Share

2. I'm in Love with Someone Else.

"Ane, kemaren gue lihat Tama makan di mall bareng cewek, kayak Pat sih. Dia ... emang masih berhubungan, ya sama Patricia?"

Tadi siang Satika sengaja datang ke VER. Memboyong setumpuk tupperware berisi menu makan siang yang usut punya usut dimasak langsung oleh Tante Riya—ibunya yang juga adik dari ayah Zianne—dalihnya sih, itung-itung sebagai perayaan atas kehamilan Zianne yang telah memasuki minggu ke delapan.

Di atas sofa tempatnya duduk, Zianne sendiri baru berniat untuk menyendok sup krim asparagus yang beberapa hari ini memang kerap dia angan-angankan kegurihannya. Namun, segala bentuk antusiasme pun bayangan akan betapa nikmatnya menyantap masakan Tante Riya yang sudah teramat diidam-idamkannya itu, justru seperti begitu saja pecah secara berhamburan sewaktu Satika mulai mengungkit soal Tama.

Tentu.

Karena, Zianne tahu. Dia selalu tahu bahwa bagi Tama, tanpa Patricia merupakan suatu ketidakmungkinan. Meski, yah, sejauh ini dia lebih gemar untuk berpura-pura tidak tahu. Dan, Satika boleh jadi adalah satu-satunya orang yang sudah hapal betul akan tabiat Zianne yang satu itu.

Jadi, rasanya sungguh tidak ada gunanya bilapun Zianne ingin bersikeras menutupinya. Perempuan itu ... musthil mampu dia bohongi.

"Ya, gitu," sahut Zianne pelan, tangannya kembali meletakkan sendok ke tepian meja.

"Lo tau!" Dengan tegas Satika mulai menuding, "dan, lo diem aja? Ya Tuhan, Ane! Tama itu suami lo!" Hampir-hampir Satika menjerit, andai kata dia tak buru-buru sadar kalau mereka sedang ada di kantor.

"Ya, mungkin aku mesti sabar dikit, Tik. Nanti ... siapa tau ...." Suara Zianne terdengar kian patah-patah sekaligus meragukan. "Siapa tau ... nanti ... Mas Tama bakal berubah, hm?"

Berubah? Ada suara sinis yang berbisik dari dalam diri Zianne.

Iya. Benar.

Bukannya dia emang udah berubah, yah?

Tama jelas telah jauh sekali berbeda dari Tama yang pernah Zianne kenal. Dulu.

Atau, memang beginilah sosok Tama yang sebenarnya? Suka mengabaikan, selain itu, jago mengelabuhinya pula? Oh, seberapa kenal sih, selama ini Zianne terhadap seorang Argatama? Di luar nama, dia memang tahu apa?

"An?" Satika memanggil, netranya meneliti Zianne lekat. "Lo tau, nggak pernah ada yang salah untuk ngomong, 'gue nggak baik-baik aja'. Lo manusia biasa. Jangan memaksa!"

Memaksa?

Entah, mungkin Satika belum tahu.

Tapi, Zianne tidak pernah merasa terpaksa menikah dengan Tama. Dia juga tidak terpaksa saat nyatanya di satu tahun belakangan, Tama lebih sering menganggapnya tak ada. Zianne tidak pernah terpaksa dalam menjalani hari demi hari dalam pernikahan mereka yang aneh ini.

Bahkan, ketika akhirnya Tuhan memutuskan guna menitipkan setitik nyawa lain di tengah-tengah kehidupan rumah tangganya—yang masih kata Satika, bagaikan kapal yang terombang-ambing di lautan lepas—Zianne merasa dia masih bisa. Dia masih memiliki sisa-sisa kekuatan untuk terus bertahan.

Lagi pula, bukannya dialah yang justru telah memaksa? Tiba-tiba masuk ke dalam hidup Tama? Mengacaukan seluruh rancangan masa depan yang telah Tama susun dengan apik dari jauh-jauh waktu?

Menggeleng-gelengkan kepala, Zianne harus segera berhenti berlarut-larut memikirkan hal tersebut!

Yah.

Dia cepat-cepat membasuh mulutnya di wastafel. Mualnya beberapa hari ini memang datang lebih intens. Namun, nafsu makannya malah terjun bebas tanpa batas. Di luar ginger tea, Zianne bahkan tak sanggup menelan apa pun seharian ini.

Ya, hamil tuh, beneran tidak mudah.

Mendesah luar biasa panjang, perempuan itu lantas menyipit saat menangkap pantulan dirinya yang terbiaskan di dalam cermin.

Perempuan tersebut, kalau dicermati masihlah sama seperti perempuan yang acap kali Zianne lihat semenjak hari pertama kepindaahannya ke kediaman Tama.

Mengenakan gaun tidur sutra, surainya yang hitam legam, jatuh tergerai, rapi bagai tirai di sepanjang batas punggungnya. Bibir itu ... juga tetap berwarna merah muda walau lipstiknya lupa ia pulaskan. Namun, memang betul ada yang hilang di sana. Tawanya. Beberapa orang termasuk Satika, selalu bilang begini:

Apa jadi istri Tama emang semenyiksa itu?

Tidak.

Oh, tentu tidak! Tidak boleh!

Zianne buru-buru menepuk ringan kedua belah pipinya yang basah setelah mencuci muka. Dia pun masih sempat mengusap sayang bagian perutnya yang mulai agak bergelombang, sebelum melangkah keluar toilet demi kemudian, menemukan sosok Tama yang agaknya baru saja tiba.

Pria itu tampak duduk di kursi paling ujung pada meja makan. Hari ini, kemejanya biru—sesuai dengan setelan paling gampang dijangkau dalam lemari, yang memang sengaja Zianne susun sedemikian rupa—jari-jemari panjangnya tiada henti bergerak, memutar-mutarkan sebotol air mineral.

Dengan punggung menyender, rapat ke kursi. Bersama sepasang bahu yang kentara sekali tengah menegang—seolah beban manusia di sepenjuru dunia berbondong-bondong bermutasi ke pundaknya.

Tama ... kenapa?

Zianne bedeham ringan, berupaya memberi tanda akan kehadirannya. Berikutnya, dia sudah bergegas untuk duduk persis di seberang Tama. Jarak yang sebetulnya hanya selemparan koin, tapi terasa sangat jauh. Sebab, cuma Zianne seorang lah yang melakukannya. Tidak ada balasan berarti dari sisi Tama untuk balik memandanginya.

"Mas, baru pulang? Udah makan malam?" buka perempuan itu pengertian yang lantas direspons Tama melalui sebuah lirikan tajam.

Yah. Seperti biasa. Kalau tidak mendelik, menggumam tak jelas, paling-paling Tama, ya bakal bungkam jika dia merasa pembicaraan yang Zianne bawa tidaklah penting-penting amat.

Lagi, buat apa juga sih Zianne kayak kaset rusak begini? Terus saja mengulang-ngulang pertanyaan serupa?

Padahal, toh, jawabannya praktis absolut. Mau Zianne menghidangkan prasmanan di rumah kek, mau perempuan itu masak sendiri kek, atau bahkan sampai bela-belain minta Celebrity Chef buat masak sekalian kek, Tama bakal selalu lebih memilih buat makan di luar—di tempat Patricia tepatnya.

Zianne ... sudah tahu.

"Aku tadi bikin ayam asem manis, nanti kalo Mas lapar bisa diangetin," ujar Zianne bertahan bicara sepihak. "Em, Mas mungkin mau mandi sekarang, biar aku siapin dulu, ya air panasnya, hm?"

Satu detik, lima detik, lebih dari tiga puluh detik dan tak ada tanda-tanda Tama tertarik menanggapi.

Aneh? Jelas tidak. Kan biasanya memang begitu.

Untuk Tama sedari awal, Zianne mungkin tak ubahnya tembok rumahnya. Pria itu tidak pernah terang-terangan berusaha guna mengaggap keberadaan Zianne di sana.

Namun, entah karena dia terlalu bodoh, terlampau buta atau tidak ngotak, Zianne mau-maunya bertahan untuk lanjut berujar, "Lagi banyak kerjaan, ya, Mas di kantor?"

Kengototan yang hanya berujung kesia-siaan. Sebab, sepi kembali jadi satu-satunya hal yang menyambut.

Meski demikian, Zianne tak sedikit pun mau melepas tautan matanya terhadap wajah tertunduk Tama.

Iya. Namanya, Argatama Prakosatama, Zianne mengenalnya sebagai laki-laki yang luar biasa baik.

Ya kali, Tama bahkan tak akan mikir dua kali untuk menghentikan perjalanan cuma demi nolongin anak kucing yang kecebur got di pinggir jalanan kompleks, misalnya.

Pria itu juga sopan, dia amat perhatian pada nyaris setiap orang tua. Oma Rien—satu-satunya yang Zianne miliki selepas kepergian ayah serta ibunya—pun tak ketinggalan pernah menjadi bukti kebaikan Tama.

Sungguh. Laki-laki itu, tidak pernah keberatan untuk direpotkan.

Benar. Tama sebaik itu kepada semua orang kecuali, Zianne. Ah, tidak. Dulu, Tama juga baik, kok, itu kenapa Zianne suka dekat-dekat dengan pria itu.

Hingga pada suatu hari, Zianne nekat mengungkapkan isi hatinya pada Tama. Lalu, selepas kejadian itu pria itu kontan tak lagi memperlakukannya dengan sama.

Tama bahkan sempat menghilang dari hidup Zianne. Mungkin sekitar satu bulan lebih tujuh belas harian, sebelum secara mendadak pria itu justru datang dengan sebuah ajakan menikah. Untuk Zianne.

Kenapa, orang yang bahkan memelototinya saat menerima pernyataan cinta, tiba-tiba mau mempersuntingnya? Sampai hari ini Zianne tidaklah tahu alasannya.

"Zianne?"

Sang empunya nama spontan mengerjap-ngerjap, bingung, tapi dia tetap memerhatikan Tama, yang kali ini balas menyorotinya bersama pandangan yang sulit terbaca.

"Saya nggak sengaja," akunya tiba-tiba. "Maaf."

Zianne mengangangkat pangkal alisnya, menanti Tama bicara lebih jelas, tapi ketika pria itu melirik ragu-ragu ke arah perutnya, Zianne akhirnya paham apa kiranya yang Tama maksudkan.

Lalu, apa?

Dengan Tama bilang tidak sengaja, memang kehamilan tersebut bisa lantas di-undo? Benar-benar! Bukannya, Tama itu cerdas, tapi kok otaknya tak berfungsi dalam masalah yang gini-gini?

Oh, enggak sengaja nidurin, terus keluar di dalem? Enggak sengaja kalo udah jadi bahan anak? Gitu?

Samar-samar Zianne mendesah lelah, seraya berujar dengan menahan geraman, "Terus, karena Mas nggak sengaja, harus aku apain? Karena, Mas ngerasa nggak sengaja, emangnya bisa perutku nanti kempes lagi?"

"Ya, terserah kamu."

"Maksudnya?"

"Terserah kamu kalau mau kamu pertahankan atau nggak. Tapi, dengan atau tanpa itu pun, nggak akan mengubah apa-apa. Selamanya, enggak bakal ada kamu.

"Kalau-kalau kamu lupa serta butuh untuk diingatkan, maka, mau itu kemarin, hari ini dan bahkan sampai saya mati, ada orang lain yang akan terus saya cintai. Yang enggak akan pernah berganti jadi kamu."

Yah.

Dia, Patricia kan?

Patricia, Patricia, Patricia ... berapa kali sudah Tama menyebutkan nama itu dalam sehari? Tidak terhitung.

Tama—entah disadarinya atau tidak—sering menyebutkannya di setiap pagi. Saat dia bangun lebih dulu dari Zianne, bahkan sebelum pria itu pergi mandi, dia akan duduk sendirian di ruang tengah, sambil sibuk menelepon. Siapa? Oh, tentu saja Patricia.

Atau, ketika menejelang malam. Begitu dia mengurung diri di ruang kerjanya. Sayup-sayup nama Patricia pun tak ketinggalan muncul. Tak berhenti sampai di sana, di sela mimpinya bukan sebatas sekali-dua kali Tama memanggil-manggilnya.

Sebegitu rutinnya, hingga lama-lama Zianne jadi bertanya-tanya, apakah Tama masih ingat dengan namanya? Bukan hanya tak mampu bercokol dalam pikiran, Zianne pun rasanya teramat jarang singgah di mulut Tama.

Sumpah!

Seandainya bisa, sehari saja. Cukup satu hari saja dari tiga ratus enam puluh lima hari yang Patricia miliki untuk berdiam di hati Tama, Zianne ingin diberi satu saja kesempatan untuk dapat tinggal di hati yang sama. Apa itu terlalu muluk-muluk?

Jelas itu terlampau mengada-ada.

Di depannya, Tama bahkan mulai mendorong kursi secara tak sabar. Tanpa repot-repot berpamitan, pria itu pun buru-buru beranjak menyongsong lantai dua.

Namun, tepat sewaktu kaki Tama nyaris memijak pada undakan pertama, Zianne keburu berseru, "Mas! Mas Tama!"

Pria itu memang langsung berhenti, meski tak sedikit pun ia mau menoleh.

Zianne tidak tahu kenapa rumah tangga yang dulu ia angankan lengkap disertai oleh mata yang berbinar juga tawa yang merebak, justru harus berakhir menjadi seperti ini?

Dia meremas kuat kain sutra di atas dadanya—tempat dari segala perih bermuara—menggigiti samar bibir bawahnya yang bergetar kencang, sebelah lengannya yang bebas lalu, ia larikan guna mendekap erat kawasan perutnya.

Menghalau sekumpulan serak yang seolah berlomba-lomba mencekat, Zianne kemudian berikrar bersama bergulirnya setetes air mata, "Ini ... anakku. Dan, dia nggak akan ke mana-mana selain hadir di sini, bersamaku."

Yah.

Tak apa biarpun Tama tak menginginkannya. Tidak apa jika Tama memilih untuk mengabaikannya. Karena, Zianne akan menjadi segalanya. Segalanya, yang kelak sang buah hati butuhkan.

Itu, janjinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status