Pantai penuh dengan parade manusia sepanjang Venice Beach Boardwalk, seolah-olah semua penduduk Los Angeles tumpah di tempat ini. Tapi memang musim panas selalu menjadi alasan tepat untuk mengunjungi pantai, apalagi di akhir pekan seperti sekarang. Aku dan Tobias berada di tengah-tengah parade tersebut. Sepanjang jalan satu setengah mil yang di kedua sisinya dipenuhi berbagai kedai, toko, dan stan yang memajang suvenir serta pernak-pernik yang menarik itu, Tobias menggandengku. Tangannya menggenggam tanganku erat namun lembut. Tanpa pria itu menyadari perbuatannya membuat jantungku berdebar tidak karuan.
Mendekati pantai, aku melepaskan gandengan tangannya tanpa memperhatikan pria itu, berpura-pura apa yang kulakukan hanyalah merupakan gerakan reflek untuk menyiapkan kameraku. Meski begitu, aku merasakan tatapannya dari balik bahuku.
Melihat apa yang terpampang di depanku, aku melupakan gemuruh perasaan yang sempat menyerbuku akibat genggaman tangan Tobias tadi. Kawasan bohemian yang tidak pernah membosankan. Penuh dengan sinar matahari yang hangat dan menyenangkan, juga para seniman yang mempertontonkan keahlian mereka.
Aku memotret para pemain skateboard bertelanjang dada yang beraksi, mengambil dari beberapa sudut.
“Jadi, kau ke sini untuk memotret mereka?” ledek Tobias, ada nada geli di suaranya.
“Ini permintaan pelanggan,” sahutku acuh.
“Permintaan pelanggan? Sejak kapan seorang reporter mempunyai pelanggan?”
Aku berhenti memotret. “Ini untuk pekerjaanku yang satunya,” jelasku, kemudian membidikkan kameraku lagi, mencoba sudut pandang dari sisi lain.
Begitu aku menemukan posisi yang tepat dan siap menekan shutter, Tobias kembali mengganggu dengan pertanyaannya.
“Kau punya pekerjaan lain? Apa itu?”
Aku menghela napas, konsentrasiku terganggu sudah. Sambil berbalik dan dengan agak kesal aku menjawab, “Freelance photographer. Sekarang bisakah kau diam dulu dan biarkan aku bekerja?”
Tobias tersenyum lebar. “Okay,” katanya. “Lakukan pekerjaanmu aku akan menunggu di sana.” Dia menunjuk kerumunan orang yang membentuk lingkaran, beberapa di antara mereka menabuh drum.
Setiap Sabtu dan Minggu di Venice Beach ada atraksi tidak resmi, namun terkenal hingga ke manca negara yang biasa disebut Venice Beach Drum Circle. Tempat atraksi itu berada di tepi pantai, di ujung Venice Beach Boardwalk dan Brooks Avenue. Puluhan atau bahkan mungkin ratusan orang berkumpul membawa alat musik perkusi seperti drum, conga, atau shaker, bermain musik dan berdansa sampai matahari terbenam. Aku pernah meliput acara itu tahun kemarin.
“Okay, pergilah. Nanti aku menyusul.”
Tobias segera berlari menuju kerumunan itu, dia berbalik sekali sambil melambaikan tangan padaku dan meneriakkan sesuatu. Aku memberikan isyarat bahwa aku tidak bisa mendengarnya, lalu kembali fokus dengan pekerjaanku.
Saat aku sudah selesai memotret dan bersiap menyusul Tobias, pemuda bertelanjang dada yang tadi sempat kufoto menghentikan aksinya dan menghampiriku.
“Hai,” sapanya tersenyum ramah, dia menenteng skateboard nya dengan tangan kiri.
“Halo.”
“Kau turis atau fotografer?”
“Fotografer,” jawabku pendek sambil menutup lensa kamera, kemudian menoleh pada pemuda di sampingku. “Permainanmu bagus sekali,” pujiku.
Dia terlihat senang. “Aku Paul,” katanya mengulurkan tangan.
“Emmily,” sahutku sambil menjabatnya.
Suara riuh di antara kerumunan pertunjukan Circle Drum menarik perhatianku. Dari kejauhan, di antara orang-orang yang menabuh drum, aku melihat Tobias sedang berdansa dengan seorang wanita.
“Temanmu sedang bersenang-senang rupanya,” kekeh Paul. Sepertinya dia tahu aku datang bersama Tobias. “Dia pacarmu?”
Aku mengangkat bahu tak acuh. “Bukan, hanya teman.”
“Wah, sepertinya Sara mendapatkan mangsanya hari ini.”
Aku melirik Paul tajam. “Sara?”
“Wanita yang berdansa dengan temanmu, dia temanku,” jelasnya menoleh padaku dan tersenyum. “Mungkin malam ini temanmu akan sibuk dengan Sara, aku bisa menemanimu jika kau tidak keberatan.”
Fuckin’ damn! Entah kenapa aku tidak suka mendengar ide itu.
“Oh, kami tidak menginap.”
Paul diam, pandangannya lurus ke arah Tobias dan Sara. Lalu dia berkata, “Oh, tapi sepertinya kalian akan menginap. Kau lihat mereka?” Ujung dagunya menunjuk dua insan yang juga sedang menjadi perhatianku.
Mereka berdua berdansa dengan sangat intim. Aku tidak suka melihat Tobias memegang panggul Sara yang sedang bergoyang dinamis di depannya. Tapi pasti bukan karena aku cemburu. Aku seornag feminisme sejati, dan aku sungguh-sungguh kasihan kepada para gadis yang mau berdekatan secara intim dengan pria yang baru dikenalnya. Mereka tidak tahu orang-orang akan menganggapnya murahan.
“Kau mau berdansa juga? Kita bisa bergabung dengan mereka.”
Dada yang terbakar membuatku mengangguk, menyetujui usul Paul. Dia langsung meletakkan skateboard-nya di atas pasir begitu saja dan menyeretku ke arah lingkaran.
Ada berbagai macam orang yang berkumpul di sini, tua, muda, yang berpakaian mahal, yang mengenakan baju kumal, semua bergembira. Suara-suara yang dihasilkan alat musiknya memang terdengar energik, membuat siapa saja ingin menggoyangkan kaki mereka. Termasuk diriku. Paul menjadi pasangan menariku, pemuda itu cukup sopan. Kami menari dengan saling menjaga jarak. Tidak seperti Sara yang makin merapat pada Tobias. Beberapa kali aku memergoki Tobias menatapku, aku mengabaikannya, toh dia sedang asyik bersama Sara. Hingga pada satu kesempatan, seseorang tidak sengaja menabrakku, aku kehilangan keseimbangan dan tersungkur ke depan, untungnya Paul dengan tangkas menangkapku. Posisiku saat itu berada dalam pelukan pemuda itu. Namun bahkan sebelum aku menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, Tobias sudah menarikku menjauh dari Paul.
“Sorry, Dude, boleh kuminta lagi pasanganku,” katanya ramah tapi tajam.
“Well, silakan.” Paul mengangkat kedua bahunya. Dia mundur dengan teratur, lalu kulihat dia mendekati Sara dan menari lagi bersama gadis itu.
Aku melirik Tobias sebal. “Ada apa denganmu?” ketusku, dengan langkah menghentak, menjauh dari Tobias.
Pria itu mengikutiku dari belakang.
“Hey, kau marah?”
“Tidak!” seruku tanpa menoleh.
“Bagaimana pekerjaanmu, sudah selesai?”
“Belum.”
Aku mendengar dia berlari, dan meraih tanganku saat kami sudah berdampingan. “Kalau begitu mari kita selesaikan. Apa lagi yang harus kau potret?”
“Tidak usah,” jawabku datar, melepaskan tanganku darinya. “Aku bisa sendiri, kau menari saja lagi dengan kenalanmu itu.”
Tobias diam, dari sudut mataku aku bisa melihatnya tersenyum. “Jadi begitu?” ujarnya kalem.
Aku tidak mau ada kesalahpahaman, kuhentikan langkah dan berbalik menghadapnya. “Apa?” tanyaku meminta penjelasan.
Tapi pria di depanku hanya mengangkat bahu sambil tersenyum misterius.
“Apa yang kau pikirkan?”
“Bukan apa-apa. Sudahlah, lupakan. Mari makan sesuatu dan nanti kau lanjutkan lagi pekerjaanmu,” bujuknya kembali meraih tanganku. Kali ini dia menggenggamnya erat sehingga aku tidak bisa melepaskannya.
“Jangan berpikir macam-macam ya, aku tidak suka itu,” sungutku dambil mengikuti langkahnya.
Tobias terkekeh. “Memangnya apa yang kupikirkan?”
“Sesuatu yang kau pikir menggelikan.”
“Dan apakah itu?”
Aku mengarahkan bola mata ke atas, menyebalkan sekali pria ini. Aku tahu dia pasti mengerti apa yang kumaksud. Dia pikir aku cemburu pada Sara, padahal itu sama sekali tidak benar. Kutekankan sekali lagi, sama sekali tidak benar!
Bersambung
Kami makan siang di Sidewalk Café, tempat yang populer di Venice Beach. Bangunannya terlihat menonjol dengan tenda merah putih memanjang di bagian depannya. Menjadi satu dengan Sidewalk Café, ada Small World Book, toko buku yang sudah ada sejak tahun 1969. Beberapa kali aku ke sana dan koleksinya sungguh lengkap. Tempat itu benar-benar surga bagi para pecinta buku.Ada bar yang luas di bagian dalam Sidewalk Café, sementara kursi-kursi untuk pengunjung yang hanya ingin makan berada di bawah tenda, mereka bisa menyantap hidangan sambil melihat-lihat pemandangan boardwalk melalui jendela kaca yang terpasang pada keseluruhan dinding yang menghadap ke jalan. Aku memilih tempat di sebelah jendela. Ketika pelayan datang dan menanyakan pesanan, aku memilih nachos yang ditambah steak dan salad santa fe yang berisi potongan alpukat, jagung manis panggang, irisan tomat, keju, kacang hitam, dan campuran sayuran yang disiram dengan
“Sorry, Em.” Suara Tobias terdengar menyesal. Aku mendesah, meski merasa sangat kesal aku tidak bisa menyalahkan pria ini. Tadi aku baru selesai memotret kembali para pemain skateboard dengan latar belakang sunset ketika menyadari waktu sudah menunjukkan pukul 20.16 pm. Lalu aku memutuskan untuk memotret anak-anak muda yang sedang bermain basket dan langsung pulang. Sebelum aku beranjak ke lapangan basket, aku meminta Tobias mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir dan menungguku di persimpangan jalan. Namun ternyata, saat pria itu muncul di tempat yang sudah kita janjikan, dia tidak membawa kendarannya. “Mobilku mogok,” lapornya. Dan sekarang, di sinilah kami berada. Duduk di tepi pantai yang sudah mulai sunyi, memperhatikan matahari yang perlahan-lahan masuk ke peraduannya. “Mobil tua sialan!” umpat Tobias untuk yang kesekian kalinya. Aku meliriknya, melihat ekspresi wajahnya yang memendam perasaan tidak enak, aku merasa ib
Aku melirik diriku sendiri melalui kaca spion di atas dashboard. Lihat! Wajah kusut bangun tidur, rambut acak-acakan, dan bibir bengkak karena terlalu banyak dicium. Belum lagi stelan kaos super tipis yang aku kenakan. Sialan! Tidak bisakah Tobias membelikanku pakaian yang jauh lebih baik daripada ini? Kulirik sebal pria bertelanjang dada yang masih duduk di sampingku. Dan lihat, dia bahkan tidak membeli apa pun untuk menutupi tubuh bagian atasnya. Tobias menatapku dengan pandangan menyesal sekaligus geli. “Bagaimana lagi? Hanya itu yang aku temukan, toko lain belum ada yang buka,” katanya sambil mengangkat bahu, mengerti sekali apa yang aku pikirkan. “Lalu kenapa kau tidak membeli untuk dirimu sendiri?” Pria yang kutanya hanya mengangkat bahu. “Untuk apa? Tidak ada yang perlu ditutup pada tubuh bagian atasku,” ujarnya mengedipkan sebelah mata. Bibirku mengerucut, ada satu hal lagi yang menggangguku. Dengan hilangnya semua pakaian yan
Belum pernah kurasakan kenyamanan seperti ini selama tujuh tahun terakhir, bahkan aku hampir lupa rasanya. Begitu menenangkan dan menyenangkan. Dalam situasiku yang saat ini berada di antara kondisi terjaga dan tertidur, semua indraku terasa semakin sensitif. Aku merasa selimut yang menutupiku menjadi lebih lembut dan lebih wangi. Juga tempat tidurnya yang lebih hangat. Selama beberapa saat aku menikmati keadaan tersebut, lalu kesadaran mulai menghampiriku perlahan-lahan.Hal yang pertama kali kurasakan saat sudah sepenuhnya terjaga adalah tangan besar yang melingkari pinggangku, kemudian dagu bercambang yang menempel pada pipiku. Aku tersenyum, mengingat kejadian-kejadian yang terjadi selama 24 jam terakhir. Pelan-pelan aku berbalik menghadap Tobias, wajah kami saling berhadapan. Dia begitu tampan, ekspresinya tenang seperti malaikat yang sedang tertidur.Pandangan mataku jatuh ke dada Tobias, baru menyadari jika dia memiliki tato yang tersambung ke lengannya. Tato be
“Jadi sekarang kau dekat dengan Tobias?” tanya Eli sambil membuka microwave dan mengeluarkan sewadah popcorn dari dalamnya, membawa ke sofa ruang tengah. Aku mengikutinya. “Menurutmu?” tanyaku tak acuh, duduk di samping Elian yang sedang memindah-mindah channel televisi melalui remote. “Yeah … memergoki apa yang kalian lakukan tadi, aku yakin kalian sudah menghabiskan malam yang menyenangkan.” Aku memukul kepala Elian dengan bantal kursi. “Awas kalau kau berani menceritakan hal itu pada yang lain. Yang kumaksud “yang lain” di sini adalah para sepupuku selain Elian. “Sebenarnya aku justru sedikit lega,” ucap Elian tanpa memedulikan ancamanku. Dia mengunyah popcorn-nya dengan santai. “Dan … apa yang membuatmu merasa lega?” “Aku sempat khawatir kau tidak akan bisa move on dari Adrian.” “Oh, please … aku bahkan sudah move on darinya sejak memergoki dia berselin
Beberapa hari ini aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Sebenarnya, berusaha mengingkari jika aku sudah mengencani pria yang usianya sembilan tahun lebih muda dariku. Kuabaikan panggilan dan pesan-pesan yang dikirim Tobias. Aku ingin menjauh darinya, melupakan dia kalau bisa. Karena aku yakin hubungan kami tidak akan berhasil. Bahkan saat di apartemen pun aku tidak ingin berhenti, sedetik saja aku tidak beraktivitas, bayangan Tobias selalu menghampiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.21, seperti biasa mataku belum ingin terpejam, tapi semua pekerjaanku sudah beres. Baiklah, aku akan menghabiskan malam dengan membaca atau menonton film horor, hal tersebut selalu berhasil mengalihkan pikiranku. Aku mematikan laptop dan pergi ke kamar mandi untuk menyikat gigi. Selesai menyikat gigi aku menatap cermin, melihat seorang wanita dewasa dengan rambut blonde yang tergelung asal, mengenakan kaos kebesaran dan celana pendek. Sorot matanya memancarkan rasa sepi. Yah ... aku
Lima belas hari ini aku benar-benar merasa seperti mayat hidup, menjalani aktivitas tanpa hati. Satu bulan yang lalu aku baik-baik saja, tapi sekarang semuanya terasa kacau. Aku tidak percaya, pria muda itu sudah begitu memengaruhiku, meski dengan benteng yang sudah kubangun selama tujuh tahun. “Em, dipanggil Bos!” seru Andrew salah satu rekan kerjaku. Aku mengerang lelah. “Ada apa lagi?” desahku. Sudah kelima kali ini dia memanggilku. “Kulihat dia sangat ingin memakanmu,” cengir Andrew. Aku membungkam Andrew dengan lirikan yang mematikan, berdiri dari kursiku sambil meraih sebuah map dan segera menuju ruang kerja atasanku. Baxter tua yang biasanya memiliki wajah ramah kini tampak masam saat aku melongokkan kepala di pintu ruang kerjanya yang terbuka. Aku mengetuk pintunya pelan meski dia sudah melihatku. “Kau memanggilku, Bos?” tanyaku santai. “Masuklah, Emily!” serunya pelan. Aku melangkah mendekatinya. “Duduk
Meski sudah terbiasa melihat Tobias di dapurku, tetap saja jantungku berdesir setiap menyaksikan kekasihku itu memasak. Apalagi sekarang dia bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana panjangnya. Dalam keadaaan seperti ini aku cuma bisa duduk sambil memandangi pria itu, mengkhayalkan membenamkan wajahku di dadanya, mungkin bermain dengan sedikit jilatan. Oh, Tuhan … sepertinya aku sudah kecanduan Tobias. Tarikan napasku sepertinya menarik perhatian pria itu, dia menoleh dan bertanya, “Kenapa?” Aku menggeleng. “Aku hanya tidak habis pikir, kenapa Tuhan menciptakanmu dengan segala keindahan yang ada pada tubuhmu,” gumamku melantur. Tobias yang sedang mengocok telur menghentikan aktivitasnya. Dia berbalik dan bersandar pada meja dapur sambil bersedekap. Pada bibirnya tersungging senyum tipis yang menyiratkan rasa geli. “Aku bertanya-tanya, apa Tuhan sedang sangat bahagia ketika menciptakanmu? Hingga terbentuk sesosok makhluk cantik yang luar biasa seksi,” bal