Share

Chapter 2 - Rumah Kakek

"Woy! Ponsel gue geter!" seru Bara dengan susah payah karena lehernya begitu kuat tercekik. "Pasti Bokap gue nelpon!" lanjutnya terputus. "Lepasin!"

Setelah mendengar kata 'bokap' Rico langsung melepaskan kungkungannya. Siapa yang akan berani dengan seorang tentara bertubuh tegap dengan lengan, punggung, dada, dan perut yang hampir berisi otot semua. Lain dengannya yang seluruh badan hanya berisi lemak dan daging.

Sambil mengambil ponsel di sakunya, Bara mengelus-elus lehernya. Tatapan tajam tak tinggal diam ia berikan pada Rico yang malah nyengir tak ingat dosa memberikan dua jarinya hingga terbentuk huruf 'V'.

"Gue bilangin bokap gue, tau rasa lo!" ancam Bara sebelum melihat nama siapa yang tertera di ponselnya.

"Dasar anak mami!" sarkas Rico dan lagi-lagi mendapat tatapan tajam.

Benar saja, nama 'Bapak Tentara' tertera di sana, nama yang diberikan untuk kontak papanya. Bara memberikan isyarat pada Rico untuk diam, setelahnya ia berdehem sebentar dan menggeser panel hijau ke atas sebagai tanda ia menerima telepon itu.

"Hallo, assalamu'alaikum, Pa."

" .... "

Rico mencari tempat duduk karena merasa kakinya pegal menahan bobot tubuhnya yang kelewat berat. Untungnya ia di dekat tangga depan kampus, jadi bisa ia manfaatkan untuk duduk. Sesekali ia memperhatikan Bara yang tengah berbincang dengan orang di sebrang sana.

Sehabis menyelesaikan pembicaraan, Bara berjalan menghampiri Rico. "Gue lupa kalo sekarang pindahan ke rumah lama Kakek," kata Bara, memungut tas ransel berwarna hitam di samping Rico.

"Dih pikun."

***

Berkisar tujuh orang membantu keluarga Bara menurunkan dan memindahkan barang ke dalam rumah bergaya klasik jawa yang indah dan sejuk bila mata memandang. Tujuh orang itu sudah termasuk papa dan mama Bara, serta Rico dan Bara sendiri.

"Eh, Ganteng! Yang cepetan mindahinnya, masa cuma bawa barang segitu aja keberatan, apalagi gendong istri nanti, bisa-bisa nyusruk berdua." Bisma--papa Bara--menginterupsi langkah Bara yang tengah membawa kardus coklat berisi barang-barangnya, dengan ejekan.

Ekspresi wajah Bara terlihat tenang, menganggap hal tersebut sebatas gurauan yang sudah rutin didengar. "Nggak usah ngeremehin, ya, Bro," balasnya dengan santai. 

Kembali berjalan ia melewati tangga yang menjadi bagian utama untuk menuju pintu depan, sekali lagi ia berbelok melewati tangga kedua dan barulah memasuki area dalam rumah.

"Eh, Ganteng." Seorang wanita berusia sekitar 40 tahun keluar dari salah satu kamar. Bara sedikit terkejut sebab asik memperhatikan bagian dalam rumah yang ternyata begitu memikat. 

Bara yang sangat percaya diri, saat pertama kali panggilan sayang itu tercetus dari bibir Bisma, ia tidak merasa keberatan bahkan merasa bangga, karena dengan begitu dirinya yakin sudah tampan sejak lahir.

"Nanti bantu Mama angkat meja di kamar, ya, itu letaknya kurang pas soalnya."

"Papa aja, ya, Ma," tolak Bara seperti biasa jika sudah berkaitan dengan yang berat-berat. Tampang boleh tampan, tapi untuk masalah otot Bara tak akan kuat, 'biar yang lain saja' seperti itu kebiasaannya. 

"Kok, Papa? Papa kasian, capek ngangkat-ngangkat yang berat dari luar ke dalam. Kamu aja, ya," pinta Bella sekali lagi.

Bara menghela nafas sedikit berat. "Oke, deh," jawabnya tak ikhlas. Mau tak mau Bara mengiyakan permintaan Mamanya.

"Kok, keliatan nggak ikhlas, sih." Bella mengernyit. 

"Ikhlas, kok, Ma."

"Benar?"

"Iya ...."

"Sip, deh."

Setelah Mamanya berlalu ke depan rumah Bara langsung masuk ke salah satu kamar yang akan menjadi kamarnya. Tepatnya bekas kamar kakeknya. Hampir seluruh isi kamar bergaya klasik, kontras dengan rumahnya, dari ranjang, lemari sampai pintu, belum lagi pajangan dan hiasan dinding juga bergaya klasik.

Sebenarnya, Bara tidak suka, tapi mama dan papanya melarang Bara untuk menukar barang yang berada di dalam kamar kakeknya dengan barang-barang baru, hal ini dikatakan berdasarkan wasiat dari sang kakek sebelum meninggal dan diperburuk dengan ia yang diminta untuk menempati kamar tersebut.

Sebelumnya Bara menolak, hingga uring-uringan berhari-hari sampai sifat kekanakannya muncul dengan berikrar mogok makan. Jika sang mama tidak membujuk dengan kelembutan dan emeng-emeng akan dibelikan mobil baru, karena sebelumnya Bara meminta dan berdalih motor miliknya sering mogok tapi Bella abaikan, sudah jelas Bara tetap kukuh dengan pendirinya. 

Rasa merinding langsung menyentuh tengkuk dan lengannya yang tak tertutup kain, mengingat ia akan menempati kamar kakeknya yang sudah meninggal. 

"Dosa apa gue, disuruh nempatin kamar ini. Gila aja kalo ditambah ada tikus di sini," ucapnya takut-takut seraya menatap horor seluruh sisi ruangan bergantian.

Kedua tangannya meletakkan kardus di atas tempat tidur. "Tenang, Bara. Lo harus berani," ucapnya mencoba menyemangati diri sambil menghirup nafas dalam-dalam kemudian dihembuskan perlahan. 

Untuk mengurangi suasana horor bekas kamar kakeknya dan untuk meminimalisir rasa takutnya Bara memilih membuka tirai dan jendela dekat ranjang berukuran king size dengan seprai dan kelambu serba putih.

"Hah! Adem juga." Ia mulai merasa tenang kala menghirup udara segar setelah membuka lebar jendela itu. "Seenggaknya ada pemandangan asri buat nyuci mata di sini."

Dirasa sudah cukup untuk menikmati pemandangan asri, Bara merasa punggungnya harus dimanja. Ia berbalik kemudian mendekati tempat tidur, dalam satu hentakkan tubuhnya mendarat mulus di atas tempat tidur.

"Aaaaakh!" Sayang tidak dengan kepalanya yang justru menyelip di antara bantal dan terbentur benda keras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status