“Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?”
Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan.
“Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.”
Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur.
“Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!”
Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari kontak seseorang. Setelah ketemu, ia langsung saja menekan tombol hijau pada nomor tersebut.
“Jangan bilang lo kepikiran aneh-aneh di jam segini.” Bukan salam ataupun sapaan yang didapatkan, justru umpatan yang menyapa telinga Gala pertama kali setelah nada sambung terputus.
“Gue ga lagi aneh-aneh, Raf. Cuma mau nanya soal kuliah aja.”
Terdengar hembusan napas yang kasar sebelum menjawab, “Yaudah, apa?”
“Lo udah daftar ulang belum, Raf?”
“Ini gue lagi daftar ulang, lagi upload scan rapor ke websitenya.” jawab Rafa seketika. “Lo sendiri gimana, Gal? Udah daftar ulang belum?”
Tanpa sadar, Gala menganggukkan kepala untuk menjawab. Beberapa detik kemudian, barulah ia tersadar jika Rafa tidak akan dapat melihat gerakannya itu. “Udah Raf, barusan selesai, tinggal bayar UKT besok.”
Setelah pertanyaan basa-basi, kini pemuda itu mulai masuk ke topik utamanya, “BTW Raf, jurusan lo udah ada grup chat gitu ga sih?”
“Udah.” Tukas Rafa singkat.
“Loh, ‘kok gue belum?”
Sekali lagi, terdengar hembusan napas berat dari seberang telepon. Memang, di antara Gala dan keempat temannya, Rafa adalah pemuda yang memiliki hanya memiliki batas kesabaran seujung kuku. “Ya, lo cari dong, informasinya!”
“Eh?!” Kebingungan kini menyelimuti Gala, “Bukannya ini tugas kating, ya, buat chat anak baru biar masuk grup chat gitu?”
“Ck! Ck! Ck! Gala, anda ini sudah mahasiswa, gantian lo sendiri yang harus cari kating jurusan lo, dong!”
Gala terkekeh, “Ya... gue ga tahu kalau prosedurnya harus begitu.”
Sesaat pemuda itu mendengar suara kursi berdecit dari seberang sambungan, sepertinya Rafa memutuskan untuk pindah dari satu tempat menuju tempat lain di rumahnya.
“Lo ternyata masih suka mengabaikan hal-hal kecil, Gal. Ntar, ketika hal yang lo abaikan itu berubah menjadi besar, lo bakal menyesal!” Kening Gala berkerut mendengarnya, “Contohnya, waktu lo mengabaikan fakta kalau Shean sedang naksir lo. Giliran lo yang suka sama dia, Shean malah jadian sama cowok lain!”
“Rafa anjir, gue nanya soal grup chat kok malah sampai ke sana, sih?!” amuk Gala seketika.
“Kan cuma contoh, Gal. Santai aja, kali!”
“Lo kalau mau baku hantam, ngomong! Mumpung rumah lo dan rumah gue itu cuma beda gang doang.”
“Santai bos, gue ‘kan bilang itu cuma contoh!” balas Rafa, yang berani ngegas Gala balik. “Yaudah, lo masih mau tahu caranya hubungi kating atau ga, nih?”
“Cepet spill.”
“Pertama, lo cari medsos himpunan—eh maksud gue BEM deh, soalnya lo kan satu fakultas satu jurusan.”
Gala mulai menjauhkan ponsel dari telinganya. Kemudian, dia mengaktifkan fitur loud speaker sebelum membuka aplikasi media sosial yang dimaksud oleh Rafa. “Oke, terus?”
“Nah, lo lihat di bio medsosnya, atau di postingan welcoming maba gitu. Ntar pasti ada kontak narahubungnya. Nah, baru lo hubungi kontak itu dan minta dimasukin ke grup angkatan lo.”
“Oh, jadi gitu caranya, ya.” gumam Gala sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Oke, thanks, Raf. Lo emang baik, tapi minus galak aja, sih.”
“Maksud lo apa ngata—“
Gala segera memutus sambungan teleponnya. Jika tidak, bisa saja Rafa benar-benar ke rumah malam ini.
Saat ini, pemuda itu sedang disibukkan mencari media sosial yang dimaksud oleh Rafa. Pemuda itu menekan search bar, lalu mengetikkan “BEM FH Bareksa” sebagai kata kuncinya. Tidak berapa lama, beberapa akun mulai muncul berdasarkan kata kunci tersebut. Gala pun memencet akun yang muncul paling atas pencarian.
Berapa saat kemudian, Gala telah menemukan kontak Narahubung yang menangani administrasi mahasiswa baru. Gala pun kemudian menambahkan id narahubung pada aplikasi chat-nya.
“Gue hubungi sekarang aja kali, ya? Eh tapi bukannya udah malem banget...” monolog Gala. Meski ragu, pada akhirnya pemuda itu tetap mengetikkan pesan kepada kating tersebut.
Gala :
| Selamat Malam, Kak. Mohon maaf saya menghubungi selarut ini. Perkenalkan saya Janggala Kharisma dari SMA Bintang Utara. Saya merupakan salah satu Mahasiswa Baru jurusan Ilmu Hukum Universitas Bareksa. Jika boleh tahu, bagaimana caranya agar saya bisa bergabung dengan grup mahasiswa baru Ilmu Hukum ya, Kak? terima kasih sebelumnya, Kak.
Tidak berapa lama berselang, pemuda tersebut langsung mendapat balasan dari narahubungnya.
Felicia :
| Halo Gala! Kebetulan aku lagi aktif, jadi gapapa kok. Sebelumnya, aku boleh minta bukti tanda kamu diterima melalui jalur SBMPTN, ga? Setelah ini, aku bakal undang kamu ke grup maba.
Gala terlonjak, pemuda itu langsung saja mengirimkan bukti tanda kelulusannya.
Gala :
| *foto
| Ini kak, bukti kelulusan saya.
Sekitar dua menit, pemuda itu belum menerima balasan apapun dari kakak tingkatnya. Pemuda itu mulai beralih, membuka aplikasi untuk menonton streaming.
Felicia :
| Baik, aku undang kamu ke grup, ya! Selamat bergabung dengan keluarga baru, Janggala Kharisma.
Felicia invited you to group “Ilmu Hukum 2020”
Ini sudah ketiga kalinya Sandara menguap dalam satu jam. Gadis itu mengusap wajahnya sedikit kasar, sudut mata gadis itu mencoba untuk melihat jam yang tergantung di dinding. “Sumpah deh, ini rapat kapan kelar, sih? Udah jam setengah sebelas malam, malah masih pada semangat!” Gerutuan spontan dirinya justru membuatnya jadi terkejut sendiri. Gadis itu segera menggerakkan kursor laptopnya, melihat apakah ikon microphone pada aplikasi itu memiliki garis merah atau tidak. “Hamdalah ke mute, kan jadi tengsin kalau gue lupa mute tadi!”
Janggala Kharisma memilih untuk berhenti dari aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas panjang sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kedua mata pemuda itu ikut berkedip mengiringi kedipan kursor pada dokumen yang sedang terbuka di laptopnya. Beberapa detik kemudian, netra pemuda itu refleks menatap jam yang tertera di kanan bawah layar itu. “Gile! dari jam 7 malem ngerjain tugas ini doang masih belom kelar juga!” heboh Gala, kepalanya refleks menoleh ke kanan untuk melihat jam yang terletak di atas nakas. Angka yang tertera pada jam tersebut sama dengan di layar laptopnya--pukul 23.34. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia berdiri, memutuskan pergi ke dapur untuk mengisi gelas air yang kosong. “Loh, ayah belum tidur?” Sapaan itu m
Setelah memutuskan untuk bergabung, Janggala Kharisma kemudian menghambur menuju meja belajar untuk menghidupkan laptopnya. Selagi menunggu proses booting, ia pun mampir menuju gantungan baju untuk mengambil kemeja yang selalu ia kenakan saat kelas daring sedang berlangsung. “Eh—Halo yang baru dateng!” sambut salah seorang kating yang telah bergabung dalam telekonferensi itu. “Halo Kak!” sapa Gala dengan suara yang mungkin terdengar sedikit bergetar. Namun, pemuda itu menghiraukan fakta kecil tersebut, lalu mengaktifkan kameranya. “Berarti yang join udah semua ‘kan
Sudah Lewat satu menit, tapi kekehan tawa Dara tidak dapat berhenti. Kedua tangan gadis itu masih tertumpuk di depan mulutnya, lengkap dengan satu cookies yang ia terselip pada jari tangan kanannya. “Kalau dipikir-pikir, kocak juga,” gumam gadis itu ketika tawanya sudah sedikit mereda. Dahi pemuda di seberang panggilan itu terlihat berkerut. Meski kedua netranya terpaku pada ponsel yang sedang digenggam, tapi ekspresinya tidak dapat berbohong jika ia tengah kebingungan. “Loh, kocak gimana?!” “Yaah… kocak aja gitu.” ulang Dara kemudian. “Lo sama gue dapat jadwal dan tempat UTBK yang sama, eh–malah keterima di kampus yang sama, juru
Gala terbangun dengan mata yang setengah terbuka, setengah lagi masih terpejam. Pemuda itu tidak terbangun oleh AC yang terlalu dingin, atau pun gorden jendela yang secara ajaib terbuka—Gala tahu Ibu-lah yang masuk ke kamar dan membuka gorden jendela kamarnya sekitar pukul 10.00 pagi. Pemuda itu terbangun akibat ponselnya yang entah sejak kapan terus bergetar. Sebelah tangan pemuda itu terulur, bersusah payah menggapai nakas yang tidak terlalu jauh dari posisi tidurnya. Mulut pemuda itu mulai meracau, kesal karena tidur yang ia rencanakan sampai pukul 1 siang terganggu sebelum alarmnya berbunyi. Siapa sih yang pagi-pagi udah ribut? Pastinya sih, ini si Hanief! Dengan nyawa yang masih belum terkumpul dengan sempurna, Gala membuka ponselnya dengan bantuan fingerprint. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat tanpa memeriksa notifikasi terlebih dahulu. Lima detik kemudian, Gala justru terbangun sempurna, sepaket dengan netrany
“Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?” Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan. “Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.” Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur. “Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!” Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari k