Bayangan masalalu kekejaman sosok laki-laki yang kini menjadi pemulung terus saja menghantuiku.
"Dasar anak s*t*n! Siapa yang menyuruhmu masuk kamar ini?""Maaf, Mas. Rini cuma mau membersihkan kamar ini.""Pergi kamu! Pergi!" Dia mendorongku keras hingga kepalaku membentur tembok. Darah seegar keluar dari pelipisku.Tak henti dia saat melihatku terluka, sapu yang ku bawa direbutnya paksa, lalu dengan bringas ia memukuli tubuh kecil ini. Bahkan ia tak hirau jerit tangisku."Hentikan, Johan! Hentikan!" Teriakan Yu Santi saat itu."Jika dia terluka, Bapak akan marah!" Teriak Yu Santi lagi. Sementara Yu Yati dan Diki malah menertawakan ku."Biar saja anak ini mati. Dia selalu mengganggu privasi ku. Aku lagi tidur diganggu juga!" Hardik Mas Johan.Aku segera dibawa oleh Yu Santi. Ia mengobati luka dikepalaku, lantas membuatkan obat oles untuk mengobati luka memar di tubuhku akibat pukulan Mas Johan."Apa yang kau lakukan hingga Johan marah padamu?" Yu Santi dengan telaten mengobati luka dipelipis, ia menutup luka dengan kasa dan plester. Perih, perih luka ini. Rini kecil waktu itu tak berdaya. Aku menangis sesegukan di depan Yu Santi."Istirahatlah, nanti, Yayu ambilkan makan dan susu untukmu. Diamlah disini."Aku menurut pada Yu Santi. Hanya dia yang sayang kepadaku."Yu, kenapa yayu perhatian sama anak s*@l itu? Biarkan saja dia syukur kalo dia mati!" Suara teriakan Yu Yati dari luar kamarku terdengar nyaring.Kala itu aku semakin takut. Dikamar ku menangis sambil mendekap mulut."Kalian tak boleh semena-mena pada Rini. Dia adik kita juga!" teriak Yu Santi."Pers#t#n! Dia bukan keluarga kita!"Entah apa lagi yang mereka katakan, ku tutup telinga ini, tak ingin mendengar yang lainnya."Sayang, sayang. Rini," Suara Mas Bayu kembali menyadarkan lamunanku. Bayang masalalu itu terhenti."Kamu kenapa?" Kini Mas Bayu memelukku.Aku masih gemetar, ketakutan."Mas, Rini takut. Rini takut, Mas." Lirihku.Ku benamkan wajah ini didada laki-laki terbaiku. Ia mendekap ku erat, seakan menyalurkan energi untukku."Ada apa dengan Bu Rini, Pak? Kenapa seperti ketakutan begitu?" Ku dengar pengawal Mas Bayu ikut khawatir."Entahlah, Dim, saya juga nggak tau. Sepertinya laki-laki itu ada sangkut pautnya dengan masalalu Rini. Ini tugasmu Dimas! Singkirkan siapapun yang mengganggu istriku!" Suara Mas Bayu terdengar penuh emosi.Aku masih membenamkan diri di tubuh Mas Bayu. Tak sepatah katapun ku ucapkan. Aroma maskulin tubuh Mas Bayu menenangkan."Tenangkan dirimu, sayang. Aku takkan membiarkanmu terluka lagi." Mas Bayu berucap sambil mengusap punggungku."Maaf Mas. Maaf," lirihku mengurai pelukan laki-laki yang kini bertanggung jawab dunia akhirat atas jiwa dan ragaku.Ia mengulas senyum, lalu mengecup pucuk kepalaku. "Sudahlah, jangan ingat masalalu. Kamu bukan Rini yang dulu. Kau ratuku, hidupku, nyawaku. Bangkitlah, bukam semuanya!"Kalimat yang dilontarkan Mas Bayu barusan, membuatku semakin bersyukur memilikinya. Aku yakin Allah itu maha adil. Inilah buah kesabaranku dahulu."Mas, entah mengapa, ketika melihat laki-laki pemulung tadi. Aku ingat masalalu. Dia orang paling kejam dalam hidupku. Dia juga penyebab luka dipelipis dan kaki ini, Mas." Buliran air mata meluncur tanpa bisa ku tahan."Dulu, keganasan dan kekejaman seorang Johan membuatku terlempar jauh dari rumah ayah. Hanya Yu Santi yang peduli. Beruntung bude Siti dan keluarga mau menampungku, hingga aku kuliah," kenangku pada masalalu."Sudah, jangan dikenang sesuatu yang membuatmu sakit. Kita kesini bukan untuk bersedih. Kita kesini untuk Yu Santi dan orang-orang yang sayang sama kamu. Hapus air matamu, pakailah makeup lagi. Perlihatkan kepada mereka siapa kamu sekarang. Rini Wibawa, istriku," Mas Bayu kembali membangun menara semangatku yang tadi sempat berguguran."Sini, biar Mas pakaikan," Mas Bayu mencari tasku lalu ia mengambil tas kecil tempat makeup yang dulu ia hadiahkan untukku.4 tahun menikah dengannya, aku bahagia sekali. Dia begitu baik, begitupun ayah dan ibunya. Bungsu dari dua bersaudara ini berhasil membangun bisnis sesuai keinginannya bersamaku.Dengan terampil Mas Bayu menyapukan bedak dan lipstik di wajahku. Ia juga membenarkan hijab yang ku pakai. Mas Bayu selalu care kepadaku."Begini, cantik, dan manis. Bikin aku gemes." Mas Bayu mencubit manja hidungku.Tiba-tiba mobil berhenti. Membuat kami berdua melihat kearah jalan."Kenapa, Yas?""Bebek, Pak. Ada penggembala bebek."Ku lihat kearah depan. Benar, seorang pengembala bebek berangkat kesawah. Yah, dulu sewaktu aku masih disini, sering menggembala bebek bersama Mas Yuda, anak bude Siti.Mobil berjalan lagi, aku memperhatikan perubahan desa kampung halamanku. Meskipun jalanan masih berbatu, tapi desa ini banyak perubahan. Sebuah rumah mungil nan cantik ditengah perkampungan membuatku terpesona."Mas, cantik sekali rumah itu," Aku mencolek Mas Bayu. Mobil melambat."Yang mana?" Mas Bayu seolah tak melihat."Ini, Mas. Minimalis, asri. Ya ampun, ada berbagai anggrek disana, manis banget. Pasti seneng kalau bisa punya rumah seperti itu," cerocosku spontan.Ku lihat Mas Bayu senyum-senyum, apanya yang lucu? Eh, tunggu. Kompleks ini bukanya komplek tanah perumahan milik ayah yang dulu dirampas haknya oleh saudara tiriku? Lantas itu rumah siapa? Yu Yati? Mas Diki? Atau Mas Johan? Siapapun pemiliknya, pasti dia sudah sukses. Gaya rumahnya loh beda sama yang lain."Sayang, kita mau berhenti dimana, tempat bude Siti, atau Yu Santi?""Em, lihat nanti, Mas. Bude pasti sibuk dirumah Yu Santi. Kita kesana saja, nanti kalau keadaan nggak memungkinkan, kita bermalam di rumah bude Siti aja.""Em, oke.""Yang, seandainya, kita bangun rumah disini, kecil saja nggak usah besar-besar. Kita pake kalau lagi liburan saat penat dikota, kamu mau enggak?"Aku menoleh suamiku, seakan tak percaya dengan apa yang dia ucap."Maksud Mas?""Ya, itu ... buat rumah di daerah sini, mau?"Tentu saja aku mau, tapi bagaimana dengan saudara tiriku? Aku bingung. Takut jika diusik lagi. Padahal secuilpun tanah milik ayah yang seharusnya menjadi milikku, tak kudapatkan. Aku sekolah dan kuliah dibantu bude dan modal beasiswa saja."Melamun lagi?" tegur Mas Bayu."Enggak, Mas. Nggak nglamun kok. Cuma lagi mikir aja, kalau kita punya rumah disini, apa nggak akan diusik oleh mereka saudara tiriku?""Negara kita negara hukum sayang, kalau mereka berani mengusik mu, kupastikan mereka masuk bui." Tegas, mantap, kalimat suamiku barusan.Mobil memasuki perempatan menuju rumah Yu Santi, rumah Yu Santi memang searah dengan rumah bude Siti. 200 meter dari perempatan terlihat tenda khas orang punya hajat berdiri. Tepat berbarengan dengan kumandang Adzan Ashar, mobil kami hampir menepi.Hatiku semakin bahagia, sebentar lagi rindu yang lama ku pendam ini akan terlampiaskan."Pak, nggak bisa dipercepat kah mobilnya?" Aku tak sabar."Bu, banyak anak kecil berlarian, takut nabrak, Bu," jawab sopirku.Aku melihat kedepan terus. Suamiku mengusap bahu ini. "Sabarlah sayang, sebentar lagi sampai.""Mas, aku bahagia sekali! Terimakasih, Mas mau mengantarku kesini lagi. Terimakasih, Mas." Aku memeluknya erat."Iya, sayang. Apapun akan kulakukan asal kamu tersenyum dan bahagia. Kalau kamu sedih, bisa runtuh duniaku," goda Mas Bayu.Mobil kini lebih mendekat ke tenda hajatan. Aku bisa melihat orang-orang yang kukenal dulu. Aku tak sabar ingin segera turun.Banyak pasang mata menuju mobil kami, mungkin mereka heran. Terang saja, mobil yang digunakan kami sekelas mobil pejabat DPR di sini. Pastilah mereka terheran-heran. Mobil berhenti di tepi jalan. Aku ingin segera turun."Sebentar, sayang! Kita buat drama dulu."Mas Bayu mencegah saat ku hendak membuka pintu mobil. Drama apa lagi sih?"Drama apalagi, sih, Mas. Aku pengen lekas turun. Aku rindu Yu Santi, Bude, dan yang lain!" rengeku pada Mas Bayu. "Sabarlah sebentar lagi, sayang. Percayalah, indah pada waktunya. Sini!" Mas Bayu malah memelukku. Kini ia kenakan kacamata, persis pejabat terhormat. "Dim, lakukan tugasmu!" Mas Bayu memberi komando kepada pengawalnya. Dimas lekas turun dari mobil. Kulihat dari dalam mobil, Dimas seperti sedang bertanya kepada salah seorang warga, lalu warga itu masuk kedalam area tenda kemudian keluar bersama si empunya hajat Yu Santi dan Mas Hadi. Hatiku rasanya tak sabar ingin segera memeluk Yu Santi, terlebih saat bude Siti ikut keluar juga. Ku pandangi suamiku. "Mari kita turun, sayang. Basuhlah kering rindu dihatimu itu." Mas Bayu menatapku lalu mengecup keningku. Mas Bayu membuka pintu ia turun, lalu mengajakku turun pula, kami turun lewat pintu sebelah kanan. Rumah Yu Santi di sisi kiri mobil kami. "Kita jalan bersama, sayang." Mas Bayu menggandeng tanganku. Persis seperti
"Yati!" teriak Mas Hadi. Urat lehernya timbul. Pakde Umar berdiri di hadapanku, ia menghadang Yu Yati. "Kenapa, Mas? Nggak perlu membentak ku begitu. Aku cuma mau ngasih tau orang miskin nggak tau diri ini," celoteh Yu Yati. Kulihat, Mas Bayu suamiku meremas gelas plastik bekas air mineral. Tapi sepertinya ia masih bisa menahan emosi. "Kau pikir dengan memakai mobil Pajero seport begitu, serta membawa sopir sewaan ini bisa menipu ku? Sekali miskin tetap miskin aja. Nggak usah belagu!" hardik Yu Yati lagi. Dimas sontak berdiri. "Jaga sikap Anda!" Bentak Dimas. "Dim, biarlah. Tenang, duduklah," ucap suamiku. Dimas mengikuti arahan suamiku. Kulihat, banyak pasang mata menyaksikan kearoganan dan keangkuhan Yu Yati. Mereka ada yang berbisik juga. "Heh Bayu, jangan sok sokan jadi orang kaya disini. Lagaknya seperti pejabat, mobil rentalan saja bangga." Yu Yati masih berapi-api. "Dan kamu laki-laki sok jago, mau-maunya diperalat oleh pembohong seperti dia!" Telunjuk Yu Yati mengarah
"Nggak usah sedih begitu, nanti kita belikan sesuatu untuk Bude usai acara Yu Santi beres. Tenanglah. Mana kuncinya? Mas kebelet, nih," Suamiku menadah minta kunci rumah. Aku tertawa geli. Bisa aja dia berulah pake bilang kebelet segala. Aku segera membuka kunci rumah Pakde Umar. "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam. Kamar mandi dimana, Yang?" Suamiku nyelonong masuk. "Lurus, masuk, belok kiri, kamar mandi di pojokan." Masih seperti dulu, rumah ini selalu rapi. Ruang tamu, tuang tengah, masih yang dulu. Bayangan masalalu saat ku masuk ruang tengah tergambar. Bayangan dimana aku dan ketiga anak Pakde menggambar bersama, mas Yuda membuatkan gambar pesawat untukku. Mas Ari mewarnai gambar motor kesukaannya. Aku bermain boneka bersama Mbak Eis disini, hingga kami tertidur di siang hari diruangan ini. Indah, indah sekali waktu itu. "Pak, Ilyas, Dimas, masuklah. Istirahat dulu," Ku persilahkan dua orang suruhan Mas Bayu masuk. Dimas membawa koper milikku dan Mas Bayu. "Mau ditaruh ma
Aku ingin sekali berziarah ke makam ayah dan ibu. Sudah lama sekali aku tak mengunjungi makam kedua orangtuaku. Tapi, malas rasanya bila harus bertemu Yu Yati lagi. Arah makam 'kan melewati rumah sausara tiriku itu."Rin, Rini! Kok ngelamun. Ayam pada mati nanti," tegur Bude Siti. "Ah, enggak Bude. Sebenernya pengen sih, ke makam. Tapi, malas kalo harus melewati rumah Yu Yati. Orang itu 'kan nekat. Aku nggak mau nanti dia berulah dan viral deh aku," candaku kepada Bude Siti. "Sekarang kalau kemakam, jalannya mutar lebih mudah. Mobil juga bisa masuk. Sejak ada pembangunan irigasi setahun yang lalu, jalan arah makam dialihkan. Rumah Yati tidak dilokasi yang dulu, dia sudah pindah ke belakang kampung ini ... hampir berbatasan dengan desa Sidowaras." Pakde berucap sambil membawa handuk. Sepertinya hendak mandi. Bagai mendengar angin segar usai pakde memberitahu hal itu. Kulirik jam dinding di atas pintu arah dapur. Masih jam lima sore. "Pakde, antarkan aku kemakam ayah dan ibu. Sekara
Mas Bayu sigap menopang tubuhku yang tiba-tiba melemah. "Inilah yang Bayu takutkan Pakde, jika Rini terlalu sedih, dia pasti lemas," ucap Mas Bayu. "Ya sudah, kita doakan ibumu dulu, lekas pulang, hari sudah hampir Magrib." Pakde segera memimpin doa lalu menuang air bunga yang tinggal separuh. Aku hanya bisa bersandar di tubuh suamiku. Mas Bayu berulang kali mengusap tangan ini, berulang pula mengecup keningku. "Ayo, pulang. Sudah semakin sore," ajak Pakde. Dalam kondisi begini, tentu saja aku tak kuasa berdiri bahkan berjalan. Mas Bayu dengan sigap menggendong tubuhku ke mobil. Aku tak kuasa menatap suamiku. "Tolong pintunya, Pakde," Mas Bayu membawaku kemobil, menurunkan tubuhku perlahan wajahnya nampak khawatir. Pintu mobil tertutup, ku pejamkan mata. Mobil berjalan lagi. Sepanjang perjalanan pulang, air mata ini luruh tiada henti. Bayangan ayah memelukku dulu terputar. Aku rindu ayah. "Rin, sudahlah, Nduk, jangan sedih lagi." Pakde mengajakku bicara. "Kenapa ayah harus me
Aku dan Mas Bayu berpandangan serius. Alis Mas Bayu naik separuh. "Kenapa diam? Mana oleh-oleh nya?" Lagi Eis menadah tangan meminta oleh-oleh. "Eis, jangan gitu ah. Rini sama Bayu sudah ada disini, Ibu sudah bahagia. Tak perlu lah oleh-oleh seperti yang kau pinta itu," Bude Siti menegur Eis. "Iya, Bu. Iya! Maaf, Rin, canda," sahut Eis mencubit hidungku. "Mandi dulu Is, nanti ke tempat Santi lagi. Malam ini, mau bungkusin lemper lagi." Eis berlalu kedepan, mungkin ke kamarnya. Aku bingung tentang ucapan Eis tadi. Aku duduk di kursi meja makan, Mas Bayu memijit pundakku lembut, "Ada yang kamu butuhkan, sayang? Mas ambilkan," tawar suamiku berbisik ditelinga. "Duduklah, Mas. Sini, duduklah," lirihku. Mas Bayu duduk di sebelahku. Ku lihat Bude Siti sibuk menyiapkan berbagai menu makanan. Usapan lembut di tangan dari Mas Bayu hangat terasa. "Rin, kalau kamu masih lemes, istirahat saja dirumah ... nggak usah ikut ke tempat Yu Santi. Kesehatanmu lebih penting." Aku tersenyum melih
"Rin, ayo kedalam, kamu di cari Santi," ajak Bude kepadaku. Aku bangkit lalu berucap, "Bu-ibu, saya tinggal dulu, ya," pamitku sopan. "Silakan, Rin." Aku segera masuk rumah Yu Santi bersama Bude Siti. Aku juga belum bertemu Nilam, ah seperti apa dia sekarang. Bruk "Au. Kalo jalan pake mata, tau!" ucap seorang gadis yang usianya ku taksir masih belasan tahun. Aku juga meringis sakit usai ditabrak olehnya. "Yanti! Sopan sedikit sama orang tua, dia itu tantemu, Rini," tegur Bude Siti tegas. Gadis bernama Yanti dengan dandanan menor dan cetar ini malah mencebik bibir saat menatapku. Apa salahku? Ah mungkin dia kesal saat tak sengaja ku tabrak. "Maaf, Yanti. Tante nggak sengaja. Kamu nggak papa? Ada yang sakit?" tanyaku padanya. Aku mencoba menyentuh Yanti memastikan tak ada luka di tubuhnya. "Jangan sentuh aku. Aku nggak Sudi dipegang orang miskin kaya kamu!" ucap Yanti lantang. "Yanti! Jaga mulutmu! Anak sama emak sama aja. Pergi sana!" usir Bude geram. Astaghfirullah halazim
"Yanti, sudah nggak usah ngarang cerita. Kembalikan bajuku sekarang juga," tegas ku kepadanya. Yanti malah meludah ketanah dan malah menghinaku lebih parah. "Hei, dasar maling! Pembohong besar, yang datang kesini cuma numpang makan di hajatan budeku. Nggak punya malu kamu, hah? Pake ngaku baju ini milikmu segala. Kamu bukan keluarga kami, nggak mungkin bude Santi memberimu baju ini. Dasar pembohong!" Yanti berucap lantang. Dadaku bergemuruh mendengar ucapan hinaan Yanti. Sungguh lidahnya tajam melebihi silet. Tergores hatiku dibuatnya. "Jaga mulutmu anak muda! Kau tak berhak menghakimi saya. Saya tegaskan sekali lagi, saya bukan maling. Baju itu pemberian Yu Santi dan Nilam. Kalau nggak percaya tanyakan saja kepada orangnya sendiri." Kali ini ku pasang wajah menantang kepada bocah ini. Di sabarin malah ngelunjak. "Kamu pikir aku percaya sama cerita karangan basi mu itu?" Hardik Yanti berkacak pinggang. Ya Allah, sampai mana lagi ujian kesabaran ini? Haruskah ku pertegas kepada a