Hari ini membosankan. Sangat membosankan. Gadis itu mengusak rambut panjangnya tidak karuan, ingin sekali dia marah-maah saat ini. Dia tidak bisa melakukan apapun selain mendengus dengan suara kecil, bantal keras yang ada ia pakai terasa mengejek dirinya yang manja. Lagi-lagi dia ingin mengambil ponselnya dan menelpon Ucup atau Nanta. Kemudian mengadu tentang segalanya.
Kembali dia lentangkan tubuhnya, lama-lama perutnya ikut keram dan terasa perih kalau terus dalam posisi tersebut. Dia mendesis kesal, “Awas saja kalian anak-anak kanal. Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja, berani-beraninya mereka memberikan sambutan tidak terhormat seperti itu,” gerutunya, alisnya menyatu dengan dahi mengerut lucu.
Masih terekam walaupun tidak jelas saat bola itu menerjang dirinya, menyasak perutnya hingga dia terbaring menyedihkan seperti ini. Dia tatap malas atap putih pucat di atasnya, kemudian matanya bergulir ke samping. Pintu kamarnya dengan Floe tertutup rapat, dengan gantungan baju yang berisi tas-tas kecil milik Floe.
Gadis itu, Karina memejamkan matanya. Dia merengek dalam diam, dan mengumpat setelahnya. Rumah yang dia tempati merupakan sebuah rumah milik seseorang yang telah lama tidak ditempati. Sang pemilik telah tiada, sedangkan ke empat anaknya merantau dan tinggal di lura kota. Meskipun telah lama di tinggalkan, rumah ini tetap di rawat dan dibersihkan secaa teratur, karena merupakan tempat yang sangat berfungsi.
Itu yang Karina tahu, saat ia sedang beristirahat, semua teman-temannya mendengarkan sambutan dan cerita singkat dari kepala sekolah di ruang tamu. Rumah ini hanya berisi tiga kamar, satu dapur dan satu kamar mandi. Juga dengan satu ruang tamu. Karena letak kamar Karina dan Floe ada di depan, maka dia bisa mendengar dengan jelas apa yang kepala sekolah itu katakan.
Rumah ini sungguh sempit, menurut Karina. Dia yang terbiasa hidup dengan ruangan lebar nan besar, merasa tidak nyaman berada di sini. Juga dengan masakannya, walaupun seringnya dia tidak makan selama dua sampai tiga hari. Namun, tetap saja dia tetap mencari makan di luar atau memasak sendiri. Karena di rumah dia benar-benar sendirian, pembantu hanya datang saat dia panggil untuk membersihkan rumah, seminggu sekali. Atau tidak, dia yang akan bersih-bersih sendiri di hari liburnya.
Karina mencebik, dia sendirian dan dia suka. Namun, itu jika ada di dalam rumahnya sendiri. Dan sekarang dia ada di rumah orang lain, terlebih lagi dia tidak memegang ponsel atau ada televise yang bisa ia nyalakan, untuk menghapus kebosanannya.
Semua teman-temannya telah pergi ke sekolah, sesuai dengan jadwal mereka masing-masing. Sedangkan dia hanya bisa terbaring lemah seperti ini. Kejadian di depan gerbang sekolah itu benar-benar membuat geger semua orang. Karina hanya bisa diam saat Floe dengan kekuatan penuh bercerita menggebu-gebu kepadanya. Tentang guru-guru yang berencana untuk mencenguk dirinya besok dan terus bertanya tentang dirinya. Jika besok yang di maksud oleh Floe adalah hari ini, Karina hanya bisa menghela napas berat.
Dia tidak mau, tidak ingin dan tidak berminat untuk bertemu siapapun. Gadis itu entah kenapa merasa lelah hanya karena ada Floe di sampingnya, mendengarkan gadis itu berbicara sepanjang malam dan juga Anhe yang terus memberikan lembaran demi lembaran tentang tuganya di sekolah ini. Tadi malam sungguh cobaan yang sangat berat untuk Karina. Malam-malam damainya harus hilang selama sebulan kedepan, dan dia tidak tahu akan bisa bertahan atau tidak.
Karina mencoba duduk dengan susah payah, lama-lama punggungnya terasa keram karina berbaring terlentang terlalu lama. Pengambil satu bantal yang ada di sampingnya dan menempatkannya di balik punggung, menyangga dirinya yang duduk bersandar pada dinding. Keduanya tangannya lunglai ke kanan dan kiri, matanya melirik ponsel miliknya yang ada di kanas samping tumpukan kotak-kotak kain yang menyimpan barang-barang milik Floe. Ponselnya sedari kemarin belum dia sentuh, sudah dua hari juga dia tidak bisa bangkit dari tidurnya. Berarti sudah selama itu pula, ponselnya tidak ia cabut pengisi baterainya. Ini kalau Vivian tahu, dia pasi mengomel secara dia adalah yang paling menuntut hemat dari mereka berenam. Uh, Karina rindu mereka.
Saat dia sedang melamun panjang, pintu kamar terbuka perlahan. Kepala blonde menyembul dari sana, dan mata indah itu menatap Karina yang merenung dengan pandangan kasihan. Floe membuka pintu dan masuk ke dalam, ditangannya terdapat dua bungkus nasi dalam satu kantong keresek. “Karina?” panggilnya pelan.
Karina menoleh, menatap Floe yang sedang berjalan menghampirinya dengan wajah lelah. “Kamu sudah kembali?”
“Iya,” jawabnya cepat. Menempatkan kantung kresek itu di pangkuannya dan sedangkan dia duduk di samping Karina. “Kamu sudah lebih baik?”
Karina mengangguk, “Iya, lumayan.”
“Apakah masih nyeri?”
“Terkadang, jika aku banyak bergerak.”
Floe menganguk-anggukkan kepalanya paham. “Aku bawa makan siang yang beli di depan sekolah, cuma nasi bungkus dengan ayam suwir, tidak apa-apa kan?” tanya Floe hati-hati. Mengulang kejadian kemarin, setelah Sarah membawa Karina ke UKS dan mendapatan sedikit perawatan. Karina langsung di biarkan istirahat di kamar ini, gadis itu tidak mau makan dan tidak mau mengeluarkan suara. Tapi, tidak apa-apa Floe masih sanggup kok kalau dia harus berbicara sepanjang malam, menceritakan semuanya tanpa karina tanya.
Matanya menatap dua bungkus nasi yang di keluarkan oleh Floe dengan raut wajah yang tidak bisa dia di artikan. “Nasi bungkus?” tanyanya pada Floe, membuat gadis itu mengangguk beberapa kali.
“Kamu pernah makan, kan pasti? Kamu-“
“Belum.”
Floe menatap Karina cepat. “Apa maksud kata belum itu?”
Karina mengambil satu bungkus nasi yang mungkin miliknya, membawanya ke hadapannya. Melihatnya sebentar kemudian membalas tatapan Floe kepadanya, “Iya, belum. Kalau sudah aku makan baru akan aku jawab sudah.”
“Jadi selama ini kamu nggak pernah beli nasi bungkus?”
Karina menggeleng polos. “Ada yang salah?”
“Tidak, tidak ada yang salah. Kamu tahu warung, kan?”
“Tahu, lah. Yang ada di pinggir-pinggir jalan, kan.”
“Aku beli dari situ loh, kamu yakin mau makan ini?”
Karina mengangkat alisnya, “Floe, jangan bercanda. Aku lapar, kemarin aku sama sekali tidak nafsu makan. Dan sekarang aku benar-benar lapar. Kenapa pula aku tidak mau makan makanan ini?”
“Ya, kan ini dari warung. Orang kaya bilang kalau yang kayak gini pasti nggak bersih.”
“Kamu juga kaya, Floe.”
Floe tertawa sembari bangkit dari duduknya, mengambil nasi bungkus miliknya dan ke luar kamar. Tidak lama kemudian dia kembali dengan dua buah botol mineral di pelukannya, juga piring. “Meskipun aku kaya, aku terlalu sering makan nasi bungkus sebagai pelarian. Sedangkan kamu sama sekali tidak, kan?”
Karina mendengus, “Itu karena Kak Chelsy tidak suka makanan apapun yang di bungkus dengan kertas seperti itu.”
Floe kembali tertawa, dia duduk di lantai. Menyandarkan pungungnya pada badan ranjangnya, menatap Karina yang telah menerima piring darinya dan sekarang sedang mencoba bersikap biasa saja saat membuka bungkusan itu. “Karina, kamu tahu kan siapa yang melemparkan bola itu kepadamu?”
Sendok di tangannya tertahan, dia menoleh pada Floe yang menyamankan diri di atas lantai dingin. “Anak kembar itu, kan?” tanyanya dengan nada kesal.
“Iya, kamu tahu, kemarin ayahnya datang ke sekolah dan menampar anak itu di depan kepala sekolah.”
“Bu Karina? Tidak sekalian masuk?”Karina menoleh mendengar panggilan itu, senyum tipis dia berikan pada salah satu guru yang menegurnya. “Ah, tidak Bu. Saya akan ikut mobil anak-anak olimpiade saja.”“Kalau begitu saya dulu, ya.”Anggukan singkat dia berikan, Karina baru saja kembali dari ruangan kepala sekolah dan hal itu membuatnya atnya pusing, apa maksud dari laki-laki paruh baya itu tentang-“Bu Karina? Semobil dengan kita, kan?”-menjaga si kembar. “Sastra? Kenapa?” Itu Sastra yang datang dan langsung bertanya kepadanya, berdiri dengan senyum tampan yang merayu. Sedangkan di belakang anak remaja itu ada kakaknya yang berjalan gontai sepeti tidak berminat. “Tidak kenapa-kenapa sih, cuma kan kita harus bertiga duduknya. Jadi, aku menawarkan kepada Bu Karina buat sebangku sama kita.”“Kursi yang dua bisa kali, nggak usah ngajak orang lagi.”Sastra menoleh dan menggeleng pada Astra yang memasang wajah jengah. “Baiklah, kebetulan mobil guru yang mengantarkan juga tidak muat. Jadi,
Ini hari ketiga mereka belajar dan saling berdiskusi meskipun dengan mata pelajaran yang berbeda-beda. Terkadang Sastra akan menjawab dengan lancar soal yang tidak dipahami oleh Milay di bidang Kimia."Kenapa jadi lebih paham kamu dari pada aku?""Tidak tahu, aku hanya mengatakan apa yang aku ketahui. Itu saja.""Tapi, tetap saja. Itu tidak menyenangkan. Seharusnya kamu fokus pada bidangmu, bukan malah menguasai bidang milikku.""Aku benar-benar tidak mengerti , Milay. Kenapa kamu jadi marah?""Aku nggak marah.""Nggak marah, tapi kamu iri kan dengan Sastra? yang bisa menjawab soal yang sedari tadi membuat mulut lemesmu itu terus berkicau." Astra mengangkat penanya menunjuk pada Miley yang duduk di depannya. "Diam atau pena ini melayang padamu."Gadis cantik itu mendengus, mendengar kalimat ancaman dari Astra. Dia yang akan kembali melayangkan bantahan jadi menahan diri. Lenggang, ke-empat anak itu mulai fokus pada soal-soal yang diberikan Karina. Memang benar bukan Karina yang sepen
“Baiklah, apa yang ingin anda tanyakan, Bu Karina?”Karina menggeleng dengan senyum tipis, “Tidak ada, Pak Bam. Tapi, jika nanti saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Apakah boleh?”“Tentu saja boleh, kapanpun anda ingin bertanya saya siap sedia.” Pak Bam menutup laptop miliknya, “Semua file tentang kelas 10A 1 sudah saya kirimkan kepada anda lewat E-mail, jika anda merasa ada file yang terlewat yang belum saya kirimkan, silahkan kabari saya juga.”Ini sudah waktunya jam akan pulang sekolah akan tiba, sedari istirahat pertama Karina dan Pak Bam sudah ada di ruang rapat tadi untuk membicarakan secara keseluruhan apa yang harus Karina lakukan. Di mulai dari menyusun biodata lengkap sekaligus mengisinya di forum olimpiade dan menyiapkan para pesertanya.“Saya sangat berterima kasih, karena Bapak sudah scara sukarela untuk membantu saya. Saya yang awam ini tidak cukup mempunyai ilmu yang sebanding dengan apa yang mereka harapkan, saya sangat memerlukan bantuan kalian.”Pak Bam tersenyu
Jalannya yang lunglai sangat mencerminkan rasa lelahnya, kepalanya mendongak saat melihat rumah peristirahatannya sudah ada di depan mata. Langkahnya dia bawa lebih cepat, punggungnya menunduk seraya mencopot sepatu dan kaus kakinya. Saat masuk ke dalam rumah, tidak ada siapapun disana. Ah, ini sudah jam setengah 8 mungkin mereka sudah ada yang tidur atau sedang beristirahat di dalam kamar. Karina tidak mau berpikir tentang alasan lainnya, dia lelah. Dia terus berjalan sampai di depan kamarnya dan Floe untuk satu bulan ke depan, pintu dia buka dan segera masuk. Ransel di pundaknya dia tempatkan di samping ranjangnya, kemeja soft blue miliknya dia lepas hingga menyisakan tanktop putih miliknya.Tangan kanannya menyambar handuk, dia akan mandi setelah itu baru tidur. Kaos putih lengan pendek dan celana training hitam, menjadi pilihannya untuk malam ini. Saat dia akan membuka pintu kamar, dari arah luar pintu itu terbuka terlebih dahulu. Floe yang datang masuk, gadis pirang bermata bir
Hembusan napasnya terlihat berantakan, peluh di dahi dan memar di sudut bibirnya ia usap kasar. Kakinya melangkah maju dengan tangan yang kembali memukul keras perut lawannya, juga menangkis kasar lengan yang mencoba menangkapnya. Gerakannya gesit dengan membanting tubuh salah satu lawannya ke atas lantai.Satu pukulan lagi-lagi melayang ke depan wajahnya, dia cekal lengan itu dan memutarnya hingga menimbulkan bunyi.Krak!“Ahh!”“Dengar, aku akan membiarkan kalian mengejek tentang diriku. Tapi, tidak untuk adik maupun keluargaku. Dan inilah yang kalian dapatkan dari apa yang kalian lakukan.”“Hey! Sopanlah pada pada Kakak kelasmu, akh!”Tubuh tinggi di genggamannya dia dorong hingga menghantamkan tubuh lawan yang telah ia kalahkan sebelumnya. Senyuman licik dan sinis, dia keluarkan. “Masa bodoh, jika kalian adalah kakak kelas ataupun guru sekalipun. Ayo, masih mau bertarung?”Salah satu pemuda bangkit dari lentangnya, kemudian mencoba bangkit lagi. “Seharusnya kamu itu sadar diri, te
“Terimakasih, Bu Anim,” ucapnya pendek seraya berjalan menjauhi area kantin yang ramai oleh anak-anak. Matanya mengedar ke seluruh penjuru area kantin, melihat-lihat adakah tempat yang cocok untuk memakan makan siangnya.Tiba-tiba dia teringat dengan taman di belakang sekolah. Apa dia ke sana saja ya? Tapi, bagaimana kalau si kembar masih ada di sana? Saat ini Karina benar-benar masih tidak mau melihat mereka berdua. Entahlah, dia juga tidak mengerti dengan hatinya sendiri.Kemarin-kemarin dia masih semangat untuk membuat analisanya sekaligus menjadi guru yang baik. Namun, setelah mengetahui keadaan Astra dan Sastra membuatnya sedikit enggan, semangatnya surut. Di mulai saat dia memberitahu guru BK,bahwa dia telah menghukum dua kembar nakal itu. Kemudian ia meminta data diri dan map merah tentang dua anak itu.Karina menggenggam erat kantong kresek yang berisi dua roti selai isi daging dan dua kotak susu putih. Gadis itu memutuskan untuk pergi