Share

Kebun Binatang Bukan Di-TV

Hari Minggu pagi Arjuna dan Nanda pergi berolahraga menuju tempat Car Free Day setelah itu berjalan santai menuju Stadion Gelora Bung Karno. Rutinitas setiap hari libur yang tidak pernah terlewatkan oleh Arjuna selain berolahraga di tempat gym.

Karena lelah terus berjalan kadang berlari, Nanda memilih untuk membeli cilok di pedagang yang biasa mangkal di dekat stadion. Arjuna membiarkannya saja karena Nanda sudah sering duduk menunggu di sana, sama Abang penjual ciloknya aja mereka berteman, kadang Nanda sering curhat, terutama curhat tentang masalah mamanya yang masih belum kelihatan hilalnya.

Pukul sembilan pagi, Arjuna dan Nanda pulang. Sambil menunggu Arjuna mengambil sepeda yang disimpan di tempat parkir, Nanda membeli bubur kacang hijau sebanyak dua bungkus. Meskipun Nanda lahir dari keluarga konglomerat dan seorang anak dari direktur utama, Nanda lebih suka jajan makan makanan orang dari kalangan biasa, untuk menu makan siang pun, Nanda dan Arjuna sering makan pecel ayam atau pecel bebek yang mangkal tak jauh dari kantornya.

Arjuna sengaja membiasakan Nanda hidup sederhana supaya jika besar nanti Nanda tidak manja dan mengerti akan kehidupan susahnya mencari uang.

Selain sering membeli makanan umum, Nanda juga sering diajak ke acara-acara bakti sosial.

Empat puluh menit perjalanan pulang, Nanda langsung berlari ke rumah untuk segera ke kamar mandi. Ternyata sedari tadi Nanda menahan buang air kecil.

Membersihkan keringat dengan handuk kecil, Arjuna duduk di dapur meja makan. Ia meminum air lemon yang masih tersisa.

Nanda sudah keluar dari kamar mandi. Ia mengambil dua mangkuk dan sendok lalu meletakkannya di atas meja makan.

"Pa, kapan mau ngasih aku adik?"

Arjuna mengernyit, pertanyaan itu lagi?

"Kalau udah ada mama."

"Emang Papa gak bisa ngasih adik kalau nggak ada mama, ya?"

Kepala Arjuna mengangguk.

"Yaaah...!" Nanda mendesah kecewa.

"Jangan minta dua hal itu lagi, Nanda. Minta yang lain aja yang bisa Papa kabulkan secepatnya."

Mumpung sekarang hari Minggu dan Nanda belum puas, bocah kecil itu kemudian meminta..., "Kalau gitu kita pergi jalan-jalan ke kebun binatang pagi, Pa. Katanya hari ini ada panda datang dari Cina."

"Nggak. Jangan. Jangan ke kebun binatang."

"Iiihhh... Papa!"

"Nanti kalau kamu diculik lagi gimana?"

Nanda mencebikkan bibirnya. "Tapi aku pengen ke kebun binatang, pengen lihat panda."

"Lihat di televisi kan bisa."

"Aku nggak mau lihat di televisi, aku maunya lihat di kebun binatang langsung. Aku mau bandingin sama beruang, besar yang mana."

"Keduanya sama besar, sama-sama serem, sama-sama tinggi, sama-sama lucu dan sama-sama suka makan anak kecil yang nakal!"

Nanda hampir menjatuhkan sendoknya ketika Arjuna menatapnya dengan wajah yang serius.

"Papa nggak bohong, kan?"

Arjuna menggeleng. "Nggak. Papa nggak bohong. Papa serius, lho. Kamu mau lihat anak yang dimakan sama panda dan beruang?"

Nanda menelan bubur kacang hijaunya dengan susah payah. Tenggorokannya serasa ada yang menyumbat. "Ng-ng-nggaaak...."

Arjuna tersenyum kecil.

"Kalau beruang sama panda makan anak kecil yang nakal, berarti mereka berdua nggak akan makan aku karena aku anak yang baik. Iya, kan, Pa?"

Skak!

Arjuna kalah.

"Jadi kita bisa, dong, lihat panda sama beruang? Ayo, Pa, ayo!"

Arjuna menghela napas. "Papa lagi capek, Sayang. Besok kamu, kan, sekolah, harus bangun pagi-pagi biar nggak datang kesiangan."

Nanda cemberut.

Bel rumah mereka berbunyi. Arjuna beranjak untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Bude Marni. Ia datang untuk memasak makan siang.

"Padahal Bude nggak usah repot-repot datang, aku sama Nanda rencananya mau makan di luar."

"Nggak apa-apa, toh, Jun. Tadi sekalian Bude abis pergi dari arisan di rumah Bu Sari, karena rumahnya dekat sama rumah kamu, Bude ke sini aja. Selain itu ada yang mau Bude omongin." Bude Marni memasukkan sayuran yang tadi sudah dibelinya dari pasar ke dalam kulkas.

Bisa ditebak kalau isi kulkas milik Pak Direktur Utama itu kosong, hanya ada air putih, susu, yogurt, yakult, cokelat, dan buah-buahan.

"Oma mau?" Nanda menyodorkan sendok berisi bubur kacang hijau.

"Aaaa...." Bude Marni membuka mulutnya, tetapi Nanda malah menyuapkan bubur kacang hijau itu ke dalam mulutnya sendiri. Karena gemas, Bude Marni mencubit pipi Nanda sampai memerah.

"Apa yang mau Bude omongin?" tanya Arjuna.

"Nanti aja kita ngobrolnya kalau udah makan siang. Kalian berdua pergi mandi dulu, gih. Oh ya, kalian mau makan apa?"

"Aku mau makan rendang, Oma."

"Ayam goreng aja, ya? Oma lupa nggak beli daging sapi."

"Ya udah, deh."

***

Makanan telah terhidang di atas meja makan. Mereka bertiga lalu menyantapnya karena waktu sudah pas untuk makan siang. Selesai makan, Bude Marni dan Arjuna mulai membuka pembicaraan yang akan disampaikan oleh Bude Marni.

"Gini lho, Jun, kamu masih ingat sama anaknya Bu Eros, Una? Nah, Bu Eros-nya nanyain kamu lagi, kapan katanya kamu mau ke rumah dia?"

"Kan aku udah bilang kalau jangan terlalu berharap sama aku. Aku mau fokus sama kerjaan dan Nanda."

"Kamu coba kenalan dulu dong, Jun. Siapa tahu cocok. Una orangnya pendiam, lho, baik pula. Pinter masak sama penyayang anak kecil."

Arjuna membuang napas. "Yang dulu juga, kan, orangnya baik, Bude. Tapi kenyataannya malah berkata lain."

"Iya, Bude tahu." Bude Marni memakan buah salak yang dibagi dua dengan Nanda. "Kamu nyari yang kayak gimana? Menurut Bude, Una itu cocok sama kamu, lho."

"Aku nyari yang bener-bener sayang sama Nanda, Bude, bukan cuma sayang sama aku aja. Bukan karena melihat rupa dan harta aku."

"Terus Si Tattiana itu maksudnya kriteria kamu? Iya? Dih!"

"Bude yang nyinggung tapi Bude juga yang kesel. Heran, aku."

"Oh... jadi kamu belain perempuan itu daripada Bude, iya?"

"Bukan gitu juga maksudku, Bude."

Bude Marni menghela napas. "Pokoknya Bude nggak setuju kamu sama dia. Dilihat dari mana pun, perempuan itu cuma suka sama wajah dan harta kamu doang. Kamu harus hati-hati dan harus pinter-pinter pilih perempuan, apalagi buat Nanda."

"Nanda juga nggak suka sama Tante Tattiana. Kata Oma, Tante Tattiana itu wajahnya kayak patung manekin."

Arjuna menatap budenya dengan malas. "Bude kalau ngomong lihat tempat dulu, dong, apalagi kalau lagi kumpul sama ibu-ibu yang lain, seenggaknya kalau lagi bareng sama Nanda omongannya di-rem dulu. Pantes aja Nanda suka ngomong yang aneh-aneh, ternyata semua berawal dari Bude sendiri, ya?"

Bude Marni berdeham pelan. "Ya tolong dimaklumi aja, ya, soalnya Bude, kan, udah tua, ibu-ibu, kalau sesama perempuan pasti banyak yang diomongin dan nggak dipikir-pikir dulu saking asyiknya ngobrol."

"Bukan ngobrol, tapi bergosip." Arjuna meralat ucapan budenya itu.

"Untung aja Nanda nggak pernah ngomong gitu pas di depan Tattiana. Nggak kebayang murka dia kayak gimana entar."

"Perempuan itu gak mungkin murka, paling marah-marah dalam hati aja. Dia nggak mungkin berani, lah."

"Oma, Oma! Kita ke kebun binatang, yuk! Ada panda lho di sana. Aku pengen lihat secara langsung." Nanda memegang tangan Bude Marni supaya Bude Marni mengikutinya.

"Kamu pengen lihat secara langsung?"

Nanda mengangguk.

Bude Marni bangkit dari duduknya lalu mengambil remote televisi. Ia memindahkan channel yang menyiarkan berita tentang tayangan panda yang baru saja didatangkan dari China.

"Tuh, udah lihat secara langsung, kan?" Jari telunjuk Bude Marni menunjuk tulisan 'live' di pojok kanan bawah logo channel televisi tersebut.

Nanda yang belum mengerti apa-apa hanya bisa mengerutkan kening. "Oma... aku pengen lihatnya di kebun binatang langsung, bukan kebun binatang di televisi."

"Sama aja," ucap Arjuna dan Bude Marni bersamaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status