Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"
Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d
Meski sepasang kakinya terasa kebas, tetapi Zianne tetap bergerak tangkas. Sesekali lajunya yang terburu bahkan berbenturan dengan bahu-bahu milik orang lain yang gagal Usa halau tepat waktu. Kendati demikian, Zianne tak sedikit pun terlihat tertarik guna mengurangi kecepatan pacu langkahnya.Lalu, di sana, di sebuah lorong rumah sakit yang terasa teramat panjang jaraknya untuk ditebas, netranya yang terus-menerus bergulir-gulir resah akhirnya berhasil menemukan wujud Dokter Kunto, yang agaknya tengah terlibat pembicaraan serius bersama Kana persis di depan ruang rawat khusus milik Sarien.Mereka bahkan sempat menyampaikan kata-kata yang sayangnya tidak bisa secara jelas Zianne tangkap apa bunyinya, ketika tadi saling berpapasan di bibir pintu.Yah.Sebab, sungguh, tak ada suara lain yang lebih ingin Zianne dengar kehadirannya selain suara bernada angkuh khas Sarien—yang mungkin akan gatel untu
Patricia Battista, namanya.Sungguh, Tama tidaklah terlahir sebagai pribadi yang haus akan rasa ingin tahu—terlebih mengenai urusan orang lain. Tidak ketika, hidupnya saja sudah ibarat segulung benang kusut. Namun, pada sore hari di Senin itu, di penghujung semester dua yang penuh hiruk-pikuk. Dari sisi hard court, tempatnya tengah sibuk memunguti satu demi satu bola tenis, tanpa sengaja sayup-sayup dia mendengar segerombolan siswi di tribun heboh merumpi.Aktivitas yang jujur, lumrahnya tentu bakal langsung Tama abaikan. Dan, dia memang melakukannya, anyway. Memilih untuk terus bergerak mengikuti ke mana pun arah bola terserak, sembari sesekali merundukkan tubuh jangkungnya demi menggapai tennis balls yang tadi tiada henti dia pukul keras-keras. Akan tetapi, siapa sangka memang bila segala polah cuai tersebut toh tak mampu dipertahankannya hingga akhir. Tangannya yang sudah terjulur serta siap guna m
"Emang selalu gitu, ya?""Hm?""Perempuan dianggap konsentrasi hidupnya sebatas sumur, dapur, kasur melulu."Tama meletakkan gelas bekas kopinya ke kitchen sink, urung untuk menggosoknya dengan sabun pria itu lantas berbalik badan kilat dan berujar, "Kok?""Barusan aku ikut menandatangani petisinya Miranda Lim." Tama mengangguk—menyampaikan bahwa dia siap mendengar segala keluh kesah perempuan yang kini duduk di hadapannya di bar stool. "Ya kali nggak ada satu pun komposer perempuan yang masuk silabus di program akademik yang disusun sama Maxwel?"Karena, komponis perempuan nggak menonjol di tradisi western art music, katanya?" Perempuan itu terkekeh, mengejek. "Clara Schumann, Barbara Strozzi, mereka ini apa kalau bukan perempuan? Oh, My God!"Nggak ngerti lagi deh, padahal jaman udah terus berkembang maju. Okelah, waktu Car
"Ane, kemaren gue lihat Tama makan di mall bareng cewek, kayak Pat sih. Dia ... emang masih berhubungan, ya sama Patricia?"Tadi siang Satika sengaja datang ke VER. Memboyong setumpuk tupperware berisi menu makan siang yang usut punya usut dimasak langsung oleh Tante Riya—ibunya yang juga adik dari ayah Zianne—dalihnya sih, itung-itung sebagai perayaan atas kehamilan Zianne yang telah memasuki minggu ke delapan.Di atas sofa tempatnya duduk, Zianne sendiri baru berniat untuk menyendok sup krim asparagus yang beberapa hari ini memang kerap dia angan-angankan kegurihannya. Namun, segala bentuk antusiasme pun bayangan akan betapa nikmatnya menyantap masakan Tante Riya yang sudah teramat diidam-idamkannya itu, justru seperti begitu saja pecah secara berhamburan sewaktu Satika mulai mengungkit soal Tama.Tentu.Karena, Zianne tahu. Dia selalu tahu bahwa bagi Tama, ta
Patricia melambaikan tangannya ringan pada Tama yang terlihat baru memasuki kawasan Deus Ex Machina Cafe."Udah lama?" tanya pria itu sesaat setelah mendorong mundur kursi kayu berkaki tinggi yang berada tepat di hadapan Patricia.Sigap menggeleng, Patricia menyahut santai, "Paling sepuluh menit lah." Lalu, diangsurkannya sebuah lunch box bertingkat ke arah Tama. "Yang bawah cornflake cookies. Baru belajar sih dan bentuknya mungkin bikin enek waktu dilihat, tapi pas nyicip rasanya lumayan, kok buat temen lembur." Sebaris cengiran lugu pun ikut terbit guna menutup penjelasannya.Sementara Tama yang mendengarnya sontak ber-woah ria tanpa suara. Sebelum, menundukkan kepala demi dapat membaui sekelebat aroma gurih yang khas, yang terlebur bersama menyengatnya wangi-wangi artifisial dalam ruangan. Meski demikian, toh, Tama masih cukup percaya diri ketika menarik kesimpulan serta menyele
"Mbak Ane?"Zianne sontak mendongak untuk menemukan sosok Usa—Asisten Pribadinya, yang tengah memeluk erat sejumlah berkas di dada—yang telah berhasil menutup pintu dan dengan cepat merangsek ke arahnya."Setengah jam lagi, Mbak ada rapat bareng Tim Export yah," ujar Usa memberitahu, tangannya secara cekatan segera meletakkan dokumen-dokumen yang dia bawa ke atas meja luas Zianne. "Sehabis itu, sorenya Mbak ada janji ke Kebayoran Baru buat menggantikan Bu Rien bertemu sama Pak Yugas untuk membahas soal pembangunan gudang baru.""Oke. Adalagi?" Zianne sengaja meninggalkan kertas sketsa yang baru dicoretnya menggunakan spidol warna-warni sebanyak dua kali, demi dapat membalas tatapan Usa dengan serius."Pianis yang mau kita ajak kerja sama dalam gelaran fashion show untuk launching produk summer collection udah datang. Mbak mau coba ketemu?""Yang Ti
"Ah, cieee. Mau nyamper lo lunch kali tuh?" celetuk Sangga sarat akan godaan yang hanya Zianne balas dengan sebaris tawa sumbang.Yah.Sebab, kesimpulan tersebut jelas lah terlalu muluk-muluk. Makan bareng? Zianne bahkan tak yakin jika dia pernah melakukannya-di suatu waktu khususnya setelah mereka menikah-bersama Tama, berdua saja.Yah.Zianne bukan Patricia. Sehingga bagi Tama, dia tentu tak harus merasa perlu berepot-repot ria meluangkan waktu cuma untuk sekadar makan dalam satu meja sama-sama. Malahan, mau Zianne makan atau tidak sekali pun, toh itu tidak pernah menjadi suatu persoalan berarti kok bagi Tama.Maka, ketika Zianne memutuskan guna mengeluarkan sebuah decakkan pelan, spontan dia bergumam, "Ngimpi!"Namun, agaknya Sangga melewatkan kekecutan yang mendadak merundung perempuan itu. Sampai-sampai dia justru melontarkan usul, "Nggak mau disamperin
Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir."Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.