Malam itu Jeni tidak dapat tidur, berbeda dengan Steven yang sudah meringkuk di sofa dengan begitu nyenyak.
Jeni baru bisa tidur saat setelah sholat subuh, dan Steven sudah pergi dari apartemen serta meninggalkan surat bahwa ia harus pergi ke kantor dan tidak tega membangunkannya, Jeni mendapati surat itu saat ia bangun pukul 07.00 WIB.
Jeni tergeragap, ia ingat bahwa hari ini ia harus menemui teman Steven, maka ia segera mandi dan bersiap-siap, tadi malam Jeni sudah mengirim pesan dan teman Steven menyambutnya dengan baik.
Jeni keluar dari apartemen setengah jam setelah itu dan ia meunggu angkutan umum di terminal yang tak begitu jauh dari Grande.
Lama menunggu angkutan umum kota, Jeni justru bertemu Louis, sebenarnya ingin sekali Jeni berlari untuk menghindari Louis namun gerakan tangan Louis lebih cepat dan ia memaksa Jeni untuk masuk ke dalam mobilnya.
“Aku tidak mau Louis, tolong jangan memaksaku,” teriak Jeni ketakutan.
Di tengah perjalanan, ponsel Steven berdering, sebuah panggilan dari Tamara dan Steven langsung menjawabnya.“Halo Tam.”“Kamu dimana Stev?” tanyanya dengan suara yang terdengar begitu panik.“Aku perjalanan menuju Thamrin, kenapa Tam?”“Jeni kecelakaan, aku tadi gak sengaja lewat Thamrin dan ada kecelakaan di situ, rame banget, ternyata itu Jeni dan Louis.”Steven semakin panik namun ia berusaha untuk tetap tenang.“Lalu bagaimana keadaannya?”“Jeni agak lumayan parah, kalau Louis masih sadar, aku sharelok rumah sakitnya sekarang.”Steven tak menjawab, di dadanya gemuruh kemarahan yang sulit ia ungkapkan. Panggilan pun berakhir dan Steven segera mendapat alamat rumah sakit dari Tamara.Tidak asing dengan alamat rumah sakit yang dikirim Tamara, Steven segera menginjak pedal gas mobilnya dan membuat mobilnya seakan melayang seketika.Beberapa m
Steven baru tiba di rumah sakit dan ia mendapati Tamara yang sedang menangis tersedu-sedu, ia kebingungan bahkan lebih mendominasi perasaan takut terjadi sesuatu dengan Jeni.“Tamara, kamu kenapa menangis? Apa yang terjadi dengan Jeni?”Seketika Tamara mendorong tubuh Steven kuat-kuat, ia sangat marah, Tamara curiga Steven sudah tahu hal ini dan ia berusaha membantu Jeni untuk menyembunyikan semua ini darinya dan juga Tania.Steven terhuyung dan ia bingung.“Tamara apa yang terjadi denganmu?”“Jeni hamil, kamu pasti sudah tahu itu kan?” tanya Tamara dengan isak tangisnya.Steven membeku sesaat, wajahnya tertunduk.“Jawab aku Stev!” bentak Tamara.Tatapan Steven beralih sesaat sebelum akhirnya ia merendahkan suaranya dan bergumam, “Maafkan aku Tam.”Tamara kembali membanting tubuhnya di tempat duduk sambil menutup wajahnya dan menangis dengan frustasi.Ste
Mendengar hal itu, Jeni tercengang kemudian wajahnya tertunduk, detik berikutnya ia merasakan wajahnya memerah dan jantungnya berdebar kencang, seakan mensinyalir perasaan baru yang sedang bersemi di hatinya.Setelah penghianatan dan sikap Louis yang tak ada habisnya menyakiti dirinya, mata Jeni seakan terbuka lebar dan ia tidak sekeras kepala dulu, apalagi Steven selalu ada di sampingnya dan menjadi garda terdepan di setiap masa sulitnya.Tapi Jeni merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menerima Steven, maka ia begitu bimbang.Melihat Jeni yang terdiam begitu lama, Steven segera menyela dan meralat ucapannya.“Maafkan aku Jeni, sepertinya aku harus pergi sebentar,” ujar Steven begitu gugup.“Steven tunggu!”“Jeni, aku....”“Steven, aku tidak masalah dengan perkataanmu, rasanya aku begitu bodoh jika aku terus-menerus menyia-nyiakan orang yang sangat baik sepertimu, tapi aku minta maaf k
Lama menunggu jawaban Louis, membuat Renata begitu kesal, ia mematikan sambungan teleponnya dan fokus menyetir, ia harus cepat sampai ke kantor Rena Group.Sepuluh menit berikutnya, mini cooper milik Renata tiba di Rena Group, ia buru-buru masuk dan mencapai private lift menuju ruangannya.“Serena, apa yang sebenarnya terjadi?”“Saya tidak tahu, saya sudah memeriksa semuanya dan harusnya ini tidak terjadi, tiga klien penting kita bahkan baru saja menelfonku untuk memutus kerja sama dengan perusahaan kita, jadi hampir semua klien mengagalkan dan memberhentikan kerja sama dengan Rena Group dalam waktu yang bersamaan Nona, apa ini masuk akal?”Kepala Renata rasanya ingin meledak saat itu juga, sebuah kejadian tidak masuk akal terjadi begitu saja di perusahaannya dan itu membuatnya gila.Renata jadi tiba-tiba teringat dengan seseorang dan jantungnya langsung bereaksi untuk berdegup semakin kencang.“Apa semua ini ad
“Kalau kamu tidak mau membantuku lebih baik kamu pergi sekarang!” bentaknya kemudian.Louis tak mengindahkan perkataan Renata, ia tetap berdiri dengan tatapan dingin.“Renata aku akan membantumu, tapi jujurlah! Jangan sampai aku sendiri yang menanyakannya pada Steven,” ujar Louis murka.“Pergi!”Louis akhirnya menyerah dan ia memilih pergi dari ruangan Renata. Melihat Louis pergi, Renata semakin emosi sehingga ia membuat seluruh dokumen dan barang-barang yang ada di meja kerjanya jatuh berserakan ke lantai.***Di rumah sakit, kondisi Jeni semakin membaik, hal itu membuatnya tidak ingin tinggal terlalu lama di rumah sakit ini.“Steven, kapan aku akan diperbolehkan pulang?”“Aku belum tanyakan itu pada dokter, memangnya kamu sudah merasa lebih baik?”Jeni mengangguk-angguk, entah kenapa ia merasa tidak nyaman tinggal di rumah sakit, itu karena Jeni lebih memikirk
“Dia tidak mau jujur padaku.”“Kamu yakin ingin tahu yang sebenarnya?”“Iya.”Steven mematikan kemudian mematikan ponselnya dan mengirim pesan pada Louis berupa rekaman CCTV cafe sekaligus tangkapan layar pesan Felix.Alisnya kemudian terangkat sambil menampakkan senyuman yang tidak terlihat seperti senyuman, Steven lalu kembali ke ruangan Jeni dan menormalkan ekspresinya.***Di Graha Ayu Residence, Tamara tampak membanting tubuhnya di tempat tidur, pikirannya masih penuh tentang berita kehamilan Jeni, hal itu membuatnya frustasi, ia tidak menyangka Jeni yang ia kenal begitu kalem akan menyerahkan harta berharganya sebagai seorang perempuan kepada laki-laki yang tak bertanggung jawab seperti Louis.Tamara melenguh nafas berat, tangan kanannya kemudian bergerak-gerak meraih ponselnya dan ia menghubungi Tania.Kebetulan Tania sudah kembali di Indonesia hanya saja masih berada di kota lain di r
Sisa hari itu berlalu begitu cepat, tak terasa malam hari dan saat ini Louis sedang makan malam bersama kedua orang tuanya di rumah.Ada yang ingin Louis katakan pada papinya, namun entah kenapa tenggorokannya seperti tercekat, akhirnya Louis mengisyaratkan matanya untuk menyuruh maminya.“Pi,” tegur Monica di sela makan malam itu.“Iya.”Aditya Saloka menjawab tanpa menatap, ia terlalu fokus pada makan malamnya karena seharian tadi ia begitu sibuk hingga tidak memperhatikan perutnya yang belum terisi apapun selain air mineral.“Louis, sebenarnya mau bicara sama Papi, kalau dia ingin melamar pekerjaan di perusahaan Papi,” lanjut Monica.Aditya Saloka hampir tersedak, ia buru-buru meraih minumnya dan kemudian menghentikan aksi sendok garpunya.“Benar begitu Louis?” tanyanya dengan tatapan penuh selidik.Pasalnya selama ini Louis selalu menolak dengan dalih ingin menyelesaikan kulia
***Pagi-pagi sekali Tania tiba di rumah Tamara, pada saat itu Tamara sedang sarapan sendirian di ruang makan dan ia dikagetkan oleh kepulangan Tania, Tamara sangat senang dan ia memeluk Tania dengan erat.“Aku kangen sama kamu Tan.”“Aku juga, kamu baik kan?”Tamara mengangguk, namun ia berubah murung saat ingat masalah Jeni, Tania segera bereaksi untuk bertanya kepada Tamara, “Kenapa kamu tiba-tiba sedih?”“Ayo kita sarapan dulu, aku janji nanti akan cerita semuanya sama kamu Tan.”Tania mengangguk setuju karena perutnya sudah keroncongan akibat perjalanan pagi-pagi menuju ke Jakarta.Mereka sarapan berdua kemudian Tamara menggiring Tania ke kamarnya ketika selesai sarapan.“Ada yang ingin aku ceritain sama kamu Tan, tapi kamu jangan kaget ya?”Tania mengangguk ragu-ragu meski dalam hatinya justru sangat deg-degan.“Ini soal Jeni Tan, jadi ternyat