“Jeni, kata dokter kamu baru boleh pulang besok, tapi maaf aku tidak bisa menunggumu di sini, aku harus pulang, mungkin aku akan menjemputmu besok pagi.”
Jeni menatap Louis kecewa.
Tapi Louis tidak peduli, ia pergi setelah mengatakannya.
Jeni mencibir dalam hati, “Kenapa aku begitu bodoh? Bisa-bisanya aku tadi memarahi Steven dan berprasangka buruk padanya, padahal Steven selalu menolongku, bisa saja dia dijebak oleh seseorang atau Renata mungkin.”
Jeni mendesah pelan, kemudian meraih ponselnya dan menghubungi Steven, Jeni deg-degan menunggu Steven menerima panggilannya.
“Halo Jeni, ada apa?” suara bariton khas seorang Steven yang penyabar dan penyayang mencapai telinganya dan itu membuat Jeni menghela nafas lega.
“Steven.”
“Ya?”
“Aku minta maaf.”
“Aku sudah memaafkanmu.”
“Benarkah?”
“Tentu saja Jeni, aku p
Jeni benar-benar memikirkan ucapan Tania dan Tamara kemarin.“Menikah secepatnya? Apakah Louis akan bersedia?” batinnya.“Kamu kenapa Jen?” tanya Louis saat mereka sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, periksa kehamilan.Jeni menggeleng dan ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Bicaralah! Kenapa kamu masih menganggap aku seperti orang asing? Kita pernah bersama selama tujuh tahun hingga membuahkan calon bayi yang ada dalam kandunganmu, meski sekarang masing-masing dari kita telah mencintai orang lain.”Jeni mengatupkan bibirnya dan tetap diam, perkataan Louis justru membuatnya sakit hati, mengingat ia mencintai Louis selama tujuh tahun dan berakhir dengan cara menyedihkan.“Baiklah, aku tidak akan memaksamu Jen.”Jeni menurunkan kelopak matanya dan akhirnya memutuskan untuk menceritakannya pada Louis, “Wisuda akan terjadi tiga bulan lagi, itu artinya perutku akan semakin mem
“Hidup itu pilihan Mi, dan Louis sudah berani memilih jalan seperti itu, jadi dia harus bertanggung jawab, bukan begitu Louis?”Louis yang sama sekali tidak berani membantah apapun perkataan Papinya, hanya memilih mengangguk.“Besok, undang dia ke sini, kita akan makan siang bersama, sekaligus membahas pernikahan kalian.”“Iya Pi.”Louis menyetujui dengan patuh, seolah-olah hatinya sama sekali tidak merasa keberatan sedikitpun.“Louis, kenapa kamu begitu pasrah?”Monica masih terlihat tidak terima.“Mi, tolong jangan mengajarkan hal yang buruk kepada Louis, atau aku akan mengurangi 70 persen uang bulananmu.”Monica membelalak tak percaya lalu mendengus marah dan memilih diam setelahnya.“Dan kamu Louis, kalau kamu selalu patuh dan nurut apapun perintah Papi, Papi tidak akan segan memberikan apapun yang kamu minta, termasuk menggeser Steven dan menjadikanmu
Jeni baru sadar ketika mendengar deru mobil Louis yang melaju pergi dari kos La Venna. Jeni menepuk-nepuk pipinya sendiri untuk memastikan keadaan bahwa dirinya bukan berada di alam mimpi.Jeni tersenyum kemudian saat menyadari itu nyata, lalu menyelinap kembali ke kamarnya.***Keesokan harinya, seperti janjinya Louis menjemput Jeni ketika jam makan siang. Jeni sudah siap dengan dress terbaru dan terbaiknya yang dibelikan Louis hari ini.Pagi-pagi tadi Jeni menerima paket datang dan ternyata itu adalah paket baju yang dikirimkan Louis, dress squareneck ala korea warna broken white.Simpel but elegan, begitulah penggambaran dress itu, terlihat begitu cocok dipakai oleh Jeni, dan semakin menyempurnakan kecantikannya siang ini.“Kamu sangat cantik Jen,” puji Louis.Jeni hanya menyematkan senyum tipis di wajahnya, dan bersedia menerima tangan Louis untuk menggandengnya dan memasuki mobil.Sebenarnya Jeni sangat deg-deg
Jeni menyeringai puas, bersamaan dengan hal itu mualnya hilang. Ia mengelus perutnya yang sudah sedikit membuncit dengan perasaan senang.Mobil Louis kemudian melaju kembali menuju warung mie ayam depan kampus. Sesampainya di sana, Jeni merasa tidak sabar untuk segera memesan mie ayamnya, ia dengan penuh semangat turun dari mobil Louis dan langsung menghambur masuk ke warung.Memesan dua mie ayam juga dua es kelapa muda.Tak sabar, Jeni berkali-kali menelan salivanya begitu tercium bau mie ayam yang baru saja dihidangkan di mejanya, ia meraih mie ayam itu dan langsung menyambarnya.“Jeni, itu masih panas.”“Aku tiupin mienya,” kilah Jeni.“Jeni, sabar dong, nanti lidah kamu kepanasan.”Jeni menyeringai.“Bukan aku yang tidak sabar Louis, tapi anak kamu.”“Hmm. Bukannya tadi kamu juga sudah makan di rumahku?”Louis semakin muak dengan tingkah laku Jeni.
“Percayalah! Semua akan baik-baik aja, bagaimanapun kamu akan menikah, jadi kamu harus menghubungi mama dan papa kamu.”“Aku tidak tahu papa ada di mana sekarang Tam, Mama sudah lama bercerai dengan Papa.”“Siapa tahu Mama Livia masih punya nomor yang bisa dihubungi.”“Iya Tam, mudah-mudahan saja.”“Yasudah kalau begitu, bye Jeni. Semoga semuanya berjalan lancar.”“Iya Tamara, bye juga, aamiin.”Jeni mengakhiri panggilannya.Memikirkan perkataan Tamara untuk memberitahu mamanya, Jeni mendadak deg-degan, berbagai ketakutan menyerang pikirannya, tapi Tamara benar, terlepas pernikahannya dengan Louis itu bertahan lama atau tidak, ia tetap harus memberi tahu mama dan papanya.Dengan keringat dingin yang menjalar di seluruh tubuhnya, juga jantung yang bereaksi berdegup begitu kencang, Jeni memberanikan diri untuk memencet angka demi angka hingga terangkai satu n
Louis kemudian melepas ciumannya dan membuang mukanya.“Maafkan aku Jeni.”Jeni juga sama, tak berani memandang Louis, ia malu juga jantungnya berdegup begitu kencang, sudah lama sekali ia tidak bersentuhan apapun dengan Louis kecuali tangan, namun sore ini Louis justru menciumnya. Namun karena ciuman Louis itulah membuat Jeni justru ingin sekali memiliki Louis kembali seutuhnya.Jeni menghela nafas berat, mengingat di hati Louis sekarang lebih terisi oleh Renata. Memikirkannya membuat hati Jeni sangat sakit hingga matanya begitu perih dan menitihkan air mata.Jeni tersenyum mengejek mencibir dirinya sendiri sembari menghapus kasar air matanya.Melihat Jeni kembali menangis, entah kenapa dalam hat kecil Louis ia merasa sangat bersalah, menjadikan pelampiasan hatinya saat Renata sedang marah dengannya saat ini.“Jeni, aku benar-benar minta maaf.”Jeni hanya diam, hanya matanya saja yang berkedip dan sama sekali
“Jeni, apa Papa bisa bicara sebentar sama kamu?”Jeni memalingkan wajahnya, ia tidak tahu harus senang atau apa sekarang, pasalnya Rengga atau papa Jeni sering kali menyakiti dirinya dan mamanya dulu, bahkan terakhir Jeni bertemu denganny adalah saat kelulusan sekolah menengah pertama.Setelah itu orang tuanya bercerai dan ia tidak pernah bertemu dengannya lagi, meski Jeni tahu mamanya masih berhubungan baik kembali dengan papanya saat dirinya kuliah semester awal-awal, tapi tetap saja laki-laki yang berdiri di depannya sekarang tidak pernah ingin menemuinya lagi.“Untu apa?” tanya balik Jeni dengan gayanya yang acuh tak acuh.“Papa disuruh oleh Mama kamu.”Jeni membelalak tak percaya, kemudian ia mengangguk dengan terpaksa.“Baiklah, kita bicara di luar saja.”Rengga mengangguk, laki-laki keturunan Rusia yang sudah menjadi warga negara Indonesia itu pun kemudian mengikuti putrinya kelua
“Percayalah! Mama tidak marah sama kamu, mama kamu mungkin hanya terkejut kenapa kisahnya sama persis dengan kehidupan kami dulu.”Jeni terdiam, ia menghapus air matanya dan berusaha tenang kembali karena si kecil di dalam perutnya kembali berulah, perutnya kram, Jeni mengelus perutnya pelan-pelan.“Iya Pa, terimakasih.”“Sama-sama. Ayo habiskan makanannya.”“Enggak Pa, aku sudah kenyang. Aku sebenarnya tadi mau ke kampus, ada janji dengan dosen pembimbing.”“Tidak