Share

Part 3, Dua Sisi Kehidupan

Dua puluh tahun kemudian.

Jalanan tampak sepi, hanya satu-dua kendaraan yang lewat di depan rumah megah itu. Bunga-bunga di halaman rumah tumbuh dengan suburnya, angin pun bertiup sangat lembut, selaras dengan ketenangan dan kedamaian yang jelas terasa. Membuat semua mata yang memandang menjadi iri untuk turut menjadi bagian dari kedamaian itu.

Namun tidak demikian halnya yang terjadi di dalam rumah. Ketegangan jelas terlihat membayangi wajah dua pria. Yang satu duduk di kursi besar, dengan wajah kaku, dan satu tangan yang jarinya selalu terkepal. Satunya lagi berdiri tidak jauh di samping kanannya. Mimik wajahnya cemas dan gelisah. Tampak jelas ia sedang berpikir keras tentang sesuatu.

Beberapa menit telah berlalu, namun masing-masing mereka masih saja larut dengan deru nafas yang terdengar begitu berat untuk dihembuskan. Sepertinya masalah besar memang sedang terjadi di rumah itu.

“Kim-seonsaengnim, apakah sudah ada kabar dari Yoo Ill?”

Kim Hyung Min mendekat. Seperti yang sering nampak di dalam drama, dia menundukkan kepala sebelum bicara. Itu adalah salah satu bentuk penghormatan mereka kepada lawan bicara yang dihormati.

Di Korea, semakin dalam mereka membungkukkan badan, maka semakin besar pula rasa hormat yang mereka berikan.

“Maaf, Tuan. Sampai detik ini masih belum ada. Tapi saya sudah kerahkan semua anggota untuk mencari keberadaan Tuan Muda, semoga beberapa saat lagi kita mendapatkan kabar baik.”

“Ehhhmm ... dia pasti sudah tak ada di negara ini lagi. Cari tahu di kantor imigrasi!”

“Sudah, Tuan. Tapi kami tidak menemukan apa-apa. Jika memang Tuan Muda ke luar negeri, saya yakin dia menggunakan paspor palsu agar tidak mudah terlacak.”

“Jangan menyerah, cari terus sampai dapat. Jika perlu hubungi partner bisnis kita di beberapa negara. Bagikan foto Yoo Ill dan minta kerjasama mereka. Bisa kemana sih dia dengan uang yang gak seberapa itu?”

“Baik, Tuan. Segera saya laksanakan.” Usai berkata itu Kim Hyung Min meninggalkan ruangan itu.

“Dasar anak tidak tahu diri,” umpat Han Tae Ho dalam hati.

“Apa dia tidak sadar betapa beruntungnya dia memiliki orangtua yang berkecukupan. Materi berlimpah, semua kebutuhan tersedia. Tapi tetap saja dia tidak pernah mau mendengarkan orang lain. Egois, dan hanya mementingkan diri sendiri.”

“Apa dia tidak sadar, di luar sana banyak orang yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan kesempatan seperti yang dia miliki? Tapi dia justru menyia-nyiakan kesempatan yang telah ada di depan mata. Lihat saja, nanti kalau dia kembali, aku akan berikan hukuman yang seberat-beratnya. Akan kuikat ke dua tangan dan kakinya hingga dia tidak akan pernah lagi berani, jangankan untuk kabur, memikirkannya pun tidak.” Tae Ho masih larut dalam kemarahan di hatinya.

***

Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagi Windi. Setelah bertahun-tahun hidup di bawah naungan pengurus panti, kini tiba saatnya dia harus meninggalkan mereka. Karena sesuai peraturan yang ada, anak-anak panti yang telah dianggap dewasa harus meninggalkan panti, dengan kondisi apa pun, ada atau pun tidak donatur yang akan membiayai mereka karena di usia ini mereka dianggap sudah mampu menghidupi diri sendiri.

Tahun ini berbeda dengan tahun kemarin, karena panti hanya melepas satu orang saja, yaitu Windi.

Dewi fortuna berpihak kepada Windi, karena berkat prestasinya di sekolah, ada donatur yang menawarkan diri untuk menjadi orang tua angkatnya. Meskipun tidak diadopsi, tapi Windi bersyukur karena dia memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun sayang pihak panti tidak bersedia membocorkan identitas donaturnya itu. Mereka bilang itu permintaan donatur itu. Meski kecewa, tapi Windi tetap bersyukur atas kemurahan hati orang itu. Setiap malam, Windi selalu menyematkan doa agar suatu saat Tuhan berkenan mempertemukannya dengan manusia berhati malaikat itu.

“Anggap saja donaturmu itu ‘angin’ yang tak terlihat, namun keberadaannya bisa kamu rasakan,” ujar Bu Fatma, ketika Windi menanyakan identitas donaturnya itu.

Wanita paruh baya berwajah hangat itu selalu menjawab dengan nada lembut setiap kali Windi bertanya. Inilah yang membuat Windi merasa berat untuk meninggalkan panti yang sudah menjadi rumahnya selama ini.

Suatu waktu saat Windi masih anak-anak, beberapa kali ada keluarga yang ingin mengadopsinya, namun Windi tidak mau dan selalu berteriak histeris ketika akan dibawa pergi. Jika dipaksa dia pasti pingsan. Akhirnya Bu Fatma memutuskan untuk tidak lagi menyerahkan Windi.

Angin? Sedari dulu Windi memang menyukai angin. Angin itu melambangkan kebebasan. Dia bisa berlari kemana saja tanpa terlihat. Kehadirannya selalu ditunggu ketika mentari bersinar terik. Dia bisa menyatukan panas dan dingin, namun juga bisa membentuk topan yang memporak-porandakan seisi kota. Itulah kekuatan angin.

Tapi angin tidak pernah bisa merasakan bagaimana rasanya bertumbuh, disayangi dan dijadikan bagian dari satu keluarga besar seperti layaknya daun di pepohonan. Karena dia adalah angin yang tidak memiliki siapa-siapa. Seperti Windi, yang juga tidak memiliki siapa-siapa.

Angin adalah kesepian yang rapuh. Namun di balik kerapuhannya dia menyimpan kekuatan besar sehingga tetap bisa memberikan kebahagian kepada semua yang disentuhnya.

“Ingat pesan bunda, ya, Nak. Cobaan hidup di luar sana sungguhlah besar, kamu harus sabar dan jangan pernah menyerah. Tebarlah kebaikan di mana saja dan ke pada siapa saja. Dan tetaplah berpegang teguh kepada garis utama kehidupan yaitu kejujuran. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana saja. Jadi capailah impian kamu dengan kejujuran, jangan pernah kotori masa depan kamu dengan kenikmatan-kenikmatan sesaat. Karena semua itu hanya akan terasa manis di awal, namun menyengsarakan di kemudian hari. Camkanlah kata-kata bunda ini.”

“Baik, Bun. Windi akan selalu ingat pesan Bunda.”

“Satu lagi, meskipun kamu tak lagi tinggal di panti ini, selamanya ini adalah rumah kamu. Kapan saja, dalam keadaan apa saja, jika dunia terasa tak lagi mendukungmu, ketika dunia terasa berpaling darimu, datanglah, temui bunda, sampai kapan pun kamu adalah anak bunda, Windi.”

“Terimakasih banyak, Bunda. Aku tidak akan pernah lupa dengan panti ini. Aku akan berkerja keras agar bisa membantu adik-adik yang lain. Windi berjanji, Bunda.”

Suasana haru memenuhi ruangan. Terdengar isak tangis tertahan di semua tempat. Selalu setiap tahun ini pasti terjadi. Kebersamaan yang mereka lalui selama bertumbuh di panti ini telah membentuk kekerabatan yang mungkin sama eratnya dengan saudara kandung. Mereka saling menyayangi, saling melindungi, dan saling mendoakan kebahagiaan satu sama lainnya. Bahkan ketika salah satu mereka pergi dengan keluarga baru, mereka tetap terus berdoa, dan berharap suatu saat akan dipertemukan dalam kondisi yang lebih baik.

Fatma memeluk erat Windi yang sesegukan di bahunya. Sungguh Windi berharap waktu akan berhenti berputar sehingga ia bisa meresapi hangatnya dekapan Bu Fatma lebih lama lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status