Kalau Nanda masuk SD. Gimana?"

"Masih lamaaa!"

"Kalau gitu Nanda mau apa lagi? Yang cepet dikabulin sama Papa?"

Nanda berpikir keras. "Permen kapas?"

"No!" Arjuna langsung menolak.

"Cokelat?"

"No!"

"Es cendol!"

"No!"

"Ih, Papa!!!" Nanda kembali merajuk.

"Jangan kebanyakan makan yang manis-manis, entar gigi kamu makin ompong, lho, kayak kakek-kakek. Mau?"

Nanda langsung menutup mulut lalu menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak!"

"Ya udah, kamu mau apa? Mainan baru?"

"Nggak mau." Nanda menggeleng. "Aku mau masuk sekolah lagi, Pa. Udah lama, kan, aku nggak sekolah."

"Hari Senin depan kamu mulai sekolah, ya. Papa udah dapat sekolah baru buat kamu."

"Asyiiik!!!" Nanda kembali ceria. Ia melupakan keinginan terbesarnya setelah keinginan yang sekian akan dikabulkan oleh ayahnya.

Nanda jadi tidak sabar mengenakan seragam baru dan bertemu teman-teman baru. Selama beberapa bulan ini Nanda benar-benar kesepian karena tidak ada teman yang menemaninya.

***

Hari Sabtu, Arjuna dan Nanda pergi ke acara pernikahan anggota staf kantor di perusahaannya. Semua tamu undangan terpesona melihat ketampanan Arjuna yang bagaikan seorang dewa di dalam cerita-cerita legenda. Sesuai namanya, Arjuna adalah sosok laki-laki yang begitu tampan dan gagah, mungkin ini adalah perwujudan asli dari tokoh Arjuna dalam cerita perwayangan.

Para perempuan yang masih single mulai mencari perhatian, dan ibu-ibu yang memiliki anak gadis berharap Arjuna akan meminang anaknya. Tetapi harapan mereka pupus ketika melihat dan mendengar Abimanyu Nandana memanggil Arjuna 'papa' dengan suara yang cukup keras karena suara musik dari sound sistem begitu menggelegar.

Ketika sesi perasmanan, Arjuna sengaja mengambil dua piring, yang satu untuk dirinya dan yang satu lagi untuk Nanda.

Arjuna duduk berkumpul bersama rekan-rekannya di kantor, mereka makan sambil membicarakan banyak hal, tapi topik utamanya adalah membicarakan harga pasar saham.

"Pa!" Nanda menarik lengan jas hitam milik Arjuna.

"Ada apa, Sayang?"

Jari Nanda menunjuk ke arah Yesi, istri dari direktur keuangan di kantornya.

"Tante Yesi punya bayi, bayinya perempuan, Pa."

"Iya, terus?"

"Tapi Aryo katanya nggak mau adik perempuan."

"Kok gitu?"

"Katanya kalau punya adik perempuan itu nggak asyik, lebih asyik punya adik laki-laki. Soalnya adik perempuan nggak bisa diajak main mobil-mobilan, robot-robotan, perang-perangan. Adik perempuan mainnya boneka barbie terus. Emang iya, Pa?"

"Kata siapa? Nggak juga, kok."

Nanda berdecak pelan. "Berarti Aryo bohong dong, Pa?"

Arjuna tidak menjawabnya karena Yesi dan Sigit keburu datang menghampiri dan ikut duduk di kumpulan mereka.

Nanda dan Aryo kembali bermain, sesekali mereka berdua meminta kue-kue atau buah-buahan pada petugas catering.

Nanda mengambil satu potong kue brownies kukus lalu memberikannya pada Yesi. Nanda bilang itu untuk bayinya yang bernama Amanda. Yesi menerimanya dengan senang hati, tetapi ia kemudian memberitahu kalau Amanda masih belum bisa memakan kue.

"Paaa...!" Nanda memanggil Arjuna dengan suara pelan dan sedikit manja.

"Ada apa?"

"Aku pengen punya adik."

Meskipun suara Nanda pelan, tetapi orang-orang di sekitarnya dapat mendengar apa yang bocah itu ucapkan.

Semuanya menahan tawa, kalau kelepasan, bisa-bisa mereka dipecat karena Arjuna adalah pemimpinnya, direktur utama di kantornya. Di antara mereka, hanya satu orang yang bisa mentertawakan, bahkan sampai memukul bahu Arjuna, siapa lagi kalau bukan direktur personalia, Radit namanya.

"Yang sabar ya, Pak, ya! Hahaha..."

Arjuna berdecak kesal. Radit ini memang teman seperjuangan dari jaman SMP, jadi maklum saja kalau Radit berani meledek bahkan bersikap sangat akrab pada atasannya itu.

"Jadi gimana, nih, Pak? Pak Arjuna mau ngasih dulu mama buat Abimanyu atau mau ngasih adik dulu? Ya mending kasih Abimanyu mama dulu ya, kan, Pak? Soalnya kalau langsung ngasih adik mau buatnya gimana kalau nggak ada mamanya?" tanya Radit masih dengan tawanya yang belum hilang.

"Matamu!"

Pada akhirnya semuanya menahan tawa.

"Aduh... ampun, Pak, jangan pecat saya," ucap sekretaris Radit karena ia juga ikut tertawa.

"Apalagi jangan pecat saya, Pak. Istri saya baru lahiran tiga bulan yang lalu, bayi saya masih kecil, saya harus beli popok, susu dan perlengkapan bayi yang lainnya, apalagi untuk masalah dapur harus tetap ngebul." Aryo merapatkan kedua tangannya, memohon supaya ia juga tidak dipecat.

"Saya nggak akan pecat kalian, tapi saya akan potong gaji kalian jadi tiga puluh persen. Puas?"

"Aduh, Pak, potong gajinya jangan kebanyakan. Cicilan mobil saya belum lunas, ini." Kini giliran Radit yang mengeluh. Bisa gawat juga kalau Arjuna benar-benar memotong gaji karyawan.

"Gini aja, deh, Pak, sebagai gantinya, saya akan cari calon mama buat Abimanyu. Gimana? Setuju gak, Pak?"

"Om Radit beneran mau nyari mama buat aku? Serius, nih, Om? Asyiiik!!!" Nanda kegirangan, tentu saja. Di mana coba ada anak yang tidak senang ketika dirinya diiming-imingi oleh orang lain yang pastinya akan cepat terealisasikan.

"Bener, dong. Masa Om bohong."

"Terus kapan Om mau nyari aku mama?"

"Emmm... Abimanyu maunya kapan?"

"Besok! Biar Papa cepet ngasih aku adik."

Arjuna tersedak. Semua orang kembali menahan tawa. Anak kecil berumur lima tahun pikirannya memang benar-benar masih polos. Nanda pikir membuat adik itu langsung jadi seperti membuat kue.

"Abimanyu mau mama yang kayak gimana?"

"Aku mau mama yang kayak Bu Nismara, Om."

Radit mengerutkan kening. "Bu Nismara itu siapa, ya?"

"Penculik," jawab Arjuna dengan nada dingin. 

"Oh... penculik yang waktu itu Pak Arjuna ceritain, ya?" tanya Aryo.

Arjuna mengangguk.

"Kalau sama tante yang itu gimana?" Radit menunjuk seseorang yang sedang berjalan ke arah mereka sambil tersenyum.

Gaya glamor dan nyetrik membuat dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang.

Nanda menggeleng lalu memeluk ayahnya erat-erat. "Nggak mau. Tante itu kayak nenek sihir di film-film."

Tawa mereka kembali pecah. Nanda bisa berbicara seperti itu karena diajarkan oleh Arjuna yang selalu menghindar ketika akan didekati oleh 'tante' yang Radit maksud.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status