Share

Tentang Semua

Pagi kembali menyapa seperti biasa. Saat membuka mata, ingatan semalam—tentang Gina menghubungiku—kembali terngiang di benak. 

“Mas, ini Gina ....”

Aku hanya terdiam saat mendengarnya. Suara itu masih sama seperti dulu, halus dan membuat jantungku berpacu. Seketika, potongan-potongan memori yang telah lama terkubur oleh waktu pun kembali menyembul ke permukaan. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga potongan yang berserakan itu kembali menyatu, memperlihatkan bagaimana kami merajut kasih selama bertahun-tahun. 

Hatiku terasa sakit, kala semua momen mulai tergambar jelas, terutama saat hari pertunangan yang berakhir dengan pengkhianatan. Suaraku kelu, dadaku tiba-tiba terasa sesak, mual dan pusing menyerang. Aku dilanda kecemasan hebat. Walau begitu, ponsel masih menempel di telinga, seakan tak rela menekan tombol 'Mengakhiri percakapan'. 

“Gam?! Gam?!” Remang-remang suara Fadlan terdengar. Kurasakan tangannya menyentuh punggung, sehingga membuat kesadaran pikirku perlahan kembali.

Spontan panggilan pun kuakhiri. 

“Masih melek, Gam?” tanya Fadlan.

“Iya, mau tidur sekarang, ngantuk.” Hanya itu yang kukatakan. 

Untungnya Fadlan tak curiga. Dia pun kembali melanjutkan tidur. 

Sejenak aku berpikir bahwa mungkin aku sedang bermimpi, atau berhalusinasi. Namun, semua terasa nyata. Pikiranku kalut, membuat banyak pertanyaan. Kenapa dia menghubungiku? Untuk apa? Ada apa? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya dalam benak yang tak mungkin kutanyakan padanya. 

Aku tak ingat jam berapa bisa memejam mata. Hanya saja, beberapa kali aku terbangun karena mimpi buruk mendatangiku. Akibatnya aku sampai kesiangan. Fadlan membangunkanku setengah enam pagi, dan menyuruhku melaksanakan ibadah dua rakaat.

***

Seperti hari-hari sebelumnya, hawa pagi berpolusi menemani rutinitasku yang siklusnya itu-itu saja. Namun, tak membuatku bosan dan malah aku menikmatinya. Setelah menyeduh kopi moka instan, aku duduk di bangku teras depan kamar kost. Tak lama Fadlan keluar dengan penampilan berbeda. Seperti orang yang mau pergi jogging.

“Mau ke mana, Lan?” tanyaku heran. 

“Ya, mau larilah. Masa mau kuli di hari libur,” sahutnya sambil melakukan peregangan tangan.

“Tumben? Gak ada angin, gak ada ujan, tiba-tiba mau olahraga," celetukku. Dahiku mengerut.

Fadlan bukanlah tipe orang yang suka olahraga, aku tahu itu. Hidup bersama dengannya selama tujuh tahun membuatku mengenal dia cukup baik. 

“Vivi mau lari hari ini,” ucap Fadlan sambil memperlihatkan postingan status di aplikasi hijau di ponsel miliknya.

“Hmm, pantesan. Awas nanti cuaca langsung berubah,” godaku sambil nyengir. 

Fadlan berdecak, “Asem!”

Aku tergelak, tetapi tidak dengannya. Rautnya menampakkan kekesalan luar biasa.

“Usaha, kan, perlu. Aku mau mulai PDKT,” terangnya penuh percaya diri. Dia pun pergi dari hadapanku.

Aku hanya menggeleng sambil tertawa. Namun, selang beberapa detik kemudian aku kembali ingat akan sosok Gina. Parasnya yang cantik membuatku kembali terhasut untuk mengingat kenangan bersamanya. Heran, aku ini terkena pelet atau apa? Setahun lamanya berusaha melupakan, dalam satu hari saja keteguhanku runtuh. 

“Bang?!” Suara nyaring terdengar di telinga.

Aku terperanjat, dan sadar dari lamunan. Kulihat Vivi sudah ada di hadapan wajahku dengan jarak dekat. Lagi-lagi aku hanyut dalam lamunan sendiri sampai tidak menyadari kedatangan Vivi.

“Vivi?! Ngagetin aja!” sentakku sambil mengelus dada.

“Idih, siapa yang ngagetin?! Abang aja yang budeg, ga denger panggilan Vivi. Malah ngelamun. Awas kesambet setan!” 

Aku menatap nyalang, “Sembarangan kalo ngomong, nih, bocah!” tegasku sambil mendorong kepalanya mundur. Dia pun ikut duduk di bangku.

“Yaelah, Vivi becanda doang. Mikirin apa, sih, sampe ga nyadar Vivi datang?” tanyanya. Kali ini dia tampak serius.

“Gak ada,” kilahku sambil tersenyum. Berusaha menyembunyikan kegundahan di hati yang muncul sejak mendengar suara Gina semalam.

“Bohong, ya? Abang pasti ada masalah. Sini bilang. Jangan dipendem. Nanti jerawatan,” tawarnya dengan mimik serius meski diiringi candaan.

Seperti biasa, Vivi bisa menebak kalau aku berbohong. Dia bagaikan dukun sakti yang bisa membaca pikiranku. Entah mungkin karena kami sudah lama saling kenal, sehingga dia bisa memahamiku, atau hanya asal menebak.

“Gak ada, Vi.”

“Mulut bisa bohong, mata Abang gak bisa bohong. Ada apa? Jujur aja kali bang.”

“Gak ada, beneran.” Aku berusaha meyakinkan. Vivi diam sambil memicingkan mata.

Saat melihat Vivi, aku menyadari satu hal. Bukannya dia mau lari pagi?

“Vi, bukannya mau lari pagi?” tanyaku memastikan.

“Tadinya mau, tapi gak jadi. Soalnya temenku gak jadi. Kalau sendirian, Vivi gak mau,” terangnya.

“Oh ....” Perasaanku jadi tak enak. Bagaimana dengan Fadlan?

“Kenapa emangnya? Eh, tapi Abang tau dari mana?” Dia malah bertanya balik.

Aku gelagapan, “Liat di story, tadi.”

Vivi mengangguk.

“By the way, lagi galau karena perempuan, ya, Bang?” tanyanya sambil menautkan kedua alis tipis tapi simetris miliknya. 

Aku menatap manik-manik beningnya lekat. Bulat, dan bulu matanya lentik. Irish coklatnya meneduhkan pandangan. Tak kusangka dia adalah bocah yang dulu sering mengadu padaku saat masih berseragam SD. Sekarang, setelah dia beranjak dewasa, aku yang malah sering mengadu tentang permasalahanku padanya, dan dia yang nanti akan membantuku menyelesaikan masalah tersebut.

Aku menghela napas dalam satu tarikan dan mengeluarkannya perlahan. 

'Baiklah, Vivi. Biarkan aku percaya kepadamu untuk kedua kalinya. Izinkan aku mengeluarkan semua yang mengganggu pikiranku. Biarkan aku melepas bebanku dalam bentuk cerita singkat padamu. Agar perasaanku lebih baik dan tak terbebani lagi.'

“Bang?” Vivi menyentuh bahuku. Menatap dengan sorot yang meyakinkan. 

Aku tersadar, dan mulai bercerita.

“Dia nelepon Abang, semalam, Vi.” Jantung yang berpacu saat mengucap 'Dia' pun semakin menghentak, seolah baru saja meledak.

Vivi diam. Ia tak bereaksi apa pun setelah ucapanku barusan. Mungkin dia belum sepenuhnya paham dengan apa yang kuucapkan.

“Dia ...? Siapa?” tanya Vivi penasaran.

“Gina,” jawabku singkat. 

Vivi diam dengan ekspresi yang tak bisa kujelaskan. Matanya tak berkedip, dan menatap lurus padaku. 

“Dia? Perempuan itu?! Mau apa?” Vivi bertanya dengan raut wajah datar.

Aku menggeleng, “Aku langsung menutup teleponnya setelah tau itu dia. Kami tak saling bicara.”

Setelah mengatakannya, Vivi tak berusaha menelisik lebih dalam lagi, mengorek sedikit saja tidak. Mungkin karena bosan mendengar tentang Gina atau apa. Aku tak tahu. Jelasnya, Vivi memang tidak suka kepada Gina sejak tahu aku dikhianati setahun lalu.

“Kenapa diam, Vi?”

“Abang seneng dia nelepon?” Entah perasaanku saja atau bukan, Vivi tampak sinis.

“Seneng? Enggak, tuh. Malah mood-ku terasa buruk setelah denger suaranya,” sangkalku. Padahal, dalam sebagian perasaan yang bercampur aduk, ada secuil ego yang membuat aku sedikit rindu. Ya, hanya sedikit. 

“Bagus, deh.” Vivi memperlihatkan senyum terpaksanya. Dugaanku, dia mungkin memang tidak suka kalau aku membicarakan tentang Gina.

Setelah itu aku mengalihkan pembicaraan. Bertanya tentang sekolah Vivi. Suasana pun kembali mencair seperti biasa, dan raut wajah Vivi kembali sumringah. Kami tergelak bersama saat saling berbagi cerita konyol yang pernah dialami. Tak terasa pembicaraan kami ternyata sudah berlangsung kurang lebih lima belas menit lamanya. 

Tawaku terhenti seketika, saat melihat Fadlan menatap kami dari jarak sekitar sepuluh meter. Dia tampak lesu dengan rambut yang agak mengkilap, mungkin karena basah oleh keringat. Sorot matanya mengarah padaku. Entah mengapa tatapannya itu seolah mengeluarkan aliran listrik bertegangan tinggi. Vivi yang baru menyadari kedatangan Fadlan pun menghentikan tawanya.

“Eh, Bang Fadlan, habis lari pagi, ya?” sapa Vivi sambil tersenyum.

Fadlan mengalihkan pandangan pada Vivi, dia tersenyum getir.

Ingin rasanya aku tertawa mendengar pertanyaan Vivi itu. Dia tak tahu kalau Fadlan sengaja lari pagi untuk bisa 'Pendekatan' dengannya. Namun, di sisi lain aku jadi tegang, takut Fadlan salah paham.

“Kalian ....”

Dia cemburu pastinya.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status