Share

4. Almost unknown

 Karina membanting ranselnya di atas sofa yang ada di ruang keluarga. Rasanya ingin sekali marah dan mengumpat tidak jelas, tapi sayangnya  dia tidak sendirian di rumah kali ini. Dia tidak menyangka kata ‘special’ dari yang dibicarakan oleh Ucup kemarin adalah buruk. Dia lelah, remuk karena memforsir otak dan fisiknya menjadi satu, karena ujian kali ini ternyata 70% mempertimbangkan beasiswa yang dia punya.

“Santai, aku udah milih sekolah yang bagus untuk kamu. Aku jamin, kamu nggak akan kesulitan selama di sana. Percaya deh sama aku, jangan cemberut gitu dong,” ujar Ucup dengan memajukan bibirnya. Di yang baru masuk dengan kekasihnya yang juga tengah merajuk kepadanya. Kepalanya mau pecah menghadapi dua orang wanita yang merajuk kepadanya.

Laki-laki itu baru saja akan duduk di sebelah  Karina yang kini duduk pasrah di atas sofa, namun kekasihnya sudah terlebih dahulu mengisi tempat itu dan membuang muka kepadanya. “Vivian, jangan bersikap seperti itu, kamu buat aku sambah sakit kepala tahu.”

“Sakit kepala? Jadi kamu anggap aku ini pengganggu gitu?” tanyanya sembari menyamankan dirinya dalam pelukan Karina yang telah memejamkan mata. “Kayak kejadian kemarin yang kamu lakuin pada Karina, takutnya nanti ada gossip yang nggak menyenangkan, terus bawa-bawa nama Karina, kamu yang aku gorok.”

Ucup bisa merasakan pundaknya yang ditepuk dari belakang, dia bisa melihat Aron yang menggeleng faham pada dirinya. “Sudah lah bang, Kak Vivian tuh 11 12 sama Chelsy. Jadi nggak usah kayak baru pertama kali gitu.”

Suara tepukan keras mendarat pada tubuh bagian belakang Aron, yang cukup menimbulkan suara nyaring dan ringisan sakit laki-laki itu. “Chelsy, sakit, sayang.”

“Rasain, maksud kamu aku baperan gitu, lagian ya wajar aja kalau kita khawatir akan ada berita tentang Kak Ucup sama Karina. Iya kalau berita baik, kalau berita buruk?” tanya Chelsy sembari menempatkan dirinya, di sebelah Karina di sisi yang lain dengan Vivian yang merupakan kekasih dari Ucup.

Ketiga gadis itu, tidak, hanya Vivian dan Chelsy yang menatap tajam pada Ucup yang masih berdiri di depan sofa. Dengan wajah tidak suka karena di salahkan begitu saja. Niatnya hanya ingin mengeluh manja pada Karina, karena saat itu kepalanya pusing tujuh keliling setelah mengerjakan UTS dan ditambah harus menghadapi kepala direksi untuk perdebatan tempat KKN.

Karina memejamkan matanya, dia mengeratkan kaos panjang yang sudah dua hari ini dia pakai. Menyamankan dirinya dengan dua orang cantik yang mengapitnya di masing-masing sisinya. Dari pada mendengarkan kedua orang itu membantai Ucup dengan kata-kata menohok, Karina lebih memilih mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya.

Membiarkan Ucup yang diserang para gadis, Aron lebih memilih memasuki dapur dan membiarkan ranselnya terorok di atas meja dapur. Tenggorokanya terasa membakar, terik panas mata hari siang ini sungguh mencekiknya. Sebelum tangannya menyentuh gagang lemari es, dia menyipitkan mata saat melihat ssuatu yang berkilauan di bawah tepat di samping kiri lemari es.

Karena penasaran yang tidak tertahan, Aron menunduk mengamati dan mengambilnya pelan-pelan. “Pecahan kaca? Setebal ini? Kaca apa ini?” tanyanya pada dirinya sendiri dengan nada ragu. Dia mendongak menatap apapun yang ada di dapur yang berbahan kaca tebal.

“Perasaan di dapur kebanyakan kayu, set kichen saja dari kayu jati dengan keramik. Nggak ada tuh yang dari kaca, apalgi setebal ini.”

Entah mengapa Aron mendadak gusar, laki-laki dengan tinggi 180cm itu berjalan perlahan menelusuri lorong menuju ruang keluarga. Tempat semua temannya ada di sana termasuk Karina, sang pemilik rumah. Langkahnya terhenti saat melihat ada suatu perubahan yang tidak dia sadari sebelumnya.

“Apa ini? Sejak kapan bingkai fotonya berwarna putih? Bukannya sebelumnya secara keseluruhan memakai kaca ya.”

Aron menutup mulutnya rapat-rapat, setelah menyadari apa yang dia ucapkan tadi. Dia langsung menoleh ke arah teman-temannya yang tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Terdiam dengan pecahan kaca tebal yang cukup besar yang ada di telapak tangannya.

Dia lihat Karina yang seolah membungkus diri di samping Vivian dan Chelsy. Kalau tidak salah, beberapa hari ini Karina selalu memakai pakaian panjang dan selalu menggerai rambutnya. Juga, Karina sudah tidak mau memberikan tangannya untuk di sentuh oleh siapapun, seperti yang terjadi sekarang.

“Karina ayo, tabok saja Ucup. Laki-laki itu memang perlu di beri pelajaran agar tidak bertindak sembarangan lagi. Ayo, berikan tanganmu.”

Aron melihatnya, melihat Chelsy dengan kekuatan penuh sedang mencoba membuat Karina melepaskan diri dari memeluk dirinya sendiri. Dan menyuruhnya gadis yang ada di bawahnya satu tahu itu mengangkat tangan untuk menampar Ucup yang sudah pasrah berlutut di depan ketiga gadis itu.

Sekali lagi, Aron mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah. Keudian matanya menangkap banyak goresan-goresan yang membekas pada badan lemari kayu tersebut. Tempat berbagai piagam dan piala yang telah Karina raih. Semua tertata dengan rapi dan sangat memanjakan mata. Namun, goresan-goresan di pinggir membuatnya salah focus, kembali lagi matanya menatap  Karina yang masih mengukuhkan tangannya di tampat. Sangat terlihat sangat enggan untuk menampar Ucup, tapi bukan itu yang menjadi kesimpulan Aron.

“Karina, pigura besar yang ada di lorong dapur itu ganti custom nya?”

Karina mendongak, menatap Aron kaget. Mengabaikan tangannya yang telah diambil Chelsy. Dia memandang Aron yang juga melihatnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Karina tidak tahu kenapa Aron tiba-tiba bertanya seperti itu. Matanya mengerling ke belakang laki-laki itu, melihat pada lemari kayu di belakang Aron. Dan dia sudah sangat yakin tidak menimbulkan apa-apa yang bisa membuat yang lainnya curiga.

“Tanganmu ini kenapa, Karina?” jerit Chelsy dengan wajah kaget.

Dengan cepat Ucup lebih mendekat dan membawa telapak tangan Karina ke depannya, kemudian dia juga menggulung baju gadis itu sampai siku. Matanya membola besar, “Apa ini, Karina. Luka apa ini?” tanyanya dengan perasaan khawatir. Ucup menatap Karina yang hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat.

“Hey, katakan saja. Kami tidak akan menghakimi kamu kok,” ucap Vivian dengan tangan yang merangkul Karina. “Kamu dapat luka melingkar dan sepanjang ini dari mana, heumm? Apa ada yang menyakiti kamu? Atau terjadi sesuatu yang kita tidak tahu?”

Ucup mengelus lembut perban yang melinggari pergelangan tangan mungil milik Karina. Juga perban kecil yang ada di telapak tangan itu. Apa ini alasan beberapa hari belakangan Karina memakai pakaian dengan lengan panjang? Kenapa pula dia sampai tidak menyadari ada luka di tangan adiknya ini. “Apa yang terjadi, heum? Kamu ada masalah apa, cerita saja. Atau kamu benar-benar tidak mau menjalanka KKN di sekolah itu dan lebih bersama kita di poli kejiwaan? Akan aku urus kok, seperti kata kalian, aku ini pemilik sah Universitas itu. Aku pasti bisa merubah semuanya sesuai apa yang kamu ingin kok.”

Karina menggeleng cepat, dia membalas menggenggam pergelangan tangan Ucup. “Tidak, taku tidak apa-apa ini hanya luka kecil karena aku tidak sengaja memecahkan gelas kemarin.”

“Kalau begitu, kamu bisa jelaskan mengenai keterkaitan antara bergantinya figura di lorong dapur dengan luka kamu? Dan juga apa yang aku temukan ini, Karina? Apa gelas memiliki ketebalan setebal ini dan juga terdapat di samping lemari pendingin?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status