Share

4. To You.

"Mbak Ane?"

Zianne sontak mendongak untuk menemukan sosok Usa—Asisten Pribadinya, yang tengah memeluk erat sejumlah berkas di dada—yang telah berhasil menutup pintu dan dengan cepat merangsek ke arahnya.

"Setengah jam lagi, Mbak ada rapat bareng Tim Export yah," ujar Usa memberitahu, tangannya secara cekatan segera meletakkan dokumen-dokumen yang dia bawa ke atas meja luas Zianne. "Sehabis itu, sorenya Mbak ada janji ke Kebayoran Baru buat menggantikan Bu Rien bertemu sama Pak Yugas untuk membahas soal pembangunan gudang baru."

"Oke. Adalagi?" Zianne sengaja meninggalkan kertas sketsa yang baru dicoretnya menggunakan spidol warna-warni sebanyak dua kali, demi dapat membalas tatapan Usa dengan serius. 

"Pianis yang mau kita ajak kerja sama dalam gelaran fashion show untuk launching produk summer collection udah datang. Mbak mau coba ketemu?"

"Yang Tim Marketing sampai perlu waktu dua bulan buat ngerayu itu?" Usa menjawabnya melalui sebuah anggukan penuh semangat. "Em, ya udah, boleh deh."

"Siap. Nanti saya aturin." Gadis yang rambutnya tergulung rapi di bawah tengguk itu lalu kembali menegapkan cara berdirinya.

Beberapa detik mengelem mulut sambil diam-diam mengawasi Zianne yang sedang mencoba meraih ulang perlengkapan mendesainnya, Usa akhirnya menyerah terhadap keseganannya—untuk mengungkit perihal masalah pribadi sang atasan—dengan berkata, "Eung ... Mbak Ane lagi ada butuh sesuatu, mungkin?" Matanya lantas berusaha mencari-cari sepasang netra sayu milik Zianne yang kerap memancarkan kilat sewarna cokelat madu.

Dan, saat sukses ketemu, Usa dengan tanggap menyambung, "Siapa tahu Mbak Ane ada kepengen makan yang aneh-aneh, gitu? Kayak eum ...? Mau saya cariin Asinan Bogor? Ada yang enak dan baru banget buka, loh, Mbak di deket-deket sini."

Di VER, selain Oma Rien, ya memang cuma Usa lah yang sudah tahu perihal akan kehamilan Zianne. Namun, karena dua orang tersebut sudah tahu, Zianne pun jadi tak yakin, sih jika info itu belum menyebar secara telak hingga ke sepenjuru gedung.

Oh. Tentu saja bukan Usa—kalau pun benar kehamilan Zianne telah tersiar luas—pelakunya. Sebab, di VER, jelas tidak ada satu pun mulut yang mampu guna menyaingi keemberan mulut seorang Sarien.

Yah. Oma Rien—Ibu dari Ayah Zianne—paling suka berbicara. Baik itu soal pekerjaan ataupun update mengenai kehidupan keluarganya—khususnya bagian yang baik-baik.

Privasi? Oh, Oma Rien tidaklah kenal apa itu privasi, mengimingi adalah jalan ninjanya selama ini! Dan, beliau bangga akan hal itu!

Entahlah.

Zianne saja kadang sulit untuk dapat memahami tentang kegemaran Omanya yang satu itu.

Lalu, balik lagi ke tawaran Usa tadi!

Sekilas, Zianne tampak berpikir, tapi dia sepertinya memang sedang tidak menginginkan apa-apa. Kecuali, kebab hangat kayaknya enak. Terlebih, kalau dia santap di rumah. Ini, boleh jadi terdengar agak gila. Namun, mengigiti tortilla sambil duduk di sofa yang samar-samar menguarkan wangi parfum Tama, rasanya ... mungkin bakal menyenangkan.

Sayangnya, dia mesti sigap mengeyahkan segala bentuk angan tersebut jauh-jauh. Sebab, pada kenyataannya saat ini, Zianne masih harus bekerja.

Dan, apa barusan? Aroma parfum Tama? Maksudnya, bau-bau segar kayak rerumputan yang habis dipangkas, atau harum daun-daun yang telah terkena guyuran hujan? Secercah rebakkan wewangian yang seolah tengah mengundang Zianne untuk tersesat dalam lumatan hutan yang lebat?

Oh. Mimpi saja sana!

Argatama bahkan terlalu jago untuk dengan pelitnya meninggalkan jejak-jejaknya di rumah. Jangankan udara dalam ruangan, sarung bantalnya pun selalu ia jaga untuk tak meninggalkan bekas akan tanda-tanda eksistensinya.

Yah.

Di bangunan besar bersebut rumah itu, Tama memang tak pernah melewatkan waktu untuk datang. Namun, Zianne tidak pernah merasa jika pria itu benar-benar pulang. Tidak, meskipun itu cuma sehari.

Menghela napasnya tanpa kentara, Zianne masih sempat mengulas segaris senyum pada bibir merahnya sebelum berujar dengan santai, "Belum ada kepengen, sih, Sa. Ntar kalau saya butuh sesuatu, pasti saya kasih tahu kamu, kok."

"Oke," sahutan Usa agak terdengar kurang puas. Mungkin itulah mengapa gadis tersebut lantas buru-buru menyambung, "Tapi, kalau teh mau, yah, Mbak? Soalnya, barusan pas makan siang Mbak Ane makannya dikit banget saya perhatiin."

Lagi, senyum Zianne rekah.

Yah. Walau dia gagal mendapat perhatian dari Tama, setidaknya masih ada orang-orang yang rela untuk memberi perhatian terhadapnya.

Benar.

Akan selalu ada Usa, Oma, juga tentu dirinya sendiri, yang bakal mencurahkan sebanyak-banyaknya perhatian bagi calon buah hatinya ini.

Maka, bersama hati yang terasa sedikit lebih lapang, Zianne kemudian berkata, "Ginger tea kayak biasa boleh, deh, Sa."

"Sip. Saya buatin dulu, yah, Mbak?" respons Usa girang seraya mulai bersiap beranjak.

"Makasih, Sa."

"Gampang itu mah. Lagi, apa sih yang enggak buat dedeknya?" balas Usa lengkap diiringi oleh nada bergurau yang kental. "Beliin batagor ke Bandung juga saya jabanin lah!"

Aku masih setia memajang senyum geli, sedang Usa yang nyaris mendorong pintu pun belum meredakkan intensitas bunyi kikikkannya ketika, tiba-tiba sebuah kepala ujug-ujug datang menyembul tanpa permisi dari celah pintu dan sontak membuat kami—aku, Usa serta orang di balik pintu—refleks terperanjat secara berjamaah.

"Ya, Allah! Pak Sangga! Bikin jantungan aja!" seru Usa kesal sewaktu berhasil mengenali siapa gerangan manusia di balik pintu tadi.

"Hehe. Sori, sori, Us. Gue kira lo kagak di depan pintu banget."

"Bapak aja yang kebiasaan kayak bajaj nyelonong sana-sini! Jangan diulangi lagi!"

"Iye! Gue jahit juga nih mulut lo, bacot mulu! Sana ah balik ke kandang lo!"

"Nggak pake disuruh juga bakal balik! Males di sini lama-lama. Ada makhluk yang bikin sepet!" gerutu Usa sambil berlalu bersama langkahnya yang lebar.

"Nggak mau lo ganti tuh, Asisten Pe'a yang kerjaanya bikin senewen itu?" Pria berkaos hitam dengan celana jeans robek-robek pada dua dengkulnya itu langsung menyerocos seraya mengikis jarak ke arah Zianne.

"Kan kamu yang senewen bukan aku. So, ya, nggak masalah lah," ujar Zianne enteng, atensinya kembali tercurah pada hasil sketsanya yang belum juga dapat separuh.

"Eh, An? By the way, coba, deh lo tebak barusan gue nemu apa?"

Melalui ekor matanya yang memanjang, Zianne dapat menangkap sosok Sangga yang telah sukses mengempaskan tubuh besarnya di atas sofa.

"Duit gopekan?" tebak perempuan itu kemudian, asal.

"Terus, gue pungut buat kerokan?"

"Bener lo pungut buat kerokan?" Zianne otomatis mendogak.

"Ya, kagak lah!" Sangga menggeram gemas. Heran! Apakah di mata Zianne levelnya adalah duit receh gopekan? Yang bergambar kembang melati? Yang bener aja!

"Terus?"

"Tama."

"Maksudnya?" Kali ini, sepasang alis Zianne terlihat hampir menyatu. Mungkin efek bingung atau kaget? Entahlah.

"Gue lihat Tama di basement."

Ngapain?

Karena, mustahil kan jika pria itu ke VER untuk menemui Zianne. Secara, dia belum pernah melakukannya—oke, kecuali saat ada permintaan yang berasal dari Oma. Di luar itu, Tama tidak akan melakukannya.

Datang demi Zianne adalah sebuah omong kosong.

Namun, jika memang bukan untuk dirinya, lalu untuk siapa?

Tama ....

Mendadak, Zianne diserang perasaan resah yang tak mengenakkan.

Dia, tentu tidak nekat datang bersama orang lain kan?

Ke VER? Rumah Zianne?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status