Share

Part 7: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

Mardi keluar dengan sebuah kipas angin berukuran sedang di tangan kemudian ke pojok  ruangan, meletakkan kipas itu di atas meja kecil. Sedetik kemudian angin segar menerpa wajah dan badanku. Aku tersenyum, sebagian rambut panjangku bergerak, melayang, seolah ikut menikmati apa yang kurasakan.

“Makasih, Bang,” ujarku sembari mengembalikan koran ke tempatnya. Bang Mardi hanya tersenyum lalu kembali duduk di kursinya semula. Lembaran dengan sejuta abjad kembali menjadi pusat perhatiannya. Aku hanya menikmati rasa nyaman karena udara yang bergerak dari kipas, menggerakkan leherku ke kiri, lalu ke kanan, agar bagian belakang leherku terkena embusannya.

“Kamar kamu panas ya?” tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangguk.

“Besok tanggalan merah, aku pinjam kunci kamar kamu, mau suruh tukang untuk bikin jendela kecil di sana.”

Aku menoleh dengan senyum lebar terkuak.

“Benar, Bang?” Bang Mardi mengangguk. “Aku udah lama pingin ngomong, tapi tidak berani,” lanjutku.

            Bang Mardi hanya tersenyum tipis. Dia menyulut rokok lagi.

“Bikinin aku kopi, Ros. Nyak lagi pergi. Kalau kamu nggak keberatan sih.”

Agak terkejut sebenarnya Bang Mardi menyuruhku membuat kopi. Namun Eppa’ juga sering menyuruh hal yang sama, jadi aku anggap ini biasa saja. Jangankan bikin kopi, disuruh beli gorengan di ujung gang aku juga mau deh.

Aku kembali ke ruang tamu dengan secangkir kopi panas, kuletakkan di meja di depannya.

“Kamu betah kerja di toko itu?” tanyanya, lalu melipat rapi Koran  dan meletakkannya di atas meja. Dia mengambil kopi, meniupnya sebentar dan menyeruput kopinya dengan suara keras. “Pas, enak,” gumamnya. Aku tersenyum.

“Betah, Bang. Bosnya baik. Tapi aku ingin dapat kerjaan yang lebih baik lagi, kalau ada,” jawabku. Angin berdesir, aku menutup mata, menikmatinya.

“Nanti kalau ada lowongan kerja di kantorku, aku bantu kamu masukin lamaran, Ros.”

Aku menoleh cepat.

“Sungguh, Bang Mardi??”

“Iya, jarang-jarang memang, tapi beberapa kali mereka mencari bagian administrasi atau bagian promosi.”

“Makasih, Bang…” kataku padanya.

Bang Mardi tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku merebahkan badan lebih santai, kaki selonjor ke bawah meja. Ini membuat rasa kantuk menyergapku kuat. Perpaduan rasa panas dan semilir angin sungguh membuai.

Mataku sudah setengah terpejam ketika sesuatu menyentuh tangan. Aku membuka mataku, Bang Mardi menyodorkan sebuah bantal.

“Pakai bantal biar nggak sakit leher,” katanya.

Aku menerima bantalnya, kuletakkan di bawah kepala. Benar, terasa lebih nyaman. Belum juga bibirku mampu mengucapkan terima kasih, aku sudah terlelap.

z

Awal Tahun 2003

Jakarta terasa pengap hari ini, tak ada udara yang bergerak. Sementara terik penguasa siang begitu menyengat dari langit biru yang tak berawan sedikitpun. Asap knalpot kendaraan yang lalu-lalang di depan toko menambah parah.

Aku setengah berlari keluar dari toko, sesekali melirik jam tangan. Aku bergerak lincah seperti Enning dan baru berhenti setelah benar-benar berada di depan kos.

“Kenapa lari-lari?”

Aku tersenyum, Bang Mardi menyapa. Hari ini hari Minggu, dia tidak bekerja.

“Mau makan, Bang. Tadi pagi Nyak nawarin aku makan di rumah, katanya ada lauk gabus pucung bikinan Nyak hari ini,” jawabku sembari mengusap keringat yang mengalir di pelipis.

“Sana, tadi Nyak nanyain kamu.”

Aku mengangguk, tapi segera kubalikkan badanku lagi ke arahnya.

“Abang udah makan?”

“Udah barusan. Sana kamu makan.”

Aku segera ke dapur. Nyak sedang mencuci piring.

“Sini, Nyak, biar saya yang cuci,” pintaku tegas, mengambil alih piring di tangannya.

“Lo udah pulang, Neng. Aye bikin gabus pucung, noh, makan ye. Bentar aye mau teriskaan.”

“Iya, Nyak.” Dulu aku bingung dengan kosakata yang dipakai Nyak tapi sekarang aku sudah terbiasa. Teriskaan, menyetrika artinya.

Aku menyelesaikan cucian piring cepat-cepat, lalu mengintip panci di atas kompor. Wangi masakan ikan itu menggoda. Tanpa tedeng aling-aling, mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan dua  potong ikan serta kuahnya, lalu melahapnya segera. Masakan Nyak benar-benar enak. Aku selalu percaya, makanan apa pun yang dimakan dengan penuh rasa syukur, akan terasa lebih nikmat. Apalagi gratis, tutup perkara.

Rejeki nomplok namanya dapat makanan gratis begini. Biasanya aku ke warteg di ujung gang, makan mi rebus, murah meriah. Gaji delapan ratus ribu, dikurangi biaya kos dua ratus ribu, dan untuk Eppa’ tiga ratus ribu, tersisa tiga ratus ribu untuk hidup sebulan.

Aku menikmati suap demi suap kenikmatan yang sebenarnya hanya memanjakan sejengkal bagian tubuh, dari bibir hingga ujung kerongkongan. Setelah bagian itu, mau rasanya lezat atau berasa tai, tak akan terasa. Selesai makan aku segera bergerak cepat, mencuci piring, merapikan lagi meja makan lalu ke depan.

Bang Mardi masih duduk di tempat yang sama. Ada sebuah majalah otomotif di tangannya.

“Bang, tahu telepon umum di dekat-dekat sini?”

Dia mengangkat kepala, “Buat apa?”

“Aku … kangen ibu di kampung. Udah lama nggak nelpon….” jelasku.

“Jauh dari sini. Ke wartel aja, tiga gang dari sini. Itu yang terdekat.”

Aku mengerutkan bibir.

“Ayo, aku antar pakai motor. Kalau jalan kaki ya lumayan juga.”

Aku tersenyum lebar disertai anggukan.

Aku membonceng Bang Mardi, melalui gang-gang kecil yang belum pernah kulewati sebelumnya. Katanya ini lebih cepat daripada melalui jalan raya.

Sebuah kios kecil bertuliskan “Bayu Wartel” terlihat tatkala Bang Mardi menghentikan motor.

“Sana, aku tunggu di sini,” katanya sembari memarkir motor.

“Iya, Bang.”

Aku melesat masuk ke dalam, celingak-celinguk memilih bilik mana yang akan aku pakai.

“Yang kanan kosong, Neng,” kata penjaga wartel.  Aku duduk di kursi di dalam bilik, lalu menekan deretan nomor telepon yang sudah terekam kuat di kepala. Telepon tetangga sebelah rumahku di Madura. Biasanya Ebo’ ada di sana siang begini, ngobrol sama temannya, Bu Rohiman, setelah semua pekerjaan rumahnya beres.

            Dering sambungnya mulai terdengar. Aku menatap sederetan angka berwarna merah di atas pesawat telepon. Ketika ada teleponku diangkat, angka itu menunjukkan argo telepon. Ucapan salam dengan logat medhok bahasa Madura yang kental terdengar. Aku membalas salamnya dengan hormat.

“Maaf, Bu Rohiman, saya Rosa,  Ebo’ ada di sana?” Aku bertanya tanpa basa-basi lagi, sayang pulsa. Aku tersenyum sendiri dan mengucapkan terima kasih ketika dia menjawab bahwa ibu selalu menunggu telepon dariku sejak terakhir aku meneleponnya dari rumah Enning.

“Halo!”

Aku tersenyum lebih lebar lagi. Ebo’ selalu bicara dengan nada mengentak dan keras.  Logat bahasa Madura yang tak kalah kentalnya dengan Bu Rohiman.  Ebo’ berbicara keras agar aku bisa mendengar jelas suaranya di telepon, katanya, dulu.

“Bo’… apa kabar? Ebo’ sehat? Eppa’?”

“Sehat, kabbi[1] sehat. Eppa’ ghinyeset bako [2]di rumahnya Ji Dullah. Kata Eppa’, jangan lupa makan.”

Sekarang bulan Agustus, puncak bulan panen tembakau di Madura. Ebo’ bilang padaku bulan lalu, bahwa tahun ini panen tembakau bagus, alam bermurah hati tidak mencurahkan banyak air mata dari langit seperti perawan yang kehilangan kekasihnya.

Aku mendengarkan suara Ebo’ dengan kerinduan yang tak bisa kuungkapkan. Andai aku mengikuti rasa yang seakan mencekik ini, aku akan memilih menyerah dan pulang. Memeluknya erat dan tak akan kulepaskan lagi. Tapi aku tidak akan pernah kalah oleh rasa itu. Aku harus menjadi wanita tangguh.

Ada perasaan lega setiap kali aku mendengar suara Ebo’, aku lega mendengar mereka berdua sehat, aku lega mereka masih bisa tertawa di penghujung usia. Aku anak mereka satu-satunya, tumpuan harapan mereka. Walaupun Eppa’ dan Ebo’ selalu berkata agar tidak mengkhawatirkan mereka, aku tetap tidak bisa untuk tidak peduli. Surga ada di telapak kaki mereka berdua.

            Sudah hampir dua tahun aku mengembara di Jakarta. Dulu di mataku—dengan bermodal uang seadanya dari Eppa’—Jakarta adalah kota yang pasti bisa aku taklukkan. Seperti Enning.

            Matahari masih bersinar dengan terik, panas, namun tidak cukup panas untuk melelehkan semangat hidupku. Aku terus mendengarkan cerita Ebo’, tentang anak Ji Dullah yang menikah kemarin Jumat, artis Maudy yang menikah dengan bule hingga kambing Eppa’ yang dibeli dari uang gajiku kawin sama kambing tetangga.

            Andai isi dompetku tebal, mungkin aku tidak akan peduli biaya telepon yang besar. Dengan berat hati aku pamit, mengucapkan sekali lagi rasa kangen dan sayangku dan ucapan perpisahan. Suara krek-krek mesin printer mencetak biaya pulsa. Aku mengeluarkan uang dari dompet yang kuselipkan di kantong belakang celana panjangku.

            Bang Mardi sedang duduk di kursi depan wartel, bersama dengan dua orang pemuda seumurannya. Dia mengucapkan salam pada mereka sembari membuang puntung rokok ke dalam got yang terbuka lebar. Aku mengangguk kikuk pada mereka sembari menaiki motor Mardi.

Jam satu lebih sepuluh menit aku sudah duduk di meja kasir lagi, mencari-cari selembar kertas agar bisa kupakai sebagai kipas. Tadi Bang Mardi mengantarku hingga ke depan toko.

“Lo makan apa tadi Ros? Mi lagi? Keriting usus lo, baru tau rasa lo.”

Aku menengok dan tersenyum ke arah sumber suara, Ci Melan. Bosku, wanita mungil berparas cantik, mata orientalnya mengingatkanku pada bintang film yang pernah kutonton di televisi. Maggy … apa ya? ...  Z? Bukan. Sebuah kata dengan huruf C di depannya. Chan? Chen? Cung? Entahlah aku lupa.

“Nggak, Ci. Tadi makan di kos. Sop gabus pucung.” Aku menjawab dengan menjilati bibirku sekali.

“Nah gitu dong, jangan mi instan melulu. Lo kudu makan yang lainnya, yang bergizi, lihat tubuh lo. Lo itu sebenarnya cantik, tapi terlalu kurus nggak seger, kulit lo putih tapi pucat.”

Aku ber he-he-he saja menanggapi komentarnya, mungkin dia benar.

Dia kembali ke balik singgasananya, di balik rak etalase paling belakang, mengawasi.

Aku masih mengipasi diriku sendiri ketika seorang wanita memasuki toko, seseorang dengan dandanan modis yang “wah”. Terawat dari ujung rambut hingga ujung kakinya.

“Monica!” panggil Ci Melan tiba-tiba.

Wanita yang dipanggil Monica itu membuka kacamata hitam besarnya, lalu tersenyum lebar pada Ci Melan.

My dear Melan! Lo masih nggak berubah dari dulu!”

Lalu berpelukanlah mereka berdua. Wangi parfum mawar terendus ketika Bu Monica melewati meja kasir. Terasa sangat berbeda, aku hanya terbiasa mengendusi bau keringat atau wangi sabun batangan dari tubuhku selama ini.

Aku menatap diam-diam wanita modis itu, dan mengambil napas panjang. 

Kapan aku bisa seperti dia?

Cita-cita yang terlalu tinggi. Bagai pungguk merindukan bulan, namun aku yakin takkan lari gunung dikejar.

Beberapa orang pelanggan datang memasuki toko, aku berusaha fokus pada pekerjaan, namun telingaku terasa begitu “gatal” mengganggu konsentrasi karena terkadang obrolan mereka tertangkap oleh gendang telinga. Obrolan bosku dengan beberapa temannya yang datang berkunjung menjadi hiburan tersendiri bagiku. Si Anu begini, Si Itu begitu.

Seorang pembeli menghampiri untuk membayar selusin kain popok. Ini membuatku lupa tentang obrolan kalangan tinggi itu. Tetapi begitu ucapan terima kasih keluar dari mulutku, telingaku seperti antena lagi.

“…macem-macemlah Mel. Apa aja gua makelarin. Orang cari anak perawan juga gua jabanin.”

“Eh, gila lo! Lo jadi mucikari juga???”

“Bukanlah. Pokoknya orang cari barang apa aja, yang aneh-aneh, bahkan jadi mak comblang pun gua pernah. Pokoknya jadi duit. Hari ini ada yang nyar—”

Bremmm!

Suara motor menderung di depan toko membuatku kehilangan frekuensi pembicaraan mereka berdua.

Aku memaki dalam hati.

“… orang kaya. Semua client gua orang kaya, berduit. Mereka mau kasi dua ratus juta lho, Mel, cash!”

Tunggu! Tunggu! Apanya yang  dua ratus juta? Dari siapa? Untuk apa??? Apa urusannya denganmu, Rosa?

Brak!

Aku mengangkat wajah mencari sumber suara itu, ternyata ada satu baby walker terjatuh dari gantungan di pintu toko. Mungkin tali rafia tipis penyanggahnya tidak kuat lagi menopang beratnya. Aku sudah menyangkanya, dan menyesal tidak menggantinya kemarin. Aku beranjak dan bergegas ke depan setelah kulihat teman bagian penjualan tidak ada di tempat.

Frekuensi lenyap lagi.

Aku buru-buru menggantungnya lagi dan segera kembali ke tempat dudukku.

“… entahlah. Pokoknya wanita muda yang sehat dan mau. Ckck… gua sih tinggal nyari aja.”

“Udah dapat?”

“Belum. Gua haus, Mel.”

“Ayo ke atas, gua bikinin lo minuman segar.”

Mereka berdua menghilang, naik tangga ke lantai dua toko yang menjadi tempat tinggal Ci Melan.

Siaran selesai.

Mereka menghilang, meninggalkan jejak rasa penasaran di benakku. Untuk empat setengah jam berikutnya aku termangu lagi di meja kasir selain melayani pembeli yang mau membayar dan membungkus belanjaan mereka.

Tepat jam lima, Ci Melan turun ke toko. Bu Monica tidak terlihat, pasti masih di atas. Ci Melan meminta catatan dan uang dari laci kasir, selama 15 menit kami menyelesaikan hitungan penjualan hari ini lalu berpamitan pulang.

Aku meregangkan kaki sejenak di depan toko yang pintunya mulai ditutup sebelum bergerak lincah di antara jemuran, pot tanaman di depan rumah-rumah, dan anak-anak kecil yang berlarian kesana-kemari.

Hanya beberapa langkah sebenarnya dari toko, tiba-tiba seakan aku sudah berada di dunia yang berbeda. Bukan lagi jejeran gedung tinggi dan pertokoan yang megah, kini yang kulihat hanya himpitan rumah-rumah kecil tak beraturan. Persis ikan sarden kalengan, dan aku sudah menjadi ikan sarden selama setahun ini. Mengingat keringat yang tercipta di ketiak, ini membuatku menjadi ikan sarden seutuhnya.

Lima menit berjalan, aku sudah tiba di kosan. Aku mengucapkan salam, dan Mardi tersenyum membalas salamku.

“Udah pulang kamu, Ros?” sapanya.

“Iya, Bang Mardi. Abang tumben pulang awal?”

Dia mengangguk, berdiri menyalakan lampu, baru kulihat dengan jelas seragam mekaniknya.

“Lagi nggak ada lemburan Ros. Udah sana cepet mandi, temenin Abang makan nasi goreng di depan.”

Aku tersenyum lebar, beberapa kali Bang Mardi mengajakku makan bersamanya, apabila dia pulang kerja lebih awal. Perbaikan gizi yang menyenangkan

Bang Mardi, anak bungsu Nyak dari empat bersaudara. Dia satu-satunya yang belum menikah, ketiga kakaknya sudah berumah tangga dan memilih tinggal di luar Jakarta. Dia empat lebih tua dariku, 25 tahun. Bekerja sebagai mekanik di perusahaan otomatif. Perawakannya biasa-biasa saja. Aku tinggi, tapi Bang Mardi lebih tinggi lagi. Kurus, kulitnya sawo matang, bukan hitam keling. Rambutnya dipangkas rapi, selalu rapi, tidak pernah membiarkan rambutnya panjang melebihi ujung atas telinganya. Itu yang kuperhatikan selama setahun ini.

Hanya lima belas menit aku butuhkan untuk mandi dan berdandan, Bang Mardi pun ternyata sudah siap menunggu di ruang tamu saat aku keluar dari kamar.

Jalanan gang lengang, tidak ada orang berlalu-lalang. Hampir terasa senyap kalau saja tidak ada musik terdengar dari rumah sebelah. Lagu Sahabat Sejati, dari Sheila on 7, nyaris setiap hari aku dengar di rumah-rumah sepanjang gang ini. Bang Mardi menyulut sebatang rokok begitu sudah beberapa langkah menjauhi rumah, dan aku patuh berjalan di sisinya. Dia orangnya enak diajak ngobrol, bukan humoris tapi bisa menanggapi leluconku dengan baik.

Tampan?

Lumayan, tapi dia bukan tipeku.

“Kamu jadi beli hape?” tanya Bang Mardi tiba-tiba.

Aku menggeleng. Semua sisa uangku dari gaji bulan lalu sudah aku kirimkan ke Ibu. Entah kapan aku bisa beli barang mewah seperti itu.

“Nggak, Bang. Lain kali.”

“Mau pakai hapeku? Aku baru beli yang baru, ada yang suaranya polyphonic sekarang.”

Aku berhenti melangkah, menatap matanya. Dia bersungguh-sungguh. Tidak ada roman

bercanda di wajahnya. Kapan dia pernah bercanda?

“Mau, mau Bang. Kenapa Abang nggak jual aja?”

“Nggaklah, nggak seberapa, tadi aku pikir kamu butuh hape biar nggak kesulitan untuk dihubungi.”

“Tapi … aku nggak tahu kapan aku bisa bayar, Bang.”

“Kamu pikir aku rentenir? Pakai saja. Gratis. Kamu nggak perlu bayar.”

Aku melompat sambil tertawa girang di sisinya, dia hanya tersenyum tipis, tapi dari sinar di kerlingan matanya sudah cukup memberitahu bahwa dia terlarut ikut ke dalam kegembiraanku.

“Poly ... apa tadi itu, Bang, apaan?”

“Polyphonic. Jenis musik dering hape.”

Aku bingung.

“Emang yang Abang punya sekarang apa?”

Bang Mardi mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya ke samping.

“Nanti aku tunjukin.”

Kami melanjutkan perjalanan dengan topik seputar handphone. Benda ajaib bagiku. Bagaimana mungkin benda itu bisa dipakai untuk menelepon sementara tidak ada kabel sedikit pun terlihat menyambung di tiang telepon?

Warung tenda langganan Bang Mardi tampak sepi. Dia memilih tempat di pojok setelah memesan makanan dan minuman, jauh dari kompor. Katanya bau asap penggorengannya mengganggu.

Dia mengeluarkan handphone-nya, mengutak-atik, lalu menunjukkan kepadaku. Tulisan The Buffoon terlihat di sana.

“Ini nada dering monophonic.” Bang Mardi menekan tombol yang di tengah, lalu terdengarlah nada riang. Aku tersenyum lebar. Aku sering mendengar suara ini kalau ada yang meneleponnya.

“Bukannya namanya The Buffoon, bukan monophonic?”

Bang Mardi tertawa, “Monophonic itu jenisnya, kalau The Buffoon itu judulnya. Banyak pilihan judul nada dering. Nih lihat.”

Aku mengikuti gerakan tulisan di layar handphone-nya. Tercengang dengan kecanggihan alat itu.

“Kalau yang polyphonic suaranya bagaimana?”

“Belum tahu, tunggu nanti sampai aku dapat. Susah cari barangnya, masih terbatas.”

Oh ... hebat.

“Tapi katanya lebih rumit nada-nadanya,” sambungnya.

Oh ... hebat!

“Coba telepon ini ada lagu-lagunya ya, Bang?”

“Bisa jadi, mungkin suatu hari ini. Teknologi berkembangnya pesat. Coba pikirin, dulu kita pikir, mana bisa telepon dibawa ke mana-mana?”

Mulutku masih mengangah lebar saat aku manggut-manggut penuh kekaguman.

Pelayan datang, menginterupsi pembicaraan kami. Sejenak kami terdiam sembari bersiap-siap menyantap makanan.

“Bang, udah ada lowongan di kantor Abang?” tanyaku sambil kumasukkan sesuap besar nasi goreng ke dalam mulut. Pertanyaan rutin yang selalu kuutarakan di setiap saat ada kesempatan.

Dia meneguk minumannya, “Belum ada. Aku pasti ngasi tau kamu kalau kantorku buka lowongan kerja, Ros.”

Aku menganguk. Ada sedikit rasa kecewa mendengar jawabannya, tapi aku tepis jauh, karena aku yakin kesempatan untuk mengubah nasibku pasti terbuka, cepat atau lambat.

“Aku tadi telepon Ibu.” Aku menyesap minumanku sampai kandas.

“Semua sehat?”

“Alhamdulillah. Bapak masih sibuk kerja tembakau, Bang.”

“Udah dua bulanan kan?”

Aku mengangguk.

“Yuk.”

Mardi mengajakku pulang setelah membayar semua makanan kami. Berjalan kaki di bawah langit berbintang, di sisi jalan raya yang masih ramai oleh benda-benda hasil peradaban manusia. Berjalan perlahan, menikmati setiap napas yang terembus dari hidungku, bukti nyata aku masih hidup. Berjalan menunduk, menendangi sampah yang berceceran sepanjang trotoar ber-paving block abu-abu kusam. Mungkin karena lambung kenyang, kami tidak mengobrol banyak seperti saat berangkat tadi.

Aku meliriknya, yang kini lagi-lagi sedang menikmati paru-parunya diisi asap berbahaya. Hanya padanya aku bisa terbuka bercerita tentang keluargaku, tentang Enceng dan Enning, bahkan tentang kegeramanku pada Iyan, pemuda tetangga kos yang hampir setiap Sabtu malam nongkrong di teras kos, bernyanyi lagu cinta untukku dengan suaranya yang fales.

Kalau itu terjadi, maksudku kekesalanku pada Iyan memuncak, Bang Mardi akan mengajakku keluar dengan motornya. Berkeliling Jakarta menghabiskan malam, atau hanya mengajakku ke salah satu kafe tempat gaul anak muda kekinian. Hanya duduk berjam-jam, dan selama itu pula hanya mulutku yang lebih banyak berbicara, dia hanya menimpali sesekali.

Malam telah larut, aku membaringkan tubuh di atas kasur busa. Ragaku terasa letih, namun jiwaku seakan masih penuh gelora. Memasuki malam, suhu udara mendadak bersahabat, masih ada angin semilir dari jendela yang Bang Mardi buatkan untukku. Aku lega, kemungkinan besar aku akan tidur nyenyak mendengkur seperti kucing kekenyangan.  Pernah kamu bayangkan tidur dengan kasur busa saat udara terasa panas? Itu sama rasanya seperti memakai jas hujan saat mentari tengah terik.

Pikiranku mengembara ke Ebo’, Eppa’, serta obrolan Bu Monica dan Ci Melan yang entah mengapa begitu memikat. Aku harus mencari tahu.

Aku semakin lelah kini, jiwaku pun telah merintih. Kupaksakan pikiranku berhenti berkelana, bersahabat kembali dengan rasa kantuk yang sebenarnya mendera sejak tadi. Aku terlelap, dengan mimpi yang mengembara.

***

[1] Kabbi : bahasa Madura, artinya semua.

[2] Ghi’ nyeset bhako : bahasa Madura, artinya : masih mengiris tembakau.

Yustini Setia Darma

Apa yang sebenarnya dibicarakan oleh Monica dan Melan?

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status