Share

Young Wife For My Father
Young Wife For My Father
Author: Iing_03

1. Who will be angry? There isn't any

“Mau nginep lagi nggak malam ini?”

Semua kepala langsung menoleh pada gadis berkuncir kuda itu. Yang di tatap pun hanya bisa menaikkan alisnya, “Apa? Ada yang salah dari apa yang aku katakan?”

Pertayaan itu membuat laki-laki berambut panjang dengan potongan ala idol dari negeri gingseng itu menghela napas, menyadari kebodohan temannya yang satu ini. “Hey, Karina. Besok itu udah masuk UTS dan kamu minta kita untuk nginep lagi? Agak gila nih anak satu.”

Karina mendengus, “Memangnya kenapa sih? Kan kita cuma mau nginep doang di rumah aku. Kita juga pasti belajar bersama, kan di sana?” tanyanya dengan memberikan penawaran untuk ke empat temannya itu.

“Karina,” panggil gadis dengan rambut pink terangnya yang di kuncir kuda. “Meskipun aku hanya focus pada fashion dan make up-ku saja, tapi aku tidak ingin mengulang ujian untuk yang kedua kali. Aku tidak mau juga tidak mau bergabung dengan adik kelas, kalau sampai aku gagal pada ujian kali ini.”

“Aku juga sama, aku menyetujui apa yang dikatakan oleh Aron sama Chelsy,” ucap pemuda berambut cepak hitam itu pada Karina. Dia menghela napas, menatap Karina yang saat ini tampak merajuk dengan wajah cemberut. “Karina sayang, dengar. Kami tahu, kamu adalah mahasiswi yang pintar, sangat pintar hingga mengikuti akselarasi sebanyak satu kali. Karena hal itu lah, kamu tidak perlu banyak belejar dengan semua hal ini. Berbeda dengan kami yang otaknya pas-pasan ini, kita undur saja ya acara menginapnya. Lagi pula aku memiliki beberapa rapat dengan kepala divisi.”

“Sekali lagi, Ucup benar, Karina. Lagi pula kita sudah menginap di rumah kamu selama hampir seminggu loh, kami hanya takut sewaktu-waktu kedua orang tua kamu datang dan melihat kita yang menguasai rumah kalian dengan seenaknya. Sebaiknya kita focus pada UTS kita kali ini, oke?”

“Kak Nanta, kok kakak bilang gitu,” melas Karina dengan menyandarkan punggungnya pada dinding kelas. Waktu kelas terakhir mereka telah usai, keadaan kelas pun mulai kosong dan tersisa mereka berlima.

“Sudah lah, Karina. Aku dan Chelsy akan pulang dulu, ibunya kemarin menginginkan roti buatan mamaku, dan hari ini aku akan memberikan pesanannya.” Laki-laki penggila motor itu berdiri dari duduknya seraya menarik helaian rambut pink di sampingnya.

“Aron! Ih, jangan di tarik apalagi di sentuh oleh tangan kotormu itu!”

“Makanya cepat jalan, lelet.”

Ucup memutar bosan melihat pertengkaran dua tunangan itu, dia memalingkan wajah dan melihat Karina yang melihat dua orang itu dengan muka masam. Sebenarnya dia tidak tega berbicara sepeti itu, tapi dia tidak bisa membiarkan mereka semua kembali menginap di rumah Karina, yang selalu berakhir bermain tanpa belajar. Setidaknya itulah yang mereka lakukan seama seminggu sebelum UTS besok.

“Karina, setelah pulang ini mau mampir ke cafe El’sl nggak? Aku jajanin deh, mau apa aja terserah kamu, rapatnya bisa aku undur sebentar,” tawar Ucap mencoba tidak membuat Karina semakin sedih.

Gadis 20 tahun itu tersenyum tipis dengan gelengan kepala, “Enggak, nggak usah. Setelah ini Kak Ucup mau langsung ke perusahaan, kan. Jadi nggak usah buang-buang waktu untuk hal yang tidak perlu.”

“Ei, kalau si Ucup nggak mau, aku bisa kok. Aku setelah ini nggak ada acara apapun juga, kumpulan motor juga di tunda sampai selesai UTS.” Nanta yang sebelumnya hanya menyaksikan perdebatan antara Aron dan Chelsy menimpali perkataan dari Karina yang menolak tawaran dari Ucup.

Ada senyum getir yang coba Karina sembunyikan dari kedua orang di hadapannya, minus Chelsy dan Aron yang masih meneruskan perdebatan mereka. Menjadi yang termuda dan yang paling di manjakan membuat Karina merasa sudah cukup dengan semua hal itu. Dia tidak ingin merusak apapun, hanya karena sesuatu yang ia inginkan . Yang mungkin akan berakir menjadi hal buruk. “Sudah, aku tidak apa-apa kok. Seperti kata Kak Nanta, mending kita focus pada UTS kali ini. Juga, sewaktu-sewaktu nanti Ayah dan Ibuku kembali aku nanti jadi bingung, akan menjelaskan apa nanti.”

Karina membuat senyum lebar sampai matanya hilang, hingga Ucup dan Nanta percaya kepadanya.

Semuanya bohong.

Karina pulang setelah mengendarai motor besarnya hingga sampai di rumah miliknya. Rumah mewah nan megah yang tampak menyeramkan dari luar sini. Pintu katu jati dengan motif cantik yang memenuhi dasaran pintu, di buka kasar oleh Karina.

Bunyi bedebum keras terdengar nyaring hingga memenuhi rumah. “Akan ada yang marah? Memangnya siapa yang akan melakukan itu?”

Monolognya sembari memasuki rumah dengan ransel hitam yang tersampir di pundaknya. Setelah pintu tertutup membuat cahaya matahari redup seketika. Hanya kegelapan yang menyapa indra penglihatan Karina. Gadis muda itu mulai tertawa dengan sendirinya, tawa lirih yang memantul dari dinding ke dinding yang kemudian diakhiri dengan kekehan.

“Astaga, astaga. Kak Nanta itu ya, benar-benar lucu. Memangnya siapa yang akan marah jika mereka berminggu-minggu menginap di sini?”

Katanya sembari berjalan lambat menuju saklar lampu ruang tamu. Menekan saklar dengan senyum manis yang terpampang indah dengan mata yang cekung mempesona. “Benarkan, Ayah, Ibu? Memangnya kalian marah ya, kalau mereka tidur di sini?” tanyanya sembari menatap lurus pada bingkai foto besar yang berisi dua orang dewasa dan balita yang masih dalam gendongan sang wanita.

Bingkai itu sangat besar dengan bingkai kecil-kecil di atas yang menjadi anak buah. Mewarnai tembok putih pucat yang juga menjadi pemisah antara dapur dengan ruang keluarga. Karina berjalan mundur sampai dia terdesak dengan lemari kayu yang menjadi tempat piagam-piagam dan piala miliknya. “Mereka sepertinya takut sekali dengan kedatangan kalian yang mungkin saja tiba-tiba. Bukankah itu mustahil?”

Tawa Karina kembali mengudara dengan sangat keras, dia benar-bena tertawa hanya karena kalimat  pertayaan yang ia lontarkan entah pada siapa. Rumah besar dengan dua lantai ini sungguh sepi, suram menjadi suku kata pelengkapnya. Tubuh Karina merosot dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya yang mulai terasa pegal karena banyak tertawa. Gadis itu merasakan perasaan kosong yang nyata saat tiba di sini.

“Kenapa mereka semua seperti itu sih, padahal kalian juga tidak melarang mereka di sini, kan? Benarkan? Ayah? Ibu?”

Tubuh kecil itu terduduk di lantai marmer dingin dengan kedua kaki yang tertekuk di depan dada. Karina mendongak semakin menatap tajam foto bahagia yang ada di atas sana, dia tersenyum tanpa tawa keras lagi. “Kalian tega banget tau, tega banget. Bisa-bisanya ninggalin aku sendirian di sini. Kalian nggak kasihan apa sama aku, lihat rumah ini tuh udah kayak rumah hantu. Sepi, gelap dan sendiri. Aku hanya sendiri. Kalian berencana pergi berdua, kenapa tidak ajak aja aku sekalian. KENAPA TIDAK SEKALIAN,  HAH!”

Karina beranjak dari duduknya, bediri dengan pose menantang pada foto besar itu. Matanya mulai terasa panas dan perlahan lelehan air mata membasahi pipinya. “Jangan mati berdua, ajak aku juga. AJAK AKU JUGAA!”

Kedua tangan mungil itu teracung menggoyangkan bingkai besar itu hingga paku penyangganya mulai goyah dan meluncur bebas pada lantai. Karina mengangkat bingkai besar itu melemparkannya ke sisi kanan, kemudian memutarnya hingga suara pecahan antara lemari kayu dan bingkai kaca itu melonglong bebas.

Tidak sampai di situ, Karina berjongkok memungut pecahan kaca yang saat tangannya menggenggam benda tajam itu, telapak tangannya di warnai dengan warna merah pekat. Dia berdiri, menatap foto bahagia yang terorok di bawah lantai dengan potongan kaca yang berserakan dengan senyum kecil. Senyum indah dengan mata cekung yang berhasil menipu semua orang.

“Ajak aku mati, Ayah, Ibu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status