Share

Chapter 8 - Misi Interogasi

Belum lama ia merasa lega, namun rupanya sang mama kembali membuatnya tersiksa dengan ancamannya itu.

"Si Bohay bohong, Ma," sergahnya seraya memelototi Rico agar diam. "Aku udah nggak ngedeketin Lily lagi, kok, sumpah," lanjutnya berbohong.

Rico yang duduk di samping dengan leluasa menggigit kedua jari telunjuk dan tengah Bara yang membentuk V. Bara kembali memelototinya, sahabatnya ini memang tidak bisa diajak kompromi.

"Jangan bohong kamu." Lily yang tengah melilit jempol Bara dengan kasa menginterupsi.

"Beneran, Ma. Aku nggak bohong, si Bohay emang asal jeplak aja. Mana tau, sih, dia tentang hubungan aku sama Lily, yang dia tau, tuh, cuma ... makanan!" ucap Bara sengaja mengeraskan kata 'makanan' tepat di telinga Rico.

Bella hanya menggelengkan kepalanya, melihat anak semata wayangnya itu masih bersikap kekanak-kanakan. Astaga, salahkan dia yang sering memanjakan Bara.

"Sudah selesai." Bella kembali merapikan peralatan P3K ke dalam kotaknya dan kembali meletakkan di tempatnya.

"Ada apa ini?" 

Semua mata tertuju pada sosok lelaki yang baru saja datang dan berdiri di ambang pintu.

"Itu, Pa, si Ganteng ketiban meja," jawab Bella seraya berjalan mendekati sang suami.

Mimik wajah Bisma seakan menahan tawa, dan tak lama tawa itu benar-benar meledak. "Hahaha!" 

Sedangkan Bella hanya mengulum senyum, mungkin ia pun merasa geli, tapi rasanya tidak benar menertawakan anaknya yang terkena musibah.

Rico malah ikut tertawa dan sudah dipastikan ia mendapatkan picingan mata yang begitu sengit dari Bara, namun tak lantas membuatnya berhenti tertawa.

Di ujung tawanya, Bisma menepuk-nepuk tangannya beberapa kali agar bisa menghentikan tawa yang rasanya tak mau berhenti.

"Udah, Pa. Ih! Anak lagi kena musibah malah ditawain," ucap Bella agar tawa suaminya berhenti.

"Oke oke." Bisma berdehem sebentar, lalu lanjut mengatakan sesuatu. "Abis lucu anakmu itu."

"Anakmu juga," koreksi Bella.

Bara melihat itu hanya bisa menekuk wajahnya, merasa tidak ada harga diri.

Argh! 

Semua ini karena gadis itu, batinnya meronta kembali menyalahkan Rose.

Sekali lagi Bisma berdehem, kali ini ia merubah ekspresi wajahnya menjadi serius. "Koper Papa sudah siap, Ma?" tanya Bisma kemudian.

"Udah, Pa. Beres!" jawab Bella seraya mengangkat jempol.

Bara sedikit bingung, mendengar papanya menanyakan koper. Apa itu berarti papanya akan segera berangkat dinas? 

"Lah, Papa mau berangkat hari ini juga?" tanya Bara penasaran. Pasalnya ia lupa tanggal berapa papanya akan berangkat dinas sebagai abdi negara.

"Iya, masa kamu lupa. Ckckck." Bisma berdecak sambil menggelengkan kepalanya.

Yang bisa dilakukan Bara hanya menggaruk tengkuknya, sambil menunjukkan gigi putihnya, tersenyum lebar sekali. 

Bisma langsung memutar bola matanya, memiliki anak satu-satunya laki-laki pula, tapi tidak bisa diandalkan, bahkan hanya mengangkat meja saja harus tertiban. Bisma merasa telah gagal mendidik Bara menjadi lelaki tangguh sepertinya.

"Yasudah, kalian keluar sana, Papa mau kangen-kangenan sama Mama dulu," usir Bisma.

Mata Bara mendelik kesal, kakinya masih terasa sakit, tapi papanya malah mengusirnya. 

"Bohay, bantu Bara jalan. Kalo badannya keberatan lemparin aja," tambah Bisma sarkastis.

"Siap, Om!" Rico langsung berdiri tegap mendengar titah dari sang tentara itu.

Bara langsung melotot tak percaya dengan ucapan papanya barusan, lalu membalas tak terima, "beratan juga dia, Pa!" 

"Yasudah cepet sana!" 

Dengan sigap Rico menarik Bara dan memapahnya keluar dari kamar orangtuanya dengan tertatih.

***

Rico sudah duduk tenang di atas motor Nmaxnya, lengkap dengan menggunakan helm. 

"Bro, gue balik dulu, ya. Salam buat Tante dan Om," pamitnya pada Bara.

Seharusnya ia mengantar Bara sampai ke kamarnya, tapi Bara menolak dengan dalih ingin duduk menikmati udara senja di teras rumah. Padahal alasan sebenarnya adalah sosok Rose yang dikurungnya dalam kamar.

Ah, mengenai sosok Rose, ada keinginan di hati Bara untuk bercerita pada sahabat gempalnya itu, tapi waktu tidak memungkinkan untuk bercerita sekarang, masih banyak yang harus ia pertanyakan pada Rose.

"Oke, hati-hati di jalan, ya," balas Bara yang tengah duduk di tangga teras rumah bergaya panggung itu.

"Sip!" Rico mengangkat tangannya membentuk hormat lalu tak lama ia hempaskan. "Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam." 

Bara menatap kepergian Rico dengan seribu tanya, bukan mengenai si gendut itu melainkan tentang gadis yang ada di dalam kamarnya.

Tanpa berpikir panjang yang ujungnya akan memperkeruh otak, ia memilih bangkit dan berjalan menuju kamar tempat Rose kini berada, untuk lanjut memastikan sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya.

Dengan hati-hati Bara memijak, takut jempol kakinya menyentuh benda keras yang pasti menambah rasa sakitnya. Kali ini  langkah kakinya jauh lebih lambat dari biasanya, hanya dari teras menuju kamarnya saja sampai harus melewatkan waktu bermenit-menit.

Namun, setiap usaha pasti akan membuahkan hasil, berkat dirinya yang tidak pantang menyerah, pada akhirnya ia sampai di tempat tujuan. 

Dengan tak sabaran Bara merogoh kunci di sakunya untuk membuka pintu. Betapa leganya saat pintu kamarnya terbuka, tak ingin membuang waktu, Bara langsung memutar knop pintu dan masuk ke dalam kamar, tak lupa mengunci kembali pintu tersebut.

"Hah!" Hembusan napas terdengar begitu panjang, Bara menyenderkan bahunya di depan pintu, lelah juga rasanya berjalan dengan jempol yang membengkak ditambah ada rahasia yang harus ia jaga.

Hari ini, ia cukup merasakan tekanan batin dan fisik hanya karena gadis bermata besar yang datang tanpa diundang dan tak jelas asal-usulnya. 

Sekarang saatnya untuk melanjutkan misi, mengintograsi gadis tersebut. Mata Bara membulat sempurna untuk menangkap keberadaan gadis tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status