Bangun pagi dengan motivasi tertanam di otak membuatku lebih bersemangat. Aku punya misi hari ini, mengorek keterangan dari Ci Melan tentang apa pun yang mereka sebutkan kemarin, tentang uang dua ratus juta. Dua-ratus-juta! Aku sudah tahu akan kuapakan uang itu jika mendapatkannya.
Kata orang rejeki tak ke mana. Rejeki akan datang menghampiri, tetapi jika rejeki tak kunjung datang, aku yang harus menghampirinya. Betul, bukan? Aku datang ke Jakarta, untuk menghasilkan uang. Demi Ebo’, Eppa’, dan hidupku sendiri.
Bayangan tumpukan uang menyelinap indah ke dalam pikiran. Aku berdiri dengan penuh harapan. Semalam hawa terasa begitu panas, baju tidurku basah oleh keringat di bagian leher dan ketiak. Mungkin dengan uang itu aku bisa pindah kos. Pindah ke kosan baru yang punya pendingin ruangan? Angan-angan ini membuatku tersenyum se
Ini adalah part terakhir cerita dari sisi Rosa. Apa yang sebenarnya bikin Rosa begitu semangat ingin bertemu dengan Monica? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Rosa? Part tentang Giselle dan Rosa sudah berakhir. Besok saya akan update bagaimana Giselle dan Rosa bertemu lalu menjalani takdir yang sudah digariskan untuk mereka. Stay tune.
Menjelang magrib, ketika penguasa cahaya merasa letih, buaian sang rembulan mulai menggoda. Udara Jakarta terasa bersahabat kali ini, berembus dengan sedikit hawa dingin. Masih di ruangan yang sama, formasi yang sama, posisi yang tak berubah di toko milik Melan. Ada Melan-Monica-dan Rosa. Yang satu menunjukkan wajah heran penuh takjub namun senyuman tersungging di wajahnya, Monica. Yang lain sebentar-sebentar menghela napas panjang, melirik ke arah dua lainnya bergantian, Melan. Dan yang menunjukkan wajah penuh semangat serta keyakinan tinggi adalah Rosa. Monica berkali-kali menatap Rosa, meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menelaah apakah Rosa pantas untuk menjadi kandidat. “Terus terang saya kaget menerima kabar dari dia ini,” Monica menunjuk Melan dengan dagunya, “kamu yakin akan menjalani ini? Umur berapa kamu sekarang?” tanyanya kembali menatap lekat Rosa. “Umur dua puluh satu tahun, Bu.” Bola mata Monica bergerak-gerak, seolah
Rosa membungkukkan badan di pinggiran wastafel di kamar mandi. Kandungannya telah memasuki bulan ketiga, namun dia masih merasa mual-mual. Dia dan Giselle merasa bersyukur, hanya rasa mual yang terasa, tidak ada sedikit pun makanan yang keluar dari mulutnya. Untuk hal ini berkali-kali Giselle merasa lega karena anaknya tidak kekurangan gizi. Rosa menatap cermin di depannya, lalu tersenyum pada dirinya sendiri. Dia mengangkat rambutnya yang terurai, menggelungnya, dan menusukkannya dengan tusuk konde bergambar kartun Jepang. Hadiah dari Giselle beberapa waktu lalu. Dia mengucurkan air wastafel, lalu membasuh muka kemudian membersihkan wastafel sekadarnya. Dia menepuk pipinya pelan, terasa lebih berisi, dan lebih terlihat rona kemerahan dibandingkan tiga bulan lalu.
Suasana ruang tamu mewah itu terasa lengang, hanya dua orang wanita duduk berhadapan di satu sofa panjang. Melipat kaki masing-masing, saling memperhatikan ucapan satu sama lain. Persahabatan mereka ibarat anggur yang di fermentasi, semakin lama semakin kuat, semakin menyatu dalam rasa.“Lo udah pastiin Monica ke sini?” tanya Emma.“Udah, dia lagi on the way.”“Gis, bukannya apa-apa. Pikirin lagi matang-matang. Gimana lo bisa tahu dia dari keluarga baik-baik? Apa entar lo malah memelihara ‘macan’ di rumah ini?”Giselle tertawa kecil. “Nggak lah, Em. Gua pasti tahu, gua punya insting untuk menilai seseorang.”Emma mendengus sembari menggelung rambutnya yang sebagian terjatuh di sisi kepalanya. “Kedengarannya emang mudah. Suntikin sperma laki lo ke rahim dia, bayi tumbuh dan bim salabim, bayi lahir, urusan beres.”“Udah seharusnya seperti itu, kan?&
Giselle baru saja menutup sambungan telepon dengan ibunya. Dia menceritakanrencananya. Tak banyak yang dikatakan Sang Mommy padanya, karena wanita itu sangat mengerti posisi putrinya itu. No bargaining power, anaknya berada di posisi sudut, tak ada jalan lain yang bisa dia gunakan sebagai alasan untuk menolak. “Apa pun yang menurut kamu baik, lakukanlah. Gunakan logika dan perasaan kamu secara seimbang. Jangan sradak-sruduk.” “Iya. Mom. Wish me luck.” “Always.” Dia menekan nomor yang lain tak lama setelah sambungan telepon terputus. Monica. “Ha
Giselle tertegun, dengan ponsel masih di tangan. Semua di luar perkiraannya. Setelah satu bulan berlalu, tiba-tiba saja Dokter Aviv meneleponnya, mengundang dirinya ke rumah dokter itu. “Maaf, maksud undangan ini apa, Dok?” tanyanya ragu, ujung jarinya mengusap kening. “Sekadar brainstorming, tentang inseminasi buatan yang kamu pernah tanyakan kepada saya.” “Maksudnya?” “Kita akan bicarakan nanti di rumah saya. Oke?” “Ba … baik,” Giselle merasakan kegugupan luar biasa. Mendadak jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.
Hari ini adalah hari yang berbeda bagi Rosa. Setelah pertemuannya beberapa waktu lalu dengan Giselle, dia mendapat kabar bahwa prosedur awal mulai harus dilaksanakan.Konsekuensi dari keputusannya adalah, dia harus keluar dari tempat kerjanya. Kemarin dia sudah menghadap Melan, menjelaskan keputusannya. “Lo benar-benar udah yakin, Ros?” tanya Melan sambil menaiki tangga. Melan mengajak Rosa ke atas, agar perbincangan mereka tidak didengarkan oleh karyawan yang lain. “Iya, Ci,” jawab Rosa. Melan mempersilakan anak buahnya itu untuk duduk. “Gua hanya ngingetin lo sekali lagi, Ros. Lo sedang menginjak sesuatu yang sangat tipis. Lo ngerti maksud gua?”
2 Maret 2003-MingguTak banyak yang bisa direnungkan kembali oleh Rosa sepulang dari rumah sakit kemarin, semua sudah dia pikirkan sepanjang hari dan malam. Apa yang dia lakukan kemarin bersama dua orang wanita yang sebenarnya adalah orang asing, benar-benar membuatnya merasa berada di dunia yang sangat berbeda. Enning dan Enceng terasa semakin jauh dari benak. Sempat dia menimang ponsel berwarna abu-abu pemberian Mardi, namun ada rasa takut menyelinap bahwa dirinya tidak akan mampu menahan diri untuk bercerita semuanya kepada Enning. Dia meyakini, apa pun yang sampai di telinga Enning, akan sampai di telinga ayahnya. Sang surya sudah berada di peraduannya, malas untuk menyinarkan pesonanya lebih lama. Rosa pun sudah merasa remuk seluruh tulangnya. Malam ini dia memanjakan tubuhnya dengan tertidur pulas sampai pagi menjelang. Tanpa mimpi, bahkan senyum yan
5 Maret 2003-RabuSemburat lembayung di ufuk timur mulai terlihat. Dingin masih menyelimuti sebagian kota metropolitan. Namun ini bukannya tak lekang, kesejukan itu akan segera tersingkir oleh panas matahari dan asap knalpot kendaraan. Lalu layaknya kota besar di negara tropis, panas akan menyengat. Rosa masih tertidur meringkuk di kasurnya, menikmati mimpi panjang tentang menggapai cita-cita. Di mana dia bisa terbang seperti layaknya burung yang bersayap. Di mana dia bisa menggapai buah ranum di dahan yang tinggi dengan hanya sekali lompatan. Sungguh menyenangkan. Dia tertawa di sana, berceloteh dengan bahagia, pada kedua orangtuanya, pada Enning dan Enceng, serta Nyak. Tanpa Mardi. Tak ada bayangan Mardi hadir di sana.&n