Pesan yang baru saja aku baca datang dari Erina. Dua kali aku membaca pesannya hingga aku menghela napas panjang dan mengusap kasar wajahku.
Bagaimana bisa tiba-tiba Erina mengirimkan pesan, ketika aku sempat mengingatnya sekilas, seakan kami masih punya ikatan batin?
“Aku harus bagaimana?” gumamku bingung.
Di satu sisi, tidak ada gunanya kami bertemu. Di sisi lain, aku tahu bagaimana rasanya memiliki perasaan bersalah dan harapan untuk bisa mendapatkan pengampunan.
Sering kali orang lebih suka menghukum dengan membiarkan seseorang hidup dengan perasaan bersalah tanpa memberikan maaf. Padahal memaafkan itu bukan menghapus kesalahan. Dan sekalipun kita sudah memaafkan, tidak semua orang bisa dengan mudah melepaskan perasaan bersalah.
Bagiku, memaafkan itu sebuah langkah maju. Hidup kita dan orang lain harus terus berjalan.
Ha! Lagi-lagi aku menghembuskan napas kasar.
Setelah berpikir sejenak, aku bergerak merapikan barang-b
Lilian POVBeberapa saat yang lalu, usai menghabiskan bubur ayam buatan Cheryl, aku mengajak sahabatku itu jalan-jalan keluar sebentar.Meskipun Cheryl tak berhenti menggangguku agar aku berhenti melamun, tetapi aku tetap merasa sepi.Di Singapura, selalu ada orang-orang yang berlalu lalang di jalanan, dan aku ingin merasakan kehadiran banyak orang. Dengan demikian, aku berharap, bisa melupakan Finn walau hanya sebentar saja.Pikiranku benar-benar penuh hingga membuat kepalaku terasa sangat sakit. Dadaku sesak menahan rindu. Hatiku teramat sedih. Aku hanya perlu sebentar saja keluar dari unit apartment ini.Beruntung Cheryl menyetujui keinginanku. Kebetulan dia ingin makan nasi lemak. Jadi, kami bergegas bersiap dan berjalan keluar dari unit apartment.Ketika kami sudah dekat dengan tempat makan yang menjual nasi lemak, tiba-tiba ada suara sirine yang begitu nyaring, memekakkan telinga.Suara sirine itu mengingatkanku pada kejadian di mana aku melihat mobil Finn ditabrak dan … dan … da
Demi bisa mengunjungi Finn, aku menikmati makan malamku dengan semangat, walau aku sebenarnya belum berselera makan. Dan itu sukses membuat Cheryl terus menampilkan raut wajah bahagia.“Sudah ya, aku menepati janjiku,” kataku pada Cheryl yang hanya mengangguk-angguk.“Istirahatlah! Biar aku yang mencuci piring,” ujar Cheryl usai menelan suapan terakhir.“Terima kasih, Dokter Cheryl kesayangan,” ucapku riang.Rencana untuk mengunjungi makam Finn besok, sungguh membuatku lebih bersemangat. Mungkin terdengar berlebihan, tapi aku merasa hatiku tertinggal di sana bersama Finn.Setelah membantu Cheryl meletakkan peralatan makan di tempat cucian, aku bergegas masuk ke dalam kamar untuk membersihkan tubuhku dan beristirahat. Ah, aku tidak sabar menunggu besok.Tok tok tok!Aku mendengar suara pintu kamar diketuk namun terlalu banyak menangis membuatku sulit membuka mata.Hingga tak lama kemudian, akhirnya aku berhasil membuka mata dan melihat seseorang datang menghampiriku.Tunggu dulu!“Finn
“Kenapa bangun? Kamu mau ke mana?” tanya Cheryl.“Apa kamu bertemu Finn di luar?” Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya.“Finn datang?” Cheryl pun kembali bertanya dengan raut wajah keheranan.Aku mengangguk cepat. Saat ini posisiku sudah duduk dengan air mata yang tak berhenti mengalir.“Aku hanya mendengar kamu menangis dan berteriak. Jadi, aku tidak memperhatikan. Maaf,” ujar Cheryl.“Biar aku memeriksanya,” sahutku sambil bergegas keluar kamar, diikuti oleh Cheryl.Dengan gerakan sedikit berlari, aku ke dapur dan terus mencari di setiap sudut ruangan, sampai aku membuka pintu unit apartment. Barangkali saja aku bisa bertemu Finn di luar sana.“Li,” panggil Cheryl lembut.Aku menoleh ke arah Cheryl. “Ya?”“Masuk, yuk!” ajak Cheryl.Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, dengan harapan bisa melihat sosok Finn. Tapi, nihil. Aku tidak punya pilihan selain mengangguk dan mengikuti Cheryl kembali masuk ke dalam unit apartment.“Kamu tadi lupa minum obatnya,” ujar Cheryl. Dia menun
Aku tidak sekadar berjanji untuk hidup dengan baik, tetapi aku juga bertekad untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik.Setidaknya saat ini aku melakukannya untuk Finn dan Cheryl karena sejujurnya aku sendiri tidak memiliki semangat untuk hidup lagi.Percayalah, membuat janji dan memiliki tekad tidak cukup membuat praktiknya berjalan dengan lancar.Sudah satu minggu ini, setiap hari aku masih saja menangis karena rasa rindu ini tak dapat dihindari. Hanya saja, aku berusaha untuk mulai beraktivitas, sebagai salah satu cara untuk mengalihkan perhatian.Sementara aku belum boleh ikut kuliah, aku memilih untuk membantu Cheryl memasak dan membersihkan apartment. Sesekali aku juga mengajak Cheryl keluar untuk belanja bahan makanan, daripada terus melamun di kamar.“Bukannya membantuku, kamu malah membuatku semakin repot, Li,” tegur Cheryl membuatku terkesiap.“Eee, maaf maaf ….” Aku baru saja menuang garam hampir separuh wadah.Cheryl buru-buru mengambil alih mangkuk berisi telur, lalu me
Tak ada nama pengirim dan penerima. Jadi, aku letakkan begitu saja di atas meja. Barangkali Cheryl pemilik paket ini, karena sudah lama aku tidak belanja online.Setelah memastikan semua pintu dan jendela sudah dikunci, aku melanjutkan langkahku masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan istirahat.Sebelum aku naik ke atas tempat tidur, aku membuka gorden karena di luar sana masih terang.“Sepi,” gumamku sambil memeluk guling.Perlahan aku mengedarkan pandangan ke arah luar jendela, lebih tepatnya melihat ke arah langit.“Finn, apa kamu di sana? Aku sedang sendirian di sini. Cheryl menemui pasiennya.” Aku bicara sendiri dengan nada suara sangat pelan.“Biasanya … pulang dari kampus, kamu akan mengajakku makan siang, lalu kamu mengantarku pulang, dan kembali ke kantor. Bagaimana kantor tanpamu? Bagaimana kabar om Danendra dan tante Iva? Aku rasa mereka semua merasa kesepian, sama sepertiku sekarang,” lirihku.Walaupun Finn bukan tipe pria yang suka bicara, namun kehadirannya sela
Ah, rasanya sudah sangat lama aku tidak jalan-jalan. Sejujurnya aku sedikit berdebar-debar jalan sendiri seperti sekarang ini. Namun, aku juga bersemangat.“Finn, aku ada di Pulau Sentosa,” gumamku sangat pelan, sambil menengadahkan kepala ke langit yang tampak sangat cerah. Benar-benar cuaca yang cocok untuk bersenang-senang.Aku melanjutkan langkah dengan mantap dan tangan yang masih memegang ponsel. Rencananya aku ingin mengambil gambar, dan mengirimkannya pada Cheryl.“Whoaaa …,” gumamku sambil memperhatikan sekitar.Tanpa sadar kakiku sedikit berlari, lalu aku membalikkan badan dan foto selfie dengan berbagai sudut pengambilan gambar.Pulau Sentosa terlihat tidak terlalu ramai di posisi aku berdiri sekarang. Tapi, aku bisa menjamin, di area Universal Studio pasti ada begitu banyak keluarga yang mengajak anak-anaknya bermain.Aku tidak berminat ke area bermain, karena aku hanya ingin menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dan foto-foto saja.Tunggu dulu!Aku menghentikan langkah dan
“Maaf, apa aku boleh tahu namamu?” tanyaku sopan.Seorang gadis itu menatapku sejenak, hingga akhirnya dia mengangguk, lalu mengulurkan tangannya.“Lilian.”“Keenan.”“M-maaf, tadi aku—““Apa kamu baik-baik saja?” tanyaku serius.“Iya, sekarang aku sudah baik-baik saja,” jawab Lilian. Ah, nama yang bagus dan manis menurutku. Semanis orangnya.Ya, Lilian seorang gadis yang cantik, sederhana, dan anggun. Ukuran tubuhnya tidak terlalu tinggi, hanya saja, menurutku dia terlalu kurus. Maaf, tidak berniat menilai seseorang secara fisik. Ini hanya pendapatku saja, sekadar untuk memberikan gambaran.“Syukurlah,” sahutku.Kemudian gadis itu … maksudku, Lilian, melanjutkan langkahnya. Kami pun berjalan beriringan. Aku di sisi kiri, dan Lilian di sisi kanan.“Sampai mana pembicaraan kita tadi?” tanya Lilian.“Hm ….” Aku berusaha mengingat-ingat.“Ah, Finn … apa kamu mengenalnya?” Seketika Lilian bertanya.“Tidak, aku tidak mengenal Finn,” jawabku jujur, membuat Lilian kembali menghentikan langka
Mendengar pertanyaanku, seketika Lilian menatapku lurus dan berhenti mengunyah. “Jangan salah sangka! Aku hanya senang bisa memiliki seorang teman,” ujarku santai. Tetapi, aku serius dengan perkataanku.Tidak, aku tidak sedang jatuh cinta dan ingin melakukan pendekatan. Aku hanya murni ingin berteman.“Apa di Singapura kamu tidak memiliki teman?” tanya Lilian.“Teman kuliahku banyak. Aku pun memiliki tim yang bekerja di kantor. Hanya saja, mereka semua sibuk, dan aku merasa seperti tidak memiliki teman,” jawabku jujur sambil terkekeh.Aku lihat, Lilian kembali menikmati makanannya dan tidak memberikan respons. Baik, aku tidak akan memaksanya.“Kamu tadi mengatakan kalau sudah lama mengurung di apartment. Apa kamu sakit?” tanya Lilian.Ah, rupanya Lilian ini sangat teliti. Bisa-bisanya dia masih ingat perkataanku yang sudah lewat.“Seperti yang aku ceritakan tadi, waktu itu aku putus dengan kekasihku dan mendadak aku jadi tidak suka bepergian,” jawabku.“Apa kamu selingkuh?” tanya Lil