“Kalau begitu, kamu bisa jelaskan mengenai keterkaitan antara bergantinya figura di lorong dapur dengan luka kamu? Dan juga apa yang aku temukan ini, Karina? Apa gelas memiliki ketebalan setebal ini dan juga terdapat di samping lemari pendingin?”
Karina tesenyum cantik pada Aron yang semakin mendekat kea rahnya. “Kakak inget nggak gelas yang di beri Mama Hanim buat aku, sebulan yang lalu?”
“Mama aku?” tanya Aron pada Karina. Ah, iya ingat. Mamanya itu memang memberikan gelas cantik pada Karina, sebagai oleh-oleh dari Malang. “Tapi, emang gelasnya setebal ini, ya? Perasaan biasa saja.”
Lagi-lagi Karina harus mengeluarkan trik ini untuk membuat semua orang yang mencurigainya, menjadi percaya. Dia melihat pada Chelsy, “Kak Chelsy pasti tahu kan bagaiman bentuk dari gelas yang di berikan Mama Hanim buat aku, kan kakak sendiri juga lihat dan pegang gelas itu kan? Kakak percaya kan sama aku?”
Gadis itu mendadak membolakan matanya. Apa ini, “Iya, aku memang melihat dan menyentuhya. Tapi aku tidak tahu apakah gelasnya setebal itu,” ucapnya sembari memperhatikan potongan kaca tebal di telapak tangan tunangannya.
Ucup menghela napas, “Sudah, yang peting kamu tidak memiliki luka yang parah. Ini kamu nggak ada yang disembunyikan lagi kan?”
Karina mengganggukkan kepalanya, “Tidak, hanya luka ini saja kok.”
“Lain kali, kalau punya luka itu tunjukkan. Agar kita tahu dan tidak akan khawatir seperti ini, apalagi Aron. Si paling paling teliti, sampai menyurvei tempatnya segala,” ucap Vivian yang mengundag tawa mereka, kecuali Aron.
Laki-laki itu menatap Karina dengan rasa tidak puas. “Lalu, figura itu?”
“Sudahlah, Aron. Jangan dibahas lagi,” Ucup menyela pertanyaan Aron, sebelum kembali melayangkan pertayaan yang lain.
“Kalau figura, Paman Nick kemarin datang berkunjung dan menggantinya tanpa sepengetahuanku. Aku juga baru tahu setelah melihat adanya perubahan dan menelpon Paman Nick.”
“Sudah, sudah. Mending sekarang kita pikirkan dan me-list segalanya tentang apa yang akan di bawa saat KKN nanti. Dan kamu Karina, sebaiknya kamu cari dulu dan pelajari seluk beluk sekolah itu. Lihat apakah di sana ada masalah serius atau tidak tentang perkembangan murid di sana. Karena nanti, kamu di sana akan menjadi pengganti salah satu guru yang cuti yang juga seorang wali kelas. Aku mempercayai kamu untuk yang satu ini, karena aku tahu kamu bisa.”
“Apakah nanti Karina sendirian, Ucup?”
Ucup menggeleng, “Tentu saja tidak, aku sudah menetapkan empat orang bersama Karina. Meskipun berbeda dengan kita yang bahkan bisa lebih dari 13 orang untuk satu kelompok. Oke, mari kita mulai. Hingga minggu depan sudah bisa langsung berangkat, tanpa khawatir.”
Semuanya bersorak, termasuk Karina yang sedikit merasa legah, karena penuturan Ucup mengenai tempat KKN-nya. Meskipun dia juga tidak tahu empat orang lainnya itu siapa. Dalam hatinya juga ikut bersorak untuk Ucup yang berhasil menyakinkan semuanya tentang pecahan gelas itu, termasuk pada Aron.
Tanpa Karina ketahui Ucup dan Aron sedang saling lihat. Seolah keduanya berbicara lewat mata. Saling memberi signal san saling menjawab pertayaan tanpa suara. Ucup memberi kode menganggukkan kepalanya paham, sebagai bentuk penutup. Dan mungkin mereka juga akan membicarakannya pada Nanta, karena anak itu masih sibuk dengan rapat BEM yang semakin membuat gila.
...
“Semuanya sudah siap?”
Alex Kate, gadis keturunan Inggris itu bertanya pada empat orang lainnya dengan logat yang aneh. Dia menatap keempat gadis yang menjadi timnya KKN saat ini. Entah hal ini bisa di jadikan syukuran atau tidak. Pasalanya sekolah juga bukan tempat yang cukup menyenangkan untuk di jadikan sarana KKN. Kate juga tidak tahu dia dipindahkan begitu saja, dari poli kejiwaan pada tim ini, sebagi ketua lagi.
“Sudah, Kate kita tinggal berangkat saja,” ucap gadis dengan kuncir dua dengan mantel besar yang melingkupi tubuh kecilnya.
“Aku juga sudah, untuk tempat kita tinggal untuk sementara juga sudah diketahui. Ucup mengirim alamat lengkap beserta siapa yang punya tempat tersebut. Jadi, kita tinggal ke sana dan memulai semuanya besok pagi.” Gadis bernama Anhe dengan potongan rambut hitam pendek dengan style mullet, menunjukkan chatnya dengan Ucup pada yang lainnya.
Salah satu diantara mereka berempat yang melihat itu, si kuncir dua menyerngitkan alisnya bingung, “Ini kenapa Ucup ngasih informasi sedetail ini ya? Mulai dari alat transportasi, tempat tinggal, hingga sekolah bagus untuk KKN kita, aneh nggak sih?”
“Kenapa pakek aneh segala sih, Floe. Kamu nggak lihat princessnya aja ada di sini, tentu aja dia nggak bakal bisa ngelepasin tuan putri ini sendirian,” sindirnya dengan melirik seseorang yang duduk menyendiri tidak jauh dari mereka, Dan sangat cukup untuk gadis itu mendengar apa yang mereka bicarakan.
Floe merapatkan matelnya, “Sarah, apa maksud kamu? Siapa yang tuan putri?”
Sarah, gadis itu berdecak. Dia melirik seseorang itu dengan ujung matanya. “Siapa lagi memangnya?”
“Sudah, sudah. Mending kita langsung ke tempatnya aja, setelah itu kita langsung pergi ke sekolahannya. Masih jam 7, mungkin kita akan sampai di sana pada jam istirahat. Sekalian kan agar Karina dapat dengan baik menjalankan tuganya di sana. Begitu juga kita,” Kate berkata tanpa memihak siapapun, karena dia adalah ketua yang langsung ditunjuk oleh Ucup. Jadi, dia tidak boleh bertindak tanpa memikirkan konsekuensi yang akan didapatkan.
Floe, gadis itu memang ada di satu kelompok yang sama dengan Karina. Dia juga kaget saat mendapatkan patner dari fakultas Psikologi, Karina pula. Dia senang, amat senang hingga dia berjalan dnegan cepat menghampiri Karina dan menarik gadis itu untuk masuk ke dalam mobil yang akan membawa mereka.
“Nggak usah pikirin kalimat Sarah, dia emang kayak gitu kok.”
Karina tidak menjawab penuturan dari Floe, dia lebih memilih memasang airphone-nya dan menyamnkan duduknya dalam kursi miliknya. Dengan Floe yang setia mengikutinya.
Ujian telah usai seminggu yang lalu, dan kinitelah berganti dengan tugas yang lebih berat lagi. Karina harus rela pagi harinya sibuk dengan ocehan Ucup karena dia yang tidak kinjung bangun, sedangkan mereka semua sudah siap dan tinggal berangkat. Kadang Karina bingung, jika Ucup begitu khawatir kenapa tidak memasukkannya pada kelompok yang sama. Merepotkan saja.
Selang dua jam kemudian mereka telah sampai di depan sekolah, yang dibelakang gedungnya terdapat gedung lain yang menjadi tempat tinggal mereka. Mereka semua turun dengan penuh semangat, berbeda dengan Karina yang masih membuka matanya setengah. Bahkan saat dia berjalan memasuki sekolahan dia pasrah mengalunkan tangannya pada lengan Floe.
Suara bising menjadikan Karina sedikit mendesis kecil, tiba-tiba Anhe mendekat dengan berbicara cepat dari informasi yang ada di ponselnya. “Karina, nanti kan kamu jadi wali kelas untuk kelas 10 IPA A, kamu harus hati-hati karena ada dua troublemaker di sana, dua saudara kembar. Namanya itu Astra dan-“
“Sastra! Ya bagus!”
Karina yang sedang berusaha menyimpan informasi dari Anhe dengan kesadaran yang belum sepenuhnya, dan tiba-tiba saja sebuah bola basket berlari cepat dan menghantam perutnya dengan sangat keras. Hingga dia dan Floe terbanting ke belakang dengan sangat kasar.
Gadis itu tebatuk batuk hebat dengan memgangi perutnya, beberapa kali batuk hingga sedikit mengeluarkan darah yang membuat lainnya khawatir. Tidak terkecuali Sarah yang langsung menggendong Karina dan menyuruh siswa-siswa yang sedang berkumpul menunjukkan tempat UKS mereka.
Seorang guru yang melihat hal itu segera berlari kencang pada Sarah yang menggendong Karina. “Astaga, apa lagi ini. Siapa yang melakukan hal ini?” tanyanya pada segerombolan siswa-siswi di sana. Mereka semua terdiam dengan pandangan kaget. Dan sang yang guru langsung mengetahui siapa yang melakukan hal itu, hinga beliau mengambil napas dalam-dalam sebelum menjeritkan nama yang menjadi pelaku.
“ASTRA, SASTRA, KALIAN LAGII?”
Karina masih diambang kesadaran sebelum dirinya pingsan. Dia juga mendengar nama yang di jeritkan guru tadi. Astra dan Sastra, bukankah itu nama yang di sebutkan sebagai troublemaker oleh Anhe? Sialan, desis Karina sebelum semuanya menghitam.
“Bu Karina? Tidak sekalian masuk?”Karina menoleh mendengar panggilan itu, senyum tipis dia berikan pada salah satu guru yang menegurnya. “Ah, tidak Bu. Saya akan ikut mobil anak-anak olimpiade saja.”“Kalau begitu saya dulu, ya.”Anggukan singkat dia berikan, Karina baru saja kembali dari ruangan kepala sekolah dan hal itu membuatnya atnya pusing, apa maksud dari laki-laki paruh baya itu tentang-“Bu Karina? Semobil dengan kita, kan?”-menjaga si kembar. “Sastra? Kenapa?” Itu Sastra yang datang dan langsung bertanya kepadanya, berdiri dengan senyum tampan yang merayu. Sedangkan di belakang anak remaja itu ada kakaknya yang berjalan gontai sepeti tidak berminat. “Tidak kenapa-kenapa sih, cuma kan kita harus bertiga duduknya. Jadi, aku menawarkan kepada Bu Karina buat sebangku sama kita.”“Kursi yang dua bisa kali, nggak usah ngajak orang lagi.”Sastra menoleh dan menggeleng pada Astra yang memasang wajah jengah. “Baiklah, kebetulan mobil guru yang mengantarkan juga tidak muat. Jadi,
Ini hari ketiga mereka belajar dan saling berdiskusi meskipun dengan mata pelajaran yang berbeda-beda. Terkadang Sastra akan menjawab dengan lancar soal yang tidak dipahami oleh Milay di bidang Kimia."Kenapa jadi lebih paham kamu dari pada aku?""Tidak tahu, aku hanya mengatakan apa yang aku ketahui. Itu saja.""Tapi, tetap saja. Itu tidak menyenangkan. Seharusnya kamu fokus pada bidangmu, bukan malah menguasai bidang milikku.""Aku benar-benar tidak mengerti , Milay. Kenapa kamu jadi marah?""Aku nggak marah.""Nggak marah, tapi kamu iri kan dengan Sastra? yang bisa menjawab soal yang sedari tadi membuat mulut lemesmu itu terus berkicau." Astra mengangkat penanya menunjuk pada Miley yang duduk di depannya. "Diam atau pena ini melayang padamu."Gadis cantik itu mendengus, mendengar kalimat ancaman dari Astra. Dia yang akan kembali melayangkan bantahan jadi menahan diri. Lenggang, ke-empat anak itu mulai fokus pada soal-soal yang diberikan Karina. Memang benar bukan Karina yang sepen
“Baiklah, apa yang ingin anda tanyakan, Bu Karina?”Karina menggeleng dengan senyum tipis, “Tidak ada, Pak Bam. Tapi, jika nanti saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Apakah boleh?”“Tentu saja boleh, kapanpun anda ingin bertanya saya siap sedia.” Pak Bam menutup laptop miliknya, “Semua file tentang kelas 10A 1 sudah saya kirimkan kepada anda lewat E-mail, jika anda merasa ada file yang terlewat yang belum saya kirimkan, silahkan kabari saya juga.”Ini sudah waktunya jam akan pulang sekolah akan tiba, sedari istirahat pertama Karina dan Pak Bam sudah ada di ruang rapat tadi untuk membicarakan secara keseluruhan apa yang harus Karina lakukan. Di mulai dari menyusun biodata lengkap sekaligus mengisinya di forum olimpiade dan menyiapkan para pesertanya.“Saya sangat berterima kasih, karena Bapak sudah scara sukarela untuk membantu saya. Saya yang awam ini tidak cukup mempunyai ilmu yang sebanding dengan apa yang mereka harapkan, saya sangat memerlukan bantuan kalian.”Pak Bam tersenyu
Jalannya yang lunglai sangat mencerminkan rasa lelahnya, kepalanya mendongak saat melihat rumah peristirahatannya sudah ada di depan mata. Langkahnya dia bawa lebih cepat, punggungnya menunduk seraya mencopot sepatu dan kaus kakinya. Saat masuk ke dalam rumah, tidak ada siapapun disana. Ah, ini sudah jam setengah 8 mungkin mereka sudah ada yang tidur atau sedang beristirahat di dalam kamar. Karina tidak mau berpikir tentang alasan lainnya, dia lelah. Dia terus berjalan sampai di depan kamarnya dan Floe untuk satu bulan ke depan, pintu dia buka dan segera masuk. Ransel di pundaknya dia tempatkan di samping ranjangnya, kemeja soft blue miliknya dia lepas hingga menyisakan tanktop putih miliknya.Tangan kanannya menyambar handuk, dia akan mandi setelah itu baru tidur. Kaos putih lengan pendek dan celana training hitam, menjadi pilihannya untuk malam ini. Saat dia akan membuka pintu kamar, dari arah luar pintu itu terbuka terlebih dahulu. Floe yang datang masuk, gadis pirang bermata bir
Hembusan napasnya terlihat berantakan, peluh di dahi dan memar di sudut bibirnya ia usap kasar. Kakinya melangkah maju dengan tangan yang kembali memukul keras perut lawannya, juga menangkis kasar lengan yang mencoba menangkapnya. Gerakannya gesit dengan membanting tubuh salah satu lawannya ke atas lantai.Satu pukulan lagi-lagi melayang ke depan wajahnya, dia cekal lengan itu dan memutarnya hingga menimbulkan bunyi.Krak!“Ahh!”“Dengar, aku akan membiarkan kalian mengejek tentang diriku. Tapi, tidak untuk adik maupun keluargaku. Dan inilah yang kalian dapatkan dari apa yang kalian lakukan.”“Hey! Sopanlah pada pada Kakak kelasmu, akh!”Tubuh tinggi di genggamannya dia dorong hingga menghantamkan tubuh lawan yang telah ia kalahkan sebelumnya. Senyuman licik dan sinis, dia keluarkan. “Masa bodoh, jika kalian adalah kakak kelas ataupun guru sekalipun. Ayo, masih mau bertarung?”Salah satu pemuda bangkit dari lentangnya, kemudian mencoba bangkit lagi. “Seharusnya kamu itu sadar diri, te
“Terimakasih, Bu Anim,” ucapnya pendek seraya berjalan menjauhi area kantin yang ramai oleh anak-anak. Matanya mengedar ke seluruh penjuru area kantin, melihat-lihat adakah tempat yang cocok untuk memakan makan siangnya.Tiba-tiba dia teringat dengan taman di belakang sekolah. Apa dia ke sana saja ya? Tapi, bagaimana kalau si kembar masih ada di sana? Saat ini Karina benar-benar masih tidak mau melihat mereka berdua. Entahlah, dia juga tidak mengerti dengan hatinya sendiri.Kemarin-kemarin dia masih semangat untuk membuat analisanya sekaligus menjadi guru yang baik. Namun, setelah mengetahui keadaan Astra dan Sastra membuatnya sedikit enggan, semangatnya surut. Di mulai saat dia memberitahu guru BK,bahwa dia telah menghukum dua kembar nakal itu. Kemudian ia meminta data diri dan map merah tentang dua anak itu.Karina menggenggam erat kantong kresek yang berisi dua roti selai isi daging dan dua kotak susu putih. Gadis itu memutuskan untuk pergi