Share

Membasuh Rindu

"Drama apalagi, sih, Mas. Aku pengen lekas turun. Aku rindu Yu Santi, Bude, dan yang lain!" rengeku pada Mas Bayu.

"Sabarlah sebentar lagi, sayang. Percayalah, indah pada waktunya. Sini!" Mas Bayu malah memelukku. Kini ia kenakan kacamata, persis pejabat terhormat. "Dim, lakukan tugasmu!" Mas Bayu memberi komando kepada pengawalnya.

Dimas lekas turun dari mobil. Kulihat dari dalam mobil, Dimas seperti sedang bertanya kepada salah seorang warga, lalu warga itu masuk kedalam area tenda kemudian keluar bersama si empunya hajat Yu Santi dan Mas Hadi.

Hatiku rasanya tak sabar ingin segera memeluk Yu Santi, terlebih saat bude Siti ikut keluar juga. Ku pandangi suamiku.

"Mari kita turun, sayang. Basuhlah kering rindu dihatimu itu." Mas Bayu menatapku lalu mengecup keningku.

Mas Bayu membuka pintu ia turun, lalu mengajakku turun pula, kami turun lewat pintu sebelah kanan. Rumah Yu Santi di sisi kiri mobil kami.

"Kita jalan bersama, sayang." Mas Bayu menggandeng tanganku. Persis seperti artis terkenal menggandeng kekasihnya.

Kami berjalan perlahan, ku benahi tasku di pundak. Hatiku berdebar saat kaki ini mulai melangkah. Ada rasa takut, tapi harus kutepis. Aku bukan Rini yang dulu.

"Rini!" Teriak Bude Siti saat melihatku berjalan menghampiri mereka.

"Rini! Rini! Itu, Rini, San! Itu Rini!" Wanita gemuk berdaster itu segera berlari kearahku. Ku toleh Mas Bayu, ia mengangguk. Aku setengah berlari menyambut Bude Siti. Kupeluk wanita yang dulu merawatku.

Aku berhambur dipelukan bude, Yu Santi pun ikut memelukku. Tangis bude pecah bersahutan dengan tangis Yu Santi.

"Riniku pulang, Riniku pulang. Alhamdulillah!" Begitu racau Bude. Aku dicuimi di peluk.

"Tak kusangka, kamu sampai sini, Nduk. Yayu sudah sedih mupus harapan usai menelponmu tadi pagi." Yu Santi menyeka bulir beningnya.

"Ajak, masuk. Siapkan minuman dan makanan!" Bude menggandengku.

"Bude, sebentar, suamiku ... masa ditinggal," ucapku mengingatkan bude.

"Ya ampun, saking senangnya, bude sampai lupa. Bayu, ayo masuk. Terimakasih Le, kamu mau kesini lagi." Bude memeluk suamiku. "Ajak masuk semuanya!" titah Bude.

Aku menyalami semua yang ada diarea tenda. Ada beberapa pasang mata nampak terheran saat melihatku dan Mas Bayu. Entahlah, aku tak bisa membaca ekspresi wajah Meraka satu-persatu. Bude dan Yu Santi menggandengku masuk bak seorang tamu agung. Mas Bayu masuk bersama Mas Hadi.

"Duduk dulu disini. Tak ambilin makanan dan minuman dulu." Bude sangat antusias. "Bude juga mau manggil pakdemu, pasti dia seneng banget kamu ada disini," lanjut Bude.

Kami bercakap-cakap usai bude pamit kebelakang.

"Alhamdulillah banget, akhirnya kamu datang Nduk. Mas dan Yayu mu ini bahagia tak terkira," ucap Mas Hadi. Binar matanya tak menampakkan kebohongan.

"Semua berkat Mas Bayu. Kalau bukan karena dia, mana mungkin Rini bisa kesini." Ku lirik suamiku yang sedari tadi tersenyum. Kering Mas gigimu meringis dari tadi.

Dua ibu-ibu menyodorkan minuman dan kue khas disini.

"Aku penasaran, katanya Rini kesini. Oo, bener, rupanya kamu beneran datang," ucap salah satu dari mereka lalu menyalami kami. Mereka lantas permisi kebelakang.

"Monngo di sambi, wedang dan kuenya," tawar Mas Hadi.

Kami mengangguk. Pak Ilyas selonjoran mungkin kakinya pegal. Dimas duduk tegap. Ruang tamu Yu Santi lumayan luas, ada televisi LED terpasang di tembok. Lantai di gelari tikar, cat putih menghias rumah ini.

"Mana calon manten nya?" tanyaku pada Yu Santi.

"Anu, lagi pasang hena dikamar," jawab Yu Santi.

"Mereka sudah ijab 3 hari yang lalu. Bapaknya calon laki-laki meninggal, mereka di nikahkan di depan mayit. Jadi, besok tinggal resepsi saja," terang Mas Hadi.

Ada suara heboh dari balik gorden ruang tengah. Sepertinya aku kenal suara ini.

"Ayo, itu Rini di depan," suara riuh itu menyebut namaku.

"Mana Rini?" Pakde Umar muncul membawa sate sepanjang 50 centimeter ditangannya.

"Anakku!" Seru Pakde.

Aku bangkit lantas berhambur memeluk Pakde Umar, laki-laki pengganti ayahku ini.

"Ini kamu, Nduk? Ya Allah, Alhamdulillah akhirnya kamu kesini juga, mana suamimu?" Pakde menyeka air matanya.

"Itu, Pakde, itu Mas Bayu." Ku tunjuk suamiku.

Pakde menghampiri suamiku, lantas memeluknya. Lalu menyalami semuanya.

"Ini untukmu, Nduk. Tiap ada yang nyembeleh kambing, pakde ingat kamu. Dulu, kamu paling suka sate ati kambing. Ini, makanlah. Bu, ambilkan piring dan sambel kecap!" titah pakde macam bariton tentara saja.

Pakde tak henti berucap syukur. Semua orang yang sayang kepadaku berkumpul disini.

"Mana piring dan sambel nya? Bawa sini lekas, Rini biar makan sate," ucap pakde lagi.

Kami semua tertawa melihat ekspresi kegembiraan pakde, laki-laki yang kini usianya sudah 50 tahun itu berucap sambil menangis. Lucu, haru, campur jadi satu. Mas Bayu menggeleng melihat pakdeku.

"Pakde malah nangis," kata Yu Santi.

"Atiku tahun baruan, San. Rasane lebaran campur Agustus, campur tahun baru. Seneng rakaruan. Anak wedokku teko." Pakde menyeka air matanya.

(Hatiku tahun baruan, San. Rasanya lebaran, campur Agustus, campur tahun baru. Senang tak terhingga, putriku datang)

Ku genggam tangan pakde yang kian menua, "Bukan saatnya sedih, senyumlah, aku disini Pakde," ucapku lembut.

"Iya, iya. Ini sate kesukaan mu. Ayo makan! Makanlah, Nduk," sahut Pakde Umar beliau menyuapiku sepotong sate hati kambing, tentusaja hal ini membuat hatiku ternyuh, luruh lah air mata bahagia ini.

"Heh, pada nangis. Sudah, jangan nangis lagi. Ayo semuanya makan sama-sama. Lauk seadanya, Ya." Bude datang membawa sambal pesanan Pakde beserta nasi dan segala macam lauk yang dimasak disini.

"Iya, ayo makan, pasti lapar 'kan?" Bude mengulas senyum.

"Bayu, dan Mas, Mas, semuanya. Hadi, Santi, makan." Bude ramah mengajak semuanya.

Aku melirik Mas Bayu, ada anggukan darinya. Aku mengerti, maksudnya. Kami pun makan bersama, sesekali bercengkrama melepas rindu. Sesekali gelak tawa membahana saat Pakde Umar bercerita kegiatannya.

Saat kami makan, tiba-tiba suara gaduh dan heboh muncul dari depan rumah.

"Yu Santi! Yu Santi! Itu ada mobil anggota dewan di depan. Duh, Yu, mimpi apa, sampe kedatangan tamu pejabat segala!" teriak seorang wanita histeris.

Kami semua menoleh ke sumber suara.

"Kamu?!" seru wanita itu yang ternyata Yu Yati saudara tiriku.

"Yu, Yati," lirihku.

"Kamu," lirihnya pula.

Lalu Yu Yati berkacak pinggang di ambang pintu.

"Ngapain kamu orang miskin datang kesini? Mau makan gratis, hah? Oh, atau mau pamer lagi, kesini pake mobil ala-ala pejabat biar dikira hebat!" hardik Yu Yati. Tatapan matanya setajam silet.

Aku langsung menoleh suamiku. Ia masih diam menyelesaikan makan. Sementara Dimas dan yang lain di ruangan ini nampak terkejut.

"Kenapa diam? Malu? Nggak punya muka hah? Kedok busukmu sudah kebongkar 'kan!" teriaknya lagi.

Ku letakkan piring lantas meneguk minuman yang tersedia. Aku pun bangkit hendak menyalami kakak tiriku itu. Bude menahanku. Aku berbisik padanya tak apa.

"Maaf, Yu, kalau kedatangan kami mengganggu. Apa kabar?" Ku ulurkan tangan ini.

Sementara itu, Yu Yati terus menatap benci kearahku. Tanpa kusangka tanganku ditepis kasar olehnya. Sakit, tentu saja sakit.

"Yati!" pekik Pakde Umar.

Pakde bangkit lalu menolongku. "Kamu nggak papa?"

Aku mengangguk. Seketika Mas Bayu menghentikan makannya. Lalu menatapku dan menatap Yu Yati.

"Yati, apa yang kamu lakukan. Jaga adabmu!" Yu Santi ikut bicara.

Yu Yati masih berkacak pinggang, masuk lalu mengamati kami semua.

"Pembohong besar seperti mereka ini, tak perlu dihormati. Orang miskin yang banyak gaya begini, apa bagusnya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status