Home / Romansa / Young Summer / Chapter 4 Summer, Dream Catcher, and Tobias

Share

Chapter 4 Summer, Dream Catcher, and Tobias

Author: Mara Dew
last update Last Updated: 2021-07-22 03:13:52

Kami makan siang di Sidewalk Café, tempat yang populer di Venice Beach. Bangunannya terlihat menonjol dengan tenda merah putih memanjang di bagian depannya. Menjadi satu dengan Sidewalk Café, ada Small World Book, toko buku yang sudah ada sejak tahun 1969. Beberapa kali aku ke sana dan koleksinya sungguh lengkap. Tempat itu benar-benar surga bagi para pecinta buku.

Ada bar yang luas di bagian dalam Sidewalk Café, sementara kursi-kursi untuk pengunjung yang hanya ingin makan berada di bawah tenda, mereka bisa menyantap hidangan sambil melihat-lihat pemandangan boardwalk melalui jendela kaca yang terpasang pada keseluruhan dinding yang menghadap ke jalan. Aku memilih tempat di sebelah jendela. Ketika pelayan datang dan menanyakan pesanan, aku memilih nachos yang ditambah steak dan salad santa fe yang berisi potongan alpukat, jagung manis panggang, irisan tomat, keju, kacang hitam, dan campuran sayuran yang disiram dengan saus buatan sendiri. Sementara Tobias tidak mau dipusingkan dengan menu, dia hanya memesan dua hamburger ukuran besar untuk dirinya sendiri.

Sambil menunggu pesanan, aku melayangkan pandangan ke luar, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Di seberang jalan, tepat lurus dari posisiku duduk ada seorang musisi dengan piano tuanya, memainkan lagu-lagu yang saat ini populer untuk mendapatkan tips dari para turis. Dentingan pianonya terdengar sampai ke dalam café. Aku mengambil gambarnya beberapa, dengan fokus pada dirinya sementara orang-orang di sekitarnya kubuat blur.

“Orang-orang seperti apa yang memesan foto padamu?” tanya Tobias.

“Kebanyakan pemilik blog wisata, atau para penulis artikel lepas yang membutuhkan foto-foto tempat yang akan mereka kupas pada artikelnya.”

“Bagaimana mereka bisa menulis artikel sebuah tempat, jika mereka tidak mengunjungi tempat itu dan hanya meminta seorang fotografer untuk memotret tempat tersebut?”

Aku tersenyum, saat itu pelayan datang membawakan pesanan kami, jadi aku menunggu dia pergi baru kemudian menjawab, “Kau tidak tahu betapa mahir mereka merangkai kata, mereka bisa menyusun berpuluh-puluh paragraf hanya dari beberapa lembar foto dan membuat pembaca merasa berada di tempat yang mereka gambarkan melalui tulisan.”

“Oh, sungguh?”

“Yup,” ucapku yakin sambil mulai memakan keripik tortillaku.

Tobias juga mulai menggigit potongan besar hamburger-nya. Selama makan, kami berbincang-bincang dengan santai. Membicarakn cuaca, pertandingan baseball, demonstrasi-demonstrasi di berbagai tempat, bahkan apa yang menjadi tren di belahan dunia lain pun kita bahas. Tobias ternyata memiliki wawasan yang luas, topik pembicaraan apa pun terasa menyenangkan saat dibahas dengannya.

“Kau mau ikut denganku berkeliling atau mau kembali pada pacarmu itu?” sindirku saat akhirnya perut kami sudah terisi penuh.

“Pacarku?”

“Gadis yang baru saja berdansa denganmu.”

Bibir Tobias setengah melengkung ke atas, manik biru langitnya menatapku dengan sorot menggoda. “Kau masih memikirkan itu rupanya,” gumamnya yang entah apa sebabnya terdengar senang. “Jika ini membuatmu tenang, aku sama sekali tidak tertarik dengan Sara,” lanjutnya percaya diri.

Bola mataku melebar, rasa panas menjalar pada pipiku. “Berengsek kau!” bisikku geli sambil melempar pria di depanku dengan bola tisu.

Dan dia membalasnya dengan kekehan. Meski terselip rasa malu, mau tidak mau aku tersenyum melihat kekonyolannya. Ah, ya! Dia memang konyol.

Sebelum pergi, aku masuk ke bar sebentar, memotret bagian dalamnya. Lalu beranjak keluar diikuti oleh Tobias. Saat sudah berada di luar, tiba-tiba Tobias menyeretku ke tempat pianis yang tadi kupotret.

“Tolong mainkan satu lagu romantis, Sir,” pintanya.

“Hai, Nathan,” sapaku pada si pianis, yang membuat Tobias langsung menoleh padaku sambil mengangkat kedua alisnya.

“Halo, Miss Gale.” Nathan tersenyum menyenangkan.

Nathan seorang musisi tetap di Venice Boardwalk, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, penampilannya lusuh, dan dia seorang homeless. Tapi kemampuannya memainkan piano setara dengan pianis-pianis terkenal yang biasa memainkan pianonya di panggung-panggung konser. Aku sudah mengenalnya sejak beberapa tahun yang lalu.

“Rupanya kau sudah sering ke sini ya?” kata Tobias mengalihkan perhatiannya padaku.

“Ya, tentu saja. Venice Beach selalu jadi tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi. Bukan begitu, Nathan?”

“Betul sekali, Miss,” jawab Nathan masih dengan senyuman. “Anda ke sini untuk liburan atau pekerjaan, Miss?”

“Pekerjaan, Nathan. Aku membawa kamera,” kataku mengacungkan kameraku.

“Ah, ya. Mata saya mulai rabun rupanya.” Dan dia menyambung ucapannya dengan tawa. “Dan….” Pandangan Nathan beralih pada Tobias, Dia agak menelengkan kepalanya.

“Dia Tobias temanku, Tobias Lorran,” ucapku memahami isyarat tubuhnya.

“Teman?” tanya Nathan kembali berpaling padaku, pancaran pada sorot matanya membuatku tersipu.

“Ya, Nathan. Kami ini teman,” ucapku meyakinkan.

Okay, sebuah lagu romantis untuk Miss Gale dan … temannya.” Mata tua Nathan menatapku penuh arti, dan senyuman simpulnya kembali membuatku tersipu.

Jari Nathan dengan lincah menari di atas tuts, menciptakan rangkaian melodi yang kukenali sebagai lagu Sorry milik Justin Bieber. Nada-nada yang jika di musik aslinya terdengar dinamis, saat ini mengalun lembut dan menyentuh. Tobias, entah karena terbawa perasaan atau apa, tangannya menggandengku hangat. Beberapa orang ikut berkerumun bersama kami, menikmati sentuhan nada yang dimainkan Nathan. Dan ketika pria itu menyelesaikan lagunya, kami semua bertepuk tangan dengan gembira. Tobias terlihat senang ketika dia mengeluarkan lembaran lima dolar dari dompetnya dan meletakkannya ke dalam kotak Nathan.

“Permainan yang bagus sekali, Nathan,” katanya.

“Terima kasih, Mr. Lorran. Tuhan memberkati kalian berdua.”

Aku melirik Tobias yang ternyata juga sedang melirikku, dan kami saling melemparkan senyum. Kemudian aku berpamitan pada Nathan.

“Nathan pianis yang hebat,” kata Tobias saat kami berdua sudah jauh darinya. “Apa dia tinggal di sekitar sini?”

“Dia homeless,” bisikku.

Homeless dengan grand piano?”

“Yup, dan buatan Amerika.”

“Wow, aku tidak menyangka.”

Aku hanya tertawa, kemudian membuka tutup lensa kamera dan melanjutkan pekerjaanku. Kali ini Tobias tidak lagi bertanya macam-macam, dia hanya mengikutiku dengan patuh, seperti anak kecil yang menemani ibunya berbelanja. Sekali waktu, aku menemukan dia berdiri di depan salah satu stan, melihat-lihat puluhan dream catcher yang tergantung, rangkaian bulu-bulunya yang berwarna-warni bergerak tak tentu arah karena tertiup oleh angin, menghasilkan bunyi bergemirincing. Aku mengabadikan momen itu tanpa sepengetahuannya.

“Indah bukan?” ucapku berdiri di sampingnya.

“Yeah … mungkin.”

Aku menoleh padanya. “Kupikir kau di sini karena tertarik pada benda ini?”

Tobias mengangkat bahu. “Aku punya satu di rumah, peninggalan ibuku.”

“Oh, wow. Kau menyimpan dream catcher?”

“Ya, tergantung di jendela kamarku.” Tobias menoleh padaku dengan cengiran lebar di wajahnya.

“Wah, aku merasa gagal menjadi wanita,” gurauku pura-pura sedih.

“Aku bisa membelikanmu satu,” kata Tobias sambil memilihkan dream catcher yang tergantung di atasnya, kemudian mengambil satu yang memiliki warna paling indah, perpaduan warna-warna lembut bergradasi. Dia membayar benda itu dan memberikannya padaku.

“Wah, kau baik sekali. Terima kasih,” kataku sambil tertawa. Rasanya lucu sekali aku memiliki benda seperti ini, karena sebenarnya aku tipe wanita praktis dan bukannya romantis.

“Terima kasih kembali,” sahut Tobias menyeringai. Seolah-olah tahu apa yang ada di pikiranku.

Penjual dream catcher memberiku kantong kertas, aku menerimanya, memasukkan benda yang baru saja diberikan Tobias dan menyimpannya di dalam ranselku.

“Hati-hati, kau bisa merusak bulu-bulunya.”

“Aku sudah hati-hati.”

Kami berjalan lagi menyusuri boardwalk, melewati seorang pria yang berpenampilan bagai seniman jalanan sedang membacakan puisi, Tobias melemparkan koin ke box yang tergeletak tidak jauh dari penyair itu. Kemudian kami melewati kerumunan orang sedang menonton pemain akrobat yang melakukan atraksi bersepeda sambil menyemburkan api, aku memotret kerumunan itu, kemudian berlari ke sisi yang lain agar bisa memotret para pemain akrobat itu.

“Atraksi yang luar biasa,” kataku ketika sudah berada di samping Tobias lagi. Pria itu hanya terkekeh. “Venice Beach dan musim panas, benar-benar cocok.”

Kami berjalan lagi. Aku melirik Tobias, diam-diam berpikir, bukan hanya Venice Beach yang cocok dengan musim panas, pria di sampingku juga. Jika musim panas adalah manusia, Tobias adalah gambaran yang pas untuk musim panas itu. Hangat, dinamis, dan memiliki semangat layaknya jiwa-jiwa muda.

Tobias Lorran dan musim panas … mereka cocok sekali.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
De Legrants
not bad lah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Young Summer   Extra Chapter Wedding Day

    Jika musim panas menggambarkan keceriaan, musim gugur adalah bagian romantisnya. Jadi mengadakan pesta pernikahan pada saat musim gugur, kenapa tidak?Kami membicarakan pernikahan secepat putaran jarum jam. Gaun, tempat,catering, disiapkan dengan mendadak. Semua ikut berperan, teman-teman kami, para sepupuku, bahkan kedua orangtuaku ikut antusias menyiapkan pesta pernikahan kami.Mengenai ayahku, mata hatinya telah terbuka begitu melihat perjuangan Tobias dalam mendapatkan restunya.Dadmenyadari, pria yang mau berjuang sedemikian rupa bukan hanya untuk wanitanya, tapi juga demi ayah si wanita adalah pria yang pantas untuk sang putri. Dia mengatakan hal tersebut padaku. Dan aku dengan rasa bangga, memeluknya penuh kasih sayang.Jadi di sinilah kami sekarang, di sebuah lahan kosong milik pamanku yang sudah disulap menjadi tempat pernikahan paling romantis sedunia. Dikelilingi pepohonan yang daunnya sudah berubah warna. Angin lemb

  • Young Summer   Extra Chapter Let's Get Married

    Tobias sembuh dengan cepat. Dia masih haruscheck upbeberapa kali setelah keluar dari rumah sakit, tapi semua hasilnya sangat memuaskan. Dokter menyatakan Tobias telah sembuh total. Tidak ada dampak buruk pada tubuhnya akibat luka tembak kemarin kecuali bekas luka operasi pada bagian atas telinga kanannya. Walau menurutku itu sama sekali bukan sesuatu yang buruk, Tobias terlihat lebih seksi dengan bekas luka itu.Hari terakhir di rumah sakit, Tobias melamarku. Sama sekali bukan lamaran yang romantis, entah siapa yang merencanakan ide konyol itu.Pagi itu perban yang membebat kepala Tobias akan dibuka. Aku agak cemas karena mengkhawatirkan lukanya, tapi dia malah menertawakan kecemasanku. Seolah hal tersebut memang pantas ditertawakan seperti sebuah permainan.“Aku mencemaskanmu dan kau malah menertawakanku,” gerutuku sebal. Sementara dia berusaha menahan senyumnya.“Maaf, NB. Aku tidak bermaksud,” katanya, terli

  • Young Summer   Chapter 30 Waking Sun

    Hari kesembilan belas Tobias terbaring koma.Aku bangun pagi-pagi sekali bahkan sebelum matahari terbit. Sinar matahari musim gugur memang tidak sehangat matahari musim panas, tapi itu tidak menjadikanku bermalas-malasan. Apalagi hari ini adalah hari besar, siang nanti aku ada janji dengan agen properti. Ada sebuah rumah yang kriterianya sesuai dengan keinginanku dan aku ingin melihatnya.Saat sedang menggosok gigi, ponselku berdering. Aku segera berkumur dan langsung mencuci muka, mengelapnya dengan handuk, lalu buru-buru kembali ke kamar untuk menjawab panggilan.“Halo ... ya, benar ... apa? ... Anda serius? ... Baik, saya akan segera ke sana.”Panggilan terputus, aku mendekap telepon genggamku di depan dada dengan perasaan tidak percaya. Sesaat otakku membeku, begitu juga dengan tubuhku yang tidak bisa bergerak. Namun kebalikannya, jantungku justru berdegup sangat kencang.Dan ketika kesadaranku kembali, tidak ada yang ingin

  • Young Summer   Chapter 29 Autumn Sadness

    Dua minggu sudah Tobias terbaring dalam keadaan koma. Namun belum ada tanda-tanda dia akan segera sadar. Seperti biasa hari ini aku duduk di samping Tobias sambil menggenggam tangannya, hal yang selalu kulakukan setiap kali aku berkunjung.“Hai, Tobias ... apa kabarmu hari ini?” bisikku lembut setelah mencium keningnya. Kutatap wajahnya yang terlihat damai, perasaan sedih yang selalu kurasakan saat melihatnya timbul kembali.“Kau tahu? Kemarin aku mengunjungi Laila, dia terlihat bahagia di tempatnya yang sekarang.” Sejak Tobias dirawat di rumah sakit, Laila memutuskan untuk tinggal di panti jompo. Sebenarnya aku mengajak dia tinggal bersamaku, tapi dengan sopan wanita tua itu menolaknya. Katanya dia tidak terlalu suka tinggal di gedung apartemen, terasa seperti bukan di rumah saja.“Dia masih sedih karena kamu belum bangun juga, tapi dia memiliki banyak teman yang menghiburnya di sana,” aku meneruskan. “Dia merindukanmu,

  • Young Summer   Chapter 28 Between Life and Death

    Aku melihatnya, terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan peralatan medis yang menempel pada tubuhnya. Rasanya tidak percaya melihat Tobias yang ceria dan penuh semangat kini terkapar tak berdaya, tanpa ada tanda kehidupan kecuali grafik pada layarbedsidemonitor.Dokter memberi tahu kami bahwa mereka berhasil mengeluarkan peluru dari kepala Tobias, tapi meski begitu mereka tidak bisa menjanjikan kondisinya akan semakin membaik. Saat ini Tobias dalam keadaan koma, dan pihak rumah sakit tidak bisa melakukan tindakan apa pun kecuali perawatan.Berapa lama Tobias akan koma? Tidak ada yang bisa memastikan. Bisa hanya beberapa hari, minggu, bulan, tahun, atau yang terburuk, tidak pernah terbangun sama sekali.Sesuatu yang berat terasa menghantam jantungku, rasa sakit sekaligus sesak membuatku susah bernapas sehingga dadaku terasa membengkak. Membayangkan Tobias tidak pernah terbangun lagi ... itu adalah mimpi terburuk buatku.Aku melangk

  • Young Summer   Chapter 27 He's a Fighter

    Tanganku yang memegang roda kemudi tidak bisa berhenti gemetar, air mata yang terus mengalir kuusap berkali-kali agar tidak mengaburkan pandangan. Aku berusaha tenang, menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan teratur. Namun suara Elian terus menggema dalam otakku.Tobias tertembak, Emily. Tobias tertembak!Ya, Tuhan … bagaimana dia bisa tertembak?! Itu pertandingan MMA, bukan kompetisi menembak!Mobilku meluncur kencang membelah jalan raya, melewati entah berapa mobil, aku hanya ingin cepat sampai rumah sakit tempat Tobias ditangani. Menemuinya; mengetahui dia baik-baik saja. Namun apakah dia baik-baik saja?Pertanyaan itu sungguh mengganggu, sayangnya saat menelepon tadi, Elian tidak menceritakan apa-apa, dia hanya memintaku cepat ke sana. Aku hanya bisa berharap tidak ada hal buruk yang terjadi padanya, oh Tuhan ... aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai terjadi sesuatu dengannya.Saat harus berhenti ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status