"Hm?"
"Perempuan dianggap konsentrasi hidupnya sebatas sumur, dapur, kasur melulu."
Tama meletakkan gelas bekas kopinya ke kitchen sink, urung untuk menggosoknya dengan sabun pria itu lantas berbalik badan kilat dan berujar, "Kok?"
"Barusan aku ikut menandatangani petisinya Miranda Lim." Tama mengangguk—menyampaikan bahwa dia siap mendengar segala keluh kesah perempuan yang kini duduk di hadapannya di bar stool. "Ya kali nggak ada satu pun komposer perempuan yang masuk silabus di program akademik yang disusun sama Maxwel?
"Karena, komponis perempuan nggak menonjol di tradisi western art music, katanya?" Perempuan itu terkekeh, mengejek. "Clara Schumann, Barbara Strozzi, mereka ini apa kalau bukan perempuan? Oh, My God!
"Nggak ngerti lagi deh, padahal jaman udah terus berkembang maju. Okelah, waktu Carla Bley harus menyaksikan botol-botol yang dilempar, berterbangan lengkap pake teriakkan 'balik aja sana ke dapur' di sepanjang gelaran tur konser yang dia pimpin, tapi itu kan udah puluhan tahun lewat, kok ya hal-hal diskriminatif kayak gini masih aja terus berulang di ranah musik klasik sampai hari ini?"
Tama lamat-lamat meraih telapak tangan perempuan itu yang tanpa sadar telah mengepal kuat di permukaan meja bar, mengurainya secara pelan nan samar, dia lalu bergumam, "Nice going."
"Hum?"
"Udah tanda tangani petisinya," jawab Tama yang kontan membuat perempuan itu—Patricia—rasanya tidak bisa untuk tidak merekahkan bibirnya lebar.
Yah. Kalau dipikir-pikir, seberapa pun dongkol hatinya, segerah apa pun gejolak bara emosinya atau serumit apa pun masalah yang menghadangnya, bersama seorang Argatama Prakostama bagi Patricia, rasanya dia tidak pernah merasa tidak baik-baik saja.
Asal ada Tama meski pun pria itu hanya duduk diam menungguinya bekerja hingga larut malam misalnya maka, bebannya seperti sukses berkurang lebih dari lima puluh persen.
Em, gimana, ya? Ini agak lebay sih. Namun, jika mungkin Tama diibaratkan sebagai musik klasik, tentu dia adalah Concerto for Violin, D Major dari Johannes Brahms. Sebab, tiap kali mendengarnya, Patricia mustahil untuk tidak merasa sehidup dan serileks itu. Berdua bersama Tama, apa sih yang tidak bisa dengan mudah dia lalui?
Ya, semestinya sih begitu.
"Hm, ingat Mozart pernah bilang gini nggak?"
Patricia sontak mengempaskan tatapan kosongnya demi mampu memenjarakan sosok Tama, yang malam ini hadir dalam balutan kemeja biru beraksen garis-garis horizontal pudar, sekaligus seikat dasi mango man yang jujur saja agak norak pun sama sekali bukan 'Tama banget'. Sejak kapan pula Tama yang mobilitasnya tinggi doyan pake dasi serta kemeja warna-warni?
Patricia menggeleng ringan—mengenyahkan sejumput asumsi—saat Tama mulai kembali bicara, "'I pay no attention whatever to anybody's praise or blame, I simply follow my own feelings'.
Pria itu membalas tatapan Patricia secara intens melalui netranya yang tak seberapa besar. "Masa bodo entah itu laki-laki, perempuan atau transgender sekali pun, semua orang punya kesempatan yang sama dalam menentukan apa yang dia inginkan, yang dia mau lakukan, yang bikin dia bahagia.
"Khususnya dalam berkarya. Walau mungkin jalannya terjal, walau ada ancaman keenggak adilan dari kanan-kiri, kenapa harus menyerah? Penilaian akan selalu ada. Diskriminasi mungkin akan terus datang dari segelintir orang, tapi yang paling penting janganlah kalah dari segala macam bentuk ancaman itu!
"So, merupakan langkah yang tepat buat berjuang bersama-sama kayak yang barusan kamu lakuin. Siapa tau berhasil dapat permintaan maaf resmi kan, atau malah bisa masuk ke program akademik di tahun berikutnya?"
"Argatama?" panggil Patricia lirih.
"Hm?"
Patricia menangkup dagunya sendiri dengan dua tangan yang ia tumpukan di atas meja. "Kenapa sih kamu tuh nggak pernah berhenti buat keren di mataku?" ucapnya lancar sambil mengedipkan sebelah mata.
"Patricia enough, oke?"
"Why? Greget-greget gimana gitu, ya jurus gombalku?" Mereka praktis tergelak-gelak, merasa geli sendiri.
Jelas lah. Tahun-tahun sudah jauh berlalu dari awal pertemuan mereka. Dulu, mungkin saling melempar rayuan picisan—atau dalam hal ini lebih sering Patricia sebagai dalangnya karena, Tama paling anti menggombal—itu lumrah pun menggemaskan. Namun, ketika dipraktikan di usia mereka kini, jujur kesannya agak aneh. Kendati, efek kupu-kupu yang menggelitik perut itu tetap nyata terasa adanya sih.
"Eh, tadi katanya ada yang mau diomongin. Soal apa gitu? Nyampe buru-buru amat mampir kemari?" tanya Patricia, tiba-tiba ingat soal chat yang dikirim Tama siang tadi.
Sayangnya, hingga jarum jam di dinding terdengar terus berdetak, mungkin ada nyaris sebanyak enam puluh kali, Tama justru ajek diam membisu.
Ada apa?
Patricia bahkan menemukan mendung mulai bergumul, tumbuh di atas wajah Tama. Gurat-gurat lelah yang sewaktu pria itu masuk ke unit apartement-nya sempat tak terlihat, sekarang justru berduyun-duyun memenuhi setiap petak raut mukanya.
Dengan rahang yang mengetat juga alis yang berkumpul di tengah, Patricia tahu kalau Tama sedang dilema. Tetapi, gara-gara apa?
Perempuan itu hampir-hampir kembali memanggil Tama, saat helaan napas berat terdengar meluncur dari celah bibir lelaki di hadapannya.
Lalu, selang sedetik saja Tama perlahan-lahan berujar, "She is pregnant." Sebuah jeda panjang tercipta. Sampai-sampai rasanya saking tak sabarnya Patricia ingin menyusut sekecil bakteri, supaya dapat menyusup ke rongga otak Tama demi menggeledah isinya daripada hanya menungguinya selesai bicara yang entah harus memakan waktu seberapa lama.
Dan, itu hampir genap dua menit kala Tama akhirnya mendesiskan sebaris nama, "Zianne."
Seolah Patricia akan meledak jika mendengarnya, Tama cepat-cepat meneliti setiap perubahan yang timbul baik dari gerak-gerik ataupun kanvas wajah perempuan itu. Namun, tak seperti dia yang dilanda ketegangan, Patricia malah menarik naik sudut-sudut bibirnya—meski Tama sadar betul bila senyum itu tak mencapai matanya.
"Terus? It's okay dia hamil toh, dia perempuan bersuami," ujar Patricia seraya menunjuk dada Tama dengan jarinya. "Dan, kamu suaminya."
"Tapi—"
"Aku tau," sergah Patricia tanggap. "Mau itu sekarang, besok, setahun lagi atau entah kapan pun itu di masa depan toh, akhirnya itu bakalan terjadi." Dia mengedikkan bahunya ringan begitu melanjutkan, "Kalian dua orang dewasa yang tinggal bersama, tiap hari ketemu, ada ikatan, ya wajar aja."
"Menurut kamu itu sesuatu yang bisa diwajarkan? Patricia dia—"
"Tama? Listen to me! It's okay. She is your wife. Apa masalahnya? Lagi, bukannya itu justru bagus karena, sampai kapan pun kan kamu tau kalau aku ... aku ... nggak ...." Patricia tidak kuasa menyelesaikan kalimatnya.
Sedang, Tama sendiri kontan mengangguk-angguk mengerti seraya meraih tangan Patricia untuk digenggamnya erat di dada.
"Sorry," bisik lelaki itu kecewa. "Patricia, I am really sorry."
Mengusap rahang tegas Tama menggunakan sebelah tangannya yang bebas, Patricia paham jika beras yang telah jadi bubur mustahil berubah menjadi nasi sekalipun dia sangat ingin. Maka, menaburkan beberapa kerupuk di atasnya mungkin adalah jalan terbaik dibanding harus membuangnya dengan percuma kan?
Perempuan itu masih sempat tertawa lirih begitu lidahnya bertanya enteng, "Udah jalan berapa minggu, anyway?"
Lurus-lurus menatap perempuan bersurai kecokelatan di depannya bersama sorot bersalah, Tama menggeleng kaku.
"Ish, kok nggak tau? Gimana sih nih calon Bapak satu!"
"Patricia ... nggak akan ada yang berubah. Kamu tau itu kan?" tegas Tama hati-hati.
Ya. Silakan saja anggap Patricia kepedean. Namun, dia terlalu kenal Tama dan dia tahu betul baik itu dulu, hari ini, maupun besok nanti, seorang Argatama Prakosatama memang akan selalu mencintai dirinya bahkan lebih besar dari kadar cinta yang dimiliki oleh Patricia untuk dirinya sendiri.
"Percaya," balasnya menggumam diiringi kondisi hati yang boleh dibilang sedikit lebih lega. "Eh, by the way, di Bali bakal ada festival musiknya Bach, Beethoven sama Brahms, aku udah cerita belum? Aku mau datang sih," ujar Patricia, beralih bahasan—berupaya menumpas sekelompok kabut gelap yang betah bertahta menggelayuti Tama.
"Kapan?" Biarpun nada suaranya masih terdengar sumbang, setidaknya Patricia sukses menangkap sekelumit percikan antusiasme dalam mata Tama yang sehitam arang.
"Em, tiketnya dijual mulai pekan depan sih."
"Aku aja besok yang beli. Dua kan?"
"Lha, ikut? Tapi, acaranya dua hari loh. Nggak pa-pa nginep?"
"Memang?"
Patricia memutar bola matanya gemas. Ini Tama pura-pura tidak mengerti apa emang benar tidak mengerti sih?
"Zianne kan lagi hamil," katanya mengingatkan memakai nada yang sedatar papan.
"Ya, terus?"
Ini otak cerdas Tama mendadak digondol setan apa coba?
Patricia sontak menggeram tak sabar. "Bodo ah! Nggak tanggung jawab, ya kalau kenapa-napa!" Bangkit dari tempatnya sedari tadi duduk, dia lantas buru-buru mengusir, "Udahlah, gih sana pulang ntar dicariin!"
"Gelasku belum dicuci. Biar aku cuci dulu!" Oke, here we go again!
Serius deh, itu mah cuma alasan! Tama tidak pernah kehabisan seribu satu dalih untuk senantiasa dapat berkeliaran di sisi Patricia! Itu tabiatnya!
Patricia berdecak gusar, "Yaelah, trik basi! Jam pulang kantor kamu udah lewat dua jam. Nanti kemaleman, Zianne khawatir," ngototnya.
"Boleh nggak pulang?"
"Boleh," sahut perempuan itu enteng. "Tapi, abis ini aku lompat dari balkon. Mau?"
"Jangan bercanda kayak gitu!" sergah Tama bersama otot lehernya yang kontras mengencang.
"Maaf."
Tama mendesah pasrah entah untuk yang ke berapa kalinya seharian ini. "Peluk?" tawarnya, seusai mengusap seluruh jengkal wajahnya secara kasar.
"Nggak ada peluk-peluk! Kan udah minum kopi buatanku dua cangkir!" tolak Patricia. "Pulang aja, ya? Dan, besok jangan mampir ke sini!" sambungnya sembari menyerahkan jas pun tas kerja Tama yang sebelumnya tergeletak di sofa.
"Kok?"
"Besok aku ada janji buat ketemu orang di dekat kantor kamu. Sekalian aku bawain makan siang buat kamu. Cukup adil?" jelas Patricia ketika tangannya sibuk menggiring Tama menuju pintu apartement-nya.
"Bener nggak dipeluk dulu nih?" tanya Tama begitu telah di luar.
Patricia menggeleng enggan. "Nanti wangi parfumku ketinggalan, mau ngomong apa kamu sama Zianne?"
"Ya, bilang itu parfum kamu lah. Apalagi?"
Hadeh! Apakah benar ini adalah Tama yang sama dengan yang tadi sempat berdiskusi bersama Patricia soal musik? Ke mana coba larinya sifat pengertian serta kepekaanya? Mengapa jika itu berkaitan dengan Zianne, pria ini acap kali menjelma sebagai pribadi yang luar biasa menjengkelkan begini?
"Nggak usah macam-macam, ya kamu!" tukas Patricia memperingatkan. "Udah sana jalan! Jangan lupa mampir dulu beli sesuatu, siapa tau Zianne ngidam kan?"
Tama mendengkus. "Ngidam apaan."
"Hati-hati! Nyetirnya jangan ngebut!" pesan Patricia yang lantas dibalas lambaian tangan Tama, yang punggung bidangnya pelan-pelan menjauh lalu, hilang ditelan lift.
Kemudian, sekarang di sana hanya tersisa Patricia seorang, di dalam kesunyian yang mencekam, di mana berikutnya dia kontan jatuh terduduk, lengkap dengan bahunya yang tiada henti berguncang hebat tepat di balik pintu tempat tinggalnya.
Sumpah! Apabila ada satu hal saja yang dia sesali dalam hidupnya itu adalah bahwa dia tidak bisa seberuntung Zianne.
Oh, tentu saja! Padahal jelas-jelas dia lah yang mengenal Tama lebih awal, dia yang teramat mencintai serta dicintai Tama, tapi kenapa harus Zianne yang justru berakhir dengan memiliki Argatama Prakosatama di sampingnya?
Itu, bukannya tidak adil, ya?
***
"Ane, kemaren gue lihat Tama makan di mall bareng cewek, kayak Pat sih. Dia ... emang masih berhubungan, ya sama Patricia?"Tadi siang Satika sengaja datang ke VER. Memboyong setumpuk tupperware berisi menu makan siang yang usut punya usut dimasak langsung oleh Tante Riya—ibunya yang juga adik dari ayah Zianne—dalihnya sih, itung-itung sebagai perayaan atas kehamilan Zianne yang telah memasuki minggu ke delapan.Di atas sofa tempatnya duduk, Zianne sendiri baru berniat untuk menyendok sup krim asparagus yang beberapa hari ini memang kerap dia angan-angankan kegurihannya. Namun, segala bentuk antusiasme pun bayangan akan betapa nikmatnya menyantap masakan Tante Riya yang sudah teramat diidam-idamkannya itu, justru seperti begitu saja pecah secara berhamburan sewaktu Satika mulai mengungkit soal Tama.Tentu.Karena, Zianne tahu. Dia selalu tahu bahwa bagi Tama, ta
Patricia melambaikan tangannya ringan pada Tama yang terlihat baru memasuki kawasan Deus Ex Machina Cafe."Udah lama?" tanya pria itu sesaat setelah mendorong mundur kursi kayu berkaki tinggi yang berada tepat di hadapan Patricia.Sigap menggeleng, Patricia menyahut santai, "Paling sepuluh menit lah." Lalu, diangsurkannya sebuah lunch box bertingkat ke arah Tama. "Yang bawah cornflake cookies. Baru belajar sih dan bentuknya mungkin bikin enek waktu dilihat, tapi pas nyicip rasanya lumayan, kok buat temen lembur." Sebaris cengiran lugu pun ikut terbit guna menutup penjelasannya.Sementara Tama yang mendengarnya sontak ber-woah ria tanpa suara. Sebelum, menundukkan kepala demi dapat membaui sekelebat aroma gurih yang khas, yang terlebur bersama menyengatnya wangi-wangi artifisial dalam ruangan. Meski demikian, toh, Tama masih cukup percaya diri ketika menarik kesimpulan serta menyele
"Mbak Ane?"Zianne sontak mendongak untuk menemukan sosok Usa—Asisten Pribadinya, yang tengah memeluk erat sejumlah berkas di dada—yang telah berhasil menutup pintu dan dengan cepat merangsek ke arahnya."Setengah jam lagi, Mbak ada rapat bareng Tim Export yah," ujar Usa memberitahu, tangannya secara cekatan segera meletakkan dokumen-dokumen yang dia bawa ke atas meja luas Zianne. "Sehabis itu, sorenya Mbak ada janji ke Kebayoran Baru buat menggantikan Bu Rien bertemu sama Pak Yugas untuk membahas soal pembangunan gudang baru.""Oke. Adalagi?" Zianne sengaja meninggalkan kertas sketsa yang baru dicoretnya menggunakan spidol warna-warni sebanyak dua kali, demi dapat membalas tatapan Usa dengan serius."Pianis yang mau kita ajak kerja sama dalam gelaran fashion show untuk launching produk summer collection udah datang. Mbak mau coba ketemu?""Yang Ti
"Ah, cieee. Mau nyamper lo lunch kali tuh?" celetuk Sangga sarat akan godaan yang hanya Zianne balas dengan sebaris tawa sumbang.Yah.Sebab, kesimpulan tersebut jelas lah terlalu muluk-muluk. Makan bareng? Zianne bahkan tak yakin jika dia pernah melakukannya-di suatu waktu khususnya setelah mereka menikah-bersama Tama, berdua saja.Yah.Zianne bukan Patricia. Sehingga bagi Tama, dia tentu tak harus merasa perlu berepot-repot ria meluangkan waktu cuma untuk sekadar makan dalam satu meja sama-sama. Malahan, mau Zianne makan atau tidak sekali pun, toh itu tidak pernah menjadi suatu persoalan berarti kok bagi Tama.Maka, ketika Zianne memutuskan guna mengeluarkan sebuah decakkan pelan, spontan dia bergumam, "Ngimpi!"Namun, agaknya Sangga melewatkan kekecutan yang mendadak merundung perempuan itu. Sampai-sampai dia justru melontarkan usul, "Nggak mau disamperin
Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir."Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.
"Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksu
Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b
"Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta