Share

Pemulung itu

Perjalanan dilanjutkan, aku terlena dalam dekapan hangat Mas Bayu. Dekapan yang mampu membalut semua luka-luka masalalu. Mas Bayu laki-laki terbaik yang dikirim Allah untukku. Mungkin ini semua sebagai hadiah kesabaran dimasalalu. Seperti yang Bude bilang.

Aku terlelap dalam perjalanan ini, hingga ku bangun saat Mas Bayu memanggilku.

"Ayo, turun dulu, kita rehat sebentar sambil makan siang," ajaknya ramah.

"Kita sudah sampai?" tanyaku saat membuka mata.

"Belum, sayang. Sebentar lagi, kita makan siang dulu. Aku nggak mau kejadian lalu terulang, saat kita sampai di Sidoarjo, kamu kelaparan hingga maagmu kambuh. Ayo, makan dulu."

Mas Bayu mengusap lembut pucuk kepalaku yang terbalut hijab. Ia berdiri di luar mobil. Lalu membantuku turun.

"Mas, jam berapa ini? Aku belum shalat Dzuhur," Ku usap wajah ini.

Suamiku berkacamata hitam melempar senyum. "Jam setengah dua siang, lekaslah jika tak ingin waktu Dzuhur habis."

Aku dan suami singgah di sebuah pondok santap yang sangat apik. Segera ku membersihkan diri lalu sholat Dzuhur. Usai shalat, ku hampiri Mas Bayu di meja lesehan.

"Mas," sapaku ramah. Aku duduk disampingnya.

"Mbak, sini!" teriak Mas Bayu pada seorang pelayan.

"Siapkan semua menu yang ada disini, sekarang. Istri saya sudah disini," ucapnya ramah.

Si pelayan mengangguk ramah lalu permisi.

"Mas, kok semua menu? Siapa yang akan makan? Nanti mubazir," gerutuku padanya.

"Nggak akan mubazir, kita makan sama-sama, pokoknya kamu harus coba semua menu disini ya! Terus kasih komentar deh," cerocos suamiku.

Aneh. Emang aku ini juri MasterChef? Segala suruh cicip menu masakan. Tak apalah, aku nurut saja.

Tak berapa lama, para pelayan menyiapkan semua pesanan yang diminta Mas Bayu. Ada Nila bakar, gurame bakar, pepes Nila, lele goreng, lengkap dengan sambal dan lalapan. Aku tak yakin bisa menghabiskan semuanya.

Seorang bapak dan ibu menghampiri kami, "Selamat siang, Pak Bayu, Bu Rini," sapa mereka ramah.

"Oh, siang. Mari ikut makan bersama kami," ajak suamiku. "Ini istri saya, yang saya ceritakan tadi." Mas Bayu mengenalkan aku.

"Wah, cantik sekali istri Bapak," puji mereka berdua.

"Sayang, mereka ini, Pak Joko dan ibu Ana, penanggung jawab warung ini." Mas Bayu nampak semangat mengenalkan mereka.

"Oh, iya, Mas. Em, Mas sering kesini? Kok sudah akrab sama pemilik tempat makan ini?" selidikku pada Mas Bayu.

"Pak Bayu ini adalah -

"Pelanggan! Iya, pelanggan warung ini," sahut Mas Bayu memotong kalimat Pak Joko. "Ayo segera makan, nanti kita lanjutkan perjalanan."

Kok aneh, sih? Seperti ada yang disembunyikan oleh suamiku, apa ya?

"Ya sudah, Pak, Bu, monggo di nikmati hidangannya, kami permisi dulu, warung makin ramai," pamit Ibu Ana ramah.

"Oh, iya, silakan."

Mereka kemudian pergi melayani pembeli diwarung ini.

"Ayo, dimakan. Ini gurame dan Nila bakarnya enak loh, kalo kurang nanti pesen lagi," ucap Mas Bayu.

Aku yang sudah lapar langsung saja mulai makan.

Hem, nikmatnya! Kok seperti masakan Mas Bayu dan aku bila dirumah, ya?

"Mas, ini kok rasanya mirip kaya ikan bakar kita kalo dirumah?" ceplosku.

"Ah, masa? Enak maksudmu?" Mas Bayu masih menyantap makanannya.

Aku mengangguk lalu melahap makanan ini. Nikmat sekali, sambalnya, ikan bakarnya, pas.

"Lidahmu nggak salah sayang. Warung makan ini, memang milik kita. Mereka tadi orang suruhan Mas untuk bertanggung jawab disini."

Hah? Sontak aku keselek mendengar penuturan suamiku.

"Pelan-pelan, dong, Yang!" Mas Bayu nampak khawatir. Ia memberiku minum.

"Jadi ini?"

"Iya. Sesuai permintaanmu. Katanya pengen punya warung makan. Ya ini, kuwujudkan. Gimana, suka?"

Aku semakin takjub sama suamiku. Benar, ia laki-laki terbaik, semua impianku ia wujudkan.

"Aku tak pernah main-main dengan apa yang pernah ku ucapkan padamu, Rini. Akan kubuat kamu bahagia. Itu janjiku," ucap Mas Bayu menatap lekat kearahku.

Ya, Mas Bayu tau segalanya. Hidupku, masalalu ku. Sungguh, dia laki-laki terbaik.

"Mau tambah lagi?"

Aku menggeleng. "Perutku nggak muat, Mas," ucapku padanya.

"Oh, kirain mau nambah. Aku nggak mau kamu kelaparan dan sakit lagi seperti dulu. Makanya ku dirikan warung makan disini, untukmu. Bila kita pulang, setidaknya kita bisa makan dulu sebelum sampai kampung halamanmu." Mas Bayu menyesap jus alpukat miliknya.

"Mas, rumah Yu Santi 'kan dekat rumah Bude, jadi pasti kali ini kita nggak akan kelaparan, beda dengan dulu." Aku berusaha meredam semburat api Dimata suamiku.

"Aku masih kesal sama saudara tirimu itu. Nanti kalau dia berulah lagi, ku pastikan mulut mereka bungkam," ujarnya lagi.

Aku terdiam, menatap suamiku sekarang. Sepertinya dia tak main-main.

"Sesuai janjiku padamu. Aku tak akan membiarkan mereka menghina kita lagi. Akan ku balas mereka dengan caraku. Cukup sudah semua derita yang mereka beri untukmu. Kini saatnya mereka membayar semuanya."

Apa maksud ucapan Mas Bayu?

"Mas, aku sudah bahagia bersamamu. Biarkan mereka. Jangan kau balas kejahatan mereka dimasalalu." Aku berusaha mengingatkan.

"Aku punya cara membalas mereka. Lihat saja nanti. Tenanglah, aku tak akan menyakiti mereka."

Mas Bayu bangkit lalu berucap, "Bersiaplah, ada kejutan spesial untukmu, sayang."

Hah? Kejutan apalagi? Ah, suamiku memang selalu begini, bikin aku penasaran. Alhamdulillah, ya Allah telah memberiku laki-laki yang baik hati.

"Ayo, kita jalan lagi," ajaknya mengulurkan tangan.

Aku segera bangkit lantas menggandeng tangannya. Sambil berjalan, kuamati keadaan sekitar, aku suka warung ini, bersih, nyaman, makanannya pun enak.

"Lho, Pak Bayu, sudah mau jalan lagi?" tanya Pak Joko.

"Iya, Pak. Mumpung masih siang," jawab Mas Bayu ramah.

"Lain kali, singgah kerumah, Pak, sambil lihat kolam-kolam ikan."

"Pasti, lain waktu kami akan tinjau kolam ikan disini."

Kolam ikan? Jadi selain warung makan, ada kolam ikan juga? Benar-benar suamiku pebisnis ulung, apa saja dia lakoni.

"Ya, sudah, permisi Pak." Kami pamit melanjutkan perjalanan lagi.

Aku menuju mobil dengan berbagai pertanyaan dikepala.

"Pergi! Jangan disini. Pemulung dilarang berada di areal ini. Sana kebelakang!" Suara teriakan menarik perhatianku. Aku urung membuka pintu mobil.

Ku perhatikan seorang bapak berbaju lusuh memegang karung, dekil dan kotor tanpa alas kaki. Aku terkejut setelah melihat wajahnya. Ternyata dia salah seorang yang ku kenal.

Segera ku masuk mobil agar dia tak mengenaliku. Aku takut sekali kepadanya. Keringatku mengucur deras, bayang masalalu tergambar lagi. Sesekali ku intip pria itu lewat jendela mobil.

"Rini, sayang," panggilan suamiku menyentak diri ini yang terbuai ketakutan dimasalalu.

"Pak jalan cepat, Pak!" Sentakku pada Pak Ilyas, aku tak ingin laki-laki itu mendekat kesini.

"Pak, cepat jalan!" Lagi ku sentak sopir pribadiku.

Aku panik bukan kepalang, entahlah, aku sangat takut terhadap laki-laki itu.

"Sayang, ada apa denganmu? Kenapa kamu panik begini?" Mas Bayu nampak khawatir.

"Ada apa, Bu?" Pengawal Mas Bayu ikut bertanya.

Ku hiraukan pertanyaan Mas Bayu dan pengawalnya, ku sibuk memandangi kearah belakang, jangan sampai laki-laki itu tau aku di mobil ini. Nafasku memburu.

"Minum, sayang, minumlah, tenangkan dirimu." Mas Bayu menyodorkan sebotol air mineral kepadaku.

Lekas kuminum. Aku sedikit lega, mobil menjauh dari si pemulung itu.

"Sayang, ada apa denganmu? Kenapa kau nampak ketakutan?" Mas Bayu menyeka keringat di wajah ini.

"Pemulung itu, Mas. Pemulung itu," aku masih ketakutan.

"Iya, ada apa dengan pemulung itu?"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status