Share

ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )
ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )
Penulis: SIMBAAK

1. Bukan Dido dan Aeneas.

"Emang selalu gitu, ya?"

"Hm?"

"Perempuan dianggap konsentrasi hidupnya sebatas sumur, dapur, kasur melulu."

Tama meletakkan gelas bekas kopinya ke kitchen sink, urung untuk menggosoknya dengan sabun pria itu lantas berbalik badan kilat dan berujar, "Kok?"

"Barusan aku ikut menandatangani petisinya Miranda Lim." Tama mengangguk—menyampaikan bahwa dia siap mendengar segala keluh kesah perempuan yang kini duduk di hadapannya di bar stool. "Ya kali nggak ada satu pun komposer perempuan yang masuk silabus di program akademik yang disusun sama Maxwel?

"Karena, komponis perempuan nggak menonjol di tradisi western art music, katanya?" Perempuan itu terkekeh, mengejek. "Clara Schumann, Barbara Strozzi, mereka ini apa kalau bukan perempuan? Oh, My God!

"Nggak ngerti lagi deh, padahal jaman udah terus berkembang maju. Okelah, waktu Carla Bley harus menyaksikan botol-botol yang dilempar, berterbangan lengkap pake teriakkan 'balik aja sana ke dapur' di sepanjang gelaran tur konser yang dia pimpin, tapi itu kan udah puluhan tahun lewat, kok ya hal-hal diskriminatif kayak gini masih aja terus berulang di ranah musik klasik sampai hari ini?"

Tama lamat-lamat meraih telapak tangan perempuan itu yang tanpa sadar telah mengepal kuat di permukaan meja bar, mengurainya secara pelan nan samar, dia lalu bergumam, "Nice going."

"Hum?"

"Udah tanda tangani petisinya," jawab Tama yang kontan membuat perempuan itu—Patricia—rasanya tidak bisa untuk tidak merekahkan bibirnya lebar.

Yah. Kalau dipikir-pikir, seberapa pun dongkol hatinya, segerah apa pun gejolak bara emosinya atau serumit apa pun masalah yang menghadangnya, bersama seorang Argatama Prakostama bagi Patricia, rasanya dia tidak pernah merasa tidak baik-baik saja.

Asal ada Tama meski pun pria itu hanya duduk diam menungguinya bekerja hingga larut malam misalnya maka, bebannya seperti sukses berkurang lebih dari lima puluh persen.

Em, gimana, ya? Ini agak lebay sih. Namun, jika mungkin Tama diibaratkan sebagai musik klasik, tentu dia adalah Concerto for Violin, D Major dari Johannes Brahms. Sebab, tiap kali mendengarnya, Patricia mustahil untuk tidak merasa sehidup dan serileks itu. Berdua bersama Tama, apa sih yang tidak bisa dengan mudah dia lalui?

Ya, semestinya sih begitu.

"Hm, ingat Mozart pernah bilang gini nggak?"

Patricia sontak mengempaskan tatapan kosongnya demi mampu memenjarakan sosok Tama, yang malam ini hadir dalam balutan kemeja biru beraksen garis-garis horizontal pudar, sekaligus seikat dasi mango man yang jujur saja agak norak pun sama sekali bukan 'Tama banget'. Sejak kapan pula Tama yang mobilitasnya tinggi doyan pake dasi serta kemeja warna-warni?

Patricia menggeleng ringan—mengenyahkan sejumput asumsi—saat Tama mulai kembali bicara, "'I pay no attention whatever to anybody's praise or blame, I simply follow my own feelings'.

Pria itu membalas tatapan Patricia secara intens melalui netranya yang tak seberapa besar. "Masa bodo entah itu laki-laki, perempuan atau transgender sekali pun, semua orang punya kesempatan yang sama dalam menentukan apa yang dia inginkan, yang dia mau lakukan, yang bikin dia bahagia.

"Khususnya dalam berkarya. Walau mungkin jalannya terjal, walau ada ancaman keenggak adilan dari kanan-kiri, kenapa harus menyerah? Penilaian akan selalu ada. Diskriminasi mungkin akan terus datang dari segelintir orang, tapi yang paling penting janganlah kalah dari segala macam bentuk ancaman itu!

"So, merupakan langkah yang tepat buat berjuang bersama-sama kayak yang barusan kamu lakuin. Siapa tau berhasil dapat permintaan maaf resmi kan, atau malah bisa masuk ke program akademik di tahun berikutnya?"

"Argatama?" panggil Patricia lirih.

"Hm?"

Patricia menangkup dagunya sendiri dengan dua tangan yang ia tumpukan di atas meja. "Kenapa sih kamu tuh nggak pernah berhenti buat keren di mataku?" ucapnya lancar sambil mengedipkan sebelah mata.

"Patricia enough, oke?"

"Why? Greget-greget gimana gitu, ya jurus gombalku?" Mereka praktis tergelak-gelak, merasa geli sendiri.

Jelas lah. Tahun-tahun sudah jauh berlalu dari awal pertemuan mereka. Dulu, mungkin saling melempar rayuan picisan—atau dalam hal ini lebih sering Patricia sebagai dalangnya karena, Tama paling anti menggombal—itu lumrah pun menggemaskan. Namun, ketika dipraktikan di usia mereka kini, jujur kesannya agak aneh. Kendati, efek kupu-kupu yang menggelitik perut itu tetap nyata terasa adanya sih.

"Eh, tadi katanya ada yang mau diomongin. Soal apa gitu? Nyampe buru-buru amat mampir kemari?" tanya Patricia, tiba-tiba ingat soal chat yang dikirim Tama siang tadi.

Sayangnya, hingga jarum jam di dinding terdengar terus berdetak, mungkin ada nyaris sebanyak enam puluh kali, Tama justru ajek diam membisu.

Ada apa?

Patricia bahkan menemukan mendung mulai bergumul, tumbuh di atas wajah Tama. Gurat-gurat lelah yang sewaktu pria itu masuk ke unit apartement-nya sempat tak terlihat, sekarang justru berduyun-duyun memenuhi setiap petak raut mukanya.

Dengan rahang yang mengetat juga alis yang berkumpul di tengah, Patricia tahu kalau Tama sedang dilema. Tetapi, gara-gara apa?

Perempuan itu hampir-hampir kembali memanggil Tama, saat helaan napas berat terdengar meluncur dari celah bibir lelaki di hadapannya.

Lalu, selang sedetik saja Tama perlahan-lahan berujar, "She is pregnant." Sebuah jeda panjang tercipta. Sampai-sampai rasanya saking tak sabarnya Patricia ingin menyusut sekecil bakteri, supaya dapat menyusup ke rongga otak Tama demi menggeledah isinya daripada hanya menungguinya selesai bicara yang entah harus memakan waktu seberapa lama.

Dan, itu hampir genap dua menit kala Tama akhirnya mendesiskan sebaris nama, "Zianne."

Seolah Patricia akan meledak jika mendengarnya, Tama cepat-cepat meneliti setiap perubahan yang timbul baik dari gerak-gerik ataupun kanvas wajah perempuan itu. Namun, tak seperti dia yang dilanda ketegangan, Patricia malah menarik naik sudut-sudut bibirnya—meski Tama sadar betul bila senyum itu tak mencapai matanya.

"Terus? It's okay dia hamil toh, dia perempuan bersuami," ujar Patricia seraya menunjuk dada Tama dengan jarinya. "Dan, kamu suaminya."

"Tapi—"

"Aku tau," sergah Patricia tanggap. "Mau itu sekarang, besok, setahun lagi atau entah kapan pun itu di masa depan toh, akhirnya itu bakalan terjadi." Dia mengedikkan bahunya ringan begitu melanjutkan, "Kalian dua orang dewasa yang tinggal bersama, tiap hari ketemu, ada ikatan, ya wajar aja."

"Menurut kamu itu sesuatu yang bisa diwajarkan? Patricia dia—"

"Tama? Listen to me! It's okay. She is your wife. Apa masalahnya? Lagi, bukannya itu justru bagus karena, sampai kapan pun kan kamu tau kalau aku ... aku ... nggak ...." Patricia tidak kuasa menyelesaikan kalimatnya.

Sedang, Tama sendiri kontan mengangguk-angguk mengerti seraya meraih tangan Patricia untuk digenggamnya erat di dada.

"Sorry," bisik lelaki itu kecewa. "Patricia, I am really sorry."

Mengusap rahang tegas Tama menggunakan sebelah tangannya yang bebas, Patricia paham jika beras yang telah jadi bubur mustahil berubah menjadi nasi sekalipun dia sangat ingin. Maka, menaburkan beberapa kerupuk di atasnya mungkin adalah jalan terbaik dibanding harus membuangnya dengan percuma kan?

Perempuan itu masih sempat tertawa lirih begitu lidahnya bertanya enteng, "Udah jalan berapa minggu, anyway?"

Lurus-lurus menatap perempuan bersurai kecokelatan di depannya bersama sorot bersalah, Tama menggeleng kaku.

"Ish, kok nggak tau? Gimana sih nih calon Bapak satu!"

"Patricia ... nggak akan ada yang berubah. Kamu tau itu kan?" tegas Tama hati-hati.

Ya. Silakan saja anggap Patricia kepedean. Namun, dia terlalu kenal Tama dan dia tahu betul baik itu dulu, hari ini, maupun besok nanti, seorang Argatama Prakosatama memang akan selalu mencintai dirinya bahkan lebih besar dari kadar cinta yang dimiliki oleh Patricia untuk dirinya sendiri.

"Percaya," balasnya menggumam diiringi kondisi hati yang boleh dibilang sedikit lebih lega. "Eh, by the way, di Bali bakal ada festival musiknya Bach, Beethoven sama Brahms, aku udah cerita belum? Aku mau datang sih," ujar Patricia, beralih bahasan—berupaya menumpas sekelompok kabut gelap yang betah bertahta menggelayuti Tama.

"Kapan?" Biarpun nada suaranya masih terdengar sumbang, setidaknya Patricia sukses menangkap sekelumit percikan antusiasme dalam mata Tama yang sehitam arang.

"Em, tiketnya dijual mulai pekan depan sih."

"Aku aja besok yang beli. Dua kan?"

"Lha, ikut? Tapi, acaranya dua hari loh. Nggak pa-pa nginep?"

"Memang?"

Patricia memutar bola matanya gemas. Ini Tama pura-pura tidak mengerti apa emang benar tidak mengerti sih?

"Zianne kan lagi hamil," katanya mengingatkan memakai nada yang sedatar papan.

"Ya, terus?"

Ini otak cerdas Tama mendadak digondol setan apa coba?

Patricia sontak menggeram tak sabar. "Bodo ah! Nggak tanggung jawab, ya kalau kenapa-napa!" Bangkit dari tempatnya sedari tadi duduk, dia lantas buru-buru mengusir, "Udahlah, gih sana pulang ntar dicariin!"

"Gelasku belum dicuci. Biar aku cuci dulu!" Oke, here we go again!

Serius deh, itu mah cuma alasan! Tama tidak pernah kehabisan seribu satu dalih untuk senantiasa dapat berkeliaran di sisi Patricia! Itu tabiatnya!

Patricia berdecak gusar, "Yaelah, trik basi! Jam pulang kantor kamu udah lewat dua jam. Nanti kemaleman, Zianne khawatir," ngototnya.

"Boleh nggak pulang?"

"Boleh," sahut perempuan itu enteng. "Tapi, abis ini aku lompat dari balkon. Mau?"

"Jangan bercanda kayak gitu!" sergah Tama bersama otot lehernya yang kontras mengencang.

"Maaf."

Tama mendesah pasrah entah untuk yang ke berapa kalinya seharian ini. "Peluk?" tawarnya, seusai mengusap seluruh jengkal wajahnya secara kasar.

"Nggak ada peluk-peluk! Kan udah minum kopi buatanku dua cangkir!" tolak Patricia. "Pulang aja, ya? Dan, besok jangan mampir ke sini!" sambungnya sembari menyerahkan jas pun tas kerja Tama yang sebelumnya tergeletak di sofa.

"Kok?"

"Besok aku ada janji buat ketemu orang di dekat kantor kamu. Sekalian aku bawain makan siang buat kamu. Cukup adil?" jelas Patricia ketika tangannya sibuk menggiring Tama menuju pintu apartement-nya.

"Bener nggak dipeluk dulu nih?" tanya Tama begitu telah di luar.

Patricia menggeleng enggan. "Nanti wangi parfumku ketinggalan, mau ngomong apa kamu sama Zianne?"

"Ya, bilang itu parfum kamu lah. Apalagi?"

Hadeh! Apakah benar ini adalah Tama yang sama dengan yang tadi sempat berdiskusi bersama Patricia soal musik? Ke mana coba larinya sifat pengertian serta kepekaanya? Mengapa jika itu berkaitan dengan Zianne, pria ini acap kali menjelma sebagai pribadi yang luar biasa menjengkelkan begini?

"Nggak usah macam-macam, ya kamu!" tukas Patricia memperingatkan. "Udah sana jalan! Jangan lupa mampir dulu beli sesuatu, siapa tau Zianne ngidam kan?"

Tama mendengkus. "Ngidam apaan."

"Hati-hati! Nyetirnya jangan ngebut!" pesan Patricia yang lantas dibalas lambaian tangan Tama, yang punggung bidangnya pelan-pelan menjauh lalu, hilang ditelan lift.

Kemudian, sekarang di sana hanya tersisa Patricia seorang, di dalam kesunyian yang mencekam, di mana berikutnya dia kontan jatuh terduduk, lengkap dengan bahunya yang tiada henti berguncang hebat tepat di balik pintu tempat tinggalnya.

Sumpah! Apabila ada satu hal saja yang dia sesali dalam hidupnya itu adalah bahwa dia tidak bisa seberuntung Zianne.

Oh, tentu saja! Padahal jelas-jelas dia lah yang mengenal Tama lebih awal, dia yang teramat mencintai serta dicintai Tama, tapi kenapa harus Zianne yang justru berakhir dengan memiliki Argatama Prakosatama di sampingnya?

Itu, bukannya tidak adil, ya?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status