POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,
Yang kau bilang miskin[Kalo nggak punya tentengan mending nggak usah brangkat. Malu lah makan gratis] Sebuah status Yu Yati terpampang di ponselku. Entahlah Apa yang dia tuliskan, yang jelas kok hati ini merasa tersindir, ya. 3 tahun lalu, saat ia hajatan, memang aku dan Mas Bayu tidak membawa apa-apa saat menghadiri hajatan itu. Alhasil, aku di buly habis-habisan oleh Yu Yati. Padahal, amplop kami bisa dibilang lumayan. Tapi, tetap saja dicibir. Sudahlah, husnudhon saja, mungkin itu bukan untuk menyindirku. Benar kata Mas Bayu, orang seperti Yu Yati itu, nggak akan bisa melihat apapun yang kami berikan, berbeda dengan suaminya, Mas Paijo, beliau lebih bisa menghargai kami, bahkan usai malam pembukaan amplop, beliau mengucap terimakasih setelah tahu, berapa jumlah uang sumbangan kami. "Bagaimana aku membalasnya? Sumbangan mu banyak sekali." Begitu katanya. Namun, aku dan suami, sama sekali tak mengharap mereka mengembalikan uang itu. Kami ikhlas membantu saudara. "Sudahlah, Mas,
Perjalanan dilanjutkan, aku terlena dalam dekapan hangat Mas Bayu. Dekapan yang mampu membalut semua luka-luka masalalu. Mas Bayu laki-laki terbaik yang dikirim Allah untukku. Mungkin ini semua sebagai hadiah kesabaran dimasalalu. Seperti yang Bude bilang. Aku terlelap dalam perjalanan ini, hingga ku bangun saat Mas Bayu memanggilku. "Ayo, turun dulu, kita rehat sebentar sambil makan siang," ajaknya ramah. "Kita sudah sampai?" tanyaku saat membuka mata. "Belum, sayang. Sebentar lagi, kita makan siang dulu. Aku nggak mau kejadian lalu terulang, saat kita sampai di Sidoarjo, kamu kelaparan hingga maagmu kambuh. Ayo, makan dulu." Mas Bayu mengusap lembut pucuk kepalaku yang terbalut hijab. Ia berdiri di luar mobil. Lalu membantuku turun. "Mas, jam berapa ini? Aku belum shalat Dzuhur," Ku usap wajah ini. Suamiku berkacamata hitam melempar senyum. "Jam setengah dua siang, lekaslah jika tak ingin waktu Dzuhur habis." Aku dan suami singgah di sebuah pondok santap yang sangat apik. S
Bayangan masalalu kekejaman sosok laki-laki yang kini menjadi pemulung terus saja menghantuiku. "Dasar anak s*t*n! Siapa yang menyuruhmu masuk kamar ini?" "Maaf, Mas. Rini cuma mau membersihkan kamar ini." "Pergi kamu! Pergi!" Dia mendorongku keras hingga kepalaku membentur tembok. Darah seegar keluar dari pelipisku. Tak henti dia saat melihatku terluka, sapu yang ku bawa direbutnya paksa, lalu dengan bringas ia memukuli tubuh kecil ini. Bahkan ia tak hirau jerit tangisku. "Hentikan, Johan! Hentikan!" Teriakan Yu Santi saat itu. "Jika dia terluka, Bapak akan marah!" Teriak Yu Santi lagi. Sementara Yu Yati dan Diki malah menertawakan ku. "Biar saja anak ini mati. Dia selalu mengganggu privasi ku. Aku lagi tidur diganggu juga!" Hardik Mas Johan. Aku segera dibawa oleh Yu Santi. Ia mengobati luka dikepalaku, lantas membuatkan obat oles untuk mengobati luka memar di tubuhku akibat pukulan Mas Johan. "Apa yang kau lakukan hingga Johan marah padamu?" Yu Santi dengan telaten mengoba
"Drama apalagi, sih, Mas. Aku pengen lekas turun. Aku rindu Yu Santi, Bude, dan yang lain!" rengeku pada Mas Bayu. "Sabarlah sebentar lagi, sayang. Percayalah, indah pada waktunya. Sini!" Mas Bayu malah memelukku. Kini ia kenakan kacamata, persis pejabat terhormat. "Dim, lakukan tugasmu!" Mas Bayu memberi komando kepada pengawalnya. Dimas lekas turun dari mobil. Kulihat dari dalam mobil, Dimas seperti sedang bertanya kepada salah seorang warga, lalu warga itu masuk kedalam area tenda kemudian keluar bersama si empunya hajat Yu Santi dan Mas Hadi. Hatiku rasanya tak sabar ingin segera memeluk Yu Santi, terlebih saat bude Siti ikut keluar juga. Ku pandangi suamiku. "Mari kita turun, sayang. Basuhlah kering rindu dihatimu itu." Mas Bayu menatapku lalu mengecup keningku. Mas Bayu membuka pintu ia turun, lalu mengajakku turun pula, kami turun lewat pintu sebelah kanan. Rumah Yu Santi di sisi kiri mobil kami. "Kita jalan bersama, sayang." Mas Bayu menggandeng tanganku. Persis seperti
"Yati!" teriak Mas Hadi. Urat lehernya timbul. Pakde Umar berdiri di hadapanku, ia menghadang Yu Yati. "Kenapa, Mas? Nggak perlu membentak ku begitu. Aku cuma mau ngasih tau orang miskin nggak tau diri ini," celoteh Yu Yati. Kulihat, Mas Bayu suamiku meremas gelas plastik bekas air mineral. Tapi sepertinya ia masih bisa menahan emosi. "Kau pikir dengan memakai mobil Pajero seport begitu, serta membawa sopir sewaan ini bisa menipu ku? Sekali miskin tetap miskin aja. Nggak usah belagu!" hardik Yu Yati lagi. Dimas sontak berdiri. "Jaga sikap Anda!" Bentak Dimas. "Dim, biarlah. Tenang, duduklah," ucap suamiku. Dimas mengikuti arahan suamiku. Kulihat, banyak pasang mata menyaksikan kearoganan dan keangkuhan Yu Yati. Mereka ada yang berbisik juga. "Heh Bayu, jangan sok sokan jadi orang kaya disini. Lagaknya seperti pejabat, mobil rentalan saja bangga." Yu Yati masih berapi-api. "Dan kamu laki-laki sok jago, mau-maunya diperalat oleh pembohong seperti dia!" Telunjuk Yu Yati mengarah
"Nggak usah sedih begitu, nanti kita belikan sesuatu untuk Bude usai acara Yu Santi beres. Tenanglah. Mana kuncinya? Mas kebelet, nih," Suamiku menadah minta kunci rumah. Aku tertawa geli. Bisa aja dia berulah pake bilang kebelet segala. Aku segera membuka kunci rumah Pakde Umar. "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam. Kamar mandi dimana, Yang?" Suamiku nyelonong masuk. "Lurus, masuk, belok kiri, kamar mandi di pojokan." Masih seperti dulu, rumah ini selalu rapi. Ruang tamu, tuang tengah, masih yang dulu. Bayangan masalalu saat ku masuk ruang tengah tergambar. Bayangan dimana aku dan ketiga anak Pakde menggambar bersama, mas Yuda membuatkan gambar pesawat untukku. Mas Ari mewarnai gambar motor kesukaannya. Aku bermain boneka bersama Mbak Eis disini, hingga kami tertidur di siang hari diruangan ini. Indah, indah sekali waktu itu. "Pak, Ilyas, Dimas, masuklah. Istirahat dulu," Ku persilahkan dua orang suruhan Mas Bayu masuk. Dimas membawa koper milikku dan Mas Bayu. "Mau ditaruh ma
Aku ingin sekali berziarah ke makam ayah dan ibu. Sudah lama sekali aku tak mengunjungi makam kedua orangtuaku. Tapi, malas rasanya bila harus bertemu Yu Yati lagi. Arah makam 'kan melewati rumah sausara tiriku itu."Rin, Rini! Kok ngelamun. Ayam pada mati nanti," tegur Bude Siti. "Ah, enggak Bude. Sebenernya pengen sih, ke makam. Tapi, malas kalo harus melewati rumah Yu Yati. Orang itu 'kan nekat. Aku nggak mau nanti dia berulah dan viral deh aku," candaku kepada Bude Siti. "Sekarang kalau kemakam, jalannya mutar lebih mudah. Mobil juga bisa masuk. Sejak ada pembangunan irigasi setahun yang lalu, jalan arah makam dialihkan. Rumah Yati tidak dilokasi yang dulu, dia sudah pindah ke belakang kampung ini ... hampir berbatasan dengan desa Sidowaras." Pakde berucap sambil membawa handuk. Sepertinya hendak mandi. Bagai mendengar angin segar usai pakde memberitahu hal itu. Kulirik jam dinding di atas pintu arah dapur. Masih jam lima sore. "Pakde, antarkan aku kemakam ayah dan ibu. Sekara