Share

2. Where is the father?

Dunia memang kejam. Gadis 21 tahun itu sangat mengerti apa makna dari kalimat itu. Sangat menyebalkan jika dia harus bertemu dengan seseorang yang selalu membanggakan kehidupannya yang sangat menyenangkan, kemudian membawa nama orang tua yang terdengar sangat memuakkan. Karina bertanya-tanya, apakah semua kebahagiaan itu bersumber dari orang tua? Lalu apa kabar dengan anak-anak yang nakal dan tidak bisa diatur yang masih mempunyai orang tua lengkap.

Karina merasa ada yang salah dengan dunia ini. Dia paham kenapa saat dia sekolah dulu banyak yang meremehkan dan mengucilkannya. Alsan yang terdengar tidak masuk akal dan tidak dapat di terima. Katanya, dia adalah anak pembawa sial yang membuat kedua orang tuanya mati bersamaan. Heol, Karina merotasikan bolanya malas saat mendengar perkataan seperti itu.

Dulu sewaktu dia mendengar ada yang mengatainya sebagai anak pembawa sial, dia tidak segan-segan akan memukul dan memberikan minimal satu bekas luka pada orang tersebut. Tidak peduli apakah mereka laki-laki atau perempuan.

Dia tidak suka di remehkan dan membuat forum seolah dia adalah salah satu anak-anak lemah yang harus di kasihani. Ck, Karina seolah terlempar pada saat dia masih sekolah menengah. Semua teman-temannya memberikan tatapan kasihan yang penuh pengejekan. Mereka berfikir akan membuat Karina menjadi seseorang yang membutuhkan mereka dalam setiap hal. Hanya karena keterangan tentang kedua orang tua yang telah tiada, Karina tidak sudi merasakan kasih sayang palsu mereka.

Seperti saat ini, Karina baru saja menyelesaikan ujiannya lebih dahulu dari pada yang lain. Dia berjalan perlahan menelusuri trotoar menuju gedung universitas lain yang memiliki kantin lebih baik. Dia lapar dan ingin memberikan tubuhnya sebuah nutrisi.

Saat mengingat wajah Aron yang meminta bantuannya tentang soal yang susah, membuat Karina tersenyum tertahan. Oh, ayolah itu semua kan salah dia juga. Kenapa dia harus berkencan dengan Chelsy saat besok akan ujian. Ternyata itu alasan yang lain kenapa menolak ajakan menginapnya.

“Hey? Karina, ya?”

Karina menghentikan langkahnya saat akan menuju pusat kantin, dia menatap datar siapa yang sedang menyapanya tersebut. Dia adalah kawan sekelas Karina selama 3 tahun di sekolah menengah atas, kalau tidak salah ingat namanya Floe.

“Wah, tidak aku sangka kita akan bertemu lagi, kamu masih ingat aku kan? Aku Floe,” ucap gadis dengan wajah ceria. Saat dia akan memeluk Karina, gadis itu menahan pergerakannya.

Karina berdeham, “Maaf, aku tidak bermaksud untuk hal itu.”

“Iya, iya aku tahu. Santai aja,” tawa gadis itu sedikit menyakiti telinga Karina.

“Kalau tidak ada yang ingin di ucapkan, aku akan pergi.”

“Ei,” cegahnya sembari memegang pergelangan tangan Karina. “Jangan pergi dulu, lah. Kamu mau pesan makanan di kantin ini, kan? Bareng aja kalau gitu.”

Karina malas berdebat dan tidak sedang ingin membuka mulut untuk hal yang tidak terlalu penting. Jadi, saat Floe menarik dirinya untuk bersama memesan makanan dia hanya bisa menurut dan mengikuti langkah gadis berambut pirang itu.

...

“Ah, jadi kamu ambil jurusan Psikologi? Aku kira kamu ambil management bisnis untuk meneruskan perusahaan mendiang Ayahmu.”

Dari segala ocehan Floe yang tidak ia tanggapi, kalimat barusan seakan menampar dirinya. Karina mengangkat wajahnya dan menatap Floe dengan tatapan tajam. Sejak dia berkuliah tidak ada yang mengetahui jika dia adalah anak yatim piatu , bahkan ke lima temannya hanya mengetahui jika kedua orang tua Karina ada di luar negeri.

“Apa yang kamu katakan, Floe? Jangan berbicara yang macam-macam tentang hal itu,” tandasnya dengan rasa tidak suka yang menyeruak tinggi. Dia bahkan tidak segan memberikan tatapan tajam pada gadis bule itu.

Floe menegedipkan matanya cepat. Dia turunkan kedua tangannya yang ada di ambang udara, dia bergerak gelisah di tempatnya. “Apakah aku mengatakan hal yang salah, Karina? Kalau iya, aku minta maaf,” ucapnya takut.

Karina menghela napas, seharusnya dia tidak bersikap berlebihan pada seseorang yang tidak tahu menahu tentang rahasianya. “Tidak, lupakan saja.”

Mendengar perkataan dari Karina membuat Floe tidak enak. Niatnya hanya untuk menyapa kawan lamanya yang sama sekali tidak pernah datang pada reuni kelas, dan hal itu sedikit membuat dia penasaran kenapa Karina tidak pernah datang. Dan saat mereka tidak sengaja bertemu di kantin Ilmu Pendidikan membuat dia tidak sadar telah berbuat berlebihan.

Dia ingat jika Karina adalah tipe penyendiri yang suka menyelesaikan kerja kelompok sendirian. Selama tiga tahun Floe merasa Karina adalah seseorang yang baik, hanya saja sesuatu membuat dia menjadi seorang yang sarkas dan tidak pedulian. “Maaf, aku benar-benar minta maaf. Aku berjanji tidak akan berkata seperti itu lagi kok. Walau aku juga tidak tahu tentang apa yang salah dari perkataanku.”

Kejujuran dari Floe membuat Karina merasa bersalah. Dia telah memarahi seseorang yang jelas-jelas tidak tahu apapun. Tapi, tetap saja. Jika ada yang mengetahui apa yang selama ini dia sembunyikan, akan menjadi bomerang bagi dirinya sendiri.  “Hah, lupakan tentang hal itu. Bagaiman kabar kamu?”

Binar senang muncul di mata Floe, gadis itu langsung memajukan tempat duduknya semakin mendekat pada Karina yang ada di bangku seberang. “Baik, sangat baik. Tapi ya gitu, pendidikan ternyata susah ya. Aku sampai mau nyerah aja, tapi Papa bilang buat kuatin dulu. Duh, aku curhat sama kamu. Maaf, ya.”

Dengusan kecil Karina keluarkan, teman satu kelasnya ini masih tidak berubah. Banyak bicara dan sedikit terlihat menggemaskan. Oke, untuk yang terakhir itu memang sebuah kebenaran. Karina ingat seberapa bencinya masa-masa SMA, tapi dia tidak akan bisa melupakan Floe, yang selalu menganggunya dengan seenaknya. Mengajaknya bekerja kelompok bersama, hingga hunting. Tapi, Karina menolak semua itu.

“Curhat sesekali tidak apa-apa. Meskipun itu sedikit membuat risih, tapi kalau tempatnya benar itu tidak masalah,” ucap Karina datar dengan menyeruput es tehnya, setelah menelan nasi gorengnya. Makananya telah habis sedangkan soto milik Floe belum berurang sedikitpun kecuali nasi yang tinggal setengah.

“Wah, Karina sudah sangat bijak ya. Sekarang juga sudah banyak bicara, kalau dari dulu kamu kayak gini, pasti banyak yang ingin berteman. Termasuk aku, kamu nggak papa, kan?” tanya Floe dengan mata biru yang semakin bersinar dan hal itu membuat Karina menatapnya malas.

Dia sedang tidak mengerti dengan keadaan psikisnya yang semakin lama semakin rusak. Gadis itu juga tidak ingin membuat orang lain menyelami dirinya seenaknya dan membat dia merasa di control. Apapun itu, termasuk seorang teman. “Mungkin ini semua karena aku belajar ilmu pengembangan diri dari jurusanku.”

“Iya, ya. Sayang sekali, Karina mengambil jurusan Psikologi, bukan Management bisnis atau  Hubungan Internasional. Lalu yang nerusin perusahaan Ayah kamu siapa?”

“Ayah siapa?”

Dari belakang terdengar suara yang sangat familiar bagi Karina. Saat dia berbalik sudah ada Aron dan Chelsy yang menggelayut manja di lengan laki-laki itu. “Kok pada berhenti bicara?” tanya Chelsy sembari mendudukkan dirinya di samping Karina.

Karina bisa merasakan tubuhnya membeku. Tidak, jangan sampai teman-temannya mengetahui hal itu dan membuat dia seolah seseorang yang sangat menyedihkan. Dia menatap Floe yang menatap Aron dengan pandangan memuja, sama sekali tidak memperhatikan Karina yang memberi peringatan dari arahan mata.

“Ayah Karina, lah. Kan beliau udah-“

“Floe, katanya punya kelas lain ya, sekarang?”

Floe menoleh cepat pada Karina. Melihat Karina yang seolah menahan sesuatu membuat dia sedikit bingung ingin menjawab apa. Namun, Aron terlebih dahulu menyambar perkataan.

“Ayah Karina udah pulang dari perjalanan bisnis, ya?”

Pertayaan itu membuat Floe membuka matanya lebar-lebar. Dia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh laki-laki tampan di sampingnya ini. Bukankah ayah Karina telah tiada, lalu perjalanan bisnis itu apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status