Ketika kami hampir sampai ke rumah, tiba-tiba saja Vivi mendadak menyuruhku menghentikan laju motor. Tepat sebelum kami melewati pagar rumah Nyak Marni.
“Stop! Stop, Bang!” Teriakan Vivi membuat aku ngerem mendadak. Alhasil, kepala Vivi menubruk kepalaku. Untung saja pakai helm, kalau tidak, lain urusannya.
“Apa, sih?! Ngagetin aja! Barusan itu bahaya tahu!” omelku pada Vivi.
Kulihat dia membetulkan helm.
“Maaf, Bang. Habisnya ....” Vivi tak menyelesaikan ucapannya. Dia malah turun dari motor dan mengintip di balik pagar. Aku pun mematikan mesin.
“Apaan?!”
“Itu ....” Vivi menunjuk ke arah teras rumahnya. Membuat mataku mengikuti arah jari telunjuk miliknya.
Kulihat Nyak Marni sedang ngobrol dengan seorang lelaki berjaket parka hitam sambil tertawa ria. Ketika kuamati, tak terlalu jelas. Namun, lelaki itu tampak lumayan dari kejauhan.
“Itu, ada Rama, Bang.”
“Rama siapa?”
“Cowok yang nembak Vivi kemarin,” terang Vivi singkat. Aku yang mendengarnya langsung menautkan alis, “Kenapa malah ke rumah, sih?!”
“Gimana, gimana? Nembak? Nggak salah denger, nih?” ledekku diiringi tawa.
Vivi menoleh dan berdecak, “Idih, ngeledek! Gini-gini, aku, tuh, cewek idaman di sekolah.”
Aku tergelak tak percaya. Vivi memukul lenganku saking kesalnya.
“Iya, ampun, dah. Terus, apa masalahnya sampe kamu ngumpet?”
“Enggak, syok aja. Duh, kayaknya dia ke sini mau minta jawaban Vivi, deh.”
“Ya udah, tinggal jawab aja apa susahnya? Kamu nnggak mau masuk rumah? Ya udah, Abang masuk sendirian, nih,” ancamku.
“I-ih, tunggu! Barengan napa, Bang!”
Vivi kembali naik setelah sebelumnya menarik napas panjang terdahulu. Kunyalakan kembali mesin motor dan melaju, masuk ke area halaman rumah Nyak Marni.
Saat turun, Nyak Marni dan laki-laki itu menyambut kami dengan senyum. Kami mengucap salam seraya melepas helm. Mereka menjawab serentak.
“Lama banget, Vi. Padahal cuma ngambil baju doang. Ini temen lu udah dari tadi nungguin,” terang Nyak Marni sambil senyum-senyum.
Vivi tak menjawab. Dia memilih menyapa laki-laki itu secara sopan dan canggung tentunya. Setelah kuamati, lelaki itu ternyata lebih dari kata lumayan. Tubuh tinggi, berkulit putih bersih, hidung bangir dan penampilannya cool abis. Sepantaran dengan Vivi. Tampaknya dia anak berdarah china, matanya sipit. Tapi entahlah, hanya mengira.
“Hai, Vi,” balasnya sambil tersenyum. Gigi putihnya berderet rapi. Tak lupa dia juga menyapaku dengan menganggukkan kepala sambil menunjukkan smiling eyes.
Merinding. Tiba-tiba kurasakan insecure melihat kesempurnaan fisiknya. Setelah mengunci motor, aku pamit kembali ke kamar kosan. Tak ingin tahu apa yang mereka obrolkan.
Ketika sampai, kamar masih terkunci, tandanya Fadlan belum kembali. Akan tetapi, aku tak melihatnya di jalan saat pulang tadi. Apa mungkin dia langsung ke bengkel?
“Terserahlah, capek. Nggak mau mikir. Mau tidur!” Diriku langsung melemparkan tubuh ke atas kasur.
Lambat laun kantuk menyerang, langit-langit kamar seakan memudar. Kutarik selimut agar tak ada nyamuk yang mengigitiku saat tidur nanti. Tubuhku terasa rileks.
“Gam!” Suara Fadlan mengejutkanku setengah mati. Membuatku terjatuh dari kasur.
“Kampret! Apaan, sih?! Ngagetin aja! Nggak liat orang baru mau tidur, apa?!” ocehku sedikit kesal.
Fadlan mengabaikan kekesalanku. Dia berdiri dengan ekspresi wajah lebih kesal daripada aku. Wajahnya mengeras, hidungnya kembang kempis. Membuat wajahnya tampak aneh.
“Wey! Kenapa?!” tanyaku sambil merubah posisi jadi berdiri. Menghadap Fadlan.
“Pokoknya, besok bakal nembak Vivi!”
Aku mengerutkan dahi, “Kenapa buru-buru? PDKT aja belum.”
Fadlan menatapku dengan serius, “Kamu nggak liat tadi ada cowok yang nyangkrong di depan teras? Gawat, Vivi bisa keburu diambil orang, Gam, kalau gini caranya.”
Bola mataku berputar ke atas, mencerna perkataan Fadlan. Maklum, sukma belum benar-benar terkumpul. Setelah beberapa detik, aku baru mengerti. Cowok yang dimaksud Fadlan adalah Rama.
“Aah. Iya, iya. Itu tadi datang mau ngapelin Vivi katanya,” ujarku mengompori. Fadlan langsung melotot.
“Hah? Maksudnya?”
“Cowok itu namanya Rama. Kata Vivi, kemarin dia nembak. Mungkin dia mau ngapelin Vivi. Kayaknya baru jadian,” jawabku bercanda sekenanya. Bibirku mengulum senyum. Fadlan semakin kesal.
“Ah, jangan becanda, Gam! Serius, ini!”
Gelak tawaku tak tertahan lagi, “Iya maaf, habisnya sensi amat, sih. Itu cowok belum dikasih jawaban kayaknya sama Vivi. Tenang aja, kulihat nggak ada tanda-tanda Vivi suka.”
Barulah Fadlan bisa bernapas lega.
“Pokoknya, besok aku mau mengutarakan perasaanku.”
“Jangan langsung nembak. Dia bisa ilfeel nanti kalau tiba-tiba kamu nembak. Akibatnya malah nanti dia menjauh.”
Matanya mendelik padaku. Dia merubah posisinya jadi duduk, “Harusnya gimana dong? Bingung cara PDKT sama Vivi.”
“Namanya juga ABG, Lan. Susah-susah gampang. Kamu harus tau apa yang dia suka dan nggak dia suka. Contoh, Vivi lebih suka es krim ketimbang coklat. Jangan salah beli, es krim aja harus rasa vanilla. Dia paling benci dikasih es krim coklat. Terus, yang kutahu, Vivi itu suka banget sama boyband asal korea. Nah, kamu, kan banyak duit, belikan tiket konser VVIP sono. Ajak dia. Dijamin, Vivi nempel.” saranku menjelaskan panjang kali lebar.
Fadlan mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Ajib bener, tuh, ide kamu Gam. Hmm, tiket konser, ya? Bentar, cari info dulu siapa tahu ada tempe,” ucapnya tak jelas. Dasar stres, budak cinta!
Fadlan berselancar di layar ponsel dengan serius. Tak lama matanya berbinar.
“Gam! Vivi suka boyband BST, nggak, ya? Delapan hari lagi bakalan konser di ...”
“Coba tanya aja, Lan. Chat Vivi.”
“Tapi sekarang dia lagi sama cowok lain. Apa chatku bakal dibaca? Mana cowoknya ganteng, lagi. Sainganku berat amat, ya?”
Kata-katanya tak berhenti membuatku tertawa, konyol.
“Justru itu, kamu harusnya ganggu mereka. Bukannya malah biarin. Itu mah namanya kamu ngasih banyak kesempatan sama itu cowok,” sahutku sambil merebahkan diri di sebelah Fadlan yang kini sibuk menatap ponsel.
Tak ada respon terhadap ucapanku. Dia fokus menatap layar ponsel.
“Yes! Yes! Yes!” serunya sambil berdiri dan memamerkan layar ponsel yang menyala. Tak jelas apa yang diperlihatkan.
Fadlan melompat di atas kasur, sehingga membuatku terombang-ambing. Kurang asem!
“Yes apaan?!” Aku beranjak ikut berdiri, penasaran. Kurebut ponselnya.
Di sana tertulis pesan,
[Vi, kamu mau nggak kalau Abang ajak nonton konser BST?]
“Centang biru. Tandanya Vivi baca, 'kan?”
“Yaelah. Baru diread doang sampe jingkrak-jingkrak.”
“Biarin. Yang penting dibaca dulu,” sanggahnya sambil tertawa bahagia.
Brakk!
Pintu terbuka dengan kencang saat aku dan Fadlan masih dalam keadaan posisi berdiri di atas kasur. Kami langsung mematung menatap ke arah pintu. Ternyata Vivi yang datang. Aku langsung loncat, pun dengan Fadlan.
“Kebiasaan kamu, Vi. Kalau mau masuk ketok pintu dulu! Walaupun ini kosan milik Enyak kamu, jangan gini-gini amat, kek!” gerutuku pada Vivi.
Dia tak menggubris ucapanku dan langsung menghampiri Fadlan. Bahkan, Vivi menabrakku begitu saja. Dasar, tak sopan!
“Bang, beneran mau ngajak Vivi nonton konser BST itu?” tanyanya sambil memegangi kedua tangan Fadlan.
Aku melongo, pun dengan Fadlan. Dia tersenyum lebar sambil mengangguk.
“Hah?! Daebak!” gumamku setengah tak percaya.
Bersambung ....
“Agam! Agam!”Mata ini terbuka lebar kala bapak memanggil dengan hebohnya. Aduh, padahal aku sedang enak-enaknya tidur siang di kursi teras yang memanjang, sambil merasakan desiran angin sepoi-sepoi. Malah terganggu.“Apa, sih, Pak? Teriak-teriak gitu.” Aku terpaksa bangun meski mata masih terasa lengket.Bapak muncul di ambang pintu. Dan kami akhirnya bertemu mata.“Owalah, di sini toh kamu. Dicariin juga!” ucap bapak menggerutu. Lantas mendekatiku. Di tangannya tersampir baju batik berwarna dasar abu-abu.Bapak mendorongku agar bisa sedikit bergeser. Lalu, ia duduk tepat di sampingku. Sementara diri ini masih saja mengucek mata, mengusir kantuk yang mendera.“Ada apa, Pak? Lagi enak-enaknya tidur malah gangguin. Enggak seru,” ujarku protes.“Sera seru, sera seru! Ini, batiknya udah jadi. Coba dulu, siapa tahu kurang pas, jadi bisa cepet-cepet diperbaiki lagi. Ini malah enak-enakan tidur. Udah tahu kita lagi sibuk buat acara lamaran besok. Mepet ini, Gam.”Bapak kalau sudah menghadap
Langit sudah mulai menguning, menampakkan warna-warna cantiknya di atas sana. Aku terdiam berdiri menghadap jendela.Dalam diamku, telintas gambaran Agam. Kenangan bersamanya saat dulu tinggal bersama di kosan nyak Marni kembali terkorek.Mata ini terpejam kala canda tawanya terngiang-ngiang di telinga.Ada suatu rasa bahagia sekaligus sedih merayapi dinding hati tanpa alasan. Dia pergi begitu harusnya aku senang, kan? Lantas, mengapa malah rasanya semakin menyiksa.“Apa salahku, Gam? Sampai kamu sudah tak ada pun, kamu tetap memberi luka lagi dan lagi,” teriakku menggila.Sial!Kepergiannya malah membuat sebagian dari diriku saling menyalahkan. Seperti akulah orang yang telah membuatnya angkat kaki dari tempat itu. Aku orangnya!“Aaargh! Kenapa, sih nggak ngilang aja sekalian! Mat—” Ucapanku menggantung di udara kala menyadari jika hampir saja diri ini mengucap doa buruk.Astagfirullah. Kulemparkan diri pada kasur besar ini, menutup wajah, merasakan sesal karena bisa-bisanya aku meny
Hari demi hari berlalu begitu saja, tetapi segunduk nyeri di hati ini tak kunjung mereda. Mengingat kembali pengkhianatan sahabatku Agam, ingin sekali aku menyayat diri dengan pisau tajam.Sayangnya aku tak cukup berani untuk melakukan itu.Jika disuruh untuk jujur, aku tak sepenuhnya menyalahkan Agam. Aku juga salah karena telah jatuh cinta dengan mudahnya pada anak nyak Marni tanpa pernah berpikir sekalipun kalau akan ada saat-saat di mana rasa sayang bak saudara itu akan berubah menjadi rasa sayang antara laki-laki dan perempuan.Ya, aku yang terlalu bodoh.Aku tahu Agam tak pernah menginginkan semua terjadi. Aku yakin dia mencoba menolak rasa yang perlahan hadir di hatinya. Akan tetapi, sepertinya aku terlalu lama pergi, sehingga dia tak lagi sanggup menahan rasa yang telah berakar kuat tanpa ia sadari sendiri.“Sial, memang!” umpatku sengaja. Kini, aku sedang menatap tembok bercat putih bersih di kamar. Kacau.Sekelebat bayangan Vivi yang menolakku mentah-mentah beberapa waktu la
Pagi menyapa dengan dinginnya. Ketika mentari masih bersembunyi di balik awan, keluargaku sudah mengintrogasi diri ini. Menanyakan alasan kepulanganku yang super mendadak ini. Untungnya mereka percaya saat mulutku berkata pulang demi ingin memulihan diri. Mereka malah mendukung seratus persen.Yah, meski bukan pemulihan diri asli, tapi pmulihan hati lebih tepatnya.***Aku masih berjibaku di halaman belakang. Sedang mencabut singkong yang ditanam bapak. Ceritanya mau makan sup singkong buatan ibu.Hampir sepuluh tahun tinggal di kota, aku sampai lupa bagaimana caranya mencabut singkong yang baik dan benar. Dua kali terjungkal rasanya telah menjadi hal wajar ketika gagal mencabutnya, kan?Setelah banyak menghabiskan tenaga, akhirnya singkong yang kumau didapat juga. Lihatlah, tubuh ini basah oleh keringat. Ibu sampai geleng-geleng sambil tertawa melihat diri ini yang merosot ke lantai usai menyerahkan singkong-singkong itu ke tangannya.Ah, yang benar saja. Cabut satu pohon singkong be
Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku
Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma