Share

Chapter 1 - Kembali Ditolak

Satu tangkai mawar merah tersembunyi di balik tubuh kurus lelaki dengan setelan kaos yang dilapisi kemeja kotak-kotak. Tepat menghadap seorang gadis sambil terus mengembangkan senyum.

Lain halnya dengan gadis di hadapannya, justru memasang raut ketidaknyamanan, sesekali membuang pandangan. Wajahnya yang tegas dengan tatapan tajam, membuatnya pantas disebut sebagai gadis jutek.

"Lo mau apa lagi, sih?!" tanya gadis itu, tiba-tiba ketus.

Lelaki yang masih menatapnya, terkesiap. Gugup rasanya untuk mengutarakan isi hati, padahal sudah berulang kali dilakukan dengan hasil yang sama, yakni gagal.

"Buruan! gue nggak punya waktu cuma buat nungguin lo ngomong," tuntut gadis itu, membuatnya semakin gugup.

Keringat dingin yang mengucur dari pelipis, membasahi wajah rupawannya. Masih terlihat kekanakan, meski usianya sudah menginjak 23 tahun. 

Semakin cepat jantungnya berdebar, semakin jelas pula tangannya gemetar.

Gadis itu berdecih. "Mau ngomong atau gue per--" 

"Lo mau nggak jadi pacar gue?!" potong lelaki itu dengan satu tarikan nafas, sembari mengulurkan setangkai mawar dari arah belakang. 

Pernyataan yang sama seperti sebelumnya, gadis itu merasa sangat bosan hampir habis kesabarannya. Manik hazelnya berotasi jengah, tapi tak dapat dipungkiri hatinya mengaku bahwa lelaki itu pantang menyerah, bersikeras untuk menjadikannya sebagai kekasih. 

Sayangnya, ia tidak punya ketertarikan pada lelaki childish, serupa dengan lelaki yang terus mengejarnya itu. 

Bagaimanapun, ia menginginkan lelaki yang menjadi idaman para wanita di luar sana, bertanggungjawab dan berpikir matang pastinya.

"Bara Pangeran Adhinatha ...."

Tanpa mengingat dosa, Bara tersenyum amat manis. Tangannya masih tergantung di udara, membiarkan bunganya melayang menunggu diterima sang gadis pujaan.

"Udah berapa kali gue nolak lo, sih? Kok nggak pernah kapok?!" kesal gadis itu seraya menyilangkan tangan.

Tangan kiri Bara yang bebas, beralih memijat tengkuknya yang sebenarnya tidak terasa pegal, hanya bermaksud meminimalisir rasa gugup.

Bara berdehem sebentar. "Karena cinta gue buat lo itu besar, Ly. Jadi nggak bakal gue nyerah gitu aja cuma karena dapet tolakan dari lo. Biar sampe beribu kali pun, gua bakal terus memperjuangkan cinta gue buat lo."

Lily--si gadis pujaan hati Bara--menghembuskan nafas yang terasa berat saat ditarik, ia merasa pusing menghadapi keras kepala lelaki itu.

"Tapi jawaban gue tetep sama," jeda Lily. Gue--nggak--mau!" katanya penuh penekanan.

Benar saja, ditolak lagi. 

Sudah biasa memang, tapi hati Bara tetap merasa pilu, berdesir dibuai rasa kecewa. sampai bunga di genggamannya seperti ikut merasakan patah hati yang tak bersuara itu.

Perlahan Bara menurunkan bunga itu dengan wajah yang lesu seraya menunduk.

"Udah denger 'kan, jawaban gue? Berarti mulai sekarang kita udah nggak ada urusan lagi, dan gue berharap lo nggak bakal ganggu gue lagi," tutur Lily yang tersirat peringatan tak langsung, setelahnya ia berbalik.

Namun, dengan sigap Bara mencekal tangan kanannya, membuat geraknya terhenti dan kembali menghadap Bara.

"Kenapa?" tanya Bara dengan tatapan sendu. Rasanya ia sudah lelah dengan penolakan Lily, padahal segala cara sudah ia lakukan untuk menaklukkan hatinya.

"Tanya aja sama diri lo sendiri!" jawabnya lantas menarik tangannya dari cekalan Bara, kemudian benar-benar melangkah pergi meninggalkan Bara.

Pikirannya larut dalam pertanyaan, mengenai kalimat terakhir Lily yang seakan menyalahkannya. Apa yang salah pada dirinya?

Meski begitu, matanya masih terfokus pada Lily, memperhatikan punggung Lily yang kian menjauh sambil meratapi dirinya yang amat menyedihkan.

"Percuma punya tampang rupawan, kalo pada akhirnya gadis pujaan selalu gagal tertawan," lirihnya seakan melakoni karakter sad boy dalam kehidupan nyata.

"Sabar, Bar Bar. Jodoh nggak bakal kemana," timpal seorang lelaki yang tanpa diundang, muncul dari belakangnya. Tangannya yang hampir berisi daging semua menepuk bahu lebar milik Bara dan ikut menyaksikan kepergian Lily dengan tatapan yang tak kalah dramatis dari Bara. Sesekali mulut yang terhimpit pipi tembam itu menggigit sosis bakar yang tergenggam di tangannya. 

"Cinta ditolak emang nggak enak, tapi jangan sampai dukun bertindak, cukup dosa yang udah-udah ngebuat sengsara sampe akhirat, jangan ditambah lagi sama nyewa dukun bisa-bisa gila lo kumat," lanjutnya membuat telinga Bara yang mendengar begitu dekat terasa panas.

Gigi Bara menyatu kuat, ia merasa gemas dengan tingkah sahabat sedari kecilnya itu. "Diem lo, Bohay!" Tanpa diduga Bara langsung melayangkan satu tangkai bunga merah itu ke pipi lelaki gempal itu. 

"Astaghfirullah! Sahabat durhaka lo!" Bohay--alias Rico--tak terima hingga melempar tusuk sosis dengan kencang hingga memantul ke tanah. "Dikasih hati malah minta ampela. Udah syukur gue tenangin, ngajak ribut, lo?!" sarkas Rico emosian. Ia meraih kepala Bara untuk kemudian diapit ke ketiak.

Bara yang terkejut, spontan menepuk-nepuk lengan tebal Rico meminta dilepaskan, tapi rupanya terabaikan. 

"Rasain lo! Durhaka, sih, hahaha!" Bukannya prihatin, Rico malah merasa senang telah berhasil membully Bara. Ia dapat melihat dari samping, wajah Bara kentara merah padam, mungkin karena menahan kesal dan kesulitan bernafas, namun Rico justru bertambah senang. 

Getaran di saku celana jeans mengalihkan perhatian Bara, tangannya meraba di tengah kepala yang masih berada di antara ketiak Rico. Oh Tuhan, ia begitu tersiksa. 

Dalam hatinya Bara terus mengumpat, bukannya menghibur hati sahabatnya yang tengah gundah, Rico malah menyiksanya seperti ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status