Zianne tahu, sedari awal dalam hidup Tama yang monokrom, hanya Patricia lah yang mampu menjelma sebagai pelangi. Zianne tahu, sedari awal seharusnya dia tidak harus memaksa. Karena, seperti karet yang ditarik, sejauh apa pun Tama pergi hanya Patricia lah tempatnya kembali. Semestinya, Zianne tahu bahwa dia hanya akan diam di luar sana, tidak beranjak ke mana-mana meski Tama begitu dekat dalam jangkuan tangannya. Meski Tama begitu nyata dalam pengelihatannya. Dan, Zianne memang sudah tahu jika tempat baginya hanya lah di sana. Di luar hati Tama. Meski begitu, dari tiga ratus enam puluh lima hari dalam setahun, benarkah tidak sehari pun Tama pernah jatuh hati kepadanya? Sekali saja?
Lihat lebih banyak"Hm?"
"Perempuan dianggap konsentrasi hidupnya sebatas sumur, dapur, kasur melulu."
Tama meletakkan gelas bekas kopinya ke kitchen sink, urung untuk menggosoknya dengan sabun pria itu lantas berbalik badan kilat dan berujar, "Kok?"
"Barusan aku ikut menandatangani petisinya Miranda Lim." Tama mengangguk—menyampaikan bahwa dia siap mendengar segala keluh kesah perempuan yang kini duduk di hadapannya di bar stool. "Ya kali nggak ada satu pun komposer perempuan yang masuk silabus di program akademik yang disusun sama Maxwel?
"Karena, komponis perempuan nggak menonjol di tradisi western art music, katanya?" Perempuan itu terkekeh, mengejek. "Clara Schumann, Barbara Strozzi, mereka ini apa kalau bukan perempuan? Oh, My God!
"Nggak ngerti lagi deh, padahal jaman udah terus berkembang maju. Okelah, waktu Carla Bley harus menyaksikan botol-botol yang dilempar, berterbangan lengkap pake teriakkan 'balik aja sana ke dapur' di sepanjang gelaran tur konser yang dia pimpin, tapi itu kan udah puluhan tahun lewat, kok ya hal-hal diskriminatif kayak gini masih aja terus berulang di ranah musik klasik sampai hari ini?"
Tama lamat-lamat meraih telapak tangan perempuan itu yang tanpa sadar telah mengepal kuat di permukaan meja bar, mengurainya secara pelan nan samar, dia lalu bergumam, "Nice going."
"Hum?"
"Udah tanda tangani petisinya," jawab Tama yang kontan membuat perempuan itu—Patricia—rasanya tidak bisa untuk tidak merekahkan bibirnya lebar.
Yah. Kalau dipikir-pikir, seberapa pun dongkol hatinya, segerah apa pun gejolak bara emosinya atau serumit apa pun masalah yang menghadangnya, bersama seorang Argatama Prakostama bagi Patricia, rasanya dia tidak pernah merasa tidak baik-baik saja.
Asal ada Tama meski pun pria itu hanya duduk diam menungguinya bekerja hingga larut malam misalnya maka, bebannya seperti sukses berkurang lebih dari lima puluh persen.
Em, gimana, ya? Ini agak lebay sih. Namun, jika mungkin Tama diibaratkan sebagai musik klasik, tentu dia adalah Concerto for Violin, D Major dari Johannes Brahms. Sebab, tiap kali mendengarnya, Patricia mustahil untuk tidak merasa sehidup dan serileks itu. Berdua bersama Tama, apa sih yang tidak bisa dengan mudah dia lalui?
Ya, semestinya sih begitu.
"Hm, ingat Mozart pernah bilang gini nggak?"
Patricia sontak mengempaskan tatapan kosongnya demi mampu memenjarakan sosok Tama, yang malam ini hadir dalam balutan kemeja biru beraksen garis-garis horizontal pudar, sekaligus seikat dasi mango man yang jujur saja agak norak pun sama sekali bukan 'Tama banget'. Sejak kapan pula Tama yang mobilitasnya tinggi doyan pake dasi serta kemeja warna-warni?
Patricia menggeleng ringan—mengenyahkan sejumput asumsi—saat Tama mulai kembali bicara, "'I pay no attention whatever to anybody's praise or blame, I simply follow my own feelings'.
Pria itu membalas tatapan Patricia secara intens melalui netranya yang tak seberapa besar. "Masa bodo entah itu laki-laki, perempuan atau transgender sekali pun, semua orang punya kesempatan yang sama dalam menentukan apa yang dia inginkan, yang dia mau lakukan, yang bikin dia bahagia.
"Khususnya dalam berkarya. Walau mungkin jalannya terjal, walau ada ancaman keenggak adilan dari kanan-kiri, kenapa harus menyerah? Penilaian akan selalu ada. Diskriminasi mungkin akan terus datang dari segelintir orang, tapi yang paling penting janganlah kalah dari segala macam bentuk ancaman itu!
"So, merupakan langkah yang tepat buat berjuang bersama-sama kayak yang barusan kamu lakuin. Siapa tau berhasil dapat permintaan maaf resmi kan, atau malah bisa masuk ke program akademik di tahun berikutnya?"
"Argatama?" panggil Patricia lirih.
"Hm?"
Patricia menangkup dagunya sendiri dengan dua tangan yang ia tumpukan di atas meja. "Kenapa sih kamu tuh nggak pernah berhenti buat keren di mataku?" ucapnya lancar sambil mengedipkan sebelah mata.
"Patricia enough, oke?"
"Why? Greget-greget gimana gitu, ya jurus gombalku?" Mereka praktis tergelak-gelak, merasa geli sendiri.
Jelas lah. Tahun-tahun sudah jauh berlalu dari awal pertemuan mereka. Dulu, mungkin saling melempar rayuan picisan—atau dalam hal ini lebih sering Patricia sebagai dalangnya karena, Tama paling anti menggombal—itu lumrah pun menggemaskan. Namun, ketika dipraktikan di usia mereka kini, jujur kesannya agak aneh. Kendati, efek kupu-kupu yang menggelitik perut itu tetap nyata terasa adanya sih.
"Eh, tadi katanya ada yang mau diomongin. Soal apa gitu? Nyampe buru-buru amat mampir kemari?" tanya Patricia, tiba-tiba ingat soal chat yang dikirim Tama siang tadi.
Sayangnya, hingga jarum jam di dinding terdengar terus berdetak, mungkin ada nyaris sebanyak enam puluh kali, Tama justru ajek diam membisu.
Ada apa?
Patricia bahkan menemukan mendung mulai bergumul, tumbuh di atas wajah Tama. Gurat-gurat lelah yang sewaktu pria itu masuk ke unit apartement-nya sempat tak terlihat, sekarang justru berduyun-duyun memenuhi setiap petak raut mukanya.
Dengan rahang yang mengetat juga alis yang berkumpul di tengah, Patricia tahu kalau Tama sedang dilema. Tetapi, gara-gara apa?
Perempuan itu hampir-hampir kembali memanggil Tama, saat helaan napas berat terdengar meluncur dari celah bibir lelaki di hadapannya.
Lalu, selang sedetik saja Tama perlahan-lahan berujar, "She is pregnant." Sebuah jeda panjang tercipta. Sampai-sampai rasanya saking tak sabarnya Patricia ingin menyusut sekecil bakteri, supaya dapat menyusup ke rongga otak Tama demi menggeledah isinya daripada hanya menungguinya selesai bicara yang entah harus memakan waktu seberapa lama.
Dan, itu hampir genap dua menit kala Tama akhirnya mendesiskan sebaris nama, "Zianne."
Seolah Patricia akan meledak jika mendengarnya, Tama cepat-cepat meneliti setiap perubahan yang timbul baik dari gerak-gerik ataupun kanvas wajah perempuan itu. Namun, tak seperti dia yang dilanda ketegangan, Patricia malah menarik naik sudut-sudut bibirnya—meski Tama sadar betul bila senyum itu tak mencapai matanya.
"Terus? It's okay dia hamil toh, dia perempuan bersuami," ujar Patricia seraya menunjuk dada Tama dengan jarinya. "Dan, kamu suaminya."
"Tapi—"
"Aku tau," sergah Patricia tanggap. "Mau itu sekarang, besok, setahun lagi atau entah kapan pun itu di masa depan toh, akhirnya itu bakalan terjadi." Dia mengedikkan bahunya ringan begitu melanjutkan, "Kalian dua orang dewasa yang tinggal bersama, tiap hari ketemu, ada ikatan, ya wajar aja."
"Menurut kamu itu sesuatu yang bisa diwajarkan? Patricia dia—"
"Tama? Listen to me! It's okay. She is your wife. Apa masalahnya? Lagi, bukannya itu justru bagus karena, sampai kapan pun kan kamu tau kalau aku ... aku ... nggak ...." Patricia tidak kuasa menyelesaikan kalimatnya.
Sedang, Tama sendiri kontan mengangguk-angguk mengerti seraya meraih tangan Patricia untuk digenggamnya erat di dada.
"Sorry," bisik lelaki itu kecewa. "Patricia, I am really sorry."
Mengusap rahang tegas Tama menggunakan sebelah tangannya yang bebas, Patricia paham jika beras yang telah jadi bubur mustahil berubah menjadi nasi sekalipun dia sangat ingin. Maka, menaburkan beberapa kerupuk di atasnya mungkin adalah jalan terbaik dibanding harus membuangnya dengan percuma kan?
Perempuan itu masih sempat tertawa lirih begitu lidahnya bertanya enteng, "Udah jalan berapa minggu, anyway?"
Lurus-lurus menatap perempuan bersurai kecokelatan di depannya bersama sorot bersalah, Tama menggeleng kaku.
"Ish, kok nggak tau? Gimana sih nih calon Bapak satu!"
"Patricia ... nggak akan ada yang berubah. Kamu tau itu kan?" tegas Tama hati-hati.
Ya. Silakan saja anggap Patricia kepedean. Namun, dia terlalu kenal Tama dan dia tahu betul baik itu dulu, hari ini, maupun besok nanti, seorang Argatama Prakosatama memang akan selalu mencintai dirinya bahkan lebih besar dari kadar cinta yang dimiliki oleh Patricia untuk dirinya sendiri.
"Percaya," balasnya menggumam diiringi kondisi hati yang boleh dibilang sedikit lebih lega. "Eh, by the way, di Bali bakal ada festival musiknya Bach, Beethoven sama Brahms, aku udah cerita belum? Aku mau datang sih," ujar Patricia, beralih bahasan—berupaya menumpas sekelompok kabut gelap yang betah bertahta menggelayuti Tama.
"Kapan?" Biarpun nada suaranya masih terdengar sumbang, setidaknya Patricia sukses menangkap sekelumit percikan antusiasme dalam mata Tama yang sehitam arang.
"Em, tiketnya dijual mulai pekan depan sih."
"Aku aja besok yang beli. Dua kan?"
"Lha, ikut? Tapi, acaranya dua hari loh. Nggak pa-pa nginep?"
"Memang?"
Patricia memutar bola matanya gemas. Ini Tama pura-pura tidak mengerti apa emang benar tidak mengerti sih?
"Zianne kan lagi hamil," katanya mengingatkan memakai nada yang sedatar papan.
"Ya, terus?"
Ini otak cerdas Tama mendadak digondol setan apa coba?
Patricia sontak menggeram tak sabar. "Bodo ah! Nggak tanggung jawab, ya kalau kenapa-napa!" Bangkit dari tempatnya sedari tadi duduk, dia lantas buru-buru mengusir, "Udahlah, gih sana pulang ntar dicariin!"
"Gelasku belum dicuci. Biar aku cuci dulu!" Oke, here we go again!
Serius deh, itu mah cuma alasan! Tama tidak pernah kehabisan seribu satu dalih untuk senantiasa dapat berkeliaran di sisi Patricia! Itu tabiatnya!
Patricia berdecak gusar, "Yaelah, trik basi! Jam pulang kantor kamu udah lewat dua jam. Nanti kemaleman, Zianne khawatir," ngototnya.
"Boleh nggak pulang?"
"Boleh," sahut perempuan itu enteng. "Tapi, abis ini aku lompat dari balkon. Mau?"
"Jangan bercanda kayak gitu!" sergah Tama bersama otot lehernya yang kontras mengencang.
"Maaf."
Tama mendesah pasrah entah untuk yang ke berapa kalinya seharian ini. "Peluk?" tawarnya, seusai mengusap seluruh jengkal wajahnya secara kasar.
"Nggak ada peluk-peluk! Kan udah minum kopi buatanku dua cangkir!" tolak Patricia. "Pulang aja, ya? Dan, besok jangan mampir ke sini!" sambungnya sembari menyerahkan jas pun tas kerja Tama yang sebelumnya tergeletak di sofa.
"Kok?"
"Besok aku ada janji buat ketemu orang di dekat kantor kamu. Sekalian aku bawain makan siang buat kamu. Cukup adil?" jelas Patricia ketika tangannya sibuk menggiring Tama menuju pintu apartement-nya.
"Bener nggak dipeluk dulu nih?" tanya Tama begitu telah di luar.
Patricia menggeleng enggan. "Nanti wangi parfumku ketinggalan, mau ngomong apa kamu sama Zianne?"
"Ya, bilang itu parfum kamu lah. Apalagi?"
Hadeh! Apakah benar ini adalah Tama yang sama dengan yang tadi sempat berdiskusi bersama Patricia soal musik? Ke mana coba larinya sifat pengertian serta kepekaanya? Mengapa jika itu berkaitan dengan Zianne, pria ini acap kali menjelma sebagai pribadi yang luar biasa menjengkelkan begini?
"Nggak usah macam-macam, ya kamu!" tukas Patricia memperingatkan. "Udah sana jalan! Jangan lupa mampir dulu beli sesuatu, siapa tau Zianne ngidam kan?"
Tama mendengkus. "Ngidam apaan."
"Hati-hati! Nyetirnya jangan ngebut!" pesan Patricia yang lantas dibalas lambaian tangan Tama, yang punggung bidangnya pelan-pelan menjauh lalu, hilang ditelan lift.
Kemudian, sekarang di sana hanya tersisa Patricia seorang, di dalam kesunyian yang mencekam, di mana berikutnya dia kontan jatuh terduduk, lengkap dengan bahunya yang tiada henti berguncang hebat tepat di balik pintu tempat tinggalnya.
Sumpah! Apabila ada satu hal saja yang dia sesali dalam hidupnya itu adalah bahwa dia tidak bisa seberuntung Zianne.
Oh, tentu saja! Padahal jelas-jelas dia lah yang mengenal Tama lebih awal, dia yang teramat mencintai serta dicintai Tama, tapi kenapa harus Zianne yang justru berakhir dengan memiliki Argatama Prakosatama di sampingnya?
Itu, bukannya tidak adil, ya?
***
Patricia Battista, namanya.Sungguh, Tama tidaklah terlahir sebagai pribadi yang haus akan rasa ingin tahu—terlebih mengenai urusan orang lain. Tidak ketika, hidupnya saja sudah ibarat segulung benang kusut. Namun, pada sore hari di Senin itu, di penghujung semester dua yang penuh hiruk-pikuk. Dari sisi hard court, tempatnya tengah sibuk memunguti satu demi satu bola tenis, tanpa sengaja sayup-sayup dia mendengar segerombolan siswi di tribun heboh merumpi.Aktivitas yang jujur, lumrahnya tentu bakal langsung Tama abaikan. Dan, dia memang melakukannya, anyway. Memilih untuk terus bergerak mengikuti ke mana pun arah bola terserak, sembari sesekali merundukkan tubuh jangkungnya demi menggapai tennis balls yang tadi tiada henti dia pukul keras-keras. Akan tetapi, siapa sangka memang bila segala polah cuai tersebut toh tak mampu dipertahankannya hingga akhir. Tangannya yang sudah terjulur serta siap guna m
Meski sepasang kakinya terasa kebas, tetapi Zianne tetap bergerak tangkas. Sesekali lajunya yang terburu bahkan berbenturan dengan bahu-bahu milik orang lain yang gagal Usa halau tepat waktu. Kendati demikian, Zianne tak sedikit pun terlihat tertarik guna mengurangi kecepatan pacu langkahnya.Lalu, di sana, di sebuah lorong rumah sakit yang terasa teramat panjang jaraknya untuk ditebas, netranya yang terus-menerus bergulir-gulir resah akhirnya berhasil menemukan wujud Dokter Kunto, yang agaknya tengah terlibat pembicaraan serius bersama Kana persis di depan ruang rawat khusus milik Sarien.Mereka bahkan sempat menyampaikan kata-kata yang sayangnya tidak bisa secara jelas Zianne tangkap apa bunyinya, ketika tadi saling berpapasan di bibir pintu.Yah.Sebab, sungguh, tak ada suara lain yang lebih ingin Zianne dengar kehadirannya selain suara bernada angkuh khas Sarien—yang mungkin akan gatel untu
"Hoo! Look who's here!" Sarien sekonyong-konyong menyingkirkan tablet yang semenjak siuman tadi langsung sibuk ia pelototi ke ruang kosong pada overbed table di hadapannya—yang sebetulnya pun telah sesak dengan luberan kertas-kertas kerja—demi menyambut sesosok tamu, yang mana adalah seorang pria berjaket kulit hitam. Dia datang bersama sebuah ransel cukup besar di atas punggungnya. Menegaskan seolah dia hendak pergi berlibur, meski ini bukan weekend.Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d
Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven
"Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke
"Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen