Yang Kau Bilang Miskin

Yang Kau Bilang Miskin

Oleh:  humaidah4455  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Peringkat
80Bab
36.2KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Pembalasan dendam seorang Rini terhadap para saudara tirinya yang kejam, jahat, dan serakah. Cara apik nan elegan ditunjukkan oleh seorang Rini Wibawa

Lihat lebih banyak
Yang Kau Bilang Miskin Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Arie Safrizal
lanjutannya jgn lupa Thor ...
2023-03-27 19:43:33
0
80 Bab
Perjalanan pulang
Yang kau bilang miskin[Kalo nggak punya tentengan mending nggak usah brangkat. Malu lah makan gratis] Sebuah status Yu Yati terpampang di ponselku. Entahlah Apa yang dia tuliskan, yang jelas kok hati ini merasa tersindir, ya. 3 tahun lalu, saat ia hajatan, memang aku dan Mas Bayu tidak membawa apa-apa saat menghadiri hajatan itu. Alhasil, aku di buly habis-habisan oleh Yu Yati. Padahal, amplop kami bisa dibilang lumayan. Tapi, tetap saja dicibir. Sudahlah, husnudhon saja, mungkin itu bukan untuk menyindirku. Benar kata Mas Bayu, orang seperti Yu Yati itu, nggak akan bisa melihat apapun yang kami berikan, berbeda dengan suaminya, Mas Paijo, beliau lebih bisa menghargai kami, bahkan usai malam pembukaan amplop, beliau mengucap terimakasih setelah tahu, berapa jumlah uang sumbangan kami. "Bagaimana aku membalasnya? Sumbangan mu banyak sekali." Begitu katanya. Namun, aku dan suami, sama sekali tak mengharap mereka mengembalikan uang itu. Kami ikhlas membantu saudara. "Sudahlah, Mas,
Baca selengkapnya
Pemulung itu
Perjalanan dilanjutkan, aku terlena dalam dekapan hangat Mas Bayu. Dekapan yang mampu membalut semua luka-luka masalalu. Mas Bayu laki-laki terbaik yang dikirim Allah untukku. Mungkin ini semua sebagai hadiah kesabaran dimasalalu. Seperti yang Bude bilang. Aku terlelap dalam perjalanan ini, hingga ku bangun saat Mas Bayu memanggilku. "Ayo, turun dulu, kita rehat sebentar sambil makan siang," ajaknya ramah. "Kita sudah sampai?" tanyaku saat membuka mata. "Belum, sayang. Sebentar lagi, kita makan siang dulu. Aku nggak mau kejadian lalu terulang, saat kita sampai di Sidoarjo, kamu kelaparan hingga maagmu kambuh. Ayo, makan dulu." Mas Bayu mengusap lembut pucuk kepalaku yang terbalut hijab. Ia berdiri di luar mobil. Lalu membantuku turun. "Mas, jam berapa ini? Aku belum shalat Dzuhur," Ku usap wajah ini. Suamiku berkacamata hitam melempar senyum. "Jam setengah dua siang, lekaslah jika tak ingin waktu Dzuhur habis." Aku dan suami singgah di sebuah pondok santap yang sangat apik. S
Baca selengkapnya
Bayang masa lalu
Bayangan masalalu kekejaman sosok laki-laki yang kini menjadi pemulung terus saja menghantuiku. "Dasar anak s*t*n! Siapa yang menyuruhmu masuk kamar ini?" "Maaf, Mas. Rini cuma mau membersihkan kamar ini." "Pergi kamu! Pergi!" Dia mendorongku keras hingga kepalaku membentur tembok. Darah seegar keluar dari pelipisku. Tak henti dia saat melihatku terluka, sapu yang ku bawa direbutnya paksa, lalu dengan bringas ia memukuli tubuh kecil ini. Bahkan ia tak hirau jerit tangisku. "Hentikan, Johan! Hentikan!" Teriakan Yu Santi saat itu. "Jika dia terluka, Bapak akan marah!" Teriak Yu Santi lagi. Sementara Yu Yati dan Diki malah menertawakan ku. "Biar saja anak ini mati. Dia selalu mengganggu privasi ku. Aku lagi tidur diganggu juga!" Hardik Mas Johan. Aku segera dibawa oleh Yu Santi. Ia mengobati luka dikepalaku, lantas membuatkan obat oles untuk mengobati luka memar di tubuhku akibat pukulan Mas Johan. "Apa yang kau lakukan hingga Johan marah padamu?" Yu Santi dengan telaten mengoba
Baca selengkapnya
Membasuh Rindu
"Drama apalagi, sih, Mas. Aku pengen lekas turun. Aku rindu Yu Santi, Bude, dan yang lain!" rengeku pada Mas Bayu. "Sabarlah sebentar lagi, sayang. Percayalah, indah pada waktunya. Sini!" Mas Bayu malah memelukku. Kini ia kenakan kacamata, persis pejabat terhormat. "Dim, lakukan tugasmu!" Mas Bayu memberi komando kepada pengawalnya. Dimas lekas turun dari mobil. Kulihat dari dalam mobil, Dimas seperti sedang bertanya kepada salah seorang warga, lalu warga itu masuk kedalam area tenda kemudian keluar bersama si empunya hajat Yu Santi dan Mas Hadi. Hatiku rasanya tak sabar ingin segera memeluk Yu Santi, terlebih saat bude Siti ikut keluar juga. Ku pandangi suamiku. "Mari kita turun, sayang. Basuhlah kering rindu dihatimu itu." Mas Bayu menatapku lalu mengecup keningku. Mas Bayu membuka pintu ia turun, lalu mengajakku turun pula, kami turun lewat pintu sebelah kanan. Rumah Yu Santi di sisi kiri mobil kami. "Kita jalan bersama, sayang." Mas Bayu menggandeng tanganku. Persis seperti
Baca selengkapnya
Sebuah tamparan
"Yati!" teriak Mas Hadi. Urat lehernya timbul. Pakde Umar berdiri di hadapanku, ia menghadang Yu Yati. "Kenapa, Mas? Nggak perlu membentak ku begitu. Aku cuma mau ngasih tau orang miskin nggak tau diri ini," celoteh Yu Yati. Kulihat, Mas Bayu suamiku meremas gelas plastik bekas air mineral. Tapi sepertinya ia masih bisa menahan emosi. "Kau pikir dengan memakai mobil Pajero seport begitu, serta membawa sopir sewaan ini bisa menipu ku? Sekali miskin tetap miskin aja. Nggak usah belagu!" hardik Yu Yati lagi. Dimas sontak berdiri. "Jaga sikap Anda!" Bentak Dimas. "Dim, biarlah. Tenang, duduklah," ucap suamiku. Dimas mengikuti arahan suamiku. Kulihat, banyak pasang mata menyaksikan kearoganan dan keangkuhan Yu Yati. Mereka ada yang berbisik juga. "Heh Bayu, jangan sok sokan jadi orang kaya disini. Lagaknya seperti pejabat, mobil rentalan saja bangga." Yu Yati masih berapi-api. "Dan kamu laki-laki sok jago, mau-maunya diperalat oleh pembohong seperti dia!" Telunjuk Yu Yati mengarah
Baca selengkapnya
Masih seperti dulu
"Nggak usah sedih begitu, nanti kita belikan sesuatu untuk Bude usai acara Yu Santi beres. Tenanglah. Mana kuncinya? Mas kebelet, nih," Suamiku menadah minta kunci rumah. Aku tertawa geli. Bisa aja dia berulah pake bilang kebelet segala. Aku segera membuka kunci rumah Pakde Umar. "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam. Kamar mandi dimana, Yang?" Suamiku nyelonong masuk. "Lurus, masuk, belok kiri, kamar mandi di pojokan." Masih seperti dulu, rumah ini selalu rapi. Ruang tamu, tuang tengah, masih yang dulu. Bayangan masalalu saat ku masuk ruang tengah tergambar. Bayangan dimana aku dan ketiga anak Pakde menggambar bersama, mas Yuda membuatkan gambar pesawat untukku. Mas Ari mewarnai gambar motor kesukaannya. Aku bermain boneka bersama Mbak Eis disini, hingga kami tertidur di siang hari diruangan ini. Indah, indah sekali waktu itu. "Pak, Ilyas, Dimas, masuklah. Istirahat dulu," Ku persilahkan dua orang suruhan Mas Bayu masuk. Dimas membawa koper milikku dan Mas Bayu. "Mau ditaruh ma
Baca selengkapnya
Terlampau sedih
Aku ingin sekali berziarah ke makam ayah dan ibu. Sudah lama sekali aku tak mengunjungi makam kedua orangtuaku. Tapi, malas rasanya bila harus bertemu Yu Yati lagi. Arah makam 'kan melewati rumah sausara tiriku itu."Rin, Rini! Kok ngelamun. Ayam pada mati nanti," tegur Bude Siti. "Ah, enggak Bude. Sebenernya pengen sih, ke makam. Tapi, malas kalo harus melewati rumah Yu Yati. Orang itu 'kan nekat. Aku nggak mau nanti dia berulah dan viral deh aku," candaku kepada Bude Siti. "Sekarang kalau kemakam, jalannya mutar lebih mudah. Mobil juga bisa masuk. Sejak ada pembangunan irigasi setahun yang lalu, jalan arah makam dialihkan. Rumah Yati tidak dilokasi yang dulu, dia sudah pindah ke belakang kampung ini ... hampir berbatasan dengan desa Sidowaras." Pakde berucap sambil membawa handuk. Sepertinya hendak mandi. Bagai mendengar angin segar usai pakde memberitahu hal itu. Kulirik jam dinding di atas pintu arah dapur. Masih jam lima sore. "Pakde, antarkan aku kemakam ayah dan ibu. Sekara
Baca selengkapnya
Tarzan Wati
Mas Bayu sigap menopang tubuhku yang tiba-tiba melemah. "Inilah yang Bayu takutkan Pakde, jika Rini terlalu sedih, dia pasti lemas," ucap Mas Bayu. "Ya sudah, kita doakan ibumu dulu, lekas pulang, hari sudah hampir Magrib." Pakde segera memimpin doa lalu menuang air bunga yang tinggal separuh. Aku hanya bisa bersandar di tubuh suamiku. Mas Bayu berulang kali mengusap tangan ini, berulang pula mengecup keningku. "Ayo, pulang. Sudah semakin sore," ajak Pakde. Dalam kondisi begini, tentu saja aku tak kuasa berdiri bahkan berjalan. Mas Bayu dengan sigap menggendong tubuhku ke mobil. Aku tak kuasa menatap suamiku. "Tolong pintunya, Pakde," Mas Bayu membawaku kemobil, menurunkan tubuhku perlahan wajahnya nampak khawatir. Pintu mobil tertutup, ku pejamkan mata. Mobil berjalan lagi. Sepanjang perjalanan pulang, air mata ini luruh tiada henti. Bayangan ayah memelukku dulu terputar. Aku rindu ayah. "Rin, sudahlah, Nduk, jangan sedih lagi." Pakde mengajakku bicara. "Kenapa ayah harus me
Baca selengkapnya
Imitasi
Aku dan Mas Bayu berpandangan serius. Alis Mas Bayu naik separuh. "Kenapa diam? Mana oleh-oleh nya?" Lagi Eis menadah tangan meminta oleh-oleh. "Eis, jangan gitu ah. Rini sama Bayu sudah ada disini, Ibu sudah bahagia. Tak perlu lah oleh-oleh seperti yang kau pinta itu," Bude Siti menegur Eis. "Iya, Bu. Iya! Maaf, Rin, canda," sahut Eis mencubit hidungku. "Mandi dulu Is, nanti ke tempat Santi lagi. Malam ini, mau bungkusin lemper lagi." Eis berlalu kedepan, mungkin ke kamarnya. Aku bingung tentang ucapan Eis tadi. Aku duduk di kursi meja makan, Mas Bayu memijit pundakku lembut, "Ada yang kamu butuhkan, sayang? Mas ambilkan," tawar suamiku berbisik ditelinga. "Duduklah, Mas. Sini, duduklah," lirihku. Mas Bayu duduk di sebelahku. Ku lihat Bude Siti sibuk menyiapkan berbagai menu makanan. Usapan lembut di tangan dari Mas Bayu hangat terasa. "Rin, kalau kamu masih lemes, istirahat saja dirumah ... nggak usah ikut ke tempat Yu Santi. Kesehatanmu lebih penting." Aku tersenyum melih
Baca selengkapnya
Gara-gara Seragam keluarga
"Rin, ayo kedalam, kamu di cari Santi," ajak Bude kepadaku. Aku bangkit lalu berucap, "Bu-ibu, saya tinggal dulu, ya," pamitku sopan. "Silakan, Rin." Aku segera masuk rumah Yu Santi bersama Bude Siti. Aku juga belum bertemu Nilam, ah seperti apa dia sekarang. Bruk "Au. Kalo jalan pake mata, tau!" ucap seorang gadis yang usianya ku taksir masih belasan tahun. Aku juga meringis sakit usai ditabrak olehnya. "Yanti! Sopan sedikit sama orang tua, dia itu tantemu, Rini," tegur Bude Siti tegas. Gadis bernama Yanti dengan dandanan menor dan cetar ini malah mencebik bibir saat menatapku. Apa salahku? Ah mungkin dia kesal saat tak sengaja ku tabrak. "Maaf, Yanti. Tante nggak sengaja. Kamu nggak papa? Ada yang sakit?" tanyaku padanya. Aku mencoba menyentuh Yanti memastikan tak ada luka di tubuhnya. "Jangan sentuh aku. Aku nggak Sudi dipegang orang miskin kaya kamu!" ucap Yanti lantang. "Yanti! Jaga mulutmu! Anak sama emak sama aja. Pergi sana!" usir Bude geram. Astaghfirullah halazim
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status