Pembalasan dendam seorang Rini terhadap para saudara tirinya yang kejam, jahat, dan serakah. Cara apik nan elegan ditunjukkan oleh seorang Rini Wibawa
View MoreYang kau bilang miskin
[Kalo nggak punya tentengan mending nggak usah brangkat. Malu lah makan gratis]Sebuah status Yu Yati terpampang di ponselku. Entahlah Apa yang dia tuliskan, yang jelas kok hati ini merasa tersindir, ya. 3 tahun lalu, saat ia hajatan, memang aku dan Mas Bayu tidak membawa apa-apa saat menghadiri hajatan itu. Alhasil, aku di buly habis-habisan oleh Yu Yati. Padahal, amplop kami bisa dibilang lumayan. Tapi, tetap saja dicibir.Sudahlah, husnudhon saja, mungkin itu bukan untuk menyindirku. Benar kata Mas Bayu, orang seperti Yu Yati itu, nggak akan bisa melihat apapun yang kami berikan, berbeda dengan suaminya, Mas Paijo, beliau lebih bisa menghargai kami, bahkan usai malam pembukaan amplop, beliau mengucap terimakasih setelah tahu, berapa jumlah uang sumbangan kami."Bagaimana aku membalasnya? Sumbangan mu banyak sekali." Begitu katanya.Namun, aku dan suami, sama sekali tak mengharap mereka mengembalikan uang itu. Kami ikhlas membantu saudara."Sudahlah, Mas, nggak usah dipikirin, Aku sama Rini ikhlas. Kami ingin membantu Mas Paijo dan keluarga." Bagitu kata Mas Bayu.Tapi, berbeda dengan Yu Yati. Wanita culas, judes, yang notabene nya saudara tiriku itu malah menghina kami."Halah, palingan uang hasil ngutang. Biasa, biar dikira kaya bisa nyumbang dalam jumlah banyak, dibelain ngutang. Ngaku deh! Mana mungkin orang macam kalian bisa ngisi amplop sebesar itu." Itulah ucapan Yu Yati yang membuat hatiku terhiris saat itu.Beruntung Mas Bayu bisa meredakan amarahku yang terpancing saat itu, hingga aku tak melakukan hal yang memalukan. Yu Santi juga ikut menenangkan ku.Diantara ke 4 saudara tiriku, hanya Yu Santi yang peduli dan benar-benar tulus. Yang lain modus, baik bila ada maunya saja."Rini, biarkan Yati berkoar semau mulutnya, yang penting niatmu tulus. Yayu bangga sama kamu, kamu sampai segitunya menyumbang ke dia. Uang tiga juta itu bukan jumlah yang sedikit. Tapi, Yayu yakin, itu hasil usahamu. Yayu sudah dengar semua tentangmu. Alhamdulillah akhirnya kamu bisa menata hidup yang layak dikota. Tiap malam Yayu berdo'a agar hidupmu di mudahkan. Agar penderitaanmu tak berkelanjutan. Kamu sudah susah dari kecil. Jadi, Yayu berharap kini kamu hidup bahagia." Yayu menyeka air matanya kala itu, kakak tiriku itu memelukku sambil menangis."Dik, kenapa melamun? Ayo lekas bersiap, kita berangkat sekarang, biar tak kemalaman sampai di Sidoarjo," kata suamiku.Aku sontak berjingkat saat suamiku berucap. Yah, gara-gara status Yu Yati, aku gagal fokus maning.Ponselku berdering, panggilan dari Yu Santi, segera ku jawab."Assalamualaikum,""Wa'alaikum salam. Ya Allah Rini, apa semua ini? Terimakasih banyak. Yayu nggak bisa berucap, Nduk. Kirimanmu sudah datang." Suara Yu Santi terisak."Ah, Yayu, kenapa nangis? Aku yang makasih, Yayu mau menerima semua itu. Jangan marah ya, Yu," pintaku padanya."Kamu kapan kesini? Besok hari H. Apa kamu nggak bisa datang? Kenapa hanya belanjaan semobil yang datang? Kenapa bukan kamu dan Bayu yang datang? Rini, apalah artinya semua ini, kalau kamu dan suami mu tak hadir disini? Yayu sudah nyiapin seragam khusus untuk kalian," suara Yayu kini makin menjadi. Ia menangis tersedu."Yu, insyaallah kami usahakan, bisa hadir. Tapi, lihat jadwal dulu. Nggak apa 'kan, kalau telat?" Aku sengaja menggoda Yu Santi."Ya ampun Rini, sesibuk itukah kamu sekarang? Tolong datanglah, Nduk datang, Yayu mohon!" seru Yayu menangis.Ah, rasanya tak tega mendengar tangisnya itu. "Insyaallah, Yu. Diusahakan. Maaf, ya, Yu. Ada urusan, telponnya udahan dulu," pamitku padanya. Hati ini tak sanggup bila mendengar Yayu memohon. Bisa gagal surprise ku nanti. Kebetulan, Mas Bayu memanggil, bisa kujadikan alasan yang tepat."Ya, sudah. Hati-hati. Itu suamimu sudah manggil. Yang rukun ya Rini, kapanpun kamu datang, akan Yayu tunggu. Assalamualaikum,""Wa'alaikum salam."Hatiku bagai di remas, mendengar ucapan Yayu barusan. Yayu sangat sayang kepadaku, hingga sekarangpun masih kurasa, perhatiannya lewat udara sering ia berikan. Berbeda dengan saudaraku lainnya. Hanya Yu Santi yang tau keadaanku sekarang, yang lain tidak. Yu Santi bisa menjaga rahasia besar ini. Rahasia yang akan membungkam mulut-mulut saudara tiriku yang lain."Sayang, cepatlah!" Teriakan suamiku menyadarkan lamunan. Setitik air disudut mata ini ku hapus, aku sudah janji kepada Mas Bayu untuk tidak menangis lagi.Aku segera keluar kamar, menemui Mbok Yem-asisten rumahtangga ku."Mbok, Simbok," Aku mencari sosok yang selama ini menemani kami hingga di puncak kesuksesan."Nggih, Mbak Rini," wanita berkain jarik itu muncul dari arah dapur."Mbok, hati-hatilah dirumah, kalau ada apa-apa, segera kabari saya. Nanti kalo linunya kambuh, segera kedokter, minta anter Dito," pesanku kepadanya.Meskipun Simbok asisten rumah tangga kami, tapi aku sangat sayang padanya."Nggih, Mbak Rini," jawab Mbok Yem tersenyum.Aku segera berjalan menuju teras rumah, dimana mobil sudah menunggu."Lho, Mas, kok pake mobil ini? Kenapa nggak yang sederhana saja?" protesku pada Mas Bayu."Sayang, jalan masuk ke Sidoarjo itu bergelombang dan rusak, jadi aku pilih mobil ini," terangnya mengulas senyum."Ayo, lekas berangkat," ajaknya kepadaku."Kami berangkat, ya Mbok," pamitku pada Mbok Yem."Hati-hati, Mbak, Mas," katanya. Lambaian tangan mengiringi keberangkatan kami.Perjalanan kali ini, aku dan Mas Bayu ditemani oleh Pak Ilyas dan salah satu pengawal pribadi Mas Bayu.Bayangan sumringah Yu Santi, Bude Siti, Pakde Umar, Mas Yuda, Mas Ari, Mbak Eis, terpampang nyata dibenakku. Ya, merekalah yang sayang kepadaku.Setelah ibu meninggal, dan ayah menikah lagi dengan seorang janda beranak empat, hidupku berubah drastis. Ibu tiriku tak sepenuhnya sayang kepadaku, persis lagu ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja. Saudara tiriku pun demikian. Hanya Yu Santi saja yang sayang kepadaku. Setiap jadwal makan, ibu selalu memberiku makan berlauk tempe saja. Tapi, secara sembunyi, Yu Santi memberiku aneka lauk dan buah, bahkan ia menemaniku makan, tidur juga ditemani olehnya, aku seperti memiliki seorang kakak."Sayang, mau beli oleh-oleh apa?"Pertanyaan Mas Bayu menyentakku lagi."Ada apa? Kenapa sedih? Kamu tak suka perjalanan ini? Kalau kamu tak suka, marilah kita pulang saja. Yas, putar balik!" Seketika Mas Bayu memerintah sopir untuk berputar balik."Jangan, Mas. Jangan!" cegahku.Mobilpun berhenti, "Gimana, Pak? Lanjut apa pulang?" Pak Ilyas menoleh kami."Lanjut, Pak. Lanjut!" Ku seka air mata ini.Mas Bayu memggenggam tanganku, " Jangan membuatku gagal menjaga air matamu itu. Jangan bersedih lagi, kau sudah janji Rini," Mas Bayu memelukku.Tubuh ini tenggelam dalam dada bidang nan atletis itu. Maaf, Mas ... ini bukan air mata kesedihan. Ini air mata bahagia."Aku bahagia, Mas. Aku bahagia. Rasanya tak sabar ingin segera bertemu Bude dan semuanya." Ku urai rasa ini kepada Suamiku."Kalau bahagia, kenapa menangis?"POV BayuHari telah berganti malam. Wajah Rini malam ini teramat cantik. Dibalut baju gamis pilihan Nadia, Riniku mempesona. Kesehatan Rini mulai pulih. "Kamu cantik banget sih, bikin aku gemes!" Kugoda bidadariku usai Rini menidurkan Nadia. Rini tersipu malu. Ia menyelimuti putri kami. Rini beranjak membereskan boneka Nadia kutarik perlahan tangan Rini, lalu ku bopong tubuhnya. Kubawa belahan jiwaku keperaduan kami, hingga kami terlena dibuai asmara. Azan subuh membangunkan kami. Pagi ini hatiku begitu bahagia. Melihat Rini seperti sedia kala. Kami lakukan ibadah bersama, dan aktivitas seperti biasa. "Bunda, Nadia mau main kerumah Eyang, ya!" Kami sarapan bersama. "Boleh, nanti biar diantar om Panjul, ya!" Rini meneguk air putih. "Bunda, hari ini jadwal kontrol 'kan?" Kutatap wajah Rini. Bila didepan Nadia, panggilan kami berbeda."Iya, tapi ini hari Minggu, Yah. Dokternya pasti nggak ada." Riniku terseyum. "Udahlah, ngapain sih ke rumah sakit lagi?" Alis Rini terangkat. "Lho,
POV Bayu Aku keluar dari ruangan Dokter dengan hati yang hancur. Air mataku terus menetes mengurai sakit di dada. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. "Ya Allah! Aku gagal! Aku lalai! Aku suami yang gagal menjaga istriku!" Tangis ini kutumpahkan, tubuhku luruh bersandar di dinding. Separuh jiwaku seakan hilang. Mama, iya aku harus memberitahu Mama dan yang lain. Segera saja kuambil ponselku lalu kukirim pesan untuk Mama, Bang Riza, dan Mbak Rosa. Sedang berkirim pesan, ponsel ini bergetar sebuah panggilan dari Dimas muncul. "Halo! Assalamualaikum!" "Wa'alaikum salam. Rini gimana, Bay?" Perlahan kupijat kening ini, "Kritis. Rini kena sirosis, dia butuh donor hati." Aku terisak. "Innalilahi! Ya Allah, sabar, Bay! Aku mau ke rumah sakit sekarang, apa saja yang perlu dibawa?" "Bawakan saja baju ganti untukku dan Nadia, jangan lupa selimut juga. Kamu sama siapa kesini?" "Semuanya, Bay. Kami sekeluarga ke rumah sakit." "Oke, hati-hati dijalan. Assalamualaikum!" Telepon ku
POV Bayu Ponselku berdering saat aku sedang menemani Nadia dan Zidan memberi makan ikan dikolam. Kulihat Eis yang menelpon hem, ada apa ya? Kujawab segera telpon Eis. "Assalamualaikum, Is, ada apa?" "Bay, cepat pulang sekarang! Rini pingsan. Ia batuk darah!" Suara Eis setengah berteriak dan terisak. Eis panik. "Apa?" Aku terkejut bukan main. Tadi Rini baik-baik saja. Astaghfirullah ada apa dengan istriku? "Baik, aku pulang!" Sambungan telepon kumatikan. "Nadia, kita pulang yuk, Nak. Bunda pingsan Sayang," ucapku pada Nadia. Wajah Nadia dan Zidan nampak terkejut. "Rini pingsan?" Dimas memastikan. "Bunda!" Nadia berlari sambil menangis berteriak memanggil ibunya. Segera ku kejar Nadia. Kuraih tubuh Nadia lalu ku gendong menuju motor, kami segera pulang. Kupacu motor ini Nadia terus menangis. Rini, ada apa denganmu, Sayang? Hatiku cemas bukan main. Teringat beberapa malam yang lalu Rini mimisan. Apa yang terjadi dengan Rini? Motor kuparkir dihalaman rumah, Nadia melesat masuk
Mas Bayu sigap mengambilkan tisu. "Suhu badanmu terlalu tinggi, Yang. Jadi mimisan," ucap Mas Bayu. "Iya, bisa jadi, Mas." Aku berusaha tenang dalam situasi ini. Darah yang keluar juga tidak terlalu banyak. "Udah nggak keluar kok. Minum parasetamol, ya?" Mas Bayu menawarkan obat. Aku menggeleng. "Enggaklah, aku malas ketergantungan obat." Aku bangkit dari tempat tidur. "Mau kemana?" Mas Bayu mengernyitkan kening. "Pipis. Mas kalo cape tidur lagi aja." Aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka lalu berwudhu. Sepertiga malam masih ada, ingin rasanya mengadukan semua ini kepada pemilik alam semesta. Kulihat Mas Bayu sudah tidur lagi. Segera saja kutunaikan kiamul lail. Kupasrahkan semua masalahku kepada sang Khalik. Usai sholat dan berdoa, aku kembali tidur. ________"Yang, bangun, subuh." Suara Mas Bayu mengusik istirahat ku. "Oh, sudah subuh." Mataku mengerjap perlahan. Mas Bayu mengecek suhu tubuhku. "Sudah turun panasnya. Alhamdulillah!" Kulihat Mas Bayu sudah berlilit kain
Aku termenung dengan hasil lab yang menyatakan aku tidak hamil. Ingin cek kedokter spesialis penyakit dalam, rasanya masih ragu. Mungkin hasil lab ini salah. Masa iya aku nggak hamil? Aku memilih pulang saja. __________ "Assalamualaikum!" sapaku saat masuk rumah. Lelah hati, pikiran dan tubuh ini. "Wa'alaikum salam. Ibu sudah pulang," art rumah ini menyambut kedatangan ku. Kujatuhkan bobot tubuh ini disofa. "Bi, tolong ambilkan minum. Oh iya, suruh Dito jemput Nadia, ya!" Aku terpejam sambil memberi perintah kepada art-ku. "Maaf, Bu. Mbak Nadia sudah pulang, sekarang diajak Oma pergi jalan-jalan ke mol." Ah, selalu saja begini. Nadia kalau sudah ke mall sama Omanya bisa betah seharian. "Ya udah, deh. Bawakan minuman saya ke kamar. Saya mau istirahat." Aku bangkit dan melenggang ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang membaca lagi hasil lab tadi. Ah, lebih baik kubuang saja surat ini. Segera kurobek surat hasil lab rumah sakit. "Permisi, Bu, ini minumannya. Maaf, Bu. Ibu mau makan
"Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments