Share

Cemburu!

Author: Renti Sucia
last update Last Updated: 2021-09-02 03:35:00

“Diem terus, kenapa, sih?” tanyaku pada Fadlan saat mulai menyadari sikapnya sedikit berubah. Rasa penasaran itu kian mencuat. Apa dia mendiamkanku karena kejadian di teras tadi pagi?

“Ah, nggak apa-apa. Mungkin efek lapar.” Sanggahan yang tak masuk di akal. Namun, aku mengangguk saja, seolah percaya dengan ucapannya.

“Oh, kalau gitu, aku beli makanan dulu ke depan, ya? Kebetulan kita belum makan siang.” Aku menawarkan diri untuk membeli makan. Fadlan menganggukkan kepala tanpa bicara sepatah kata pun.

Akhirnya aku pergi ke warteg langganan yang tak jauh dari rumah Nyak Marni. Seperti biasa, Mpok Latifah—pemilik warteg—menyambut kedatanganku dengan ramah saat aku tiba.

“Mpok, yang biasa,” pintaku saat memesan lauk dengan nasi. Mpok Latifah yang sudah hafal dengan pesananku pun segera membungkus nasi serta lauknya.

“Ini, Gam.” Mpok latifah memberikan satu kantong plastik berisi makanan yang kupesan.

“Loh, kok, cuma satu, Mpok?” tanyaku heran. Biasanya, tanpa dijelaskan lagi, Mpok Latifah akan membuat dua porsi untukku dan Fadlan.

“Tadi Fadlan udah makan di mari, Gam. Makanya aye pikir cuma pesen satu. Bentar, deh. Aye bungkusin lagi,” jawabnya.

‘Hah?! Kok?’ Aku terperangah.

“Mpok, nggak usah. Cukup ini aja. Kirain Fadlan belum makan siang.”

“Jadi, enggak usah, nih?”

“Enggak usah, Mpok. Ini uangnya. Mari ....” Aku pun pamit setelah menyerahkan uang sebesar dua puluh lima ribu rupiah.

Selama perjalanan, aku kepikiran dengan Fadlan yang berbohong padaku perihal kata 'Lapar' tadi. 

‘Nggak bener, nih. Udah pasti Fadlan ngambek gara-gara tadi pagi aku ngobrol sama Vivi.' 

Pikiranku sudah berakar ke mana-mana. Cemas kalau Fadlan akan marah padaku terlalu lama. Sudah hampir setengah hari dia mendiamkanku seperti ini, bahkan berbohong dengan mengatakan lapar. Padahal, kenyataannya dia sudah makan siang tanpa mengajakku. 

Ketika sampai, kulihat Fadlan sedang duduk di depan teras sambil memainkan ponsel. Sesekali dia tertawa. Saat menyadari kedatanganku, dia kembali menunjukkan raut wajahnya yang cuek.

“Lan, kayaknya kita perlu bicara. Sepertinya kamu salah paham padaku,” kataku dengan posisi masih bediri di hadapannya.

“Ngomong apa, sih? Ngelantur,” sahutnya tanpa membalas tatapanku.

“Semua karena Vivi, kan? Jangan kekanak-kanakan, deh, Lan. Cemburu berlebihan kayak gitu sampe bohongin temen sendiri.”

Akhirnya dia mau menatapku. Wajahnya tampak kesal. Fadlan bangkit dari duduknya.

“Jujur aja, deh. Kamu suka Vivi juga, kan?”

Aku terperangah, tak percaya dengan tudingan Fadlan yang mengada-ada. Bagaimana mungkin dia bisa sembarang menyimpulkan hal semacam itu hanya karena tadi pagi aku mengobrol berdua dengan Vivi?

“Jangan asal tuduh, mana mungkin aku suka Vivi. Dia itu sudah kuanggap adik sendiri. Kamu juga tahu, kan? Kejadian ngobrol tadi itu nggak direncanakan sama sekali. Plis, jangan berpikir negatif gitu.”

Fadlan diam menatapku, “Habisnya ....”

“Apa lagi?! Kita ini sudah dewasa, harusnya kamu berpikir jernih, bukan main tuding aja. Otakmu itu udah penuh sama racun cinta, tuh, sampe berpikir yang bukan-bukan.”

Fadlan terdiam, kepalanya menunduk seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibunya saja.

“Iya, aku salah. Maaf. Sebenarnya, aku cuma kesal aja karena ternyata Vivi nggak jadi lari pagi. Terus, kamu juga nggak ngasih tahu. Malah kalian asyik ngobrol,” jelasnya. Akhirnya Fadlan mengakui kesalahan dirinya sendiri, walau berakhir menyalahkanku juga.

“Oh, itu masalahnya. Oke, aku minta maaf karena lupa nggak ngasih tahu. Soalnya dia langsung ngomongin tentang temen-temennya gitu. Itu aja, sih. Nggak ada yang lain.”

Fadlan mengangkat kepalanya dan menatapku. Raut wajah kesalnya mulai memudar. Terlihat tanda-tanda Fadlan memaafkanku dari sorot mata itu. Kini, pandangannya beralih pada kantong plastik berisi makanan yang kubawa.

“Belinya, kok, cuma satu?” tanyanya sambil merebut plastik tersebut, lalu membawa nasi bungkus tersebut ke dalam. Aku mengekor di balik punggung Fadlan. Tanpa permisi, dia menaruh di meja dan membukanya.

Aku mengambil sendok dalam rak di pojok ruangan.

“Alah, tadi siapa yang bohongnya ketauan? Bilang lapar padahal udah makan. Ck! Gara-gara cewek doang sampe tega bohongin temen sendiri,” sindirku sambil melihat Fadlan yang kini menatap ke arahku.

Dia diam sesaat, lalu mengambil sendok yang ada di tanganku, “Itu, kan, tadi. Sekarang udah laper lagi. Bagian mana bohongnya?” Fadlan tertawa kecil dan menyendok nasi hangat yang masih mengepulkan asap. 

“Woy, itu makanan siapa? Main suap-suap aja!” gerutuku yang segera mengambil sendok dan mulai ikut makan.

Akhirnya, sebungkus nasi itu kami lahap berdua. Fadlan sepertinya sudah tak mempermasalahkan kejadian tadi pagi. Namun, sebagai gantinya aku harus mau membantu Fadlan untuk bisa membuat Vivi menyukainya juga.

“Okey, setuju.” Aku mengatakannya dengan semangat. 

Fadlan mengangkat sendoknya, “Janji, ya?”

“Dasar kampret.” Kutoyor kepala Fadlan saking geli dengan perkataanya yang seperti anak kecil itu.

***

Fadlan yang sedang kasmaran kini tengah duduk di hadapan meja yang mengarah ke jendela. Mentari yang sudah hampir tenggelam pun membiaskan cahaya kekuningan lewat kaca.

Dia sedang mencatat sesuatu dengan serius. Saat aku diam-diam melihatnya, ternyata Fadlan mencatat tahap dan rencana untuk pendekatan dengan Vivi. Ada-ada saja kelakuannya. Usia saja sudah dewasa, sikapnya malah seperti ABG yang baru saja pubertas.

“Lebay!” sindirku sambil berpura-pura lewat di belakangnya. Kurasa dia tidak menyadari bahwa sejak tadi aku mencuri pandang pada catatan itu.

Fadlan tak peduli dengan ejekanku dan terus mencatat sambil menggerutu, “Alah, aku jamin nanti juga kamu bakal ngalamin.”

Aku tergelak, lalu merebahkan diri di kasur. "Mustahil. Aku bukan tipe orang lebay kayak kamu."

Kini, Fadlan malah ikut tertawa. Suasana ruangan kamar kost terasa hangat kalau ada dia. Fadlan adalah sosok teman yang sangat penting dalam hidupku. Satu-satunya yang rela mengarungi lautan suka duka bersamaku. Seseorang yang mampu membuatku menyunggingkan senyum setiap harinya. Diakah yang dinamakan sahabat sejati? 

Di tengah gelak tawa yang belum kunjung mereda, ponselku berdering dalam saku celana. Aku tercengang dan langsung mengenali nomor itu karena tadi pagi aku sempat melihat riwayat panggilan di ponsel berkali-kali.

Fadlan berhenti tertawa dan menoleh padaku, “Gam, siapa, tuh? Nggak diangkat?”

Aku bangkit dan duduk di tepi ranjang. Kecamasan kembali menyerang kala menatap lekat layar ponsel. Jantungku kian tak terkendali ketika nada dering memasuki bagian reff. 

Fadlan merebut ponselku tanpa permisi dan mengamati nomor tanpa nama itu, lalu menerima panggilannya sebelum mati, “Hallo? Ini siapa?”

Aku membiarkan Fadlan yang menjawabnya. Tatapanku menerawang jauh ke luar jendela, lalu beralih menatap langit-langit kamar dengan perasaan kacau. Apa yang harus kulakukan? Kecemasan ini kian menjadi kala mendengar percakapan Fadlan dengannya sangat lancar. Sekilas kulirik dia hanya mengangguk dan menjawab ‘Iya’. 

‘Dia sudah dua kali mencoba menghubungiku. Baiknya aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku terus menghindar seperti ini. Setidaknya, sekali ini saja kucoba dengarkan. Cukup sekali saja.’

Kuhela napas panjang dan berusaha menormalkan detak jantung, “Bismillah ....”

Kurebut ponsel yang masih menempel di telinga Fadlan dengan penuh keyakinan. Fadlan menautkan alis seolah sedang mengatakan 'Kamu yakin?'. Aku mengangguk. Fadlan mengacungkan jempol sebelum akhirnya memilih pergi ke luar. Mungkin ingin memberiku ruang.

“Assalamualaikum, Gina.”

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Yuk, Nikah!   End Episode

    “Agam! Agam!”Mata ini terbuka lebar kala bapak memanggil dengan hebohnya. Aduh, padahal aku sedang enak-enaknya tidur siang di kursi teras yang memanjang, sambil merasakan desiran angin sepoi-sepoi. Malah terganggu.“Apa, sih, Pak? Teriak-teriak gitu.” Aku terpaksa bangun meski mata masih terasa lengket.Bapak muncul di ambang pintu. Dan kami akhirnya bertemu mata.“Owalah, di sini toh kamu. Dicariin juga!” ucap bapak menggerutu. Lantas mendekatiku. Di tangannya tersampir baju batik berwarna dasar abu-abu.Bapak mendorongku agar bisa sedikit bergeser. Lalu, ia duduk tepat di sampingku. Sementara diri ini masih saja mengucek mata, mengusir kantuk yang mendera.“Ada apa, Pak? Lagi enak-enaknya tidur malah gangguin. Enggak seru,” ujarku protes.“Sera seru, sera seru! Ini, batiknya udah jadi. Coba dulu, siapa tahu kurang pas, jadi bisa cepet-cepet diperbaiki lagi. Ini malah enak-enakan tidur. Udah tahu kita lagi sibuk buat acara lamaran besok. Mepet ini, Gam.”Bapak kalau sudah menghadap

  • Yuk, Nikah!   POV Fadlan (Keputusan Akhir)

    Langit sudah mulai menguning, menampakkan warna-warna cantiknya di atas sana. Aku terdiam berdiri menghadap jendela.Dalam diamku, telintas gambaran Agam. Kenangan bersamanya saat dulu tinggal bersama di kosan nyak Marni kembali terkorek.Mata ini terpejam kala canda tawanya terngiang-ngiang di telinga.Ada suatu rasa bahagia sekaligus sedih merayapi dinding hati tanpa alasan. Dia pergi begitu harusnya aku senang, kan? Lantas, mengapa malah rasanya semakin menyiksa.“Apa salahku, Gam? Sampai kamu sudah tak ada pun, kamu tetap memberi luka lagi dan lagi,” teriakku menggila.Sial!Kepergiannya malah membuat sebagian dari diriku saling menyalahkan. Seperti akulah orang yang telah membuatnya angkat kaki dari tempat itu. Aku orangnya!“Aaargh! Kenapa, sih nggak ngilang aja sekalian! Mat—” Ucapanku menggantung di udara kala menyadari jika hampir saja diri ini mengucap doa buruk.Astagfirullah. Kulemparkan diri pada kasur besar ini, menutup wajah, merasakan sesal karena bisa-bisanya aku meny

  • Yuk, Nikah!   POV Fadlan (Oh Ternyata)

    Hari demi hari berlalu begitu saja, tetapi segunduk nyeri di hati ini tak kunjung mereda. Mengingat kembali pengkhianatan sahabatku Agam, ingin sekali aku menyayat diri dengan pisau tajam.Sayangnya aku tak cukup berani untuk melakukan itu.Jika disuruh untuk jujur, aku tak sepenuhnya menyalahkan Agam. Aku juga salah karena telah jatuh cinta dengan mudahnya pada anak nyak Marni tanpa pernah berpikir sekalipun kalau akan ada saat-saat di mana rasa sayang bak saudara itu akan berubah menjadi rasa sayang antara laki-laki dan perempuan.Ya, aku yang terlalu bodoh.Aku tahu Agam tak pernah menginginkan semua terjadi. Aku yakin dia mencoba menolak rasa yang perlahan hadir di hatinya. Akan tetapi, sepertinya aku terlalu lama pergi, sehingga dia tak lagi sanggup menahan rasa yang telah berakar kuat tanpa ia sadari sendiri.“Sial, memang!” umpatku sengaja. Kini, aku sedang menatap tembok bercat putih bersih di kamar. Kacau.Sekelebat bayangan Vivi yang menolakku mentah-mentah beberapa waktu la

  • Yuk, Nikah!   Rencana Bapak

    Pagi menyapa dengan dinginnya. Ketika mentari masih bersembunyi di balik awan, keluargaku sudah mengintrogasi diri ini. Menanyakan alasan kepulanganku yang super mendadak ini. Untungnya mereka percaya saat mulutku berkata pulang demi ingin memulihan diri. Mereka malah mendukung seratus persen.Yah, meski bukan pemulihan diri asli, tapi pmulihan hati lebih tepatnya.***Aku masih berjibaku di halaman belakang. Sedang mencabut singkong yang ditanam bapak. Ceritanya mau makan sup singkong buatan ibu.Hampir sepuluh tahun tinggal di kota, aku sampai lupa bagaimana caranya mencabut singkong yang baik dan benar. Dua kali terjungkal rasanya telah menjadi hal wajar ketika gagal mencabutnya, kan?Setelah banyak menghabiskan tenaga, akhirnya singkong yang kumau didapat juga. Lihatlah, tubuh ini basah oleh keringat. Ibu sampai geleng-geleng sambil tertawa melihat diri ini yang merosot ke lantai usai menyerahkan singkong-singkong itu ke tangannya.Ah, yang benar saja. Cabut satu pohon singkong be

  • Yuk, Nikah!   Tangisan Penyesalan

    Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku

  • Yuk, Nikah!   Pulang Kampung

    Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma

  • Yuk, Nikah!   Ayo Putus

    Kawin lari? Oh, tidak. Ini sama saja dengan kami memukul genderang perang, menantang. Dan aku sungguh tak menginginkan perang itu terjadi.“Apa?! Apa lu bilang? Ka-kawin?!”Sayangnya kemarahan nyak Marni telah meledak bahkan ketika aku belum menolak ajakan Vivi itu.Bugh! Bugh!“Aw, Nyak! Nyak sakit!” pekikku setelah gagang sapu yang dipegang nyak Marni mendarat beberapa kali di kepala.Karena gagangnya panjang, jadi dengan mudah memukulku. Akan tetapi, aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Berlari, mondar-mandir, bahkan berjongkok dan melompat demi melindungi kepala ini. Kepala yang sudah mau meledak karena mumet.“Aduh, Enyaak!” Vivi mencoba menghalangi, merentangkan kedua tangannya.Nyak Marni sempat berhenti sekejap. Namun aku tahu itu tak membuat kemarahannya reda. Malah yang ada lebih membara lagi.“Lu mau dipukul juga?! Hah!” Nyak Marni segera mengangkat sapu itu ke udara. Gegas aku mengangkat tangan, niatnya ingin menangkap gagang itu.Akh! Tak tahan rasanya! Aku ingin s

  • Yuk, Nikah!   Diajak Kawin Lari

    Semesta telah menentang, apakah aku punya hak untuk menyalahkan semua kepada-Nya?Astagfirullah ....Dari sekian banyaknya hal yang membuatku marah, kecewa, sedih, juga menyesal, mengapa aku sampai berfikir untuk menyalahkan Sang Pencipta?Kuhela napas berat, menyesali hal yang baru saja kulakukan.“Bodoh, kamu bodoh, Gam,” gumamku seraya menggusur koper berisi pakaian juga dokumen penting lainnya.“Pergi aja, enggak usah lirik kiri, lirik kanan. Vivi dikurung sama enyak, jangan harap bisa melihatnya,” lanjutku murung.Saat ini diriku masih berdiri tegap di ujung jalan, memerhatikan pagar yang menutup sedih. Aku sedang menunggu angkot di sini.Namun, tak lama pagar terbuka. Aku tak menyangka Vivi keluar dengan membawa ... tas besar? Untuk apa itu semua?Dia berlari ke arahku.“Vivi?!” Refleks diri ini juga menyambut kedatangannya.“Abaang.” Ia merangkul lenganku dengan tangis kecil yang memenuhi telinga.Kutarik kedua bahunya dengan perasaan kaget luar biasa.“Kenapa kamu keluar? Nant

  • Yuk, Nikah!   Kerasnya Hati Nyak Marni

    Aku telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, dan mereka akhirnya satu-persatu memilih membenci diri ini, lalu pergi meninggalkan tanpa ragu.“Putusin anak gue, dan jangan harap elu bisa masuk ke kehidupan kami lagi. Pergi lu dari sini.”Deg!Aku terpaku ketika akhirnya kata yang amat paling kutakuti keluar juga dari mulut nyak Marni.Pagi ini aku sudah dibuat gila dengan kepergiannya orang-orang yang aku sayang.Apa ini? Mengapa jadi begini?Mengapa mencintai satu perempuan muda saja sampai menghancurkan setengah dari hidupku, juga hidup orang lain?Apakah ini hukuman dari Yang Maha Kuasa karena aku melanggar janji kepada Fadlan? Ataukah ini karma karena aku melanggar janji kepada nyak Marni untuk tidak memacari putrinya?Astagfirullah ... jika ini terjadi sebagai bentuk ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Namun, hamba mohon, jangan sampai Fadlan atau nyak Marni terus menutup hatinya dan terus marah sepanjang waktu. Jika berpisah dengan Vivi adalah jalan satu-satunya agar hamba mend

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status