Share

07. Kecelakaan

"Gilaaa ...!" Letta geleng-geleng mendengar cerita Yuca yang sudah terjadi sebulan yang lalu. Sudah basi bagi Yuca, tetapi baru bisa ia ceritakan pada Letta sebab temannya itu baru kembali dari Bandung kemarin karena ada pekerjaan di sana. "Nggak tau, deh, harus bangga karena lo bisa ngungkapin perasaan lo atau ngatain lo bego," kata Letta sambil mengunyah ayam KFC yang dibeli Yuca, sesuai janji Yuca waktu lalu.

Setelah menceritakan kejadian sebulan lalu saat di food court dan di rooftop bersama Naja, perasaan Yuca lebih lega. Ia terkekeh saja mendengar ucapan Letta yang mengatainya, karena ia pun sadar memang begitu keadaannya.

"Ya, emang bego, sih," jawab Yuca membenarkan sambil mengorek ember ayam KFC, mencari potongan sayap. "Aslinya gue udah nggak punya muka depan Naja. Bisa-bisanya gue nangis depan dia terus ngaku masih ada perasaan. Jelas-jelas gue cuma seonggok daging depan itu laki."

"Jadi gimana lo sama Naja sekarang?"

"Nggak pernah saling tegur lagi. Ya, seperti yang gue minta." Pipi bulat perempuan itu penuh dan bergerak-gerak. "Syukurnya kerja aktif ngantor sebulan lebih lagi. Tapi naskah skenarionya udah mau selesai. Mungkin dua minggu lagi."

"Wih, cepet amat, Na."

"Ya cepat. Gue lembur terus bahkan sampai kantor udah kosong melompong. Pernah sampai jam sembilan malam. Sebenarnya kadang gue nggak enak karena dengan begitu tim gue juga nge-push diri mereka. Tapi mau gimana lagi, gue udah nggak betah."

"Tim lo tau nggak, sih, masalah lo dan bos mereka?" tanya Letta sambil memperbaiki ikat rambutnya. Ia beringsut turun dari sofa lalu duduk ke ambal bulu bersama Yuca.

"Tau. Jadi mereka paham aja kenapa gue jadi gila pengen cepat-cepat skenarionya selesai," jawab Yuca. "Mereka pada pengertian, syukurnya."

Obrolan mereka telah berlangsung lama, bahkan sinar dari luar sudah tidak ada lewat celah jendela lagi sebab hari berganti malam. Yuca merebahkan tubuh sambil memeluk bantal sofa di atas perutnya. Perempuan itu terdiam, menatap langit-langit indekos Letta yang berwarna putih.

"Kalau naskah udah selesai, emang boleh nggak ngantor, Na?" tanya Letta setelah menenggak pepsi-nya. "Kan masih ada kontrak."

"Boleh. Perjanjiannya begitu, masa kontrak adalah deadline. Naskah selesai, otomatis kerjaan beres. Palingan tinggal revisi kalau emang ada yang berubah, itu bisa dari rumah," jelas Yuca tanpa menatap Letta yang kembali menghasilkan suara 'kriuk' dari mulutnya karena makan ayam tepung.

"Syuting?"

"Gue nggak mau datang."

"Boleh?"

"Mungkin .... Gue rasa Naja juga mendukung gue nggak datang, sih."

"Kok perih, ya, Na?" gumam Letta. Ia menyentuh dadanya. "Di sini kayak 'nyes' gitu dengar kisah lo sama Naja. Gila, ya, itu cowok. Kapan lagi dapat yang tulus kayak lo, sih?"

"Tulus doang, cantik nggak." Yuca terkekeh sumbang. Ia bangkit duduk lalu menepuk bantal di pangkuannya. "Kayaknya gue mau pulang, deh. Jam berapa, sih?"

Letta mengambil ponselnya di meja pendek sampingnya. "Jam delapan."

"Lama juga gue di sini. Gue pulang, ya, Ta? Ayamnya abisin."

"Haha makasih," jawab Letta sambil tertawa dibuat-buat. Ia mengikuti Yuca berdiri dan mengantarnya sampai pintu. "Sampai rumah chat gue, ya."

"Oke, Sayang."

"Jijik, ah. Jones, lo. Belum juga jomlo tiga bulan." Letta melempar tulang ayam sisa ia gerogoti dagingnya ke arah Yuca yang kini memakai sepatu di teras indekosnya. Temannya itu hanya tertawa dan sempat menghindar.

"Jangan lupa, dua bulannya cuma dijadiin taruhan."

"Sungguh biadap."

Keduanya sama-sama tergelak mendengar celetukan Letta. Temannya ini mulutnya emang bisa aja, dah.

"Oke, gue pulang dulu. See you kapan-kapan." Yuca melambai lalu berjalan ke parkiran. Setelah mobil Yuca tak terlihat lagi, barulah Letta masuk indekos.

*****

Apakah Yuca langsung pulang? Oh, tentu tidak. Setelah Senin (bahkan) hingga Sabtu menghabiskan siang dan malamnya di kantor, ia tidak mau melewatkan hari Minggu-nya dengan duduk diam di rumah. Karena hal itu hanya akan membuatnya gabut dan pada akhirnya melamun tentang Naja—tepatnya hubungan mereka selama dua bulan itu. Hubungan yang sungguh manis. Ia ingat setelah pacaran dengan Naja tidak pernah membawa mobil sendiri karena pria itu yang mengantar dan jemput dirinya dengan rutin, selama dua bulan itu di masa kerja tanpa sekali pun bolong. Namun, Naja memang selalu menolak setiap diajak mampir karena ia bilang belum siap berkenalan dengan orang tua Yuca. Tentu Yuca paham, apalagi usia hubungan mereka memang terbilang sangat baru.

Naja memperlakukannya dengan sangat baik dan sopan. Pria itu selalu mendengarkan pendapat dan masukannya. Naja tidak pernah memaksa dalam hal apa pun. Termasuk saat mereka sudah di tahap make out, tetapi Yuca meminta berhenti dan menolak untuk having sex—yang akhirnya Yuca tau ajakan itu karena taruhan.

Setiap Yuca mengajak Naja berbelanja di supermarket untuk mengisi kekosongan kulkas pria itu, Naja—tampak—dengan senang hati menurut. Saat Yuca memasak untuknya di apartemen, Naja makan dengan sangat lahap, tampak tak terpaksa. Pria itu juga tidak pernah terlihat keberatan setiap mengantar dan jemput Yuca, dan menuruti semua permintaan Yuca ke mana pun ia ingin pergi di weekend mereka. Namun, ternyata semuanya palsu. Itu semua karena dilandasi niat terselubung.

Naja adalah aktor yang baik. Kepura-puraannya selama dua bulan itu tidak pernah terendus sedikit pun oleh Yuca sampai ia mendengar sendiri fakta dari mulut Naja, Dara, dan Renra bahwa dirinya hanyalah taruhan.

BRAK!

"Arg!" Yuca menginjak rem, seketika panik dengan kejadian yang rasanya begitu cepat. "Sialan, lampu merah, gue nggak lihat," gumamnya panik. Apalagi ketika seorang pria paruh baya berbadan kekar keluar dari mobil di depannya yang sudah ia tabrak. Pria itu berdiri di samping mobil Yuca, lalu mengetuk kacanya dengan tidak sabar.

Astaga, harusnya ia tidak melamun tadi. Memikirkan Naja memang tidak pernah berakhir baik.

"Keluar kamu!"

Yuca tersentak mendengar samar-samar bentakan itu. Ia melepas seatbelt, lantas membuka pintu mobil dan keluar. Pria kekar itu hanya memakai baju singlet hitam, memamerkan otot-otot lengannya yang besar. Dadanya pun terlihat sangat bidang. Yuca meringis, ia akan penyet dengan sekali pukulan. Mana wajah pria di depannya terlihat sangat marah.

"Bisa bawa mobil nggak? Kalau nggak bisa mending naik taksi atau pakai sopir, mobil saya penyet ini, gimana?!" semburnya dengan suara yang berhasil menarik perhatian banyak orang. Bahkan para pengendara mobil sengaja membuka kaca mobil mereka agar dapat mendengar keributan itu dengan lebih jelas.

Pandangan Yuca tertuju pada bagian depan mobilnya dang belakang mobil pria tersebut. Benar katanya, penyet.

"Heh, jawab!" Dengan sekali dorongan pelan di pundak, Yuca termundur selangkah.

"Maaf, Mas. Saya benar-benar nggak sengaja. Mobilnya dibawa ke bengkel aja nanti saya bayar biayanya," ujar Yuca berusaha tenang. "Notanya kirim ke saya. Mas-nya boleh simpan nomor saya."

"Banyak uang kamu?!" sentak pria itu lagi. "Kalau saya tadi kenapa-kenapa gimana? Leher saya ini sakit!" Ia menunjuk lehernya yang tiba-tiba saja kepalanya miring ke kanan dan tidak balik lagi. Lho?

"Ta-tapi ...."

"Itu, saya nggak sendiri." Pria berambut nyaris botak itu berjalan ke mobilnya lalu meminta seseorang dari sana keluar. "Teman saya lehernya juga sakit," ujarnya. Kedua teman itu saling tatap, lalu pria satu lagi mulai mengaduh sambil memegang leher belakang.

Otak Yuca bekerja dengan cepat. Ia tahu sakit leher hanyalah akal-akalan saja untuk memerasnya. "Mas ini mau mengerjai saya, ya?" kata Yuca memberanikan diri. Di sini banyak orang, dua pria bertubuh atletis itu tidak akan berani macam-macam. Setidaknya begitulah yang ia yakini. "Saya akan tanggung jawab sola mobil—"

"Dan uang tunai untuk leher kami!" potong pria bersinglet itu.

"Saya tahu Anda ini cuma mencari kesempatan. Saya ganti rugi mobil, tapi tidak dengan pengobatan leher." Dengan cekatan Yuca membuka mobil untuk mengambil pulpen dan note di dashboard. Ia menulis nomor ponselnya dengan kap mobil depan sebagai alas. "Ini nomor saya. Foto nota perbaikan dari bengkel bisa kirim ke nomor ini serta alamat bengkelnya," ujar Yuca sambil menyerahkan kertas tersebut dan langsung dirampas.

"Uang tunai untuk ke rumah sakit, mana?!" katanya sambil mengulurkan tangan. Sudah seperti meminta uang jajan sama mamanya saja.

"Saya minta maaf atas kerusakan yang saya perbuat. Saya akan tanggung jawab. Tapi saya tahu leher Anda hanya pura-pura. Bahkan saya menabraknya tadi tidak—"

"Kamu menuduh saya bohong, hah?!" Pria itu maju selangkah sambil membentak. Sungguh seperti preman. "Sudah salah, tidak mau bertanggung jawab lagi! Saya laporkan kamu, ya!" ancamnya.

"Silakan," tantang Yuca tidak takut.

"Oh, nantang kamu. Iya?!" Pria itu maju lagi, menghapus jarak mereka. Yuca mundur, tetapi dengan cepat tangannya ditarik. "Berani kamu?!" Mata pria itu memelotot, mengerikan. Dari jarak sedekat ini, dapat Yuca lihat ada bekas jahitan di pipinya dari luka sobek yang cukup panjang.

"Aw ... lepas!" Yuca berusaha menarik tangannya. Sial, orang-orang hanya menonton. Hanya ada yang berteriak dari kendaraan mereka untuk tidak kasar dengan perempuan. Mungkin mereka juga takut. Wajar, dua pria itu memang mengerikan.

Yuca didorong hingga tubuhnya limbung ke belakang. Namun, belum sampai tubuhnya menghantam aspal, seseorang menahan tangan dan pinggangnya dari belakang hingga Yuca kembali berdiri sempurna.

"Lo nggak apa-apa?"

Yuca menoleh. Terkejut melihat siapa yang kini berada di sampingnya. Perempuan itu mengangguk kaku sebagai jawaban.

"Jangan kasar sama perempuan. Dia sudah minta maaf, 'kan? Anda mau ganti rugi berapa?" Pria yang menolongnya itu mengeluarkan dompet, siap menarik uang dari sana. Cepat-cepat Yuca menahan tangannya.

"Jangan," tahan Yuca, "sudah saya kasih nomor saya untuk dihubungi buat ganti rugi mobil."

"Lho, ini leher saya—" Preman itu tarik urat lagi, tetapi segera berhenti saat disodorkan berlembar-lembar uang berwarna merah. Yuca bahkan yakin jumlahnya lebih dari sepuluh lembar. Bisa jadi dua kali lipatnya, atau bahkan tiga kali.

Belum sempat Yuca menahan, uang itu sudah dirampas. Dua orang yang ia tabrak itu tersenyum menang, lantas kembali ke mobil dengan kepala digoyang-goyangkan, mengolok. Mereka bohong.

"Mobil lo juga antar ke bengkel, gue antar pulangnya."

Lampu lalu lintas yang sudah berubah warna menjadi hijau membuat kendaraan lain kembali bergerak. Mereka membunyikan klakson dan meneriaki Yuca untuk segera meminggirkan mobilnya.

Yuca menatap pria di hadapannya saat ini. Tidak habis pikir kenapa dengan mudah membayar preman macam orang tadi yang jelas-jelas berbohong.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status