Anehnya gadis itu tidak tampak di mana-mana, Bara terus mengabsen setiap sudut kamarnya, tapi tetap saja tidak terlihat sosoknya.
Ah, benar ia harus berjalan lagi. Terpaksa Bara kembali memijakkan kakinya dan berjalan mendekati ranjang, barulah sosok yang dicarinya terlihat. Rupanya sosok itu tengah berjongkok di sebrang ranjang.
Samar-samar Bara mendengar gumaman gadis aneh itu yang ucapannya tidak jelas. Tepaksa lagi Bara mendekatinya, kembali berjalan lagi untuk melihat apa yang tengah Rose lakukan.
"Kasihan sekali kau Paman Tikus, aku turut berduka cita untuk itu," gumam Rose yang baru terdengar jelas saat Bara hampir sampai di dekatnya.
Ternyata gadis ajaib itu tengah berinteraksi, sayangnya Bara tidak tahu dia berinteraksi dengan siapa. Karena rasa ingin tahu yang membuncah, perlahan Bara mengintip melihat sosok apa yang tengah diajaknya berinteraksi.
"Rose?"
Kini Bara harus membulatkan matanya jauh lebih lebar. Ia merasa sangat terkejut sekaligus merinding. Lihat gadis polos itu! Mengapa harus berjongkok bersama seekor tikus? Lebih parahnya berbicara tanpa rasa takut dan jijik.
"Aaaaaaaa!"
Tanpa diduga Bara langsung melompat ke atas kasur, melupakan jempolnya yang masih sakit. Rasa takutnya terhadap seekor tikus sepertinya jauh lebih besar dibandingkan rasa sakitnya.
"Pangeran?" Rose berdiri dari posisi berjongkoknya, menatap bingung pada Bara yang kini tengah mengibas-ngibasakan tangan agar tikus di atas lantai itu enyah dari penglihatannya.
Anehnya, bukan bergegas pergi setelah melihat seorang lelaki berteriak lantas mengusirnya, tikus itu justru tetap berdiri di tempatnya ikut menatap bingung pada Bara sebagaimana Rose.
Kedua makhluk berbeda jenis itu tanpa sadar berekspresi sama, layaknya dua bocah yang butuh penjelasan atas sesuatu yang tidak dimengerti.
"Usir tikus itu, Rose!" perintah Bara tiba-tiba, dengan nafas naik turun dan sesekali menelan sulit salivanya.
Rose menggeleng. "Tidak mau, Pangeran. Dia adalah Paman Tikus, teman baruku." Ia berucap riang di ujung kalimatnya, seraya tersenyum begitu manis di saat yang tidak tepat.
"Apa?! Paman Tikus?"
Rose mengangguk polos.
"Teman baru?!"
Dan mengangguk lagi, tanpa mengerti bahwa Bara bertambah terkejut.
"Kenapa lo lepasin, sih?!" bentak Bara spontan. Kesal dengan Rose yang tidak mendengarkan titahnya.
Rose menunduk takut. Bukan merasa bersalah, sebab ia pikir apa yang dilakukannya adalah hal benar, melainkan karena Rose tak pernah sekalipun dibentak seperti itu, bahkan dengan kedua orang tuanya yang sudah merawat dan mendidik dirinya.
"Pergi sana!" usir Bara. Tanpa belas kasih, tangannya melayangkan bantal bersarung putih sampai hampir mengenai tubuh kecil dan tua paman tikus, entah mengapa Bara begitu membenci makhluk satu itu.
Beruntung paman tikus mengelak, dengan gesit meloncat berpindah tempat.
Rose tersentak membuat mata indahnya yang lebar bertambah semakin lebar, mendapati Bara berlaku kasar pada paman tikusnya. Rasa takut akibat dibentak, hilang seketika dari perasaannya.
"Pangeran! Apa yang kamu lakukan? Kasihan Paman Tikus!" Rose sampai berbicara dengan nada meninggi menandakan ia berubah kesal, namun Bara tidak menghiraukannya dan lagi-lagi mengambil bantal untuk kembali melempari si paman tikus.
"Menjijikkan!" Satu bantal tersisa, Bara mengambilnya lagi, dalam hati berharap semoga yang terakhir ini berhasil mengenai tubuh tikus kecil berwarna abu-abu tersebut.
"Hentikan!"
Bara tidak menggubris.
"Kubilang hentikan, Pangeran!" Rose habis kesabaran. Masih ditempatnya, tapi tangan kanan Rose mendadak terangkat melayang, di ujung jarinya mengalir kilatan berbentuk petir berwarna hitam yang berlapis cahaya putih, menuju lengan Bara yang menggenggam bantal. Sedangkan tangan kirinya meremas kuat tangkai bunga mawar hitam yang begitu setia berada di genggamannya.
Bara yang sudah sangat terkejut, entah sudah berapa kali lipat keterkejutannya bertambah. Belum sempat menghindar, tangannya merasakan sensasi panas kala benda yang mengalir dari ujung jari telunjuk Rose berhasil menyentuh lengan Bara.
Mulut Bara menganga lebar hingga tak sadar mengendurkan genggaman pada bantal dan membuatnya terjatuh kembali.
Rasa panas di lengannya teralihkan dengan kebingungannya. Be-benda apa ini? batin Bara berkata. A-apa ini se-semacam sihir? lanjutnya.
Bara ingin berteriak sekuat-kuatnya, jika perlu sampai meledakkan kepalanya yang terasa penuh. Biar saja ia yang pergi, daripada harus tetap tinggal bersama gadis aneh yang membuat harinya saat ini begitu kacau.
Sulit untuk benar-benar dimengerti, mungkinkah ada sihir nyata di zaman sekarang? Bara kehabisan pasokan udara, ia merasa pengap saat hendak memikirkannya, otaknya dipaksa berotasi namun tubuhnya seakan menolak.
"A-apa ini?" tanya Bara pada akhirnya, ia sudah tidak kuat terus menahan kebingungan. "Apa ini si-sihir?" Bara memberanikan diri untuk melirik dan menatap Rose yang berdiri di pinggir kasur, masih mempertahankan sihir yang dikeluarkannya.
Tidak Bara sangka, saat melihat wajah yang sebelumnya terlihat begitu polos dan bahkan pikirnya tidak mungkin bisa berubah garang, nyatanya sekarang realitas menggugurkan ekspektasinya itu.
Wajah Rose berubah tegas, mata bulatnya memancarkan kilat berapi-api, bibirnya menyembunyikan gigi-gigi yang mengerat kuat, keningnya bertaut hingga terbentuk kerutan halus. Dan, lihat hidungnya! Kembang-kempis seperti banteng yang akan menerjang kain merah. Gadis itu, tidak seperti gadis yang pertama kali ia lihat.
Sejenak, lagi-lagi Bara meneguk saliva, membasahi tenggorokan yang terasa tercekat, jujur ia sangat takut melihat ekspresi itu. Mau apa gadis itu? Akankah ia membunuh Bara saat ini juga? Dengan kekuatan sihir yang tidak Bara sangka dimiliki gadis bersampul polos semacamnya? Hanya karena seekor tikus tua?
Suara mesin mobil dihidupkan menghentikan Bara dari aktivitasnya menarik rambut. Rambut yang memang sudah acak-acakan, bertambah mengenaskan sekarang. Terlihat wajahnya memerah, lelaki itu benar-benar menangis, kesal dengan kusutnya jalan hidup seperti benang tak terurus.Tidak mungkin 'kan ia berdiam diri saja kala telah mengetahui dirinya terancam dirukiah?Menyebalkan! Sudah pasti ia harus bangkit untuk menghentikannya.Bara meninggalkan lantai dan beranjak menuju jendela yang tirainya baru sebelah di buka. Dengan sekali tarik ia menyibak tirai sebelahnya lalu membuka jendela cepat-cepat.Terlihat si Merah melaju meninggalkan bagasi dan keluar dari halaman rumahnya.Mulut Bara terbuka. "Ma!" panggilnya berharap terdengar."Mama!""Mama!""Ma!"Tidak ada tanda-tanda Bella menyadari panggilannya, mobil BMW itu terus melaju hingga wujudnya terputus dari jangkauan pandang.
Bella keluar kamar tergesa-gesa, gamis cokelat susu melekat pas di tubuhnya, lengkap bersama kerudung yang berwarna serasi. Wajah ibu kandung Bara itu terlihat gelisah, nafasnya memburu seraya mengunci pintu kamarnya dengan tangan yang gemetar."Ma." Bara datang menghampiri Bella untuk melihat kondisi sang mama yang sebelumnya ia duga tidak sedang baik-baik saja, dan dugaannya itu dibenarkan saat tangan dingin Bella menarik Bara untuk mendekat padanya."Ganteng!" sambut Bella sedikit berteriak namun tertahan, kini tangan memucatnya itu menggenggam erat telapak tangan milik Bara."Ada apa, Ma? Mama tadi kenapa teriak? Terus ini Mama kenapa jadi dingin dan pucat? Mama sakit?" tanya Bara beruntut, berlagak tidak tahu dan tidak mengerti padahal hatinya tengah berdetak kencang mencemaskan posisi Rose yang terancam.Bella menggeleng. "Mama baru aja dapet musibah.""M
Bara bersingut mundur dengan cepat, matanya membola saat Rose tiba-tiba melempar sihirnya dan sengaja dipantulkan ke lantai tak jauh dari posisinya. Mata gadis itu menajam, berubah gelap dan menampilkan wajah yang tidak menyenangkan melainkan menyeramkan. Matanya berkaca-kaca, memancarkan ketidaksukaan atas apa yang baru saja terjadi. Bara menelan salivanya kuat-kuat, untuk kedua kalinya ia merasakan seluruh persendiannya mati rasa setelah bertemu Rose. Begitupun ketakutannya akan kematian selayaknya tempo hari. "Ro-Rose ... ma-maafin gue," pintanya memohon masih dengan posisi terlentang ditahan siku sama seperti saat pertama kali dirinya melihat keajaiban dunia di mana Rose keluar dari cermin. "Ja-jangan Rose." Tangan kanan Rose kembali bergerak memutar, dari gerakan tersebut dengan mudahnya asap hitam yang bercahaya penuh glitter muncul di atas
"Ngung! Ngung!" Bibir kecil dan tipis Rose maju mengikuti ucapannya. Tampak lucu seperti anak kecil yang senang melihat sesuatu yang baru dan langsung ia sukai, sehingga menarik imajinasinya ke tingkat yang lebih tinggi. Menggemaskan. Tapi tidak untuk Bara, ia memutar bola matanya kesal, menarik bahunya untuk bangkit dan terduduk. Ia mengharapkan ketenangan seperti sebelum gadis itu datang, serta harapannya yang utuh terhadap Lily untuk menjadi kekasihnya. Tatapan sendunya penuh menatap Rose, bibirnya tertekuk ke bawah, sedih. "Bisakah?" tanyanya mengalihkan pandangan pada langit-langit kelambu, mungkin saja Tuhan mau mengasihaninya. "Hiks!" Bara membanting tubuhnya ke belakang kembali berbaring, menutup telinganya dengan bantal tak memberi kesempatan suara untuk masuk sedikitpun. Paman Tikus di sampingnya, sudah lebih dulu tenggelam di alam bawah sadarnya. Sedangkan Rose, gadis itu masih asik menikmati imajinas
Wah apa lagi ini? Karakter tersembunyi yang baru saja Rose tunjukkan membuat Bara takjub dalam hitungan detik. Gadis unik itu bukan hanya berotak cerdas dan peka, tapi juga suka melucu rupanya.Bara menahan senyumnya agar tidak mengembang, meski terbilang gurauan Rose garing, melihat tingkah lucunya cukup menjadi pengganti dorongan untuk membuat orang yang menyaksikannya tersenyum.Terlepas dari itu, terserah sajalah Bara tidak ingin terbawa perasaan. Jika ia tersenyum, takutnya sama saja membuka peluang tabir harapan Rose.Esok harinya Minggu datang, hari di mana Bara bebas dari mata kuliah dan dapat bersantai dengan ketenangan pikiran.Ah, berbicara tentang ketenangan pikiran sepertinya Bara sudah kehilangan hal tersebut semenjak Rose hadir dalam hidupnya dan Lily yang tidak pernah mau menjadi kekasihnya hingga meninggalkan ia memilih lelaki lain.Bara keluar dari kamar mandi dalam keadaan menggosok rambutnya yang basah me
"Sini biar gue aja." Tanpa permisi lelaki yang tengah mengalami patah hati itu merebut tissue dari tangan Paman Tikus membuat sang empu menyipit tak terima. "Lambat!" ejek Bara kepada Paman tikus, dan tanpa meminta izin kepada Rose, Bara langsung mengelap pipi Rose dengan tissue tersebut menggantikan Paman Tikus. Rose mengerjapkan mata bulatnya, memperhatikan wajah Bara dari dekat ada sensasi tersendiri. Sedangkan Bara tak mempedulikan itu, ia lebih memilih fokus mengelap wajah Rose yang masih tersisa bercak cokelat separuh. "Ngapain liat-liat?" tegur Bara tiba-tiba. Rose yang tertangkap basah anehnya tidak gugup sama sekali, ia menggeleng calm dengan tatapan polos yang tidak hilang. "Nggak usah heran, gue emang udah ganteng dari lahir, makanya dapet julukan si Ganteng," cetus Bara percaya diri menarik sudut bibir membentuk senyum miring. Mendengar kalimat itu Rose tak bereaksi, masih betah menyapu tatapannya di s