Share

3. Ah, a lie.

Kebohongan yang telah ada dalam hidupnya dalam beberapa tahun ini, rasanya tidak lucu jika tiba-tiba semuanya terbongkar dan berakhir begitu saja. Apalagi hanya karena seseorang yang telah lama mengenal dirinya, yang seenaknya membuka mulut dengan lancang. Dia tidak suka hal itu. Tapi, memangnya apa yang bisa dia perbuat selain menatap was-was pada gadis di depannya ini?

“Hey, kok malah bengong sih,” tegur Aron dengan mendudukkan dirinya di samping Floe yang masih menatap ia dengan tatapan terpesona. Senyum licik langsung terpatri di wajah Aron, dia sedikit melirik pada tunangannya yang ada di samping Karina. Dia yakin pesonanya sebagai pemimpin geng motor yang paling di segani oleh anak-anak kampus, tidak akan pernah luntur dan hal itu membuat dia yakin kalau Chelsy pasti akan merasa cemburu.

Tapi dia salah, gadis seumuran dengan dia itu malah sibuk dengan es teh milik Karina dan ponsel mahal milik Karina juga. Saat itu juga senyum miliknya langsung turun, kemudian dia memandang kembali pada Floe yang masih betah menatapnya. “Hey, jangan melihatku seperti itu.”

“Kenapa? Nggak boleh ya? Kalau minta nomornya, boleh?”

Pertanyaan dari Floe membuat Karina menurunkan wajah tegangnya, dia melirik Chelsy yang masih mengutak-atik ponsel pintar miliknya. Seperti biasa, gadis itu sama seklai tidak peduli apakah ada yang menggoda tunangannya atau mengajaknya kencan sekalipun. Karina tidak tahu apa yang dipikirkan gadis yang lebih tua darinya itu.

“Hey, hey, hey. Kamu tidak lihat, tunaganku ada di depanmu,” jawab Aron dengan senyum kecil. Dia menempatkan lengannya di atas sandaran kursi kantin dengan mata yang memberi araan pada Chelsy yang masih sibuk di depannya.

“Eh?” Floe merasa salah tingkah. Dia menggaruk rambutnya yang tidak gatal, dia menatap Chelsy yang kini menatap dirinya dengan senyum cantik, yang sangat cantik. Tiba-tiba dia merasa kecil, apalagi jika melihat pakaian apa saja yang di pakai oleh gadis itu. Pakaian bermerk yang terlihat sangat mahal, meskipun pakaian miliknya juga mahal, namun harganya pasti lebih rendah dari pada gadis di depannya ini. “A, a, maaf. Maaf, kan aku. Aku sungguh tidak bermaksud untuk menggoda tunanganmu.”

“Santai aja lah. Kamu nggak salah kok, si Aron aja yang kepedan dan suka tebar pesona. Nggak ingat umur emang,” tandas Chelsy dengan tawa menegejek pad Aron.

Sedangkan yang dienjek mendengus dengan bola mata yang memutar. “Eh, ayo, pertanyaan yang tadi belum di jawab, lho.”

Karina berdeham sedikit, kemudian menatap Floe yang juga menatapnya dengan kebingungan.

“Ah, soal itu, aku tidak tahu.” Floe memberanikan diri menatap lagi pada wajah tampan Aron yang ada di sebelahnya. Dia memang tidak paham dengan kode yang diberikan oleh teman sekelasnya dulu sewaktu SMA itu. Namun, yang Floe tahu, dia tidak harus mengucapkan apapun yang mungkin saja akan membuat Karina membenci dirinya. “Aku ada kelas satu lagi, sebelum pulang. Aku permisi ya.”

Sesuai dengan kebohongan yang Karina lontarkan tadi, Floe hanya bisa meneruskan dan beranjak dari sana. Tanpa memperdulikan Aron yang melihat kepergian gadis itu dengan tatapan heran, “Dia anak Fakultas Pendidikan bukan sih?”

Karina yang masih menatap pada kepergian Floe, hanya bisa menganggukkan kepalanya saat Aron mengajukan pertayaan tersebut. Gadis itu tahu, Floe pasti mengerti dengan kode yang ia berikan meskipun tidak terlalu paham. Kapan-kapan dia harus menemui gadis itu dan membuatnya menutup mulut dengan kehidupannya. Terutama saat-saat SMA mereka.

“Chelsy, jangan dihabisin lah itu esnya. Kasihan anakku, nggak dapat bagian dia nanti.”

Chelsy mencebik, dia lepaskan rangkulannya pada lengan Karina. “Apaan sih, orang dia udah selesai kok makannya. Iya, kan sayang?” tanyanya pada Karina yang tampak berkedip lucu saat dia bertanya.

“Ah, iya. Udah selesai kok makannya.”

“Tuh, kan udah. Dih, Aron si tukang tebar pesona.”

“Ih, cemburu ya?”

“Dih, dih, siapa juga yang cemburu. Nggak guna banget sih, iya kan, anakku?”

Karina hanya bisa tersenyum lelah diantar dua ‘orang tuanya’  yang sedang bertengkar lucu. Sesekali dia menganggukkan kepalanya ketika Aron atau Chelsy bertanya kepadanya, walau pertanyaan itu sendiri tidak benar-benar harus di jawab.

Beberapa menit kemudian Ucup datang dengan wajah frustasi yang semakin terlihat menyedihkan saat melihat Aron dan Chelsy masih berdebat tidak penting. Di belakang Ucup juga ada Nanta yang tersenyum paksa melihat perdebatan itu, dengan langkah cepat dia mendahului Ucup dan mendekat ke arah tiga orang itu.

“Bertengkar terus, sampai lupa pengumuman di lantai atas,” ucapnya sembari menjewer telinga Aron dan Chelsy bergantian sampai keduanya meringis sakit. “Udah beri tahu Karina apa belum ini?”

“Yang pastinya belum lah, mereka pasti sibuk bertengkar. Sana, aku mau duduk sama Karina. Pindah sana Chelsy,” tuntut Ucup dengan tangan yang menarik paksa lengan gadis modis itu sampai berpindah tempat di tengah-tengah Aron dan Nanta. Yang diseret mendengus kesal, tapi Ucup tidak peduli. Dia lebih suka menyandarkan kepalanya yang terasa akan meledak dari pada mendengar ocehan Chelsy.

“Pengumuman apa?” tanya Karina dengan tangan yang mengelus sayang rambut Ucup.

“Cuma pengumuman kecil sih, tentang tanggal yang udah ditentuin untuk KKN yang akan dilaksanakan sebentar lagi.”

Karina menyatukan alisnya, “Bukannya KKN masih lama ya? Kok udah ada pengumuman?”

“Nggak tahu, katanya ada sesuatu yang special,” Ucup mendecih, “Special apaan, kalau gue yang harus repot-repot benerin semuanya.”

“Wajar lah, kamu kan yang punya kampus, masa yang beginian aja nggak ikut ngurusin,” sahut Nanta dengan wajah kesal. Suka bingung dia sama Ucup, laki-laki itu sudah jelas akan mewarisi semua warisan milik keluarganya sebagai anak tunggal. Namun, tingkahnya yang seperti itu membuat Nanta tidak habis pikir dan juga ragu. Apakah laki-laki di depannya ini bisa menjadi pemimpin yang baik. Apalagi saat melihat dia mendusal manja pada Karina yang hanya pasrah di tempat.

“Cup, kamu nggak malu ya berkelakuan kayak gitu?”

“Apasih, Nanta. Iri banget sama aku,” sewot Ucup dengan sengaja malah melingkarkan kedua tangannya, memeluk erat Karina yang ikut menyamankan diri dengan pelukan Ucup.

Nanta bukannya iri apalagi cemburu melihat kedekatan mereka berdua. Hanya saja, melihat kantin yang semakin ramai yang tentunya semakin banyak anak-anak kampur yang datang dan melihat keduanya tidak suka. Sudah bukan rahasia umum jika gossip tentang keduanya telah berpacaran menjadi topic hangat yang selalu asik dibicarakan. Sedangkan Ucup sendiri, ah, Nanta tidak membayangkan jika gossip ini semakin menyebar dan membuat kesalahpahaman yang besar.

“Cup, berhenti. Banyak yang liatin noh,” Kini Aron juga ikut membuka mulut, dia memberi perintah lewat mata pada Karina yang muali mengerti keadaan.

Gadis itu menepuk kecil lengan Ucup, “Kak, lepasin nanti ada yang salah sangka loh. Nanti kamu bingung, aku nggak mau bantuin.”

“Apa sih, kan aku Cuma mau meluk adik aku, aku-“

“Cup, Vivian noh, lagi lihat kamu.”

Ucup langsung bangun dari senderannya dan menegakkan punggungnya, kemudian dia bisa merasakan hempasan kuat dari tas yang mengenai punggungnya telak. Saat dia berbalik, wajahnya berubah pucat. Berbeda dengan empat orang lainnya yang berwajah cerah.

“Ucup Bin Ucup, tukang selingkuh!”

Karina hanya bisa tersenyum melihat pertengkaran di depannya. Tidak ada alasan mengapa Karina harus merasa sendiri saat ada teman-temannya yang lain. Bukankah ini cukup untuk secuil kebahagiannya? Tidak, batasan tepat harus ada.

Sebenarnya Karina ingin bertanya lebih lanjut tentang kata ‘special’ dari yang dimaksud Ucup tadi saat KKN mendatang. Tapi, sepertinya dia tidak bisa mengganggu begitu saja, jadi lebih baik diam dan menunggu jawabannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status