Hati Axton yang diliputi kesedihan hanya bisa menerima nasib selama ia mengurung diri di dalam ruang bawah tanah berukuran 3x3 tersebut. Ia membuka buku peninggalan dari Mister meski ruangan gelap tak bisa membantunya banyak.
"Apa dia akan baik-baik saja? Aku sungguh tidak berguna. Aku membiarkan Mister ditangkap oleh orang-orang itu," ucap Axton terlihat sedih dan kembali menangis.
Axton yang terlarut dalam kesedihan, sampai tak menyadari jika ada beberapa langkah kaki di atas gudang menuju ke palka lapis besi yang melindunginya.
NGEKK!
"Aku menemukannya! Tuan Muda di sini!" teriak seorang laki-laki yang membuat mata Axton melebar seketika. Kepalanya mendongak, tapi tak bisa melihat dengan jelas sosok pria itu karena silau matahari mengaburkan pandangannya.
"Tuan Muda, ini kami! Berikan tanganmu, keadaan sudah aman, kau akan baik-baik saja," panggil Jeff mengulurkan tangan.
Axton segera memasukkan buku peninggalan Mister ke s
Huhu maapkan. Jadwal lele masih padet merayap. Jadwal update gak tentu cuma yang jelas begitu sempat langsung up. Jadi jangan tanya update jam brp aja ya. Trims udh setia menunggu updatenya. lele padamu^^
Keesokan harinya, Giamoco meminta agar Axton segera diterbangkan kembali ke Boston. Axton yang merasa jika pilihan kakeknya tepat segera bersiap.Gin mengawal Axton bersama para bodyguard Giamoco lainnya menggunakan helikopter. Gerry dan Kimberly ikut serta mengingat salah satu asisten kepercayaan Giamoco itu masih masa penyembuhan.Boston, Amerika Serikat, sore hari setelah kurang lebih 5 jam penerbangan."Ayah!" panggil Axton gembira saat melihat Leighton sudah berdiri menyambutnya dengan senyum tipis di teras mansion."Oh, syukurlah kau baik-baik saja. Ayah sangat cemas," ucap Leighton memeluk anak semata wayangnya dengan erat."Sangat mengerikan, Ayah," jawab Axton sembari melepaskan pelukan."Masuklah, kita bicara di dalam," ajak Leighton dan diangguki oleh Axton.Leighton melihat Axton terlihat lebih kuat dari otot-otot di tubuhnya saat ia memeluknya tadi. Pria bertubuh tinggi besar itu memandangi gerak
Waktu liburan Axton sebelum masuk sekolah tinggal satu bulan lagi. Ia manfaatkan bersama sang Ayah untuk mengenal lebih jauh dunia mafia dalam jajaran Giamoco.Axton begitu bersemangat karena sudah lama sekali ia tak menghabiskan waktu bersama Ayahnya. Ia tak ingin melewatkan momen ini meskipun hal itu mengenai dunia mafia."Semua orang mengenal Ayah sebagai pebisnis. Namun, semua bisnis legal yang Ayah lakukan untuk menutupi kejahatan kakekmu yang menjabat sebagai anggota Dewan 13 Demon Heads. Orang-orang tahunya kakekmu pensiun dari dunia bisnis dan menikmati masa tuanya. Yah, alasannya cukup bagus dan bisa diterima orang-orang bodoh di luar sana, tapi tidak bagi penganut dunia hitam," ucap Leighton serius sembari menoleh ke jendela mobil dari tempatnya duduk."Apa Ayah trauma dengan kejadian waktu itu hingga membuatmu terluka cukup parah?" tanya Axton yang menyadari gerak-gerik sang Ayah sejak mereka masuk ke mobil."Ya. Ayah kini makin waspad
Axton terlihat kagum dengan aktifitas di Markas tersembunyi tersebut. Ruangan besar seluas 150 meter yang berada di bawah kediaman Snow, digunakan sebagai pusat komunikasi, pengamatan dan eksekusi dalam jajaran. Banyak komputer dan pelengkapan komunikasi di sana. "Jadi ... Guest Host. Apakah ... itu hanya kedok saja?" tanya Axton curiga. "Kau pintar dan pengamatanmu bagus, Axton. Nah, kau lihat ada banyak monitor di atas meja? Itu adalah tampilan dari kamera pengawas yang dipasang oleh ayahku di tempat-tempat dalam cakupan kekuasaannya. Sayangnya, jarak dari tempat-tempat itu cukup jauh jika harus menghubungkan dengan kabel, bisa berkilo-kilo meter jauhnya. Selama ini, kami menumpang dari satelit milik Theresia, tapi kau tahu, ongkosnya sangat mahal. Ayahku sedang mengusahakan untuk memiliki satelit pribadi, tapi kakekmu menolaknya. Katanya, jika Giamoco tiba-tiba memiliki satelit dari sebuah usaha, hal itu akan membuat Pemerintah curiga termasuk para Dewan,
Keesokan harinya, usai sarapan. Axton dan Bardi sudah siap untuk berkendara. Leighton dan Snow tak bisa menahan anak lelaki mereka yang beranjak dewasa untuk bertualang. "Gin," panggil Leighton dan wanita cantik itu mengangguk paham. "Tugas hari ini akan sangat melelahkan," ucapnya sembari mengambil helm melewati anak buah Snow yang akan mendampinginya mengawasi dua pemuda tersebut. Hawa dingin Islandia tak menyurutkan semangat Axton dan Bardi untuk menjelajah kota-kota di Negara tersebut. Snow meminta anak buahnya untuk mengawasi pergerakan Bardi dan Axton dari kamera pengawas. Sepanjang perjalanan, terlihat dua pemuda itu begitu gembira bisa melaju motor sport di jalanan aspal Islandia. Bardi menunjukkan beberapa tempat yang masuk dalam kawasan kekuasaan ayahnya, Snow. Hingga siang itu, Bardi mengajak Axton singgah ke sebuah Dermaga setelah lelah berkeliling. "Semua nelayan di sini membayar pajak pada ayahku dan nantinya dise
Bardi mengendarai motornya kencang menuju ke rumahnya. Anak buah Snow yang berjaga di luar gerbang dibuat keheranan, karena Bardi kembali seorang diri karena tak bersama Axton dan lainnya. "Anda tak apa, Tuan muda?" tanya salah seorang penjaga. "Hah, apa panggilanku dari radio tak sampai ke Pusat Komando? Katakan jika Axton dan Gin masuk ke markas Big Daddy! Aku harus segera kembali ke sana untuk memastikan jika Axton baik-baik saja," jawabnya dengan nafas tersengal. Tentu saja semua orang yang berjaga di gerbang terluar terkejut. Salah seorang diantara mereka segera menginformasikan hal ini dari panggilan radio. Saat Bardi siap untuk pergi, Snow dan Leighton berlari mendatanginya berwajah panik. Bardi ikut gugup. "Apa yang Axton lakukan di tempat itu? Apa kau tak memperingatkannya?" tanya Snow melotot lebar. "Sudah, Ayah! Axton sepertinya tak sadar saat ia memasuki wilayah itu. Terakhir aku melihatnya, ia malah seperti mengagumi gerba
Axton dan Gin terlihat kebingungan saat mencari tempat untuk bersembunyi. Axton melihat sebuah patung mannequin dan mengajak Gin untuk melakukan apa yang ia perintahkan.BRAKK!!Sekelompok pria terlihat begitu siap dengan pistol dan senapan laras panjang dalam genggaman. Mereka mengarahkan moncong senjata ke segala sudut ruangan untuk mencari keberadaan orang yang menyusup ke Markas Big Daddy.Gin dan Axton menyamar menjadi patung dengan pakaian militer yang sama, seperti para penyerang di kediaman Mister beberapa waktu yang lalu.Axton bergaya begitu meyakinkan. Tak bergerak, memakai kacamata hitam dan senapan laras panjang dalam genggaman. Gin ikut melakukan pose yang sama meski tubuhnya lebih tinggi dari Axton.Seorang pria mendekati patung tipuan itu dengan kening berkerut. Ia mengulurkan tangannya dan memegang punggung tangan Gin dengan gugup.DUAKK!!"Argh!"BRUKK!"Now!"
Axton terkejut saat Gin mendorongnya kasar hingga ia hampir jatuh. Gin menunjukkan wajah bengis dan Axton langsung menjaga sikap.Gin berjalan pincang menuju ke pintu dengan senapan laras panjang dalam genggaman. Axton mengikuti Gin dengan posisi siap untuk melakukan aksi balas jika ada yang menyerangnya.Mata keduanya memindai sekitar saat menyadari jika pasukan Snow mulai menggempur markas milik Big Daddy. Axton melihat Gin kesulitan berjalan dan berusaha menolongnya, tapi Gin selalu menampik bantuannya hingga emosi Axton tersulut."Dengar, Gin. Aku tahu kau kesal padaku. Namun, aku tak mau membawamu pulang dalam keadaan cacat apalagi tewas. Sudah cukup orang-orang terluka di sekitarku, jangan memperpanjang daftar kesedihanku. Kau mengerti?!" pekiknya kesal dan Gin terdiam karena Axton melotot tajam padanya.Gin akhirnya mengalungkan tangannya di pundak Axton. Mereka mengendap dan menjauh dari pertempuran di mana suara tembakan serta ledakan terdengar b
Axton menonton tayangan dari layar dengan gambar hitam putih di hadapannya sembari menikmati biskuit dari sebuah toples yang ia temukan dekat meja pengendali."Oh! Sepertinya mereka mencariku," ucap Axton sembari mengunyah biskuit dengan senyum terkembang.Terlihat dari kamera pengawas tersembunyi saat Bardi dan anak buah Snow mencari keberadaan Axton. Namun, pemuda itu bukannya menunjukkan diri, ia malah menikmati tayangan dari layar-layar cembung di hadapannya dengan gembira saat Bardi dan lainnya terkejut melihat banyak mayat bergelimpangan di koridor."Hahaha, wajahmu lucu sekali, Bardi! Oh, di mana ya tombol untuk merekam? Ini harus diabadikan," ucapnya sibuk mengamati satu persatu tombol dari papan di hadapannya."Axton!" teriak Bardi yang akhirnya menemukan dirinya karena pintu terbuka."Bardi, my friend!" sambut Axton riang dan langsung berdiri mendatangi putera Snow lalu memeluknya.Bardi terlihat bingung, tapi menyambut pe