"Rin, ayo kedalam, kamu di cari Santi," ajak Bude kepadaku. Aku bangkit lalu berucap, "Bu-ibu, saya tinggal dulu, ya," pamitku sopan. "Silakan, Rin." Aku segera masuk rumah Yu Santi bersama Bude Siti. Aku juga belum bertemu Nilam, ah seperti apa dia sekarang. Bruk "Au. Kalo jalan pake mata, tau!" ucap seorang gadis yang usianya ku taksir masih belasan tahun. Aku juga meringis sakit usai ditabrak olehnya. "Yanti! Sopan sedikit sama orang tua, dia itu tantemu, Rini," tegur Bude Siti tegas. Gadis bernama Yanti dengan dandanan menor dan cetar ini malah mencebik bibir saat menatapku. Apa salahku? Ah mungkin dia kesal saat tak sengaja ku tabrak. "Maaf, Yanti. Tante nggak sengaja. Kamu nggak papa? Ada yang sakit?" tanyaku padanya. Aku mencoba menyentuh Yanti memastikan tak ada luka di tubuhnya. "Jangan sentuh aku. Aku nggak Sudi dipegang orang miskin kaya kamu!" ucap Yanti lantang. "Yanti! Jaga mulutmu! Anak sama emak sama aja. Pergi sana!" usir Bude geram. Astaghfirullah halazim
"Yanti, sudah nggak usah ngarang cerita. Kembalikan bajuku sekarang juga," tegas ku kepadanya. Yanti malah meludah ketanah dan malah menghinaku lebih parah. "Hei, dasar maling! Pembohong besar, yang datang kesini cuma numpang makan di hajatan budeku. Nggak punya malu kamu, hah? Pake ngaku baju ini milikmu segala. Kamu bukan keluarga kami, nggak mungkin bude Santi memberimu baju ini. Dasar pembohong!" Yanti berucap lantang. Dadaku bergemuruh mendengar ucapan hinaan Yanti. Sungguh lidahnya tajam melebihi silet. Tergores hatiku dibuatnya. "Jaga mulutmu anak muda! Kau tak berhak menghakimi saya. Saya tegaskan sekali lagi, saya bukan maling. Baju itu pemberian Yu Santi dan Nilam. Kalau nggak percaya tanyakan saja kepada orangnya sendiri." Kali ini ku pasang wajah menantang kepada bocah ini. Di sabarin malah ngelunjak. "Kamu pikir aku percaya sama cerita karangan basi mu itu?" Hardik Yanti berkacak pinggang. Ya Allah, sampai mana lagi ujian kesabaran ini? Haruskah ku pertegas kepada a
Mas Bayu tak bergeming mendengar ucapan Eis. Eis menumpahkan kekesalannya dimobil. "Sabar, Eis sabar. Kalau dipikir, seharusnya aku yang punya niatan membunuh mereka semua, terutama Johan, Diki, Yati dan ibu tiriku." "Ibu nya udah koit, Rin." Sahut Eis. "Eh sori, maksudnya mereka yang jahat dan merampas semua kebahagiaanku sejak kecil." 'Kan, masalalu terulang lagi. Sebenarnya malas sekali membahas ini. "Meraka itu emang nggak tau malu. Apa udah putus urat malunya?" Eis nampak galau. Mobil berhenti kami sampai rumah. Kami masuk rumah. Eis duduk di sofa ruang tamu, aku, Mas Bayu, Dimas dan Pak Ilyas ikut duduk juga. "Rin, traktir bakso s*t*n dong, biar keselku sembuh." Eis merengek manja. Ada-ada saja ulah Eis, masa bakso bisa menghilangkan kesal. Ya sudah ku turuti maunya dia. "Beli dimana? Sana kalau mau beli lah, minta antar Dimas," aku memberi saran. "Deliperi aja lah, paling nambah ongkos lima ribu. Kalo pesen lebih dari tiga bungkus gratis ongkir." Eis menatapku serius
Sambil menunggu pesanan makanan kami, aku dan Mas Bayu duduk diteras seperti anak muda pacaran. Disini, aku punya lebih banyak waktu bersama Mas Bayu. "Yang, Minggu depan kamu ulang tahun, mau minta apa?" Mas Bayu menatapku romantis. Oh iya, Minggu depan aku ulang tahun. Nggak terasa, aku makin tua. Hem, apa lagi yang belum kudapat? Cinta, kasih sayang, kekayaan, sudah ku miliki. Ada satu yang belum, keturunan. Ya, aku ingin segera di percaya menjadi ibu. "Cintai aku sepenuhnya, Mas. Sayangi aku sepenuhnya, itu sudah cukup bagiku. Apalah arti sebuah hadiah, bila tanpa cinta dan kasih disana." Aku menatap lekat Mas Bayu yang kini tersenyum manis sekali. "Itu saja? Nggak ada yang lain?" Mas Bayu kembali menodong pertanyaan. Ku hela nafas dalam-dalam, ku hembus perlahan. Kini pandanganku lurus kudepan melihat lampu kelap-kelip di tepi jalan. "Rin, apa ada permintaan lain?" Mas Bayu mengusap lembut tangan ini. Ko toleh suamiku, "Mas, apa yang kubutuhkan sudah kumiliki. Aku sekarang
Apa maksud perkataan Eis? Kenapa Pakde dalam bahaya? "Is, apa maksudmu pakde dalam bahaya?" Aku ingin tau kejadian sebenarnya selama aku tidak disini. Eis kulihat menarik napas panjang. Lalu Eis bercerita. "Sebelum Johan dipenjara, dia mengganggu istri Mas Yuda waktu pulang dari pasar sama ibu. Istri Mas Yuda memang cantik dan baik, Johan kepincut sama Mbak Dewi padahal Johan udah punya istri. Saat bapak tau Johan mengganggu Mbak Dewi, bapak marah dan sempat menampar Johan. Johan terpancing emosi dia sempat hendak membunuh bapak, tapi di cegah warga. Setelah itu, Mas Yuda membawa Mbak Dewi bersamanya kerja di Papua. Seminggu setelah kepergian Mas Yuda, kami dapat kabar kalau Johan membunuh dua orang sekaligus, istrinya dan selingkuhannya. Johan di tangkap polisi. Atas permintaan Yu Santi, tanah warisan bagian Johan dari ayahmu, di jual bapak untuk membiayai kasus Johan. Makanya aku takut kalau Johan nggak terima dan mencelakai bapak." Eis cerita panjang lebar. Astaghfirullah halaz
"Hei! Dasar orang tak berguna! Kau apakan Isma?!" Aku menoleh ke sumber suara, seorang ibu berdaster dan rambut acak-acakan seperti baru saja bangun tidur turun dari motor menghampiri aku dan Isma. Siapa sih pagi-pagi begini bikin rusuh? Ibu itu mendekat. Aku membantu Isma bangun dari duduknya. Ia menyeka air mata. "Yu Yati!" Ku dengar Isma bersuara. Ternyata mata Isma tak salah. Ini benar-benar Yu Yati. Manusia terculas dan judes yang pernah ku kenal. "Kau apakan Isma hah?! Kau apakan?!" teriak Yu Yati sambil mendorongku. Aku yang tak siap didorong jatuh. Tanganku sakit saat menahan beban tubuhku. "Yati! Ngapain pagi-pagi bikin ribut disini!" Eis keluar menghadapi Yu Yati. Aku ditolong Bude Siti dan Pakde Umar. "Aku nggak ada urusan dengan kalian! Isma cepet kerumah! Yanti nangis pengen makan buburmu itu!" Yu Yati berucap galak. "Maaf, Yu, Isma bungkus saja, ya!" pinta Isma. "Bungkusin tiga, cepetan!" hardik Yu Yati berkacak pinggang. Aku meringis kesakitan menahan tangan
Segera ku buang jauh pikiran negatif terhadap Yanti. Aku takut bila terus berprasangka buruk, akan mengotori hati. Kembali fokus ke meja kasir. "Mas, belanjaan gadis tadi, struknya tolong dipisah," pintaku pada kasir. "Buat apa?" bisik Eis menatapku heran. Ku beri isyarat telunjuk di bibir kepada Eis. Rasanya penasaran apa sih yang dibeli Yanti tadi. "Semuanya empat ratus tuju puluh Lima ribu, Bu." Kasir menyebutkan nilai belanja kami. Kubayar semua belanjaan ini. Dua buah struk ku terima. Struk belanjaan Bude kurobek. Struk belanjaan Yanti ku simpan. Kami segera pulang, mengingat akan ada acara di tempat Yu Santi. Saat perjalanan pulang, ku cek struk belanjaan Yanti. Aku binggung, kenapa yang dibeli anak itu obat pelancar haid sebanyak ini? Mataku memicing sat melihat jumlah obat pelancar haid yang tertera. Beruntung Eis duduk di depan asyik dengan cemilan dan berjoget ria diiringi musik koplo hingga membuatnya tak tau hal ini. Kami sampai dirumah. Aku segera turun membawa dua
Ku tatap tajam Yu Yati yang masih berdiri di ambang pintu. Bapak yang tak ku kenal pergi dari kamar ini."Hei, pembohong! Jangan kau kira ulahmu bisa menipu kami disini. Kedatanganmu disini kalau cuma membuat onar, pergi saja! Kami tak butuh kamu disini!" lantangnya sambil berkacak pinggang berlagak seperti penguasa, padahal bukan. Yu Santi berdiri mendekati Yu Yati. "Jaga mulutmu itu! Mulutmu itu busuknya melebihi bangkai! Beraninya kau usir adikku Rini, pergi kamu dari sini!" Tangan Yu Santi menunjuk keluar pintu sambil berucap tegas mengusir Yu Yati. "Apa? Yayu menyuruhku pergi dari sini? Harusnya tuh dia, orang miskin dan pembohong itu yang Yayu usir. Dia itu siapa? Yang adik kandung Yu Santi itu aku!" teriak Yu Yati lantang. "Sampai kapan pun Rini tetap adikku! Kalau kau mau ku anggap adik, perbaiki kelakuanmu itu!" sentak Yu Santi. "Yayu sudah dibutakan oleh pembohong besar itu. Biar ku beri dia pelajaran!" Yu Yati menerobos masuk hendak meraihku. Namun, dengan sigap Pakde