Mereka telah berada di kamar hotel. Windi membongkar tasnya, mencari setelan untuk dipakai tidur. Meski malam belum larut, tapi rasanya Windi ingin segera melepaskan semua kepenatannya ke alam mimpi, dan berharap besok pagi dia terbangun dalam keadaan segar tanpa ada rasa kecewa lagi.
Yah, di satu sudut hatinya yang terdalam, Windi masih sangat menginginkan hubungannya dengan Yoo Ill akan membaik, dan berharap jika sebuah jalan yang spesial akan menjadi rute berikutnya. Tapi apakah itu mungkin ?
“Jadi Yoo Ill itu Event Manager-nya, Win ?” tanya Fina tidak percaya.
“Iya, kamu ga percaya kan? Sama, aku juga. Tapi begitu lihat ada nama dia di belakang badge yang kita pakai, aku ga ragu lagi. Terlebih lagi dia turut berbicara waktu konferensi pers kemarin. Sudah pasti dia orangnya,” jawab Windi sambil berjalan ke kamar mandi.
“Tapi dia cerdik juga ya, Win. Lihat nih, di situs ini disebutkan, dia menemukan kamu ketika sedang melakukan kegiatan amal yang ru
Mobil yang membawa Windi melaju pelan membelah jalanan kota Seoul yang tampak indah di malam hari. Gedung-gedung tinggi dengan beraneka lampu warna-warni nampak begitu rapat satu sama lain, seolah tidak memberi celah bagi angin untuk bertiup di antaranya.Seoul yang dari luar terlihat begitu angkuh, tapi entah mengapa hati Windi merasa hangat di kota ini. Adakah takdir lain yang menghubungkanku dengan kota ini? Bisik batin Windi. Pertanyaan itu terus berputar-putar di ruang benak Windi.Di depan sebuah gerbang yang tinggi besar, mobil yang Windi tumpangi berhenti. Tanpa menunggu terlalu lama, gerbang itu terbuka, dan mereka pun masuk ke dalamnya.Pria bertubuh besar yang kemudian diketahui bernama Hyung Min membukakan pintu untuk Windi. Sementara Windi masih terperangah melihat kemegahan bangunan yang ada di hadapannya. Jika ingatannya tidak salah, rumah bergaya mediteranian itu pernah dilihatnya dalam salah satu drama y
Windi masih merasa tidak percaya dengan semua informasi yang ia dengar. Dia membuka amplop itu, kemudian membaca lembar demi lembar kertas yang berisikan laporan keuangan Han Group. Netra Windi terpaku pada lembaran yang berisikan informasi rekapitulasi dividen tahunan yang dikirim ke rekening atas nama ayahnya. Totalnya lebih dari 15 juta dollar. Jika di konversi ke rupiah dengan kurs 13.500 nilainya mencapai lebih dari 202 milyar rupiah. Kepala Windi langsung berdenyut membayangkan jumlah uang yang ia miliki saat ini. “Tidak mungkin, tidak mungkin,” bisik Windi sambil terus menggelengkan kepalanya. Tangannya bergetar hebat karena shock mengetahui dirinya mendadak kaya raya dalam semalam. “Tidak ada yang tidak mungkin, Windi." tukas Tn. Han. "Hidup itu ibarat bertani. Apa yang kamu tanam hari ini, itulah yang akan kamu tuai di hari berikutnya. Dan semua yang kamu terima hari ini adalah hasil dari benih yang di tanam ayahmu saat dulu. Meski pun ketika melakuk
Tn. Han tersentak. Tidak menyangka akan mendengar penolakan yang begitu lugas dari Yoo Ill. Dia mengerti jika hubungan mereka memang tidak pernah berjalan harmonis. Namun, ia juga tidak sepenuhnya siap dengan jawaban Yoo Ill yang terdengar begitu menyakitkan di telinganya.“Apa? Waeo? Oh ... itu pasti karena sikap ayah yang sudah keterlaluan selama ini, ya? Ya, ya, ayah mengerti. Ayah tidak akan memaksamu untuk memaafkan ayah sekarang ini. Hanya saja tolong beri ayah kesempatan untuk menjadi ayah yang baik ke depannya," ujar Tn. Han, mengambil kesimpulan dengan wajah muram.Meski kecewa dengan jawaban Yoo-ill, Tn. Han berusaha untuk tetap berbesar hati. Bagaimana pun ia sudah bertekad akan memulihkan hubungannya dengan putra satu-satunya itu. Tapi tetap saja, tengorokannya terasa tercekat. Seolah ada gumpalan besar yang memicu kelenjar air matanya untuk berproduksi lebih cepat. Sepasang mata Tn. Han mulai berkaca-kaca.“Tidak, aku tidak akan
Yoo Ill tidak langsung menjawab pertanyaan Windi. Dia tetap diam tanpa melepaskan pandangannya dari Windi.Windi tidak menyangka jika dirinya akan bertemu Yoo Ill di rumah itu. Sejumput kecurigaan muncul di hati Windi. Dia ingin menanyakan lebih banyak, namun ia mendengar suara Tn. Han memanggil namanya. Ia pun berlalu dari hadapan Yoo Ill.“Windi-ssi? Kau sudah bangun? Kesinilah! Bagaimana keadaanmu? Masih ada yang sakit?” Tn. Han bangkit dari duduknya dan menyambut Windi.“Hmm ... aku ... baik-baik saja. Terimakasih. Ngg ... Ahjussi, boleh aku meminta album foto yang tadi? Aku ingin membawanya pulang ke Indonesia,” pinta Windi penuh harap.“Oh ... album tadi? Tentu saja, itu adalah milik kamu. Dan jangan lupa saham itu juga milik kamu,” sahut Tn. Han mengingatkan.“Ngg ... untuk saham itu aku tidak mengerti, jadi aku belum bisa menerima
“Astaga, betapa sempitnya dunia ini. Berarti dia adalah sosok ayah yang kamu bilang otoriter itu? Ckckck ... kamu pasti anak yang durhaka,” ujar Windi dengan nada pura-pura menuduh.“Hmm ... itu kan dulu. Sekarang dia berubah, dan aku juga berubah. Kami berubah berkat seseorang,” balas Yoo Ill sambil menatap lurus ke arah Windi. Windi masih tidak paham dengan bahasa tubuh Yoo Ill justru kembali bertanya.“Oh ya? Siapa?” tanyanya lugu.“Kamu,” jawab Yoo Ill to the point“Apa? Aku? Ah ... kamu pasti bercanda,” sanggah Windi tidak percaya. Emangnya siapa aku kok bisa merubah orang lain? Gumam Windi dalam hati.“Tidak, aku serius. Kamu adalah angin yang menghembuskan perubahan dalam keluarga kami. Terimakasih, Windi. Terimakasih banyak,” kata Yoo Ill lagi dengan mimik serius.“Yea.. aku ga sehebat itulah.
Windi duduk santai di rumah kost-nya. Meskipun tadi sudah berjanji kepada Fina untuk tidak lagi memendam rasa kecewa kepada Yoo Ill. Tapi hati kecilnya tidak bisa dibohongi. Dia masih saja merasa kecewa. Tapi kali bukan karena kebohongan Yoo Ill. Tapi karena alasan lain. Windi kecewa Yoo Ill tidak mengiriminya surel seperti yang ia janjikan. Yoo Ill juga tidak menelpon menanyakan kabarnya. Apa dia lupa dengan permintaan pertemanan mereka saat di halte ?Lamunan Windi buyar ketika merasakan kantung celananya kanannya bergetar. Ada panggilan masuk di ponselnya. Dari Oom Faris? Ada apa, ya? tanya Windi dalam hati. Penasaran karena tidak biasanya Oom Faris meneleponnya secara langsung. Biasanya kalau ada yang ingin dibicarakan dia hanya menitip pesan lewat Fina. Kali ini pasti ada hal penting, batin Windi.“Halo, selamat sore, Oom,” jawab Windi sopan.“Sore, Win. Kamu sedang sibuk gak ?” tanya Oom Faris setelah men
“Tentu saja tidak, meski berusaha berkelit tapi dia tidak bisa lolos dari hukum. Terlebih lagi namanya memang telah masuk dalam daftar DPO. Setahu Oom dia dihukum penjara belasan tahun gitu,” jawab Faris.“Cih ... menghancurkan kehidupan seseorang hanya dihukum belasan tahun penjara? Ga adil banget,” protes Windi sinis.“Yah, begitulah hukum di negeri kita ini Windi. Kita bisa apa? Apa lagi Oom yang saat itu masih seorang pelajar. Mana bisa bersuara,” sesal Faris.“Trus bagaimana Oom bisa tahu kalo Windi anaknya ... teman Oom itu ?”“Tuhan itu punya caraNYA sendiri dalam membuka sesuatu. Oom baru tahu Fani itu telah menikah dengan WNI keturunan Korea ketika Tn. Han meminta bantuan mencari keberadaanmu,” jawab Faris lagi.“Berarti itu ? Pasca kejadian kecelakaan it
“Apa?! Lu gila? Jadi ngapain aja lu selama seminggu di sono?” tanya Fina kaget tak percaya dengan kebodohan Windi.Bisa-bisanya seminggu bersama Yoo Ill, Windi justru tidak memiliki nomor kontak lelaki itu. Bagaimana Fina tidak merasa gemas?“Entahlah, sepertinya akal sehat aku hilang kalo udah berhadapan sama dia. Ketampanannya itu jenis yang mampu membuat perempuan amnesia dengan segala hal. Itulah mengapa aku sama sekali ga ingat untuk tukeran nomor dengan dia," papar Windi panjang lebar. "Jadi gimana ini, Fin? Tolongin gue dong Fin,” rengek Windi.“Gak tau ah, itu derita loe. Males gue ngurusin orang ga kreatif kaya loe," sungut Fina kesal. "Aku pulang aja, deh. Lama-lama di sini bisa-bisa ikutan mumet gue,” ancam Fina sambil melangkah pergi.Windi ingin mencegah, tangannya terulur ingin menarik tangan Fina, tetapi tiba-tiba ponselnya berbunyi.“Tuh, hape kamu bunyi. Lihat