Share

6. Dead of boredom

Hari ini membosankan. Sangat membosankan. Gadis itu mengusak rambut panjangnya tidak karuan, ingin sekali dia marah-maah saat ini. Dia tidak bisa melakukan apapun selain mendengus dengan suara kecil, bantal keras yang ada ia pakai terasa mengejek dirinya yang manja. Lagi-lagi dia ingin mengambil ponselnya dan menelpon Ucup atau Nanta. Kemudian mengadu tentang segalanya.

Kembali dia lentangkan tubuhnya, lama-lama perutnya ikut keram dan terasa perih kalau terus dalam posisi tersebut. Dia mendesis kesal, “Awas saja kalian anak-anak kanal. Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja, berani-beraninya mereka memberikan sambutan tidak terhormat seperti itu,” gerutunya, alisnya menyatu dengan dahi mengerut lucu.

Masih terekam walaupun tidak jelas saat bola itu menerjang dirinya, menyasak perutnya hingga dia terbaring menyedihkan seperti ini. Dia tatap malas atap putih pucat di atasnya, kemudian matanya bergulir ke samping. Pintu kamarnya dengan Floe tertutup rapat, dengan gantungan baju yang berisi tas-tas kecil milik Floe.

Gadis itu, Karina memejamkan matanya. Dia merengek dalam diam, dan mengumpat setelahnya. Rumah yang dia tempati merupakan sebuah rumah milik seseorang yang telah lama tidak ditempati. Sang pemilik telah tiada, sedangkan ke empat anaknya merantau dan tinggal di lura kota. Meskipun telah lama di tinggalkan, rumah ini tetap di rawat dan dibersihkan secaa teratur, karena merupakan tempat yang sangat berfungsi.

Itu yang Karina tahu, saat ia sedang beristirahat, semua teman-temannya mendengarkan sambutan dan cerita singkat dari kepala sekolah di ruang tamu. Rumah ini hanya berisi tiga kamar, satu dapur dan satu kamar mandi. Juga dengan satu ruang tamu. Karena letak kamar Karina dan Floe ada di depan, maka dia bisa mendengar dengan jelas apa yang kepala sekolah itu katakan.

Rumah ini sungguh sempit, menurut Karina. Dia yang terbiasa hidup dengan ruangan lebar nan besar, merasa tidak nyaman berada di sini. Juga dengan masakannya, walaupun seringnya dia tidak makan selama dua sampai tiga hari. Namun, tetap saja dia tetap mencari makan di luar atau memasak sendiri. Karena di rumah dia benar-benar sendirian, pembantu hanya datang saat dia panggil untuk membersihkan rumah, seminggu sekali. Atau tidak, dia yang akan bersih-bersih sendiri di hari liburnya.

Karina mencebik, dia sendirian dan dia suka. Namun, itu jika ada di dalam rumahnya sendiri. Dan sekarang dia ada di rumah orang lain, terlebih lagi dia tidak memegang ponsel atau ada televise yang bisa ia nyalakan, untuk menghapus kebosanannya.

Semua teman-temannya telah pergi ke sekolah, sesuai dengan jadwal mereka masing-masing. Sedangkan dia hanya bisa terbaring lemah seperti ini. Kejadian di depan gerbang sekolah itu benar-benar membuat geger semua orang. Karina hanya bisa diam saat Floe dengan kekuatan penuh bercerita menggebu-gebu kepadanya. Tentang guru-guru yang berencana untuk mencenguk dirinya besok dan terus bertanya tentang dirinya. Jika besok yang di maksud oleh Floe adalah hari ini, Karina hanya bisa menghela napas berat.

Dia tidak mau, tidak ingin dan tidak berminat untuk bertemu siapapun. Gadis itu entah kenapa merasa lelah hanya karena ada Floe di sampingnya, mendengarkan gadis itu berbicara sepanjang malam dan juga Anhe yang terus memberikan lembaran demi lembaran tentang tuganya di sekolah ini. Tadi malam sungguh cobaan yang sangat berat untuk Karina. Malam-malam damainya harus hilang selama sebulan kedepan, dan dia tidak tahu akan bisa bertahan atau tidak.

Karina mencoba duduk dengan susah payah, lama-lama punggungnya terasa keram karina berbaring terlentang terlalu lama. Pengambil satu bantal yang ada di sampingnya dan menempatkannya di balik punggung, menyangga dirinya yang duduk bersandar pada dinding. Keduanya tangannya lunglai ke kanan dan kiri, matanya melirik ponsel miliknya yang ada di kanas samping tumpukan kotak-kotak kain yang menyimpan barang-barang milik Floe. Ponselnya sedari kemarin belum dia sentuh, sudah dua hari juga dia tidak bisa bangkit dari tidurnya. Berarti sudah selama itu pula, ponselnya tidak ia cabut pengisi baterainya. Ini kalau Vivian tahu, dia pasi mengomel secara dia adalah yang paling menuntut hemat dari mereka berenam. Uh, Karina rindu mereka.

Saat dia sedang melamun panjang, pintu kamar terbuka perlahan. Kepala blonde menyembul dari sana, dan mata indah itu menatap Karina yang merenung dengan pandangan kasihan. Floe membuka pintu dan masuk ke dalam, ditangannya terdapat dua bungkus nasi dalam satu kantong keresek. “Karina?” panggilnya pelan.

Karina menoleh, menatap Floe yang sedang berjalan menghampirinya dengan wajah lelah. “Kamu sudah kembali?”

“Iya,” jawabnya cepat. Menempatkan kantung kresek itu di pangkuannya dan sedangkan dia duduk di samping Karina. “Kamu sudah lebih baik?”

Karina mengangguk, “Iya, lumayan.”

“Apakah masih nyeri?”

“Terkadang, jika aku banyak bergerak.”

Floe menganguk-anggukkan kepalanya paham. “Aku bawa makan siang yang beli di depan sekolah, cuma nasi bungkus dengan ayam suwir, tidak apa-apa kan?” tanya Floe hati-hati. Mengulang kejadian kemarin, setelah Sarah membawa Karina ke UKS dan mendapatan sedikit perawatan. Karina langsung di biarkan istirahat di kamar ini, gadis itu tidak mau makan dan tidak mau mengeluarkan suara. Tapi, tidak apa-apa Floe masih sanggup kok kalau dia harus berbicara sepanjang malam, menceritakan semuanya tanpa karina tanya.

Matanya menatap dua bungkus nasi yang di keluarkan oleh Floe dengan raut wajah yang tidak bisa dia di artikan. “Nasi bungkus?” tanyanya pada Floe, membuat gadis itu mengangguk beberapa kali.

“Kamu pernah makan, kan pasti? Kamu-“

“Belum.”

Floe menatap Karina cepat. “Apa maksud kata belum itu?”

Karina mengambil satu bungkus nasi yang mungkin miliknya, membawanya ke hadapannya. Melihatnya sebentar kemudian membalas tatapan Floe kepadanya, “Iya, belum. Kalau sudah aku makan baru akan aku jawab sudah.”

“Jadi selama ini kamu nggak pernah beli nasi bungkus?”

Karina menggeleng polos. “Ada yang salah?”

“Tidak, tidak ada yang salah. Kamu tahu warung, kan?”

“Tahu, lah. Yang ada di pinggir-pinggir jalan, kan.”

“Aku beli dari situ loh, kamu yakin mau makan ini?”

Karina mengangkat alisnya, “Floe, jangan bercanda. Aku lapar, kemarin aku sama sekali tidak nafsu makan. Dan sekarang aku benar-benar lapar. Kenapa pula aku tidak mau makan makanan ini?”

“Ya, kan ini dari warung. Orang kaya bilang kalau yang kayak gini pasti nggak bersih.”

“Kamu juga kaya, Floe.”

Floe tertawa sembari bangkit dari duduknya, mengambil nasi bungkus miliknya dan ke luar kamar. Tidak lama kemudian dia kembali dengan dua buah botol mineral di pelukannya, juga piring. “Meskipun aku kaya, aku terlalu sering makan nasi bungkus sebagai pelarian. Sedangkan kamu sama sekali tidak, kan?”

Karina mendengus, “Itu karena Kak Chelsy tidak suka makanan apapun yang di bungkus dengan kertas seperti itu.”

Floe kembali tertawa, dia duduk di lantai. Menyandarkan pungungnya pada badan ranjangnya, menatap Karina yang telah menerima piring darinya dan sekarang sedang mencoba bersikap biasa saja saat membuka bungkusan itu. “Karina, kamu tahu kan siapa yang melemparkan bola itu kepadamu?”

Sendok di tangannya tertahan, dia menoleh pada Floe yang menyamankan diri di atas lantai dingin. “Anak kembar itu, kan?” tanyanya dengan nada kesal.

“Iya, kamu tahu, kemarin ayahnya datang ke sekolah dan menampar anak itu di depan kepala sekolah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status