Perjalanan dilanjutkan, aku terlena dalam dekapan hangat Mas Bayu. Dekapan yang mampu membalut semua luka-luka masalalu. Mas Bayu laki-laki terbaik yang dikirim Allah untukku. Mungkin ini semua sebagai hadiah kesabaran dimasalalu. Seperti yang Bude bilang.
Aku terlelap dalam perjalanan ini, hingga ku bangun saat Mas Bayu memanggilku."Ayo, turun dulu, kita rehat sebentar sambil makan siang," ajaknya ramah."Kita sudah sampai?" tanyaku saat membuka mata."Belum, sayang. Sebentar lagi, kita makan siang dulu. Aku nggak mau kejadian lalu terulang, saat kita sampai di Sidoarjo, kamu kelaparan hingga maagmu kambuh. Ayo, makan dulu."Mas Bayu mengusap lembut pucuk kepalaku yang terbalut hijab. Ia berdiri di luar mobil. Lalu membantuku turun."Mas, jam berapa ini? Aku belum shalat Dzuhur," Ku usap wajah ini.Suamiku berkacamata hitam melempar senyum. "Jam setengah dua siang, lekaslah jika tak ingin waktu Dzuhur habis."Aku dan suami singgah di sebuah pondok santap yang sangat apik. Segera ku membersihkan diri lalu sholat Dzuhur. Usai shalat, ku hampiri Mas Bayu di meja lesehan."Mas," sapaku ramah. Aku duduk disampingnya."Mbak, sini!" teriak Mas Bayu pada seorang pelayan."Siapkan semua menu yang ada disini, sekarang. Istri saya sudah disini," ucapnya ramah.Si pelayan mengangguk ramah lalu permisi."Mas, kok semua menu? Siapa yang akan makan? Nanti mubazir," gerutuku padanya."Nggak akan mubazir, kita makan sama-sama, pokoknya kamu harus coba semua menu disini ya! Terus kasih komentar deh," cerocos suamiku.Aneh. Emang aku ini juri MasterChef? Segala suruh cicip menu masakan. Tak apalah, aku nurut saja.Tak berapa lama, para pelayan menyiapkan semua pesanan yang diminta Mas Bayu. Ada Nila bakar, gurame bakar, pepes Nila, lele goreng, lengkap dengan sambal dan lalapan. Aku tak yakin bisa menghabiskan semuanya.Seorang bapak dan ibu menghampiri kami, "Selamat siang, Pak Bayu, Bu Rini," sapa mereka ramah."Oh, siang. Mari ikut makan bersama kami," ajak suamiku. "Ini istri saya, yang saya ceritakan tadi." Mas Bayu mengenalkan aku."Wah, cantik sekali istri Bapak," puji mereka berdua."Sayang, mereka ini, Pak Joko dan ibu Ana, penanggung jawab warung ini." Mas Bayu nampak semangat mengenalkan mereka."Oh, iya, Mas. Em, Mas sering kesini? Kok sudah akrab sama pemilik tempat makan ini?" selidikku pada Mas Bayu."Pak Bayu ini adalah -"Pelanggan! Iya, pelanggan warung ini," sahut Mas Bayu memotong kalimat Pak Joko. "Ayo segera makan, nanti kita lanjutkan perjalanan."Kok aneh, sih? Seperti ada yang disembunyikan oleh suamiku, apa ya?"Ya sudah, Pak, Bu, monggo di nikmati hidangannya, kami permisi dulu, warung makin ramai," pamit Ibu Ana ramah."Oh, iya, silakan."Mereka kemudian pergi melayani pembeli diwarung ini."Ayo, dimakan. Ini gurame dan Nila bakarnya enak loh, kalo kurang nanti pesen lagi," ucap Mas Bayu.Aku yang sudah lapar langsung saja mulai makan.Hem, nikmatnya! Kok seperti masakan Mas Bayu dan aku bila dirumah, ya?"Mas, ini kok rasanya mirip kaya ikan bakar kita kalo dirumah?" ceplosku."Ah, masa? Enak maksudmu?" Mas Bayu masih menyantap makanannya.Aku mengangguk lalu melahap makanan ini. Nikmat sekali, sambalnya, ikan bakarnya, pas."Lidahmu nggak salah sayang. Warung makan ini, memang milik kita. Mereka tadi orang suruhan Mas untuk bertanggung jawab disini."Hah? Sontak aku keselek mendengar penuturan suamiku."Pelan-pelan, dong, Yang!" Mas Bayu nampak khawatir. Ia memberiku minum."Jadi ini?""Iya. Sesuai permintaanmu. Katanya pengen punya warung makan. Ya ini, kuwujudkan. Gimana, suka?"Aku semakin takjub sama suamiku. Benar, ia laki-laki terbaik, semua impianku ia wujudkan."Aku tak pernah main-main dengan apa yang pernah ku ucapkan padamu, Rini. Akan kubuat kamu bahagia. Itu janjiku," ucap Mas Bayu menatap lekat kearahku.Ya, Mas Bayu tau segalanya. Hidupku, masalalu ku. Sungguh, dia laki-laki terbaik."Mau tambah lagi?"Aku menggeleng. "Perutku nggak muat, Mas," ucapku padanya."Oh, kirain mau nambah. Aku nggak mau kamu kelaparan dan sakit lagi seperti dulu. Makanya ku dirikan warung makan disini, untukmu. Bila kita pulang, setidaknya kita bisa makan dulu sebelum sampai kampung halamanmu." Mas Bayu menyesap jus alpukat miliknya."Mas, rumah Yu Santi 'kan dekat rumah Bude, jadi pasti kali ini kita nggak akan kelaparan, beda dengan dulu." Aku berusaha meredam semburat api Dimata suamiku."Aku masih kesal sama saudara tirimu itu. Nanti kalau dia berulah lagi, ku pastikan mulut mereka bungkam," ujarnya lagi.Aku terdiam, menatap suamiku sekarang. Sepertinya dia tak main-main."Sesuai janjiku padamu. Aku tak akan membiarkan mereka menghina kita lagi. Akan ku balas mereka dengan caraku. Cukup sudah semua derita yang mereka beri untukmu. Kini saatnya mereka membayar semuanya."Apa maksud ucapan Mas Bayu?"Mas, aku sudah bahagia bersamamu. Biarkan mereka. Jangan kau balas kejahatan mereka dimasalalu." Aku berusaha mengingatkan."Aku punya cara membalas mereka. Lihat saja nanti. Tenanglah, aku tak akan menyakiti mereka."Mas Bayu bangkit lalu berucap, "Bersiaplah, ada kejutan spesial untukmu, sayang."Hah? Kejutan apalagi? Ah, suamiku memang selalu begini, bikin aku penasaran. Alhamdulillah, ya Allah telah memberiku laki-laki yang baik hati."Ayo, kita jalan lagi," ajaknya mengulurkan tangan.Aku segera bangkit lantas menggandeng tangannya. Sambil berjalan, kuamati keadaan sekitar, aku suka warung ini, bersih, nyaman, makanannya pun enak."Lho, Pak Bayu, sudah mau jalan lagi?" tanya Pak Joko."Iya, Pak. Mumpung masih siang," jawab Mas Bayu ramah."Lain kali, singgah kerumah, Pak, sambil lihat kolam-kolam ikan.""Pasti, lain waktu kami akan tinjau kolam ikan disini."Kolam ikan? Jadi selain warung makan, ada kolam ikan juga? Benar-benar suamiku pebisnis ulung, apa saja dia lakoni."Ya, sudah, permisi Pak." Kami pamit melanjutkan perjalanan lagi.Aku menuju mobil dengan berbagai pertanyaan dikepala."Pergi! Jangan disini. Pemulung dilarang berada di areal ini. Sana kebelakang!" Suara teriakan menarik perhatianku. Aku urung membuka pintu mobil.Ku perhatikan seorang bapak berbaju lusuh memegang karung, dekil dan kotor tanpa alas kaki. Aku terkejut setelah melihat wajahnya. Ternyata dia salah seorang yang ku kenal.Segera ku masuk mobil agar dia tak mengenaliku. Aku takut sekali kepadanya. Keringatku mengucur deras, bayang masalalu tergambar lagi. Sesekali ku intip pria itu lewat jendela mobil."Rini, sayang," panggilan suamiku menyentak diri ini yang terbuai ketakutan dimasalalu."Pak jalan cepat, Pak!" Sentakku pada Pak Ilyas, aku tak ingin laki-laki itu mendekat kesini."Pak, cepat jalan!" Lagi ku sentak sopir pribadiku.Aku panik bukan kepalang, entahlah, aku sangat takut terhadap laki-laki itu."Sayang, ada apa denganmu? Kenapa kamu panik begini?" Mas Bayu nampak khawatir."Ada apa, Bu?" Pengawal Mas Bayu ikut bertanya.Ku hiraukan pertanyaan Mas Bayu dan pengawalnya, ku sibuk memandangi kearah belakang, jangan sampai laki-laki itu tau aku di mobil ini. Nafasku memburu."Minum, sayang, minumlah, tenangkan dirimu." Mas Bayu menyodorkan sebotol air mineral kepadaku.Lekas kuminum. Aku sedikit lega, mobil menjauh dari si pemulung itu."Sayang, ada apa denganmu? Kenapa kau nampak ketakutan?" Mas Bayu menyeka keringat di wajah ini."Pemulung itu, Mas. Pemulung itu," aku masih ketakutan."Iya, ada apa dengan pemulung itu?"POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,
POV Bayu Aku keluar dari ruangan Dokter dengan hati yang hancur. Air mataku terus menetes mengurai sakit di dada. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. "Ya Allah! Aku gagal! Aku lalai! Aku suami yang gagal menjaga istriku!" Tangis ini kutumpahkan, tubuhku luruh bersandar di dinding. Separuh jiwaku seakan hilang. Mama, iya aku harus memberitahu Mama dan yang lain. Segera saja kuambil ponselku lalu kukirim pesan untuk Mama, Bang Riza, dan Mbak Rosa. Sedang berkirim pesan, ponsel ini bergetar sebuah panggilan dari Dimas muncul. "Halo! Assalamualaikum!" "Wa'alaikum salam. Rini gimana, Bay?" Perlahan kupijat kening ini, "Kritis. Rini kena sirosis, dia butuh donor hati." Aku terisak. "Innalilahi! Ya Allah, sabar, Bay! Aku mau ke rumah sakit sekarang, apa saja yang perlu dibawa?" "Bawakan saja baju ganti untukku dan Nadia, jangan lupa selimut juga. Kamu sama siapa kesini?" "Semuanya, Bay. Kami sekeluarga ke rumah sakit." "Oke, hati-hati dijalan. Assalamualaikum!" Telepon ku
POV Bayu Ponselku berdering saat aku sedang menemani Nadia dan Zidan memberi makan ikan dikolam. Kulihat Eis yang menelpon hem, ada apa ya? Kujawab segera telpon Eis. "Assalamualaikum, Is, ada apa?" "Bay, cepat pulang sekarang! Rini pingsan. Ia batuk darah!" Suara Eis setengah berteriak dan terisak. Eis panik. "Apa?" Aku terkejut bukan main. Tadi Rini baik-baik saja. Astaghfirullah ada apa dengan istriku? "Baik, aku pulang!" Sambungan telepon kumatikan. "Nadia, kita pulang yuk, Nak. Bunda pingsan Sayang," ucapku pada Nadia. Wajah Nadia dan Zidan nampak terkejut. "Rini pingsan?" Dimas memastikan. "Bunda!" Nadia berlari sambil menangis berteriak memanggil ibunya. Segera ku kejar Nadia. Kuraih tubuh Nadia lalu ku gendong menuju motor, kami segera pulang. Kupacu motor ini Nadia terus menangis. Rini, ada apa denganmu, Sayang? Hatiku cemas bukan main. Teringat beberapa malam yang lalu Rini mimisan. Apa yang terjadi dengan Rini? Motor kuparkir dihalaman rumah, Nadia melesat masuk
Mas Bayu sigap mengambilkan tisu. "Suhu badanmu terlalu tinggi, Yang. Jadi mimisan," ucap Mas Bayu. "Iya, bisa jadi, Mas." Aku berusaha tenang dalam situasi ini. Darah yang keluar juga tidak terlalu banyak. "Udah nggak keluar kok. Minum parasetamol, ya?" Mas Bayu menawarkan obat. Aku menggeleng. "Enggaklah, aku malas ketergantungan obat." Aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana?" Mas Bayu mengernyitkan kening. "Pipis. Mas kalo cape tidur lagi aja." Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu berwudhu. Sepertiga malam masih ada, ingin rasanya mengadukan semua ini kepada pemilik alam semesta. Kulihat Mas Bayu sudah tidur lagi. Segera saja kutunaikan kiamul lail. Kupasrahkan semua masalahku kepada sang Khalik. Usai sholat dan berdoa, aku kembali tidur. ________"Yang, bangun, subuh." Suara Mas Bayu mengusik istirahat ku. "Oh, sudah subuh." Mataku mengerjap perlahan. Mas Bayu mengecek suhu tubuhku. "Sudah turun panasnya. Alhamdulillah!" Kulihat Mas Bayu sudah berlilit kain
Aku termenung dengan hasil lab yang menyatakan aku tidak hamil. Ingin cek kedokter spesialis penyakit dalam, rasanya masih ragu. Mungkin hasil lab ini salah. Masa iya aku nggak hamil? Aku memilih pulang saja. __________ "Assalamualaikum!" sapaku saat masuk rumah. Lelah hati, pikiran dan tubuh ini. "Wa'alaikum salam. Ibu sudah pulang," art rumah ini menyambut kedatangan ku. Kujatuhkan bobot tubuh ini disofa. "Bi, tolong ambilkan minum. Oh iya, suruh Dito jemput Nadia, ya!" Aku terpejam sambil memberi perintah kepada art-ku. "Maaf, Bu. Mbak Nadia sudah pulang, sekarang diajak Oma pergi jalan-jalan ke mol." Ah, selalu saja begini. Nadia kalau sudah ke mall sama Omanya bisa betah seharian. "Ya udah, deh. Bawakan minuman saya ke kamar. Saya mau istirahat." Aku bangkit dan melenggang ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang membaca lagi hasil lab tadi. Ah, lebih baik kubuang saja surat ini. Segera kurobek surat hasil lab rumah sakit. "Permisi, Bu, ini minumannya. Maaf, Bu. Ibu mau makan
"Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad