Share

08. Kebetulan

Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.

Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.

Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik, berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai tidak punya waktu memperhatikan kafe ini sampai matanya menyadari sesuatu, kehadiran seseorang yang selalu kontras di netranya di mana pun orang itu berada.

"Mau ke mana, Ca?" Renra yang menyadari Yuca berjalan menjauhi kafe lantas bingung. Ia berjalan cepat mengejar perempuan itu lalu menahan tangannya. "Ada apa?"

"Ada setan!" balas Yuca sinis. Ia menatap jalanan yang tidak begitu lebar di depan mereka. Banyak para anak muda berjalan kaki di sana.

Tidak paham, Renra mengernyit lalu kembali menatap ke dalam kafe berdinding kaca itu. Ia bodoh karena sempat berpikir Yuca benar-benar bisa melihat hantu, karena nyatanya kini yang ia lihat adalah para pengunjung yang tengah asyik mengobrol dengan teman semeja mereka masing-masing. Termasuk dua orang di sana, yang duduk berhadapan.

"Bapak sengaja bawa saya ke sini?" tanya Yuca curiga. Ia menatap Renra penuh selidik. "Bapak sudah merencanakan ini sama dia?"

"Pertama, jangan panggil 'bapak' kalau di luar kantor. Kedua, nggak ada yang disengaja, Ca. Ini kebetulan."

Oh, tentu Yuca tidak menuruti yang pertama dan tidak percaya untuk statement yang kedua. Ia mendengkus kasar. "Pertama, mulai sekarang saya akan terus memanggil 'bapak' karena saya adalah karyawan NF, perusahaan yang Bapak bangun dengan teman Bapak," katanya. Tentu hal itu karena ia ingin membuat jarak dengan Renra, memperjelas status mereka. Bukan Yuca ge-er, karena bahkan untuk berteman, ia meras berat. "Kedua, Bapak licik!"

Renra mendengkus. "Kalau kamu tidak percaya, ayo kita masuk. Lihat ekspresi Naja seperti apa saat melihat kamu dan saya," ujarnya, menyeimbangi cara bicara mereka tentang sapaan. Baiklah, kalau itu mau Yuca. Toh, ini hanya soal panggilan.

Mengentak tangannya yang ditarik Renra, Yuca berkata, "Nggak usah ditarik. Saya bisa sendiri."

"Kamu bilang mau bersikap seperti atasan dan bawahan, Ca? Kamu tau, 'kan, kalau sikap kamu ke saya ini tidak mencerminkan sikap seorang bawahan?"

Skakmat!

Yuca menelan ludahnya. "Maaf," katanya dengan ringan. Sadar bahwa ia mulai tidak konsisten sekarang.

"Kita bicara di dalam," kata Renra sebelum berjalan lebih dulu masuk ke kafe.

"Serius amat, aneh," gumam Yuca tanpa didengar Renra. Tiba-tiba pria itu menyetujui permintaannya dan entah kenapa, itu sangat aneh. Yuca malah merasa tertekan. Seperti sedang ingin disidang bos. Padahal selama ini ia tidak pernah merasa terintimidasi di dekat Renra—maupun Naja. Bahkan setelah putus, ia tidak benar-benar hormat layaknya bawahan.

Yuca berjalan cepat ketika sadar Renra sudah mendorong pintu kafe. Pada langkah pertamanya, ia tidak melirik Naja. Langkah kedua di mana Renra sudah memilih meja untuk mereka, Yuca masih berusaha keras tidak menatap ke sisi kanannya, di mana Naja berada. Hingga duduk di depan Renra, ia bersorak karena sanggup menahan diri tidak menatap Naja.

"Saya sudah pesankan. Menunggu kamu lama."

"Hm, saya minum semua jenis kopi," jawab Yuca, mengingat di kafe ini menunya serba kopi.

"Ada cake, mau pesan?"

Menggeleng, Yuca menolak. Ia sudah sangat banyak makan ayam di indekos Letta tadi sore. Perutnya tak mampu menampung makanan lagi.

"Naja lihat saya tadi. Dia mau negur, tapi tidak jadi karena melihat kamu masuk."

Perempuan itu manggut-manggut, percaya kini bahwa tidak ada yang direncanakan Renra. Ia menatap punggung Naja. Mereka tidak satu deret, sehingga dengan mudah ia melihat ke arah pria itu tanpa diketahui. Perempuan di depan Naja pun tampaknya tidak peduli dengan kehadirannya dengan Renra, mungkin mereka—pacar Naja dan Renra—tidak saling kenal.

"Jadi berapa tadi Bapak kasih uang ke preman itu?" Belum sempat Renra menjawab, ia kembali menambahkan, "Harusnya Bapak jangan bayar segala. Saya berterima kasih karena sudah ditolong. Tapi saya keberatan juga Bapak bayar mereka. Padahal sudah saya bilang jangan, mereka itu bohong. Bohongnya nggak serius lagi, modal gertak."

"Biar cepat. Kamu nggak akan selesai sama mereka kalau nggak bayar," jawab Renra enteng.

"Mereka nggak akan berani macam-macam karena banyak orang. Lagian keenakan mereka dikasih uang segitu cuma-cuma, mana mobilnya saya juga yang bayarin."

"Kalau itu memang salah kamu." Renra menunjuk Yuca membuat perempuan itu mencebik. Ia bersandar, duduk santai sambil bersedekap menatap Yuca yang siap mendebat lagi.

"Ya, itu saya tau. Makanya saya tanggung jawab mobil. Nabraknya, tuh, nggak kencang. Nggak mungkin lehernya sakit."

"Ta—"

"Oke, skip. Jadi Bapak kasih mereka berapa tadi?" potong Yuca. Ia hanya mau protes, toh bagaimana pun Renra sudah menyerahkan uang itu. Yuca hanya ingin memberitahu bahwa dirinya tidak setuju dengan cara Renra. Memang dengan begitu duitnya tidak kembali, tetapi dengan protes bisa membuatnya lebih baik. Maklum, perempuan.

"Saya nggak hitung."

"Kira-kira berapa?" tanya Yuca lagi. Iya, sih, dia lihat tadi Renra tidak menghitung. "Coba hitung di dompet Bapak uangnya sisa berapa terus dikurangi dengan jumlah sebelum dikasih ke preman."

"Saya nggak menghitung jumlah uang di dompet saya sebelumnya."

Kok, kaku banget, ya? Renra juga menatap Yuca tanpa sekali pun berpaling membuat perempuan itu tidak nyaman.

"Jadi?"

"Jadi?"

"Saya minta nomor rekening Bapak. Nanti saya transfer sebagai ganti." Yuca menyerahkan ponselnya pada aplikasi note.

Langsung saja Renra menerimanya. "Saya nggak hafal. Jadi kita tukaran nomor aja, nanti saya chat nomor rekeningnya," katanya. Lalu menyimpan kontaknya di ponsel Yuca tanpa izin dan menekan ikon call di layar. "Nah, masuk." Ia melirik ponselnya di meja yang berbunyi, panggilan dari nomor baru, nomor Yuca.

Sebenarnya Yuca tidak mau menuduh, tetapi pikirannya selalu buruk kalau tentang Renra, Naja, dan Dara. Ia pikir Renra modus dan menebak punya niat terselubung yang tentunya tidak baik.

Saat Yuca hendak protes, nama mereka disebutkan. Renra langsung berdiri untuk mengambil dua gelas minuman pesanan mereka. Kehilangan Renra dari pandangan jarak dekatnya membuat Yuca tertarik pada kehadiran Naja. Kepala pria itu bergerak, mengikuti pergerakan Renra. Saat Renra kembali ke meja, pria itu menaikkan kedua alisnya untuk merespons Naja. Tampak saling lempar kode.

"Ini bonus." Renra meletakkan piring kecil berisi cake berwarna cokelat terang. Wanginya seperti kopi, atasnya ditaburi kacang. "Katanya owner kafe ulang tahun, jadi bagi-bagi kue gratis buat semua pengunjung hari ini."

Kacang.

Yuca tidak ada masalah dengan makanan itu, setidaknya empat bulan lalu. Karena setelah kenal dengan Naja dan sering menghabiskan waktu bersamanya, Yuca jadi ikut-ikutan menghindari kacang. Seingatnya ini adalah kali pertama ia mengkonsumsi makanan yang mengandung kacang-kacangan setelah mengenal Naja.

"Jadi pengen sate," gumam Yuca saat mengunyah cake, menumpuk perutnya dengan makanan itu tanpa peduli sekali pun sudah penuh. Mulai sekarang, Yuca akan makan makanan yang mengandung kacang!

"Pengen apa?" tanya Renra, tidak mendengar.

Ia menggeleng lalu menyendok cake rasa kopi itu lagi. Mikirin kacang, ia jadi pengin sate yang bersambel kacang. Ia suka daging ayam panggang yang ditusuk-tusuk berbumbu kacang itu, sayangnya karena Naja tidak bisa makan, ia keterusan sampai sekarang.

"Jadi saya transfernya berapa, Pak?" Kembali ke topik awal alasan mereka ada di sini, Yuca menatap Renra dan meletakkan sendoknya di atas piring.

"Seratus ribu."

"Hah?"

Renra terkekeh mendapati ekspresi terkejut itu. "Sebenarnya biar nggak kamu ganti juga saya nggak masalah, Ca."

"Saya tau Bapak banyak uang. Tapi maaf saya nggak mau ngutang," jelasnya lugas. "Lima juta?"

"No, terlalu banyak." Akhirnya Renra mengeluarkan dompet. Mengikuti saran Yuca, ia menghitung sisa uang berwarna merah di sana. "Dua puluh satu lembar," katanya, "tadi saya dari bank ngambil uang lima juta untuk keponakan. Saya nggak biasa bawa uang cash, jadi sudah pasti yang saya kasih tadi itu dua juta sembilan ratus."

Nah, kalau sudah jelas begitu kenapa nggak dari tadi?

Rasanya Yuca ingin berkata begitu. Namun, ia harus konsisten dengan jarak—atasan dan bawahan—yang ia buat.

"Saya nggak bawa uang cash sebanyak itu. Jadi nanti Bapak jangan lupa kirim nomor rekeningnya," kata Yuca setelah meminum kopinya. Ia mengambil clutch-nya di meja lalu memasukkan ponsel ke sana. "Sudah selesai ya, Pak. Nanti saya transfer. Terima kasih. Saya pulang sendiri aja." Tanpa menunggu respons Renra, Yuca beranjak dan pergi keluar kafe. Saat melewati meja Naja, pria itu sudah tidak ada di sana.

Wah, Yuca bersorak dalam hati. Demi apa, dia tidak sadar dengan pergerakan Naja di sekitarnya? Bagus, Yuca. Lanjutkan. Akan tetapi, tunggu. Cake yang sama dengan miliknya, yang Renra bilang free untuk semua pelanggan, ada di atas meja Naja bersama kekasihnya dan nyaris habis.

Siapa yang makan? Pertanyaan itu tiba-tiba bersuara di kepala Yuca.

"Saya antar aja."

Tahu-tahu Renra sudah di sampingnya membuat Yuca mempercepat langkahnya. "Nggak, Pak. Saya pesan taksi aja. Terima kasih sudah nemanin ke bengkel terus ke sini," kata Yuca sopan.

Renra menarik pintu dan membiarkan Yuca keluar lebih dulu. Setelah itu barulah ia menyusul.

"Sekalian aja saya antar. Lebih aman," ujar Renra.

"Nggak, Bapak Renra," tekan Yuca, "saya—"

"Ren!"

Langkah Renra dan Yuca sontak berhenti. Di depan mobil Renra, berdiri seorang pria yang sangat mereka kenali.

"Woi, Naj, kenapa?" sapa Renra. Ia melihat kanan-kiri, baru berhenti ketika mendapati perempuan yang bersama Naja tadi sudah berada di dalam mobil.

"Mau ngomong sama lo ... berdua," jawab Naja. Ia melirik Yuca sebentar yang sibuk dengan ponsel.

"Harus sekarang?"

"Hm."

"Ca, kamu tunggu di—"

"Saya sudah pesan taksi, Pak." Yuca memperlihatkan layar ponselnya, menunjukkan bahwa ia benar-benar sudah memesan. "Saya nunggu di pinggir jalan sana, ada kursi. Permisi." Tanpa menatap Naja, Yuca pergi dari sana.

Ditinggalkan begitu saja, tangan Renra yang hendak menahan Yuca kini hanya bisa meremas udara kosong. Ia baru berpaling saat melihat perempuan benar-benar sudah duduk di kursi.

"Lo ngapain sih, anjir?!"

Renra mendengkus. Tahu apa yang Naja maksud.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status