Vivi yang pemaksa.
Entah apa yang merasukinya sampai ia terus berusaha menjodoh-jodohkan aku dengan perempuan bernama Clara. Ada-ada saja.
“Abaaaaang!”
Tuh, kan? Baru saja kusebut namanya dalam hati, suara cemprengnya langsung menyambut kencang. Emang dasar panjang umur, tuh, anak.
Aku bangkit dari ranjang, terpaksa.
“Abaaang, buka!” Vivi mengetuk-ngetuk pintu tak sabar. Aku malas, soalnya dia pasti menceramahiku soal Clara.
“Apa manggil-manggil?” Dengan muka air datar kutanya.
Ia memasang raut marah, tangan melipat di dada, matanya memicing tajam ke arahku.
“Abang, kok, cuek sama Kak Clara, sih?!” ucapnya kemudian.
Yah, sudah kuduga Vivi akan menceramahiku soal Clara yang chatnya tak kurespon baik. Duh, malas kalau mau ngomongin alasannya. Bukannya dimengerti, si Vivi malah semakin kumat nanti.
“Abang malas aja, Vi. Udahlah, jangan maksa. Udah abang bilang, kan, kalau abang itu n
Demi apa pun, aku sangat cemas ketika menahannya di ambang pintu tadi, takut Vivi menolak saat kuajak bicara. Ia menatap lurus sekilas, sebelum akhirnya berkata,“Ngomong apa, sih? Muka Abang serius amat.” Ia menepis pegangan tanganku, sehingga tangan yang sempat menahannya agar tak masuk dulu itu terlepas dan mengayun di udara.Vivi membuka lebar kembali daun pintu, ia mendorongku dan duduk di bangku depan teras. Syukurlah, artinya bocah ini mau juga kuajak bicara.Aku menyusul duduk. Lucunya, kami malah saling diam untuk beberapa detik. Setelah kutunggu, gadis belia di sampingku ini tak juga bertanya. Pun denganku yang tak kunjung membuka percakapan. Dan, sepertinya benar dugaanku, Vivi marah.Walau suara jangkrik di halaman mulai ramai mengusik, tapi tak juga aku berkata apa-apa. Pun dengan Vivi, ia diam membisu. Ia menatap lurus ke arah pagar saat sesekali kucuri pandang dari sudut mata.Ya, ampun. Cuma mau nanyain soa
alau kata sesegrup band, ‘Bim salabim kucing kawin sumpah nyaris mati berdiri, liat mantan di depan mata, bikin hati patah hati’ ha ha—ketawa garing.Bohong, mana sanggup aku tertawa saat ini. Speechless yang ada kala dihadapkan dengan wanita berbaju kuning ini.Dia membalas tatapanku, tetapi dengan raut muka aneh.“Maaf, saya bukan Gina. Mungkin kamu salah orang,” sangkalnya kemudian.“Bu-bukan?!” Aku sedikit kaget mendengar pernyataannya. Bukan katanya? Akan tetapi, dia mengangguk, lalu terlihat senyum tipis tak nyaman tergaris di sudut bibirnya.Antara lega dan juga kaget disertai malu luar biasa, aku ternganga. Heh?! Bukan Gi ... kok, mirip? Aku salah tingkah pastinya. Kutunjukkan wajah bodohku untuk menutupi malu.Sekali lagi kucermati setiap lekuk wajahnya. Benar bukan dia ternyata. Wah, jantungku sudah mau copot rasanya barusan. Kalau iya dia, sepertinya bakal copot beneran.
Ah, capeknya hari ini.” Aku menjatuhkan diri di atas ranjang.Sekitar pukul lima sore baru sampai kosan. Pekerjaan yang sebelumnya kuperkirakan selesai dalam waktu dua belas menit pun malah selesai dalam waktu dua puluh menit. Benar-benar payah.“Kerja udah kayak robot aja, ampun, dah. Kapan, ya, dipromosikan naik jabatan? Rasanya udah lama kerja, kok, nggak ada perkembangan sama sekali?” gumamku seraya menatap langit-langit kamar.Yah, terkadang aku juga berada dalam fase lelah. Mengeluh sesekali boleh, kan? Entah juga, sebenarnya aku ini jenuh atau bagaimana? Tak biasanya, sih, kukeluhkan soal kerjaan.Kali ini kupejam mata, berharap bisa melepas lelah walau hanya sebentar saja. Kubuka kancing kemeja yang membuat diri terasa gerah. Malas mandi, nanti saja sekalian sebelum magrib tiba.Sayangnya, belum juga aku terlelap, pintu kosan diketuk kencang, disusul suara tak asing memanggil.“Abaaang!
“Dandan?! Kamu pikir abang ini perempuan, apa?!” Jelas aku ketus dan protes soal ini. Dandan katanya? Yang benar saja, ck, ck.Aku masih duduk di atas ranjang, memerhatikan Vivi yang kini tengah mengobrak-abrik lemari pakaianku.Vivi menoleh, “Dih, kok, masih di situ, sih?! Sana cepetan ke kamar mandi! Gosok gigi! Mulut abang bau kambing!”“Buset, itu mulut lancar bener bilang kambing!” Aku lebih ingin marah lagi, tetapi sepertinya masih bisa kutahan, sih.“Buruaan, nanti telat, Bang!” Gadis itu mulai keterlaluan ngaturnya. Ia meninggalkan lemari sejenak hanya untuk menarik tanganku, memaksa agar aku segera masuk ke kamar mandi untuk gosok gigi. Yah, benar-benar payah! Nyebelin!Walau begitu, akhirnya aku mengalah. Ingat, janji harus ditepati. Ah, jadi teringat pesan bapak, kan, di kampung. Katanya sebagai laki-laki aku harus menjaga martabat diri dengan cara menepati j
Kebetulan malam ini sedikit mendung, tapi tak hujan. Kota ini semakin gerah saja rasanya.Akhirnya, setelah banyak drama ini dan itu, sampai si Vivi salah paham dan ngambek, aku pun mau juga pergi menemui Clara.Pesan Nyak Marni yang sebelumnya menitipkan dia tak hentinya berputar dalam rekaman otak.Janjiku takkan diingkari. Akan kujaga adikku ini sampai Yang Maha Kuasa memisahkan.“Bang, nonton film apa yang bagus, ya?” Vivi bertanya. Belum juga sampai ke gedung bioskop, dia sudah menanyakan hal itu padaku.Kuiintip sosoknya di kaca spion. “Lah, kamu dan kawan-kawan yang ngajak. Ya, terserah kalian saja.”Seperti biasa, semua kuserahkan pada yang punya vocal. Wong niatnya cuma menepati janji untuk bertemu si Clara itu. Ya, soal acara apa, mau ke mana, aku tak mau campur tangan. Cukup ikuti saja sesuai arahan.Yah, anggap saja sebagai ganti tak beri hadiah ulang tahun. Kan, begitu perja
Tak pernah disangka, Clara ini sungguh menyenangkan orangnya. Setelah berkenalan secara resmi, ternyata tak seburuk bayanganku kemarin.Buatku dia baik, ceria, dan ... sedikit cantik. Ah, agak lebih banyak, sih, sedikit. Semacam susu krimer. Ada manis-manisnya gitu—minuman mineral, kali, ah. Yah, pokoknya dia manis, apalagi kalau lagi memperlihatkan rekahan senyum diiringi smiling eyes.Ada kempot satu di pipi kirinya, lucu. Dan, yang paling membuatku senang memerhatikannya, ya, itu, bulu matanya yang sedikit lentik bergerak naik turun saat memesan minuman. Membuatku diam-diam mematri senyum tipis. Saaangat tipis.Jujur saja, kesan pertamaku terhadapnya sangat bagus. Clara asik orangnya dan lumayan nyambung kalo ngobrol.Takdir, kah? Maksudnya, apa dia reinkarnasi dari Gina? Ah, tak mungkin. Soalnya Gina masih hidup di dunia. Ada-ada saja otak sialan ini.Kami cukup bersenang-senang. Kukira bakal bosan, nyatanya tidak.
“Maaf, ya. Aku jadi tak bisa belikan boneka itu.” Walau malu setengah mati, kukatakan juga akhirnya.Sebagai laki-laki, harga diriku sungguh terluka dibuatnya. Tapi berkat itu, beban pikiran serta rasa maluku sedikit berkurang. Cuma ya tetap saja aku tak enak. Apalagi saat dia berkata,“Duh, nggak apa-apa. Aku bisa bayar sendiri. Tenang aja. Ikut prihatin, ya, untuk kehilangan dompetnya.” Clara yang sangat baik hati, tapi juga kata-katanya begitu menyakiti. Hmm.Selain itu aku cukup terharu. Disangka dia akan mencibir atau apalah. Tapi nyatanya dia sangat pengertian.***“Kamu yakin nggak mau kuantar pulang?” tanyaku untuk kedua kali.Yah, sebenarnya tadi kami sempat sedikit berdebat soal ini. Clara yang akan pulang ke kosannya lebih awal—karena mau masak untuk adiknya yang kelaparan—menolak kuantar pulang. Alasannya karena kami beda arah dan tujuan. Dia bilang boros b
Pagi ini sungguh cerah, tapi aku melihat Vivi begitu mendung. Sudah seperti ada awan hitam di atas kepalanya saja.Entah perasaanku atau bukan, sebenarnya dari kemarin itu dia begitu padaku. Katakanlah aku memang sedikit terganggu, akhir-akhir ini sikapnya tak menentu.Sikapnya berubah-ubah. Kadang marah-marah nggak jelas, kadang ketawa-ketiwi kayak kunti, kadang cuek dan judes nauzubillah. Yah nano-nano rasanya. Apakah mungkin aku terlalu banyak melakukan kesalahan? Sepertinya tidak. Soalnya beberapa hari ke belakang aku selalu mengikuti apa kemauan dia.Bahkan pagi ini sapaanku diabaikan olehnya. Dia juga lebih memilih naik angkutan umum ketimbang naik motor denganku yang gratisan. Vivi itu kan menjunjung tinggi filosofi hemat.“Gam, malah ngelamun di jam kerja!”Aku tersentak kaget kala sekretaris Pak Wahyu menegurku. Terpaksa aku sunggingkan senyum walau enggan.“I-ya. Seperti