Dua puluh tahun kemudian.
Jalanan tampak sepi, hanya satu-dua kendaraan yang lewat di depan rumah megah itu. Bunga-bunga di halaman rumah tumbuh dengan suburnya, angin pun bertiup sangat lembut, selaras dengan ketenangan dan kedamaian yang jelas terasa. Membuat semua mata yang memandang menjadi iri untuk turut menjadi bagian dari kedamaian itu.
Namun tidak demikian halnya yang terjadi di dalam rumah. Ketegangan jelas terlihat membayangi wajah dua pria. Yang satu duduk di kursi besar, dengan wajah kaku, dan satu tangan yang jarinya selalu terkepal. Satunya lagi berdiri tidak jauh di samping kanannya. Mimik wajahnya cemas dan gelisah. Tampak jelas ia sedang berpikir keras tentang sesuatu.
Beberapa menit telah berlalu, namun masing-masing mereka masih saja larut dengan deru nafas yang terdengar begitu berat untuk dihembuskan. Sepertinya masalah besar memang sedang terjadi di rumah itu.
“Kim-seonsaengnim, apakah sudah ada kabar dari Yoo Ill?”
Kim Hyung Min mendekat. Seperti yang sering nampak di dalam drama, dia menundukkan kepala sebelum bicara. Itu adalah salah satu bentuk penghormatan mereka kepada lawan bicara yang dihormati.
Di Korea, semakin dalam mereka membungkukkan badan, maka semakin besar pula rasa hormat yang mereka berikan.
“Maaf, Tuan. Sampai detik ini masih belum ada. Tapi saya sudah kerahkan semua anggota untuk mencari keberadaan Tuan Muda, semoga beberapa saat lagi kita mendapatkan kabar baik.”
“Ehhhmm ... dia pasti sudah tak ada di negara ini lagi. Cari tahu di kantor imigrasi!”
“Sudah, Tuan. Tapi kami tidak menemukan apa-apa. Jika memang Tuan Muda ke luar negeri, saya yakin dia menggunakan paspor palsu agar tidak mudah terlacak.”
“Jangan menyerah, cari terus sampai dapat. Jika perlu hubungi partner bisnis kita di beberapa negara. Bagikan foto Yoo Ill dan minta kerjasama mereka. Bisa kemana sih dia dengan uang yang gak seberapa itu?”
“Baik, Tuan. Segera saya laksanakan.” Usai berkata itu Kim Hyung Min meninggalkan ruangan itu.
“Dasar anak tidak tahu diri,” umpat Han Tae Ho dalam hati.
“Apa dia tidak sadar betapa beruntungnya dia memiliki orangtua yang berkecukupan. Materi berlimpah, semua kebutuhan tersedia. Tapi tetap saja dia tidak pernah mau mendengarkan orang lain. Egois, dan hanya mementingkan diri sendiri.”
“Apa dia tidak sadar, di luar sana banyak orang yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan kesempatan seperti yang dia miliki? Tapi dia justru menyia-nyiakan kesempatan yang telah ada di depan mata. Lihat saja, nanti kalau dia kembali, aku akan berikan hukuman yang seberat-beratnya. Akan kuikat ke dua tangan dan kakinya hingga dia tidak akan pernah lagi berani, jangankan untuk kabur, memikirkannya pun tidak.” Tae Ho masih larut dalam kemarahan di hatinya.
***
Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagi Windi. Setelah bertahun-tahun hidup di bawah naungan pengurus panti, kini tiba saatnya dia harus meninggalkan mereka. Karena sesuai peraturan yang ada, anak-anak panti yang telah dianggap dewasa harus meninggalkan panti, dengan kondisi apa pun, ada atau pun tidak donatur yang akan membiayai mereka karena di usia ini mereka dianggap sudah mampu menghidupi diri sendiri.
Tahun ini berbeda dengan tahun kemarin, karena panti hanya melepas satu orang saja, yaitu Windi.
Dewi fortuna berpihak kepada Windi, karena berkat prestasinya di sekolah, ada donatur yang menawarkan diri untuk menjadi orang tua angkatnya. Meskipun tidak diadopsi, tapi Windi bersyukur karena dia memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun sayang pihak panti tidak bersedia membocorkan identitas donaturnya itu. Mereka bilang itu permintaan donatur itu. Meski kecewa, tapi Windi tetap bersyukur atas kemurahan hati orang itu. Setiap malam, Windi selalu menyematkan doa agar suatu saat Tuhan berkenan mempertemukannya dengan manusia berhati malaikat itu.
“Anggap saja donaturmu itu ‘angin’ yang tak terlihat, namun keberadaannya bisa kamu rasakan,” ujar Bu Fatma, ketika Windi menanyakan identitas donaturnya itu.
Wanita paruh baya berwajah hangat itu selalu menjawab dengan nada lembut setiap kali Windi bertanya. Inilah yang membuat Windi merasa berat untuk meninggalkan panti yang sudah menjadi rumahnya selama ini.
Suatu waktu saat Windi masih anak-anak, beberapa kali ada keluarga yang ingin mengadopsinya, namun Windi tidak mau dan selalu berteriak histeris ketika akan dibawa pergi. Jika dipaksa dia pasti pingsan. Akhirnya Bu Fatma memutuskan untuk tidak lagi menyerahkan Windi.
Angin? Sedari dulu Windi memang menyukai angin. Angin itu melambangkan kebebasan. Dia bisa berlari kemana saja tanpa terlihat. Kehadirannya selalu ditunggu ketika mentari bersinar terik. Dia bisa menyatukan panas dan dingin, namun juga bisa membentuk topan yang memporak-porandakan seisi kota. Itulah kekuatan angin.
Tapi angin tidak pernah bisa merasakan bagaimana rasanya bertumbuh, disayangi dan dijadikan bagian dari satu keluarga besar seperti layaknya daun di pepohonan. Karena dia adalah angin yang tidak memiliki siapa-siapa. Seperti Windi, yang juga tidak memiliki siapa-siapa.
Angin adalah kesepian yang rapuh. Namun di balik kerapuhannya dia menyimpan kekuatan besar sehingga tetap bisa memberikan kebahagian kepada semua yang disentuhnya.
“Ingat pesan bunda, ya, Nak. Cobaan hidup di luar sana sungguhlah besar, kamu harus sabar dan jangan pernah menyerah. Tebarlah kebaikan di mana saja dan ke pada siapa saja. Dan tetaplah berpegang teguh kepada garis utama kehidupan yaitu kejujuran. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana saja. Jadi capailah impian kamu dengan kejujuran, jangan pernah kotori masa depan kamu dengan kenikmatan-kenikmatan sesaat. Karena semua itu hanya akan terasa manis di awal, namun menyengsarakan di kemudian hari. Camkanlah kata-kata bunda ini.”
“Baik, Bun. Windi akan selalu ingat pesan Bunda.”
“Satu lagi, meskipun kamu tak lagi tinggal di panti ini, selamanya ini adalah rumah kamu. Kapan saja, dalam keadaan apa saja, jika dunia terasa tak lagi mendukungmu, ketika dunia terasa berpaling darimu, datanglah, temui bunda, sampai kapan pun kamu adalah anak bunda, Windi.”
“Terimakasih banyak, Bunda. Aku tidak akan pernah lupa dengan panti ini. Aku akan berkerja keras agar bisa membantu adik-adik yang lain. Windi berjanji, Bunda.”
Suasana haru memenuhi ruangan. Terdengar isak tangis tertahan di semua tempat. Selalu setiap tahun ini pasti terjadi. Kebersamaan yang mereka lalui selama bertumbuh di panti ini telah membentuk kekerabatan yang mungkin sama eratnya dengan saudara kandung. Mereka saling menyayangi, saling melindungi, dan saling mendoakan kebahagiaan satu sama lainnya. Bahkan ketika salah satu mereka pergi dengan keluarga baru, mereka tetap terus berdoa, dan berharap suatu saat akan dipertemukan dalam kondisi yang lebih baik.
Fatma memeluk erat Windi yang sesegukan di bahunya. Sungguh Windi berharap waktu akan berhenti berputar sehingga ia bisa meresapi hangatnya dekapan Bu Fatma lebih lama lagi.
“Win! Coba tebak aku bawa berita apa ?” berlari-lari kecil, Fina mendekati Windi dengan wajah sumringah.Berita? Paling berita soal ngedate dia semalam dengan si Frans. Aku paling ga suka mendengar cerita semacam itu, batin Windi. Bukannya cemburu, well.. kalau boleh jujur sih Windi cemburu juga, karena usia udah segini masih juga berpredikat jomblo. Tapi dia fun aja dengan status itu, karena saat ini ada satu hal yang tidak boleh dia abaikan sama sekali yaitu kuliah yang telah diperjuangkannya setengah mampus.Windi melengos, kembali fokus pada bacaan di hadapannya. Baginya tidak ada yang lebih menarik dari pada gosip Lee Min Ho yang kabarnya sedang dekat dengan lawan mainnya di salah satu serial.“Hei.. kamu dengarin aku ga sih?”Fina merenggut tabloid itu dari tangan Windi dengan wajah masam. Tampak sekali dia keberatan dengan pengabaian Windi barusan. Windi menghela nafas, memandangnya dengan gusar.&
Sumpah, pertama kali yang ada dalam pikiran Windi ketika menjejakkan kaki di bandara Incheon ini adalah dua kata. ‘Megah banget!’Meskipun beberapa kali melihat bandara ini di serial-serial K-Drama, namun tetap saja dia terperangah mengitari bandara dengan pandangan tak berkedip dan mulut menganga lebar.Windi betul-betul merasa sangat kerdil di bawah atap bangunan yang membumbung tinggi ini. Dia tidak peduli akan apa yang orang pikirkan melihat reaksinya, mau dibilang norak, kampungan, udiklah atau sejenisnya. Well itu terserah mereka sih, tapi sumpah, aku takjub, tandas Windi dalam hati.Windi dan Fina celingukan mencari papan nama atau tanda apapun yang bisa memberitahu keberadaan tim penjemput mereka di bandara. Ada perasaan was-was juga, kalau-kalau tim yang dijanjikan itu tidak ada. Well, bisa-bisa mereka berpetualang tanpa arah di negeri asing ini.Seorang pria berkacamata, sedikit culun dengan celana bahan dan kaos lengan panjang, nampak celinguka
Semua yang berada di kamar terperanjat begitu melihat penguasa rumah itu berdiri di hadapan mereka. Aura cemas langsung mengerubuti wajah Ko Joo Ri dan Han Yoo Na. Dengan memasang ekspresi angker begitu di wajahnya, mereka sangat paham bahwa lelaki tua itu sedang berada di puncak amarahnya. Tatapannya tajam tak berkedip kepada Yoo Ill. Bagaikan sinar-x, tatapan ayahnya itu mampu menembus sel-sel terdalam di relung hati Yoo Ill, membuatnya membeku untuk beberapa saat.Tidak ingin membuat suasana menjadi canggung lebih lama, Yoo Ill segera memutar tubuhnya, melangkah lebih dekat kemudian memberi hormat kepada pria yang dia panggil ayah itu.“Aboeji ... aku ... kembali,” ujar Yoo Ill dengan suara seperti tercekat di tenggorokan.Plaakk !Satu tamparan melayang ke pipi Yoo Ill.Yoo Ill meringis, mengusap pipinya, menahan rasa panas yang merayap di pipinya sambil menatap geram ke arah ayahnya. Bukan pelukan yang ia dapat,
Agenda Fina dan Windi yang pertama adalah berkunjung ke tiga tempat populer yang pernah dijadikan lokasi syuting drama-drama Korea.Hmm ... untuk urusan begini mah, aku gak akan minder, batin Windi dalam hati. Dijamin sembilan puluh lima persen lokasi-lokasi syuting K-Drama itu akutahu. Ga lebaylah, kan K-Drama addicted. Hahaha. Windi masih cekikikan dalam hati karena girang.Imajinasi liarnya membawa pikirannya pada harapan bahwa agenda mereka hari ini akan menjadi momen yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup. Untuk itu Windi dan Fina mengabadikan semua kegiatan mereka lewat kamera. Semua spot foto tidak ada satu pun yang mereka lewatkan.Sayangnya agenda hari pertama ini ternyata tidak semenarik dugaan dan harapan mereka. Karena kentara banget, agenda hari ini adalah agenda titipan dari dinas pariwisatanya Korea. Kunjungan mereka ke tempat-tempat bersejarah itu benar-benar monoton, hanya jalan-jalan sambil mendengar tour-guide menjelaskan s
Agenda mereka memasuki acara puncak, yaitu bersepeda keliling kota. Mengapa ini acara puncak? Karena dengan kegiatan ini para peserta diharapkan dapat bersentuhan langsung dengan kebudayaan Korea dalam setiap perhentian nantinya. Sembari menikmati pemandangan Korea, mereka bisa bercengkrama dengan keramahan warga lokal. Hhm ... sepertinya cukup menarik, batin Windi.“Fin, guide-nya bilang apa tadi ?” tanya Windi sambil merapikan kaus kaki yang menggulung. Sementara Fina sedang melakukan gerakan-gerakan peregangan otot ringan.“Dia bilang, kita akan bersepeda di distrik Songpa. Ntar di sana kita dibagi sepeda satu-satu sekalian sama rutenya juga. Eh, jangan lupa bawa badge, lho, Win,” ujar Fina mengingatkan.Kata-kata itu sontak membuat Windi langsung meraba saku, dan bersyukur mendapati badge itu ada di sana. Dia segera mengalungkannya di leher untuk antisipasi resiko ketinggalan atau kelupaan. Windi tidak bisa membayangkan ap
"Ajumma, kau baik-baik saja ?"Windi mengerjap tiga kali, melihat samar ke asal suara itu. Nampak jari-jari kecilnya menggenggam ujung-ujung jari Windi yang mulai mati rasa karena beku. Mata beningnya menatap lurus, menyiratkan ke khawatiran. Windi mengangguk, bersusah payah berusaha untuk bangkit. Namun nyeri yang tak tertahankan di pergelangan kaki, bahu dan pinggang membuatnya susah untuk berdiri. Tangan-tangan mungil itu berusaha membantu Windi, namun tentu saja bobot 60kg Windi bukanlah tandingannya. Dia justru terbawa, ikut terjerembab bersama Windi diiringi teriakan kesakitan dari mulutnya, karena tubuhnya tertimpa tubuh Windi."Yoon Sung-ah, kau di mana ?"Sebuah sorakan dari belakang membuat Windi lega. Setidaknya anak itu bisa segera di selamatkan dari tindihan tubuhnya yang semakin sulit untuk digerakkan."Yaa.. dangsin-eun maeng-in ? dwie jasig eobs-eum .. bla..bla..bla,” Windi tidak begitu mengerti yang diucapkannya.
“Aku merasa pernah melihat wajahmu di suatu tempat, tapi di mana tepatnya aku lupa,” lajut Windi dengan penuh penasaran.Keningnya mengernyit, sepertinya pertanyaan Windi barusan turut menggugah ingatannya. Yoo Ill memandangi Windi lekat-lekat.Itu berlangsung untuk beberapa saat. Sampai ujung syaraf mereka terhubung pada sesuatu.“Ooohh ... the airport!” seru mereka bersamaan. Ya, dia adalah laki-laki yang menabrak Windi di bandara beberapa hari yang lalu.“Oh, My God, betapa dunia ini sempit sekali !” seru Yoo Ill kemudian.Windi tersenyum, menyetujui kata-katanya. Dalam hati ada rasa haru di hatinya, karena setidaknya dia bukanlah orang yang sama sekali ‘asing’. Meski pun bukan pula akrab. Apapun bentuknya pertemuan ini Windi merasa lega. Setidaknya, hal itu berhasil mencairkan rasa canggung di antara mereka berdua.“Sepertinya kakimu mempertemukan kita kembali,
Suara kokok ayam membangunkan Windi dari tidurnya, perlahan ia membuka mata, berusaha mengenali ruang dimana dia berada.Ingatannya melayang kepada kejadian saat ia terguling-guling di tebing, melewati lorong yang lembab, kemudian terhempas di tempat yang keras. Hal itu tidak urung membangkitkan rasa nyeri yang semula sempat terlupakan saat tidur. Tidak ayal suara rintihan keluar dari mulut Windi.Tiba-tiba Windi teringat dengan Fina, sahabat yang mengajaknya ikut serta dengan event ini, Fina pasti tengah cemas karena keberadaan Windi yang tidak jelas.Windi mengeluarkan ponsel dari tas pinggang yang masih ia kenakan. Ekspresinya terlihat kecewa. "Sial, tidak ada sinyal lagi," makinya dalam hati. Namun beberapa saat kemudian ia berseru kaget.“Ya, Tuhan!” Dia kaget mendapati angka di layar ponselnya yang menunjukkan tanggal 27, dan itu berarti dia telah menghilang selama 3 hari.Gubrak !Sebuah suara menyerupai benda jatuh terdengar