Apa maksud perkataan Eis? Kenapa Pakde dalam bahaya? "Is, apa maksudmu pakde dalam bahaya?" Aku ingin tau kejadian sebenarnya selama aku tidak disini. Eis kulihat menarik napas panjang. Lalu Eis bercerita. "Sebelum Johan dipenjara, dia mengganggu istri Mas Yuda waktu pulang dari pasar sama ibu. Istri Mas Yuda memang cantik dan baik, Johan kepincut sama Mbak Dewi padahal Johan udah punya istri. Saat bapak tau Johan mengganggu Mbak Dewi, bapak marah dan sempat menampar Johan. Johan terpancing emosi dia sempat hendak membunuh bapak, tapi di cegah warga. Setelah itu, Mas Yuda membawa Mbak Dewi bersamanya kerja di Papua. Seminggu setelah kepergian Mas Yuda, kami dapat kabar kalau Johan membunuh dua orang sekaligus, istrinya dan selingkuhannya. Johan di tangkap polisi. Atas permintaan Yu Santi, tanah warisan bagian Johan dari ayahmu, di jual bapak untuk membiayai kasus Johan. Makanya aku takut kalau Johan nggak terima dan mencelakai bapak." Eis cerita panjang lebar. Astaghfirullah halaz
"Hei! Dasar orang tak berguna! Kau apakan Isma?!" Aku menoleh ke sumber suara, seorang ibu berdaster dan rambut acak-acakan seperti baru saja bangun tidur turun dari motor menghampiri aku dan Isma. Siapa sih pagi-pagi begini bikin rusuh? Ibu itu mendekat. Aku membantu Isma bangun dari duduknya. Ia menyeka air mata. "Yu Yati!" Ku dengar Isma bersuara. Ternyata mata Isma tak salah. Ini benar-benar Yu Yati. Manusia terculas dan judes yang pernah ku kenal. "Kau apakan Isma hah?! Kau apakan?!" teriak Yu Yati sambil mendorongku. Aku yang tak siap didorong jatuh. Tanganku sakit saat menahan beban tubuhku. "Yati! Ngapain pagi-pagi bikin ribut disini!" Eis keluar menghadapi Yu Yati. Aku ditolong Bude Siti dan Pakde Umar. "Aku nggak ada urusan dengan kalian! Isma cepet kerumah! Yanti nangis pengen makan buburmu itu!" Yu Yati berucap galak. "Maaf, Yu, Isma bungkus saja, ya!" pinta Isma. "Bungkusin tiga, cepetan!" hardik Yu Yati berkacak pinggang. Aku meringis kesakitan menahan tangan
Segera ku buang jauh pikiran negatif terhadap Yanti. Aku takut bila terus berprasangka buruk, akan mengotori hati. Kembali fokus ke meja kasir. "Mas, belanjaan gadis tadi, struknya tolong dipisah," pintaku pada kasir. "Buat apa?" bisik Eis menatapku heran. Ku beri isyarat telunjuk di bibir kepada Eis. Rasanya penasaran apa sih yang dibeli Yanti tadi. "Semuanya empat ratus tuju puluh Lima ribu, Bu." Kasir menyebutkan nilai belanja kami. Kubayar semua belanjaan ini. Dua buah struk ku terima. Struk belanjaan Bude kurobek. Struk belanjaan Yanti ku simpan. Kami segera pulang, mengingat akan ada acara di tempat Yu Santi. Saat perjalanan pulang, ku cek struk belanjaan Yanti. Aku binggung, kenapa yang dibeli anak itu obat pelancar haid sebanyak ini? Mataku memicing sat melihat jumlah obat pelancar haid yang tertera. Beruntung Eis duduk di depan asyik dengan cemilan dan berjoget ria diiringi musik koplo hingga membuatnya tak tau hal ini. Kami sampai dirumah. Aku segera turun membawa dua
Ku tatap tajam Yu Yati yang masih berdiri di ambang pintu. Bapak yang tak ku kenal pergi dari kamar ini."Hei, pembohong! Jangan kau kira ulahmu bisa menipu kami disini. Kedatanganmu disini kalau cuma membuat onar, pergi saja! Kami tak butuh kamu disini!" lantangnya sambil berkacak pinggang berlagak seperti penguasa, padahal bukan. Yu Santi berdiri mendekati Yu Yati. "Jaga mulutmu itu! Mulutmu itu busuknya melebihi bangkai! Beraninya kau usir adikku Rini, pergi kamu dari sini!" Tangan Yu Santi menunjuk keluar pintu sambil berucap tegas mengusir Yu Yati. "Apa? Yayu menyuruhku pergi dari sini? Harusnya tuh dia, orang miskin dan pembohong itu yang Yayu usir. Dia itu siapa? Yang adik kandung Yu Santi itu aku!" teriak Yu Yati lantang. "Sampai kapan pun Rini tetap adikku! Kalau kau mau ku anggap adik, perbaiki kelakuanmu itu!" sentak Yu Santi. "Yayu sudah dibutakan oleh pembohong besar itu. Biar ku beri dia pelajaran!" Yu Yati menerobos masuk hendak meraihku. Namun, dengan sigap Pakde
"Yang, diajak foto bareng sama keluarga Pakde. Ayo kita kesana!" Mas Bayu menghampiri ku yang merasa bingung mendengar bahwa Yanti pingsan. Mas Bayu mengulurkan tangan hendak membantuku berdiri. "Mas, ini Denis, anaknya Isma." Ku kenalkan Denis kepada Isma. "Isma, ini Mas Bayu, suamiku." Mas Bayu menyalami Isma lalu menggoda Denis. "Ini, buat Denis, ya!" Kulihat Mas Bayu menggoda Denis lalu memberinya selembaran uang berwarna biru. Aku tersenyum. Pasti Mas Bayu juga mendambakan momongan. Isma berucap terimakasih kepada Mas Bayu. "Ayo kita kesana, Yang. Pakde dan yang lain sudah menunggu mau poto bersama, Isma ikut, yuk!" ajak Mas Bayu. "Iya, ikut yuk! Mumpung masih kapelan bajunya!" bujukku pada Isma. Isma menolak, ia bilang tadi sudah foto bersama bareng Yu Yati. "Yang, ayo kesana!" Mas Bayu menggiringku buru-buru menuju tenda pelaminan. Tanganku di genggam. "Mas!" Aku berhenti berjalan. "Kamu nggak denger, itu Yanti pingsan disana!" Ku tatap wajah Mas Bayu serius. "Biari
"Dasar manusia tak tau trimakasih! Sudah ditolong malah nyolot!" Mas Bayu menjawab kalimat Yu Yati. "Apa? Terimakasih? Kamu nolong aku? Nggak salah denger? Heh, jangan sok jadi pahlawan! Aku tau pasti kalian yang mencelakai anakku! Kalian masih dendam 'kan, ngaku aja! Cara kalian itu kampungan!" hardik Yu Yati berkacak pinggang. Mas Bayu berdiri di sampingku. Gemeletuk giginya terdengar di telinga. Kulihat Dimata Yu Yati ada kebencian dan kobaran api amarah yang membara. "Yati! Tutup mulutmu! Minta maaf pada Bayu dan Rini!" Bentak Pakde Umar. Pakde menatap tajam Yu Yati. "Apa, minta maaf sama orang miskin pembawa s*a* kaya mereka? Nggak sudi!" lantang Yu Yati. "Mereka yang harusnya minta maaf dan bertanggung jawab atas apa yang terjadi sama anakku!" Yu Yati masih berapi-api dadanya naik turun dan masih berkacak pinggang. Kata-kata Yu Yati tajamnya melebihi benda tajam di bumi ini, mencabik-cabik hatiku yang berusaha kuredam sakitnya. Tak habis pikir dengan sikap Yu Yati terhadapk
Yu Yati kian berapi-api tenaganya cukup kuat hingga membuatku kewalahan. Tunggu, aku bukan Rini yang dulu, Rini yang selalu pasrah bila di hina, di tindas, dan direndahkan oleh seorang Yati. Aku Rini Wibawa wanita yang bisa tegas bila ditindas. Ku hempas kasar tangan Yu Yati. "Aku nggak main-main dengan ucapanku. Tutup ocehan kotormu tentangku, jika tidak kupastikan kau menginap dalam jeruji besi." Tegasku kepada Yu Yati. Sorot mata Yu Yati masih menyimpan api kebencian. Sebenarnya malas sekali mengancam, bahkan menggertak kepadanya, tapi ... tingkahnya harus diberi peringatan, agar dia jera. "Orang miskin seperti mu nggak akan bisa membuatku masuk penjara. Kau pikir dengan semua sandiwara dan kebohongan mu yang pura-pura kaya ini, bisa menipuku? Kau salah! Justru ini membuktikan betapa hinanya kamu!" Yu Yati masih saja punya taring melawan ucapanku. Masih saja dia berpikir bahwa semua ini hanya sandiwara saja. Dikira aku hanya sok kaya, padahal semua ini memang milikku dan Mas B
"Bapak-bapak dan ibu-ibu, serta semua yang hadir disini, saya minta dengan hormat, kalian bersedia menjadi saksi kalau ucapan Yu Yati kepada saya nanti tak terbukti. Bagaimana, kalian bersedia?" Mas Bayu mencoba berdialog dengan semua orang yang ada disini. "Cukup Bayu, nggak usah libatkan mereka," Yu Yati mendekati Mas Bayu wajahnya masih pucat pasi. Mas Bayu tersenyum tapi kelihatan mengejek. "Kenapa? Kok mukanya pucat gitu? Yayu sakit?" Mas Bayu malah sedikit sok perhatian sama Yu Yati. "Ku bilang jangan libatkan mereka. Mereka nggak tau apa-apa. Jangan kau hasut mereka untuk menjadi saksi dan apalah itu," Yu Yati kulihat berkeringat. Kenapa dengan Yu Yati? Dia takut? Kemana suaranya yang lantang itu? Kok sekarang melempem seperti kerupuk tersiram kuah soto. "Saya nggak menghasut mereka, Yu. Saya bicara apa adanya," ucap Mas Bayu ramah banget. Gelagat Yu Yati kulihat gelisah, menunduk, tangannya yang memegang plastik entah apa isinya, kulihat gemetar. "Sudahlah, Yu. Jangan t