Share

9. MEMULAI KEHIDUPAN BARU

POV Zaha

Jam 4 pagi, Aku sudah terbangun seperti kebiasaanku dahulu.

Kukira, Aku lah yang terbangun lebih awal. Ternyata, sudah ada ibu yang sudah siap-siap dengan barang dagangannya. Ibu, diusianya yang sudah masuk kepala empat, masih saja harus banting tulang untuk menafkahi keluarga ini.

Suaminya, yang merupakan ayahku tidak diketahui dimana rimbanya. Dari cerita ibu, aku jadi tahu kalau aku dan kak Nia ternyata tidak se ayah. Ayah kak Nia sudah meninggal sejak ia masih bayi. Setelah itu, ibu menikah lagi dengan ayahku saat ini.

"Loh, kamu sudah bangun, nak?" Tanya Ibu terkejut begitu mendapati diriku sedang menatap ke arahnya.

Aku hanya tersenyum hangat melihat ibu, meski dengan segala kesibukannya, aku dapat merasakan ada cinta dalam tatapannya.

"Ibu sudah mau berangkat, yah? Sini, Zaha bantu bawa barang belanjaannya ke pasar." Ucapku menawarkan bantuan dan beranjak hendak membawa barang dagangannya.

"Tidak usah, nak! Hari ini kamu tidak usah masuk sekolah dulu, ya! Lagian, Zaha kan belum pulih betul." Ujar ibu lembut seraya menolak bantuanku.

"Ibu tidak apa-apa bawa dagangan segini banyaknya sendirian?"

"Yah, gak apa-apa. Udah terbiasa, juga! Lagian selama Zaha di rumah sakit, kan Ibu juga sendirian yang bawa dagangannya." Jawab ibu lembut.

Titt tiiitt

Suara klakson motor terdengar dari depan rumah.

"Nah, itu tukang ojek langganan ibu sudah datang. Ibu berangkat dulu yah! Kamu kalau mau sarapan, sudah ibu siapin di atas meja." Ujar Ibu menambahkan.

Lalu, ia berangkat ke pasar dengan diantar oleh tukang ojek langganannya.

Aku menatap kepergian ibu yang semakin lama semakin menghilang di persimpangan perumahan tempat kami tinggal.

Sekian lama, emosi dan ragaku sebelumnya hanya di isi dengan kekerasan dan dendam. Berada dalam tubuh ini, dalam keluarga ini, membuat hatiku terasa hangat. Sejenak aku kembali terbayang dengan sebuah kenangan lama, sebuah kenangan yang sudah terkubur jauh dalam makam orang tuaku, kenangan masa kecilku yang penuh kehangatan dan cinta dari keluargaku.

Kini, walau baru saja berada di tengah keluarga ini. Aku bisa merasakan kembali kehangatan kasih seorang ibu, walau dalam kondisi yang serba kekurangan. Dalam hati, aku bertekat untuk membuat keluarga ini menjadi lebih baik, dimulai dari kakak perempuanku.

Paling tidak, dengan begitu aku bisa memaknai kehidupan keduaku ini.

...

Aku bersiap-siap untuk berangkat sekolah, aku membuka kotak lusuh yang terdapat di sebelah tv.

Pakaianku sudah disiapkan oleh ibu didalamnya, sebuah seragam SMA yang sudah lusuh. Aku hanya bisa tersenyum dan memakainya dengan senang. Ya, inilah kehidupan baruku sekarang. Aku akan memulai sebuah awal yang baru, dimulai dari sini, sebagai seorang Zaha Kurniawan.

Kak Nia sendiri, masih belum keluar dari kamarnya. Aku jadi merasa sedikit tidak enak karena apa yang ku lakukan semalam.

"Apa aku terlalu berlebihan dalam bersikap padanya, yah?"

Saat aku mau berangkat. Baru ku lihat kak Nia keluar dari dalam kamarnya. Matanya sedikit bengkak. 'Apa ia kurang tidur akibat semalam yah?'

Namun, kak Nia sama sekali tidak berani menatap mataku seperti semalam. Bahkan saat aku pamit ke sekolah pun, Ia masih diam dan tidak menoleh sama sekali.

"Kak, Aku berangkat yah!" Ujarku coba memancing reaksinya. Meski jawabannya masih sama, ia tetap diam dan seakan menghindari untuk bertatap muka denganku.

Tanpa menunggu jawabannya, aku berangkat dengan berjalan kaki ke sekolah. Sesuai dengan arah yang sempat ditunjukan oleh ibuku, karena tentu saja aku tidak tahu dimana arah sekolahku.

Jarak sekolah dengan rumah lebih kurang 2 kilometer, sehingga dengan berjalan kaki bisa sampai sekolah dalam waktu kurang lebih 30 menit. 'Lumayanlah, bisa sekalian melatih badan,' Pikirku.

Sampai di sekolah, tidak seorangpun dari siswa disana yang menyambutku dan kalaupun ada, mereka melihat dengan pandangan aneh dan terkesan jijik melihatku. Padahal, aku sudah dua minggu tidak masuk sekolah.

Awalnya, aku sempat berpikir akan mendapat sambutan istimewa di sekolah setelah tidak masuk begitu lama, apalagi alasan aku tidak masuknya karena kecelakaan. Namun, begitu melihat reaksi para siswa yang biasa saja, seolah aku bukanlah seorang yang pernah ada dan sekolah disini.

Aku jadi tertawa simpul sendiri, 'Ternyata 'Zaha' yang raganya kupakai sekarang bukanlah siapa-siapa. Keberadaanya tidak berharga, sehingga tidak ada 'aku' pun di sekolah ini, tidak akan ada orang yang merasa kehilangan.

Ternyata di sekolah ini pun, walau bukan berstatus sebagai sekolah elit di kota ini, masih saja memilah orang berdasarkan strata sosial.

Melihat penampilanku, wajar rasanya jika tidak akan ada seorangpun yang akan menganggapku ada ataupun hanya sekedar memandangku.

'Hehehe, menarik nih,' Bathinku.

Sekarang, aku jadi punya misi baru. Pertama, Aku akan membuat semua orang tidak akan bisa mengacuhkan keberadaanku. Meski itu bukan gayaku sebenarnya, tapi wajar kan, jika seorang remaja berharap bisa menjadi populer di antara mereka? 

Saat aku masuk ke dalam ruang kelas, tampak beberapa siswa sibuk dengan kelompoknya masing-masing, tanpa menghiraukan kehadiranku sama sekali.

'Ternyata, begini rasanya terasing yah?' Pikirku sekali lagi.

Dulu, Aku biasa menyendiri memang karena misi yang ku kerjakan membuatku harus bergerak sehening mungkin tanpa membuat orang menyadari kehadiranku.

Sekarang malah diasingkan beneran, hehehe.

Tatapanku menyapu seluruh kelas untuk melihat dimana aku bisa duduk, ternyata semua bangku sudah ada penghuninya.

Aku melihat hanya ada satu kursi saja yang kosong, dibagian paling belakang. Sehingga hanya itu satu satu-satunya pilihan. Saat kaki ku melangkah ke arah bangku yang masih kosong dan melewati beberapa siswa yang sedang duduk, ada saja yang usil melintangkan kakinya ke tengah jalan yang akan ku lewati.

Aku tidak mengenal mereka. Namun dari caranya, paling tidak ia sudah biasa melakukan keisengan tersebut pada Zaha sebelumnya.

'Anda salah cari gara-gara bung!' Bathinku.

Aku bukannya menghindari, malah sengaja mengadu tulang keringku dengan kakinya.

Bugh

"Awww.." Teriaknya kesakitan.

Mendengar teriakannya, sontak membuat teman-temannya yang sedang duduk bersamanya jadi terpana melihat ke arahku.

Aku dengan santainya berjalan ke kursi kosong, aku dapat melihat pandangan kebencian dari mereka. Namun saat mereka akan berdiri dan membalasku, guru mata pelajaran sudah terlanjur masuk ke dalam kelas.

"Zaha, kamu sudah masuk. Apa kamu sudah pulih?" Tanya bu Siska yang baru ku ketahui namanya begitu melihat name tagnya.

"Iya, sudah, bu." Jawabku singkat.

Just it! Tidak ada percakapan tambahan lagi setelah itu.

Rupanya sekolah ini benar-benar sudah tidak menganggap Zaha ada sama sekali. Bahkan seorang guru pun bertanya, paling cuma untuk sekedar basa basi.

'Akan berat nih, mengubah image yang terlanjur melekat pada diri Zaha,' Pikirku greget.

Jam kedua, jamnya pelajaran bahasa Inggris. Gurunya pak Firman, namun beliau tidak sendiri. karena saat itu beliau ditemani oleh salah seorang instruktur asing. Namanya Mr. Munich, beliau berasal dari Jerman.

Menurut keterangan Pak Firman, biar kami lebih lancar praktek bahasa asingnya sehingga beliau membawa instruktur dari luar, agar lebih bisa memotivasi para siswa, begitu penjelasan Pak Firman.

Aku yang sebelumnya telah menguasai beberapa bahasa asing ketika menamatkan pendidikan akademi khusus militer dahulu, kupikir inilah kesempatan untuk menampilkan sosok yang beda dari seorang Zaha.

"Excuse me!." Ujarku sambil mengacungkan tangan sebelum Mr. Munich memulai kelasnya.

"Yes?" Kata Mr. Munich sambil melihat ke arahku.

"Kommst du aus deutschland?" Tanyaku basa-basi. (Anda berasal dari Jerman).

"Ja, richtig." Jawabnya kaget. (Ya, benar).

Mungkin mr. Munich juga tidak mengira akan ada seorang siswa yang akan mengajaknya bicara dengan bahasa negaranya. 

"Genial! Sprechen Sie Deutsch?" Tanya balik Mr. Munich sumringah. (Luar biasa! Kamu bisa bahasa Jerman?)

"Ja, ein wenig, Sir." Jawabku kalem. (Ya, sedikit-sedikit, pak).

Lalu Mr. Munich menanyakan dari mana aku bisa belajar bahasa Jerman dan beberapa detail lainnya. Sampai pak Firman terpaksa harus mendehem agar Mr. Munich tidak lupa untuk memulai kelas bahasa inggrisnya. Yah, walau hanya sebentar, paling tidak semua siswa jadi punya pandangan yang berbeda pada diriku saat ini.

Ada yang kagum dan tidak sedikit juga yang sinis dengan kemampuan bahasa asingku.

Pak Firman sendiri sampai menyanjungku secara langsung dan mengungkapkan rasa senangnya dengan kemampuanku yang fasih berbahasa asing.

Seluruh siswa yang sebelumnya tidak pernah menganggapku ada, sekarang terpaksa harus meralat penilaiannya terhadapku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status