Waktu telah berganti. Sore yang kunanti telah tiba. Embusan angin menggoyang dedaunan yang pohonnya berdiri kokoh di tepi jalan.Aku mengambil kunci mobil Fadlan dan bergegas pergi ke bandara.Fadlan sempat meminta nomor telepon milikku yang aktif sebelum dia naik pesawat, katanya agar mudah untuk berkomunikasi ketika dia turun di bandara.Sekarang sudah hampir jam lima, tapi dia belum juga memberiku kabar barang sekali. “Apa-apaan manusia satu itu. Suruh jemput tapi tidak bilang jam berapa dengan jelas. Hanya bilang sore jemput.” Aku bergumam selama perjalanan.Entah niat iseng atau apa, yang jelas ini membuatku sedikit jengkel.Ponselku berbunyi, kupikir itu Fadlan, tetapi ternyata Vivi. Karena tanggung sedang nyetir dan lupa tak bawa headset, akhirnya panggilan itu hanya menganggur. Dan dringnya terdengar lebih panjang ketika sengaja aku menunggu panggilan mati.Ada yang aku lupa. Vivi tak kuberitahu soal kepulangan si hidung ingusan. Enyak juga. Oh, ya. Semua juga tak kuberitahu.
Aku menyetir tak terlalu konsentrasi. Sedikit-sedikit lirik kiri, mendengarkan ocehan Fadlan gugup. Sudah pakai jurus diam seribu bahasa begini saja masih membuat aku gugup, bagaimana kalau menyahuti setiap cerita yang dia sampaikan?Sumpah, aku sangat takut keceplosan soal hubungan rahasiaku bersama Vivi. Maka dari itu, dari tadi lebih memilih bungkam.Kalau dia bicara ini dan itu, aku hanya menanggapi sewajarnya. Iya dan iya saja. Terkadang aku ikut tertawa, tapi tak tahu apa yang sebenarnya ditertawakan.“Gam, dari tadi kamu diam terus. Enggak kangen, apa?”“Hah?” Kaget, refleks aku menoleh dan tak sengaja menginjak pedal lebih dalam.“Heh, Gam! Hati-hati!” tegur Fadlan berpegangan. Mungkin dia takut dibawa celaka.“Maaf, maaf. Efek fokus ke jalanan,” sahutku singkat. Mata ini kembali fokus lurus menatap jalanan yang tampaknya akan segera macet. “Bisa nggak ceritanya nanti saja di kosan. Biar aku puas jadiin kamu bulan-bulanan. Sudah lama sekali enggak ada kekerasan dalam ranah p
Aku duduk memandang ketiga orang itu saling melepas rindu. Kedatangan Fadlan sungguh jadi kejutan yang lebih dari aku bayangkan.Lihatlah sekarang, betapa bahagianya mereka kembali bertatap muka, sampai aku seolah tak nampak di mata mereka. Aku tersisih, sendiri menatap agak kesal.“Ya Allah, Fadlan. Elu cakep banget pulang dari Cina. Lu operasi plastik, ya?” celetuk Nyak Marni sembarangan. Kedua tangannya meraba-raba wajah Fadlan, terkadang mencubit gemas.“Iya, ih. Bang Fadlan tambah putih kayak personil boyband.”Hah? Bahkan Vivi juga memuji? Asem bener, dia sama sekali tak memandangku di sini. Menyebalkan.“Ha ha ha. Bisa aja. Ya, enggaklah Nyak. Mana berani operasi segala. Ini, nih udah ganteng dari sananya.”Aih, kuyakin hidung si Fadlan melayang sekarang. Lihat saja betapa dia salah tingkah. Pakai acara menunduk malu-malu gajah. Garuk-garuk tengkuk.Jika boleh jujur, aku memang terbakar api cemburu. Terlebih Vivi bersentuhan fisik secara langsung. Haduh, inginnya menarik tangan
Angin sepoi mendesir mengitari tengkuk leher sehingga hampir semua bulu kuduk berdiri. Separah inilah efek dari pengakuan cemburuku itu. Sungguh menggelikan.Aku menunduk malu. Namun, rasa takut kepergok Fadlan lebih besar sekarang. “Gemes banget, sih ... jadi pengen makan Abang. Jangan cemburu,” ujarnya konyol. Vivi mencubit kedua pipi, aku segera menyingkirkan tangan itu walau akhirnya dia agak tak terima.“Ih, pelit.” Desisan itu sangat sering kudengar akhir-akhir ini. Sampai aku hafal.“Belum sah.” Lagi-lagi ini menjadi alasan. Namun, sedikit banyak gadis muda di hadapanku paham. “Udah mau azan, Sayang. Balik, gih,” sambungku dengan suara paling pelan. Tentunya dengan debaran jantung yang amat hebat. Takut ada yang dengar.Bahkan mata ini masih memindai jalan satu-satunya menuju ke mari. Takut andai Fadlan datang dadakan, nanti kalau tak ketahuan, alamat gawat!“Kalau gitu, ayo jadiin Vivi istri sah. Biar apa-apa boleh. Ya, Sayang,” rengeknya manja.Duh, dia malah salah tanggap.
Pacar kamu. Pacar kamu. Pacar kamu.Kata itu terngiang di telinga. Makanan yang menggantung sejajar dengan perut hampir terjatuh tatkala tangan yang memegangi plastiknya melemas.Sungguh, aku sangat kesulitan bernapas. Jangankan untuk berlari merebut ponsel, rasanya kakiku bagai sedang dirantai. Sulit digerakan.Apa-apaan ini? Bukannya tadi dia tidur? Kenapa sekarang malah ....“Gam!”Seruan itu mengaburkan seluruh pikiran gelisahku. Sedikit tersadar, ternyata Fadlan kini telah berdiri tepat di depan mata.Kupindai tangannya teliti. Itu dia. Memang ponselku.“Tegang banget,” ucap Fadlan sembari menepuk bahuku. Ponselnya! Barikan ponselnya!“Aku tidak seberengsek itu, yang main buka-buka chat orang. Ini, cuma tadi lihat kelip-kelip di meja, jadi aku lihat. Eh, malah nemu nama ‘Pacar’ di notifikasi layar.”Fadlan tertawa kencang. Sementara aku masih loading. Maksudnya? Jadi, dia belum tahu soal hubunganku dengan Vivi?“Ya, ampun. Seorang Agam punya pacar. Ha ha ha. Kukira akan menjomlo
Aku telah terluka, tapi tak ada obat bagi sakitku ini.Kaus dengan sablon bertuliskan ‘Friend Forever’ yang sedang dipegang ini jatuh dari tangan. Pikiranku kosong seakan hanyut dalam keterkejutan yang teramat besar.“Hah? Nem—” Ucapan ini bahkan terlalu menyekitkan untuk sekadar kuucap.Fadlan, dia sungguh-sungguhkah?“Heh, ngelamun!”Aku segera menyadari sikap bodohku ini, lantas langsung memasang senyum palsu seolah-olah aku senang mendengar keputusan itu.“Bantu aku, ya Gam. Kamu tahu, selama tinggal di negeri orang, setiap malam aku menyesal karena tidak mengungkapkan dulu perasaanku terhadapnya sebelum pergi. Dan aku tidak mau sesal itu terus mengikuti. Aku akan mengungkapkan rasa cintaku kepada Vivi. Kamu mau bantu, kan?” Speechless. Ternyata Fadlan bersungguh-sungguh dengan perkataannya itu. Ya Allah ....“Jangan, Lan.” Mulutku berkata refleks. Aduh, mati aku!Dia mengerutkan kening hingga garis halus itu sedikit nampak. Namun, dasarnya tampan, jadi garis kecil begitu pasti t
Takut-takut kami berbalik. Ketika ini berlangsung, pegangan tangan sudah terlepas.Panggilan Nyak Marni sungguh mengagetkan luar biasa.Kulihat Fadlan masih berdiri di atas kursi dengan tangan yang masih menggantung di lampu LED yang kini menyala. Tatapannya lurus, dan jarang sekali mengedip. Bahkam aku hampir tak melihatnya.“I-iya. Ke-napa, Nyak?” tanyaku tergugup.“Elu mau ke mana, sih? Ini tolong, dong ambilin. Panas!” titahnya dengan nada suara agak tinggi.Hah? Lagi? Aku kembali mengalami ini lagi? Rasa gelisah karena merasa hubunganku dengan Vivi ketahuan. Ternyata untuk kedua kalinya selamat.“O-oh, bisa Nyak.” Gegas aku berlari ke arahnya dengan senyum agak terpaksa yang bercampur keringat.Vivi mematri senyum dan duduk di kursi meja makan tak jauh dari sana. Gadis itu juga nampak agak salah tingkah.“Awas panas. Pake ini aja serbet. Anggap aja pengganti sarung anti panas itu. Apalah namanya lupa,” ujar Nyak Marni menyetahkan kain serbet kotak-kotak garis kuning.Kuterima dan
Malam ini terasa hening meski Fadlan sudah kembali pada kehidupanku. Rasanya beda. Biasanya dia selalu rusuh kapanpun dan di manapun. Entah karena dia baru saja kembali ke sini, hingga belum membiasakan diri lagi agar seperti dulu? Ataukah dia terlalu lelah meski hanya sekadar untuk mengobrol?Dari tadi dia terus diam. Dan dalam kesempatan ketika aku mencuri pandang, Fadlan selalu sedang menatapku tajam. Namun, dia pasti segera membuang muka ke lain arah.Hm, semua pikiran-pikiran ini membuat aku gila sampai sulit untuk tidur walau sedari tadi sudah memejamkan mata rapat-rapat.“Gam, udah tidur?”Mata ini refleks terbuka, kepala menoleh ke kanan. Di bawah cahaya tamaram yang terpancar dari lampu tidur berwarna kekuningan aku melihat Fadlan menatapku sembari terbaring.Wajahnya tampak lelah. Lihatlah mata yang merah itu. Maksudku, kenapa dia tidak istirahat?“Mau tidur, tapi susah.” Aku tak bisa berbuat apa-apa selain jujur. Karena sejatinya aku memang kesulitan tidur. “Kamu sendiri k