TV LED 32 inch menyala, menampilkan film kartun Malaysia dengan tokoh utama kembar yang tak berambut. Volume suaranya dibiarkan meninggi.
Manusia berbobot kurang lebih 100 kg enggan mengecilkan suaranya, saking asiknya ia sesekali tertawa meski mulutnya tersumpal tahu bulat yang kata penjualnya digoreng dadakan.
Seperti tidak bertulang, Rico malas bergeser sedikitpun dari tempatnya, masih bersender di penyangga sofa berwarna kuning. Mumpung di rumah sendiri, karena anggota keluarganya tengah sibuk melakukan aktivitas masing-masing, jadi ia bebas untuk saat ini, tidak ada yang merecoki ataupun mengomeli.
Merasa haus, tangan Rico menyusuri meja yang sangat berantakan dengan berbagai sampah plastik snack hingga berceceran di atas lantai. Entah mengapa kepalanya juga merasa malas hanya sekedar menoleh untuk melihat di mana gelas minum itu terletak.
Setelah mendapatkan apa yang dicari, Rico langsung meneguk air tersebut hingga tandas tak tersisa. Sebenarnya, perut buncit miliknya sudah penuh, namun si Bohay ini masih saja belum merasa puas.
Padahal makanan yang sudah ia habiskan hampir setengah troli, tanpa berbagi. Tapi kerakusannya masih saja meronta ingin dimanjakan.
Rico bersendawa nyaring. Sialnya, kini ia merasakan kantuk yang berbisik lembut di telinga, hingga membuat matanya sulit terbuka. Bisa saja ia tidur, jika tidak memikirkan kelas siang nanti. Meski cenderung pemalas, untuk pendidikan Rico tidak bisa bermain-main.
Berbeda dengan sahabat tercintanya, Bara lebih suka meremehkan kuliahnya, tidak menggubris ceramah Bella di pagi hari saat membangunkannya tidur.
Berbicara tentang Bara, si Bohay ini jadi ingat kemana perginya manusia manja satu itu? Dua hari tanpa kabar, bolos kuliah, Rico ke rumahnya tapi selalu terkunci. Cukup membuat dirinya yang perhatian khawatir.
Masa iya baru pindah, sudah pindah lagi. Mustahil mereka meninggalkan rumah wasiat almarhum kakek Bara.
Kantuk tidak bisa ditahan lagi, Rico mulai menutup matanya hampir rapat. Namun, dering ponsel mengagetkannya membuat ia sedikit terjingkat dan kehilangan rasa kantuk.
"Anjir ngagetin!" umpatnya pada si penelepon.
Penuh kekesalan Rico meraihnya, dan dengan cepat menggeser panel hijau tanpa melihat siapa pemilik nama yang menelpon.
"Yang punyanya lagi ke luar angkasa. Bye!" Setelah berkata konyol demikian Rico memutuskan sambungan sepihak.
Tapi, beberapa detik setelah Rico meletakkan kembali ponselnya dan ingin melanjutkan tidur, ponsel tersebut kembali berdering.
"Ampun Ya Allah ...," desisnya dan tangan kembali meraih ponsel untuk memaki si penelepon.
"Mau apa, sih?!" tanya Rico jengkel.
"Mama gue pergi arisan, nih," jawab seseorang di sebrang sana melalui nada berbisiknya, terdengar sedikit gusar.
Tunggu, Rico membenahi duduknya menjadi tegap. Dahinya menaut, ia mengenali suara ini.
"Bar Bar?" Rico seakan tak percaya yang menelpon adalah sahabat yang sempat dipikirnya sudah hilang dari muka bumi. Baru saja beberapa detik lalu ia terbayang, Bara kini sudah menelponnya, seperti pepatah pucuk dicinta ulam pun tiba.
"Ck, jangan sok lupa, gue manusia yang tak terlupakan." ucap lelaki dari sebrang sana masih memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Menjengkelkan. "Mama gue arisan." Lelaki itu mengulang kalimat pembukanya.
"Lo kemana aja, Kuntet?" Rico mengabaikan kalimat tersebut.
"Di rumah aja."
"Mata lo! Gue ke rumah lo tapi pintunya dikunci."
"Gue ada di rumah, tapi Mama gue arisan."
"Apa hubungannya, Ganteng?!" Rico kesal, kenapa selalu bawa-bawa mamanya?
"Lo ke rumah gue sini."
"Ngapain?!"
"Mama gue arisan."
Astagfirullahalazim!
"Terus apa hubungannya, Nyon?!" tanya Rico gemas.
Jika sedang berada di dekatnya, sudah pasti Rico akan kembali memiting kepala Bara seperti tiga hari yang lalu, atau ia bisa bereksperimen dengan gaya lain dalam merundung sahabatnya itu? Hum, patut Rico coba.
"Gue mau ngasih tau sesuatu. Penting. Maksudnya, mumpung nggak ada Mama gue."
Dari nada suaranya Bara terdengar serius, berbeda dari sebelumnya. Jika ada hal penting kenapa tidak langsung tho the point? Kenapa harus mengulangi kalimat mengenai mamanya yang arisan?
Cih! Anak mami!
Rico menimang sejenak, haruskah ia bolos untuk hari ini? sepertinya Bara benar-benar butuh bantuan.
"Oke, deh. Gue otw," putus Rico memilih bolos, setelah terdiam untuk mengambil pilihan yang tepat.
Baiklah, tidak apa bolos sekali. Membantu sahabat dalam masalah bukankah perbuatan terpuji? Oke, alasan yang cukup mulia!
***
Bunga mawar hitam yang tidak pernah layu, masih tetap segar meski setetes air sudah tidak pernah menyentuhnya lagi, ia seakan memiliki keabadian di setiap strukturnya.
Kini, bunga itu terlepas dari genggaman sang pemilik, berbaring tenang di dalam kotak kaca yang terkunci, beralaskan kain putih, dan terletak tepat di atas nakas samping ranjang.
Pemiliknya rela melepaskan, dengan syarat bunga terkutuk itu harus ditempatkan di tempat yang aman dan dekat dari jangkauan netranya.
Pagi ini, kamar yang sekarang resmi menjadi milik Bara, tampak terang dengan sinar sang surya. Riuh juga terdengar di dalam sana menyingkirkan kesunyian yang dahulu menetap.
Ada tiga manusia berbeda bentuk tubuh berbincang asik dengan topik yang sangat menarik. Mereka kompak duduk di atas permadani cokelat bermotif kotak putih.
Sudah dari dua jam yang lalu Bara menjelaskan dengan sangat terperinci yakin tidak ada yang terlewatkan sedikitpun, mengenai Rose yang menjadi alasannya tidak ada kabar dua hari berturut-turut.
Percayalah! Saat menggunakan waktu tersebut, Bara amat frustasi. Apalagi saat disuguhkan pemandangan Rose yang bercengkrama dengan paman tikus, gadis itu sudah gila menurutnya! Beruntungnya dua hari itu juga mamanya sedang banyak kegiatan di luar rumah, jadi Bara tidak perlu bersusah payah menyembunyikan Rose dari sang mama, dan tidak perlu repot mencari alasan mengenainya dirinya yang tidak pergi ke kampus.
Bisa saja ia pergi ke kampus, jika tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi. Bagaimana jika Bella tiba-tiba pulang dan mengetahui bahwa ia tengah menyembunyikan seorang gadis asing? Atau, bagaimana jika Rose berbuat sesuatu di luar nalar seperti tempo hari.
Beribu asumsi yang pernah terlintas di otak Bara bisa saja terjadi, sebab di dunia ini sering kali tidak menutup kemungkinan.
Si Bohay sempat tertawa mendengar cerita Bara pada poin Rose memiliki sihir yang menjadikan ia sebagai korban, bukan hanya pada poin tersebut, tapi juga ia dibuat terbahak setelah mendengar bahwa Bara loncat ke atas kasur dan mengabaikan luka di jempolnya hanya karena takut dengan seekor tikus. Perlu diketahui! Sebelumnya pun, Rico sulit percaya dengan semua penjelasan yang Bara susun, tapi setelah mendapati gadis pemakai kostum unik, pemilik rambut yang berwarna dark grey, pahatan wajah seperti boneka, dan naungan tatapan polos itu membuktikan segalanya dengan cara menjungkirbalikkan tubuh kelebihan lemak miliknya menggunakan perantara sihir yang sama, hingga menimbulkan gempa kecil di dalam rumah Bara, barulah Rico dapat mempercayai penjelasan Bara seratus persen. Di tambah cermin antik dan bunga mawar hitam yang memiliki umur kurang lebih sebelas tahun, namun masih tetap hidup walaupun tanpa air, yang sengaja Bara tunjukkan sebagai bukti tambahan. 
"Hanya berbicara melalui cermin." Bara memejam sejenak, mencari energi lebih banyak. Terlihat jelas melalui raut wajahnya yang berubah drastis, ia menjadi sangat ambisius setelah mendengar Rose mengenal kakeknya. "Apa aja yang udah lo bicarain sama Kakek?" "Banyak hal." "Salah satunya?" Bara mencondongkan tubuhnya dengan kening berkerut, menunggu bibir Rose bergerak untuk memberikan jawaban. "Suatu cara untuk membebaskan kutukan." Sontak Rico menoleh ke arah Bara dengan mata yang melebar, sedangkan Bara saking tidak mampu mengekspresikan rasa terkejutnya hanya dapat menampilkan raut datar sambil menganga lebar. "Se-seriusan?" "Sangat serius," balas Rose dengan yakin. "Bagaimana caranya?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Bara, seakan ia ingin membebaskan Rose dari kutukan. "Aku tidak bisa memberi tahu, cara itu rahasia. Hanya seseorang berhati tulus yan
"Hanya seseorang berhati tulus yang dapat menghancurkannya meski dia tidak mengetahui." "Arghh!" Bara menarik rambutnya tanpa ampun, tidak memedulikan lagi rasa panas dan sakit yang akan ia dapatkan setelahnya, tubuhnya meringkuk di atas kasur layaknya anak kucing yang tengah menahan dinginnya alam. Tak lama dari itu kakinya menendang selimut putih yang sebelumnya berjasa menghangatkan tubuh kurusnya dengan brutal, disusul geraman berat yang terdengar memilukan. Kalimat Rose tersebut terus terngiang di telinganya, seakan tertanam erat di dalam memori otaknya, lantas seperti ada yang sengaja mendorongnya untuk terus mengingat kata yang terangkai misteri tersebut. Su
Bara menggelengkan kepala, ia mencoba mendewasakan diri, menyingkirkan masalah perasaan terhadap wanita untuk saat ini dan mencoba fokus untuk menghadapi permasalahan yang tengah menimpanya kali ini. Kepalanya kembali terangkat, menuntun pandangan untuk kembali fokus melihat sosok mungil yang masih tertidur lelap. Tak lama, secara perlahan kaki yang sudah tidak terselimuti lagi turun satu-persatu lalu berdiri dan berjalan meninggalkan pembaringan. Bara memutuskan duduk lesehan tepat di samping window seat, jari-jarinya bertaut kuat dengan netra yang memancarkan kesenduan masih sama seperti detik yang lalu. Tidak puas memandang dari jarak yang lumayan jauh, Bara berinisiatif memangkas jarak di antara dirinya dengan Rose, ia melipat tangannya di bibir seat dan menaruh dagu tepat di atasnya sangat hati-hati. "Dari kenyataan bahwa gue terpaksa bantu lo, apa gue masih bisa jadi malaikat penolong lo?" tanya Bara walau ia tahu jelas Rose tidak akan
"Duh, Pangeran Ganteng rupanya sudah selesai berbulan madu dan kembali menuntut ilmu di kampus hits ini, bagaimana kesan bulan madunya? Menyenangkan?" Rupanya si Bohay pelakunya. Tidak terima, Bara langsung menghadiahinya cubitan keras tepat di pinggang berlemaknya itu. "Aduuuuh! Ampuni hamba, Pangeran." Ringisan dramatis yang terlontar dari bibir si Bohay, menjadikan pendengaran Bara bermasalah. Ia bergidik jijik, lantas dengan kasar Bara melepaskan tangannya dari pinggang Rico dan berganti menunjukkan tatapan tajam bersama raut wajah tak bersahabatnya. "Pangeran ini terlalu sensitif, baru begitu saja langsung merujak, eh salah maksudnya merajuk. Apa karena tidak puas dengan malam bulan madunya?" Sepertinya lelaki gempal itu sengaja meledek Bara, mengingat bagaimana kemarin dengan suara lembutnya Rose memanggil Bara dengan sebutan 'pangeran', sangat lucu menggelikan dan kurang pantas menurutnya. "Sekali lagi lo ngomo
Keduanya kompak melepaskan diri lantas melirik seorang gadis berpenampilan modis berambut pirang yang baru saja lewat dan melontarkan beberapa makian kasar yang tidak pantas untuk didengar. Seperti ... "Cewek ganjen!" "Murahan!" "Nenek lampir!" "Lonte kampus!" Dan sebagainya, makian itu terus berlanjut dan terdengar jelas sampai gadis itu benar-benar menjauh dari posisi mereka. Merasa penasaran dengan ekspresi orang-orang yang ada di sana, Bara memperhatikan sekitarnya. Ternyata mereka juga sama terkejutnya, bahkan ada beberapa di antara mereka membisikkan kelakuan gadis tersebut. Bara tidak asing dengan gadis yang baru saja meneriaki makian itu. Dia adalah Calia, kekasih dari lelaki yang disebut most wanted di kampusnya. Sebenarnya Bara tidak menyukai gadis itu, sebab menurutnya gadis itu terlalu tebar pesona ke seluruh lelaki di kampusnya, seperti tidak cukup memiliki satu kekasih. 
Ekhem, maklumi saja sikap Rose, gadis manis itu baru saja mendapatkan makanan yang kemarin sempat membuatnya meneteskan air liur, dan jika ingin menyalahkan mari datang ramai-ramai ke kediaman Rico, kita bisa sama-sama mendemo si Bohay agar tidak terlalu serakah terhadap makanan. Untung saja Pangeran Adhinatha pengertian, jika tidak bisa-bisa Rose masih mengalami rasa penasaran dalam hari-harinya sebab tidak dapat mencicipi makanan dengan lubang di tengah itu. "Baiklah." Rose terlihat melepaskan pelukannya dari piring putih setelah sebelumnya memberikan ciuman kasih sayang pada donat-donatnya. "Mari kita lahap habis makanan ini!" serunya mengangkat tangan kanannya yang mengepal, mengeluarkan seluruh semangatnya seakan hendak mengikuti perang. *** Cinta pertama adalah rasa terindah yang pernah ada di dunia ini. Hum, begitulah menurut orang yang diperbudak oleh cinta pertamanya sendiri. Katanya, si dia yang telah berhasil
"Lebih baik gue mati!" Seperti orang yang kesetanan, netra Bara memancarkan kilat api, tatapannya terkunci lurus pada bongkahan besar batu yang sudah beberapa kali ia lewati semenjak pindah ke rumah kakeknya. Tangan kanannya begitu kuat menancap gas hingga menaikan kecepatan maksimal penuh. "Ini yang terbaik!" ucapnya dengan penuh keyakinan tanpa setitik keraguan. Namun, memang dasarnya manusia pemilik otak yang berkapasitas rendah, sudah pasti ada sesuatu yang ia lupakan. Booom! "Arghhh!" "Sial!" Tiba-tiba laju motornya yang sangat cepat mendadak melambat dan oleng, masih mengenal kata insaf diri dengan refleks ia menahan keseimbangan agar tak jatuh dan disambut aspal. "Suara apaan itu?" tanyanya berlagak murka padahal hatinya merasa lega karena tidak jadi mati cepat. Setelah berhasil selamat dari kecelakaan maut yang hampir ia buat sendiri, Bara turun dari motornya dan berjalan ke b