Airmata Giselle bagai anak sungai, bercabang-cabang mengalir di pipinya. Pemandangan yang baru saja disaksikannya, seperti lahar panas menerpa dirinya dalam sekejapan mata. Suaminya mengelus perut perempuan lain??? Apa maksudnya???
“Sayang, percaya aku. Nggak ada apa-apa tadi. Aku berani bersumpah aku nggak bohong,” ujar David, berusaha menjelaskan dengan tenang.
“Nggak ada apa-apa bagaimana?! Aku lihat pakai mata kepalaku sendiri, Rosa mengangkat bajunya di depan kamu!!! Apa yang nggak ada APA-APA?!”
“Aku udah jelasin tadi, kan? Aku hanya penasaran bagaimana rasanya pegang perut yang ada bayinya. Itu saja. Kenapa kamu mesti marah-marah begini?” David berusaha merengkuh bahu Giselle, tetapi Giselle mengelak dan menjauh. Suara tan
Memasuki bulan ke delapan kehamilannya membuat dirinya bertambah malas. Hanya saat senam hamil dan berenang tubuhnya terpaksa bergerak. Atau saat tanpa sengaja mendengar suara David di lorong depan kamarnya, maka dia akan turun dari ranjang, mengendap, membuka pintu hanya berupa celah lalu menikmati sosok David diam-diam. Musik klasik menggema lembut di kamar Rosa. “Rosa!” panggil Giselle di luar pintu kamar. Rosa segera turun dari singasananya. Berusaha secepat mungkin turun, tetapi perutnya yang besar menghalanginya untuk terlalu tergesa-gesa. “Iya, Mbak,” sahut Rosa sambil membuka pintu. Di awal-awal, Giselle biasanya langsung membuka pintu kamar Rosa, tetapi sejak dia memergoki David memegang tangan Rosa, dia seolah menghindari kemungkin
“Rosa!” panggil Giselle tidak sabar memanggil Rosa dari ujung tangga. Rosa yang berada di kamarnya berusaha secepat mungkin meneliti penampilannya di kaca. Setelah itu bergegas keluar dari kamarnya. “Iya, Mbak!” sahut Rosa tak kalah kencang. Dengan perut sudah membesar sempurna, Hari ini jadwal kontrol terakhir ke dokter kandungan. Rosa menuruni tangga perlahan-lahan. Setiap kali kepalanya menengok ke ujung kakinya dari samping. Dia sudah tidak bisa melihat ujung kakinya karena ukuran perutnya sudah menghalangi pandangan. “Hati-hati!” seru Giselle. “Iya, Mbak…” sahut Rosa. Rasanya ingin dia berlari saja. Mereka berdua segera keluar rumah,
Giselle menatap nanar tumpukan dus-dus berisi susu formula yang baru datang beberapa hari lalu di ruang tamu. Dia sudah konsultasi dengan dokter anak, susu yang terbaik bagi Raynar. Dia bahkan sudah memesan susu itu sebelum Raynar lahir. Sekarang upayanya percuma. David dan ibunya tidak setuju rencananya agar Rosa segera keluar dari rumahnya. Dia berusaha menguatkan hati, dengan mantra yang selalu disebutkannya setiap saat hatinya merasa pedih: demi Raynar. “Apa itu, Sayang?” tanya David matanya menunjuk pada tumpukan susu mahal. “Buat Raynar,” jawab Giselle singkat. “Kan Raynar masih nyusu sama Rosa?” kata David lagi. Sungguh, laki-laki ini kurang peka pad
Rosa melamun di ruang tamu. Tadi Raynar dibawa Giselle untuk vaksinasi di rumah sakit dan menolak keras Rosa ikut. “Kamu nggak perlu ikut, Ros,” kata Giselle kalem saat menggendong Raynar. “Ayo, Sus,” ajaknya ke penjaga Raynar. “Tapi, Mbak…” Rosa berusaha membantah. “Saya bisa sendiri, dan memang saya harus melakukannya sendiri,” kata Giselle. “O, ya, asal kamu tahu saja, Raynar sudah punya akta lahir dan masuk ke dalam Kartu Keluarga di sini, jadi kamu mengerti maksudnya, kan?” Giselle mengangkat dagunya ke arah fotokopi dokumen yang tadi dia keluarkan dari tas. Rosa menghampiri berkas itu, nama Raynar Wicaksono tercetak di b
Giselle menimbang-nimbang kapan waktu terbaik untuk berbalik mengancam Rosa seperti yang diajarkan Emma. Setiap kali dia mundur, begitu mengingat Rosa adalah pemberi ASI terbaik buat Raynar. Mulutnya terasa terkunci. Kalau Rosa stress gara-gara dirinya, lalu David mengetahui, apa yang akan dikatakan oleh suaminya? Mungkin malah memperburuk situasinya saat ini. Pagi ini Giselle berniat mengajak Raynar berjalan-jalan ke kebun, mandi matahari. Dia menggendong Raynar, mengecup anaknya yang baru bangun tidur berkali-kali hingga membuat Raynar menangis. Lalu Giselle tertawa, menciumi lagi anaknya yang malah tersenyum padanya. Mungkin Raynar merasakan besarnya cinta kasih yang dimiliki oleh Giselle. “Raynar berjemur dulu, yuk, sama Mommy, nanti minum susu. Okay?” kata Giselle.&
Sudah sebulan berlalu sejak insiden Rosa ketahuan belangnya. Sekarang Rosa sudah pulih sama sekali dari luka bekas operasi. Mungkin karena Rosa masih sangat muda, kemarahan orangtuanya tidak begitu membekas, seperti anak kecil ketahuan nakal—dia cepat pula melupakannya. Dia yakin orangtuanya pasti akan memaafkannya. Rosa kembali ceria dan menikmati hidupnya yang penuh kemewahan. Apalagi Giselle sudah membayar lunas haknya dan David memanjakannya dengan uang jajan. Walaupun kini dia jarang menggendong Raynar, tapi air susunya masih sangat dibutuhkan. Dia merasa masih memiliki “senjata” untuk bertahan di rumah Giselle. “Bo’… Rosa mau kirim lagi seratus juta…” kata Rosa minggu lalu melalui telepon. “Tak perlu, Ep
Tuntutan hukum Giselle membuat Rosa bingung, tidak tahu harus bagaimana. Hanya satu orang mungkin yang bisa menolongnya. Tommy. Rosa menelepon Tommy, dengan suara berbisik di kamarnya. “Mbak Giselle lapor polisi, Mas Tommy, gimana ini??” tanya Rosa bingung. “Maksudnya? Lapor apa?” tanya Tommy bingung. “Mbak Giselle melaporkan saya ke polisi, katanya saya sudah melakukan pemerasan. Saya takut…” jelas Rosa. Tommy terdiam sejenak. Sebagai pengacara, dia sangat mengerti mengapa Giselle melakukan hal itu. Dia berpura-pura tenang da mengatur nada bicaranya. Uang yang ada di depan matanya tidak boleh lepas.&
Surat Yassin berkumandang. Rosa melafalkan doa itu dengan segenap hati, ada genangan di matanya yang setiap saat bisa meluber. Wajah ibunya terbayang, sejak acara tahlilan tujuh hari meninggalnya ibunya ini dimulai hingga hampir berakhir, dia selalu menarik ujung kerudung berwarna hitamnya agar orang-orang yang duduk di sebelah kanan kirinya tidak melihat sudut matanya yang mulai basah. Atau dia takut orang lain melihat rasa bersalah di wajahnya? Dia menatap ayahnya di seberang ruangan yang tengah menunduk, melafal dengan penuh hikmat. Tubuh kurus ayahnya dan uban yang memenuhi kepalanya itu membuat hatinya kembali seolah diiris sembilu. Pedih. Rasa sesal tak bisa dibendungnya lagi. Setiap hari sejak kematian ibunya, adalah dera penyesalan. Namun hidup bukanlah sebuah buku yang bisa dibuka lembar demi lembarnya sekena hati, yang bisa kembali ke masa lalu atau pergi ke masa depan. Waktu tidak akan pernah